Disclaimer : Naruto hanya milik om Masashi kisimoto
Story by Agatha Cristhie
Rumah itu jelas sebuah rumah tua. Lingkungan sekitarnya pun tua, dengan kesan "lama" berwibawa yang angkuh, seperti sering dijumpai di sebuah kota. Tapi rumah No. 19 memberi kesan lebih tua di antara yang tua, rumah itu menampilkan keseriusan patriarkat yang sangat menonjol, bangunannya menjulang paling kelabu diantara yang kelabu, paling angkuh dari yanga ngkuh, paling dingin dari yang dingin. Tenang, menciutkan, dan menampilkan kesan sunyi yang umum melekat pada rumah-rumah yang sudah lama tidak dihuni, rumah itu mendominasi rumah-rumah lainnya. Di kota lain, rumah itu pasti akan diberi label "berhantu", namun di Uzushio, hantu hantu dianggap tabu, dan sama sekali tidak pantas disebutkan, kecuali kalau berkaitan dengan sebuah "keluarga terhormat di desa." Maka No. 19 tak pernah disebut-sebut sebagai rumah berhantu, namun tahun demi tahun rumah itu tetap belum laku disewa ataupun dijual.
Hinata memandangi rumah itu dengan perasaan senang, saat ia tiba bersama agen rumah yang cerewet itu. Si agen lebih ceria daripada biasanya, membayangkan kali ini ia berkesempatan menyingkirkan rumah No. 19 ini dari daftarnya. Sambil memasukkan kunci ke lubang pintu, ia tak juga berhenti mencelotehkan puji-pujiannya atas rumah tersebut.
"Sudah berapa lama rumah ini tak berpenghuni?" tanya Hinata, memotong celotehan si agen dengan agak ketus.
Yahiko menjadi agak bingung.
"Eh… eh… sudah beberapa lama," sahutnya dengan halus.
"Sudah saya duga," kata Hinata dengan nada biasa. Lorong yang diterangi cahaya remang-remang terasa dingin, dengan aura tak menyenangkan.
Wanita yang lebih imajinatif mungkin akan merinding, tapi Hinata kebetulan orang yang sangat praktis. Ia bertubuh jangkung, dengan rambut biru gelap tebal yang sudah sedikit kelabu, dan sepasang mata lavender yang agak dingin.
Ia memeriksa rumah itu dari loteng hingga ke ruang bawah tanahnya, sesekali mengajukan pertanyaan yang relevan. Selesai memeriksa, ia kembali ke salah satu ruang depan yang menghadap ke jalan, dan menatap sang agen dengan sikap tegas.
"Ada apa dengan rumah ini?"
Yahiko terperanjat oleh pertanyaan itu.
"Rumah tanpa perabotan memang selalu berkesan agak suram," sahutnya dengan tidak meyakinkan.
"Omong kosong," kata Hinata. "Sewanya terlalu murah untuk rumah semacam ini, benar-benar murah. Pasti ada sebabnya. Saya rasa rumah ini berhantu?"
Yahiko agak tersentak, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hinata memandanginya dengan tajam. Beberapa saat kemudian, ia kembali bicara. "Tentu saja semua itu cuma omong kosong. Saya tidak percaya pada hantu dan semacamnya. Dan terus terang, itu tidak akan menghalangi saya untuk menyewa rumah ini, tapi sayangnya para pelayan mudah percaya pada cerita-cerita semacam itu, dan gampang sekali ketakutan. Saya mohon Anda menceritakan pada saya, apa adanya… apa sebenarnya yang menghantui tempat ini."
"Saya… eh… saya benar-benar tidak tahu." Si agen rumah menjawab terbata-bata.
"Saya yakin Anda tahu," kata Hinata dengan suara pelan. "Saya tidak bisa menyewa rumah ini tanpa mengetahui kisahnya. Ada peristiwa apa dulu di sini? Pembunuhan?"
"Oh! Bukan," seru Yahiko, yang sangat terkejut mendengar hal seperti itu dituduhkan pada lingkungan terhormat ini. "Rumah ini… cuma… ada anak kecilnya."
"Anak kecil?"
"Ya."
"Saya tidak tahu persis ceritanya." Ia melanjutkan dengan enggan. "Banyak versi cerita yang beredar, tapi saya dengar sekitar tiga puluh tahun yang lalu. Seorang laki-laki bernama Arasy tinggal di No. 19 ada yang tahu asal-usulnya; dia tidak punya pelayan, tidak punya teman, dan jarang keluar rumah pada siang hari. Dia punya seorang anak laki-laki. Setelah tinggal di rumah ini sekitar dua bulan, dia berangkat ke Konoha. Belum lama berada di kota itu, dia dikenali sebagai orang yang 'dicari-cari' oleh polisi, untuk tuduhan tertentu―entah apa persisnya, saya tidak tahu. Tapi pasti tuduhan yang ditimpakan padanya berat, sebab dia memilih menembak dirinya sendiri daripada menyerahkan diri. Sementara itu, anaknya masih tinggal di rumah ini, sendirian. Untuk sementara, dia masih punya makanan. Hari demi hari dia menunggu ayahnya kembali. Sialnya, dia sudah diajari untuk tidak boleh keluar rumah atau bicara dengan siapa pun, dalam keadaan apa pun. Anak itu lemah, sakit-sakitan, dan kecil sekali, dan dia tidak berani melanggar perintah ayahnya itu. Di malam hari, para tetangga yang tidak tahu ayahnya sudah pergi, sering mendengar si anak terisak-isak di rumah kosong yang sunyi dan hampa ini." Yahiko diam sejenak. "Dan… eh… anak itu akhirnya mati kelaparan." Ia mengakhiri ceritanya dengan nada yang sama seperti kalau hendak mengatakan bahwa hujan baru saja turun.
"Dan menurut cerita, hantu anak itulah yang menghantui rumah ini?" tanya Hinata.
"Tapi itu tidak penting." Yahiko lekas-lekas meyakinkan Hinata. "Belum pernah ada yang melihat apa pun. Cuma omongan orang saja; konyol memang, tapi mereka bilang mereka suka mendengar… anak itu… menangis."
Hinata beranjak ke arah pintu depan. "Saya sangat menyukai rumah ini," katanya. "Dan sewanya pun murah sekali. Saya akan pikir-pikir dulu, nanti saya akan memberi kabar pada Anda."
"Sekarang sudah kelihatan ceria, bukan. Papa?"
Hinata memandangi rumah barunya dengan senang. Keset-keset berwarna cerah, perabot yang dipoles mengilap, dan banyak pernak-pernik lainnya, telah sangat mengubah kesan suram di rumah No. 19 ini.
Yang diajak bicara olehnya adalah seorang laki-laki tua kurus dan bungkuk, dengan bahu landai serta wajah halus berkesan mistis. Minato sama sekali tidak mirip dengan anak perempuannya ini. Rasanya tak ada yang lebih kontras daripada sifat tegas dan praktis Hinata dengan sifat pemimpi ayahnya itu.
"Ya." Minato menjawab dengan tersenyum "Tidak akan ada yang mengira rumah ini berhantu."
"Papa. jangan bicara yang tidak-tidak. Apa lagi pada hari pertama kita di sini."
Minato tersenyum. "Baiklah, Sayang, kita sepakat saja, bahwa yang namanya hantu itu tidak ada."
"Dan tolong jangan bilang apa pun di depan Boruto." Hinata melanjutkan. "Anak itu sangat imajinatif."
Boruto adalah anak laki-laki Hinata. Keluarga mereka terdiri atas Minato. Hinata yang sudah menjanda, dan Boruto. Hujan mulai turun menerpa jendela...
tik tik tik
tik tik tik.
"Dengar," kata Minato. "Bunyinya seperti langkah-langkah kaki kecil, ya?"
"Lebih seperti suara hujan," kata Hinata dengan tersenyum.
"Tapi itu, itu suara langkah kaki," seru ayahnya, mencondongkan tubuh untuk mendengarkan.
Hinata tertawa keras. Minato jadi tertawa juga. Waktu itu mereka sedang minum teh di ruang utama, dan Minato duduk bersandar pada tangga. Sekarang ia memutar kursinya menghadap tangga itu.
Si kecil Boruto turun dari ruang atas, dengan langkah agak pelan dan hati-hati, sikapnya khas sikap anak kecil yang terpesona pada tempat baru. Anak-anak tangga itu terbuat dan kayu cat berpelitur, dan tidak dialasi karpet. Boruto berjalan sedikit dan berdiri di samping ibunya. Minato tersentak sedikit saat Boruto melintasi ruangan, samar-samar ia mendengar suara langkah kaki lain di anak tangga, seperti ada yang mengikuti Boruto. Langkah-langkahkaki yang terseret-seret,dan kedengaran sangat menyedihkan. Lalu Minato angkat bahu, seperti hendak menepiskan kesan itu. "Pasti cuma suara hujan," pikirnya.
"Aku sedang lihat-lihat kue," kata Boruto dengan gaya sambil lalu, seperti orang yang sekadar menyampaikan sebuah fakta yang menarik.
Ibunya lekas-lekas menyambut ucapannya itu. "Nah, Nak, kau suka, tidak, dengan rumah barumu ini?" tanyanya
"Suka sekali," sahut Boruto dengan mulut penuh kue. "Suka amat sangat suka." Setelah mengucapkan kalimat terakhir itu, yang rupanya menyatakan perasaan puas yang amat sangat, ia terdiam, sibuk berusaha memasukkan seluruh kue itu ke mulutnya secepat mungkin. Setelah menelan suapan terakhir, ia berceloteh lagi.
"Oh, Mama, kata Karin di sini ada loteng; aku boleh naik lihat-lihat, ya? Dan mungkin ada pintu rahasia. Kata Karin tidak ada, tapi kupikir pasti ada. Dan aku yakin ada pipa, pipa-pipa air (wajahnya senang sekali). Aku boleh main-main dengan pipa-pipa itu. ya, dan… oh! Boleh aku lihat tangki pemanasnya?" Ia mengucapkan kata terakhir itu dengan sangat gembira, hingga kakeknya merasa malu karena saat mendengar antusiasme anak kecil itu, yang muncul dalam bayangannya justru air panas yang tidak panas, serta tagihan tukang ledeng yang mahal dan banyak.
"Besok kita melihat-lihat loteng, Sayang," kata Hinata. "Sekarang bagaimana kalau kau mengambil kotak-kotak mainanmu, dan membuat rumah, atau mobil?"
''Tidak mau bikin umah."
"Rumah."
"Rumah, atau mobil juga tidak mau."
"Buat tangki pemanas saja, kalau begitu." Kakeknya menyarankan. Wajah Boruto menjadi cerah. "Dengan pipa-pipa sekalian?"
"Ya, dengan banyak pipa."
Dengan gembira Boruto berjalan untuk mengambil kotak-kotak mainannya. Hujan masih terus turun. Minato memasang telinga. Ya, pasti yang didengarnya tadi itu suara hujan, tapi kedengarannya seperti suara langkah kaki. Malam itu ia bermimpi aneh. Ia bermimpi tengah berjalan di sebuah kota, sepertinya kota besar. Tapi kota itu hanya dihuni oleh anak-anak; tidak ada orang dewasa di sana, hanya ada anak-anak, banyak sekali. Dalam mimpinya, mereka semua lari menghampirinya sambil berseru, "Anda sudah membawa dia?" Sepertinya ia memahami maksud mereka, dan ia menggelengkan kepala dengan sedih. Melihat ini, anak-anak itu berbalik dan mulai menangis, terisak-isak sangat sedih. Kemudian kota dan anak-anak itu mengabur, dan ia terbangun, mendapati dirinya berada di tempat tidur, namun suara isakan itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Meski sudah benar-benar terjaga, ia masih mendengar suara isakan itu dengan sangat jelas; lalu ia ingat bahwa Boruto tidur di lantai bawah, sementara suara isakan anak kecil ini berasal dari atas. Minato duduk tegak dan menyalakan korek api. Dengan segera suara isakan itu berhenti.
Minato tidak menceritakan mimpinya atau pun kejadian berikutnya pada anak perempuannya. Ia yakin, apa yang didengarnya itu bukan sekadar imajinasinya belaka; bahkan tak lama kemudian ia kembali mendengar suara isakan itu pada siang hari. Angin tengah melolong melalui cerobong asap, tapi suara isakan itu sama sekali berbeda―sangat jelas, tak mungkin keliru; suara isakan anak kecil yang menyedihkan dan juga mendapati bahwa ia bukan satu-satunya orang yang mendengar suara-suarat tersebut. Ia mendengar pelayan rumah berkata pada pelayan satunya bahwa ia menganggap pengasuh anak tidak terlalu ramah pada Boruto, sebab ia mendengar anak itu menangis sedih sekali tadi pagi. Padahal Boruto turun untuk sarapan dan makan siang dalam keadaan sehat dan berseri-seri.
Minato tahu, bukan Boruto yang menangis, melainkan anak satunya itu, yang telah mengejutkannya lebih dari sekali, dengan langkah-langkah kakinya yang terseret-seret itu. Hanya Hinata yang tidak pernah mendengar apa-apa. Barangkali telinganya tidak peka untuk menangkap suara-suara dari dunia lain.
Tapi suatu hari ia pun mendapat kejutan. "Mama," kata Boruto dengan nada sedih. "Aku boleh ya, main dengan anak lelaki itu."
Hinata mengangkat wajah dari mejanya dengan tersenyum.
"Anak lelaki yang mana. Sayang?"
"Aku tidak tahu namanya. Dia ada di loteng duduk sambil menangis di lantai, tapi dia lari waktu melihatku. Mungkin dia malu (nadanya agak mencemooh), tidak seperti anak yang sudah besar, lalu waktu aku sedang main di kamarku, ku lihat dia berdiri di pintu, mengawasiku. Dia kelihatannya kesepian sekali, dan sepertinya dia ingin main denganku. Aku bilang, 'Sini, kita bikin mobil,' tapi dia tidak menjawab, cuma memandangiku seperti… seperti melihat cokelat yang banyak, tapi tidak berani pegang karena dilarang Mamanya." Boruto mendesah, tampaknya tengah membayangkan pemandangan-pemandangan menyedihkan yang dilihatnya. "Tapi waktu aku tanya pada Karin, siapa dia, dan kubilang aku ingin main dengannya, Karin bilang tidak ada anak kecil di rumah ini, dan katanya aku tidak boleh cerita yang tidak-tidak. Aku tidak suka Karin."
Hinata bangkit dari kursinya.
"Karin benar. Tidak ada anak kecil di sini."
"Tapi aku melihatnya. Oh! Mama, boleh ya aku main dengan dia, dia kesepian sekali, dan sedih. Aku ingin membantu dia supaya dia lebih senang."
Hinata hendak berbicara lagi, tapi ayahnya menggelengkan kepala. "Boruto," kata Minato dengan lembut, "anak kecil yang malang itu memang kesepian, dan barangkali kau bisa menolong menghiburnya; tapi kau mesti menemukan sendiri caranya―seperti memecahkan teka-teki… kau mengerti?"
"Apa karena aku sudah mulai besar, aku mesti melakukannya sendirian?"
"Ya, karena kau sudah mulai besar."
Setelah Boruto keluar dari ruangan itu, Hinata menoleh pada ayahnya dengan sikap tak sabar.
"Papa, ini keterlaluan sekali. Mendorong anak itu untuk percaya cerita para pelayan yang tidak-tidak."
"Tidak ada pelayan yang bicara tidak-tidak padanya," kata Minato dengan lembut. "Dia telah melihat., apa yang pemah kudengar, apa yang mungkin bisa kulihat kalau aku masih seusianya."
"Tapi ini sangat tidak masuk akal! Kenapa aku tidak melihat atau mendengar apa pun?"
Minato tersenyum, senyum lelah yang aneh, tapi tidak menjawab. "Kenapa?" ulang Hinata. "Dan kenapa Papa bilang dia bisa menolong... makhluk itu? Itu… itu sungguh tidak masuk akal"
Minato yang tua itu menatap anak perempuannya dengan penuh perhatian. "Kenapa tidak?" katanya "Apa kau ingat kata-kata ini: 'Lampu apa yang dimiliki sang Takdir untuk membimbing anak-anaknya yang tersandung-sandung dalam Gelap? 'Pemahaman Buta.' sahut Langit. Boruto memiliki hal yang satu itu―pemahaman buta. Semua anak kecil memilikinya. Kita kehilangan kemampuan itu setelah dewasa, sebab kita menepiskannya. Kadang, kalau kita sudah sangat tua, secercah cahaya samar kembali pada kita, namun Lampu itu menyala paling terang saat kita masih kanak-kanak. Itu sebabnya kupikir Boruto mungkin bisa membantu."
"Aku tidak mengerti," gumam Hinata dengan suara pelan.
"Aku pun tidak. Anak itu sedang mendapat kesulitan, dan ingin… ingin minta dibebaskan. Tapi bagaimana caranya? Aku tidak tahu, tapi… menyedihkan sekali membayangkan dia… terisak-isak begitu memilukan―seorang anak kecil."
Sebulan setelah percakapan tersebut, Boruto sakit parah. Angin yang berembus dari timur memang sangat keras, dan ia bukan anak yang kuat. Dokter menggeleng-gelengkan kepala, dan mengatakan kasus ini berat. Kepada Minato sang dokter bicara lebih banyak, dan mengakui bahwa sepertinya sudah tidak ada harapan lagi.
"Anak itu memang tidak akan berumur panjang, dalam keadaan apa pun," tambahnya.
"Paru-parunya sudah lama bermasalah."
Pada saat sedang merawat Boruto-lah Hinata baru menyadari keberadaan… anak satunya itu. Mulanya suara isakan-isakannya hanya terdengar samar-samar di tengah deru angin, tapi lambat laun suara itu jadi semakin jelas, semakin tak mungkin tersamarkan. Akhirnya ia mendengarnya pada saat suasana benar-benar sunyi: suara isakan seorang anak kecil―monoton, sedih, memilukan.
Keadaan Boruto semakin parah, dan dalam tidurnya ia berkali-kali mengigau tentang "anak lelaki kecil itu"
"Aku ingin menolongnya pergi, aku ingin menolongnya!" serunya.
Igauan itu diikuti oleh keadaan apatis. Boruto berbaring sangat diam, hampir-hampir tak bernapas, tatapannya menerawang. Tak ada yang bisa dilakukan, selain menunggu dan mengawasi. Lalu suatu malam angin berhenti bertiup; suasana sunyi, jernih dan tenang. Sekonyong-konyong Boruto bergerak. Kedua matanya membuka. Ia memandang ke arah pintu yang terbuka, melewati ibunya. Ia mencoba berbicara, dan ibunya membungkuk untuk menangkap kata-katanya yang diucapkan dengan setengah berbisik.
"Baik, aku datang," bisiknya, lalu terkulai kembali di tempat tidurnya. Sekonyong-konyong ibunya merasa sangat takut. Ia mendatangi ayahnya. Di suatu tempat di dekat mereka, seorang anak lain tertawa. Suara tawanya begitu bahagia, puas, penuh kemenangan, dan jernih, menggema di seluruh ruangan.
"Aku takut, aku takut," erang Hinata.
Ayahnya merangkulnya dengan sikap protektif. Embusan angin kencang yang datang mendadak, mengejutkan mereka, tapi angin itu berlalu cepat, dan udara kembali tenang, seperti sebelumnya.
Suara tawa tadi sudah berhenti, dan samar-samar mereka mendengar suara samar, begitu samar hingga nyaris tak terdengar, namun kemudian semakin keras, hingga mereka bisa menangkapnya. Suara langkah-langkah kaki ringan, pergi bergegas.
Tik tik tik, tik tik tik, bunyinya―bunyi langkah-langkah kaki kecil yang ragu-ragu dan sudah amat dikenal itu. Namun sekarang ada suara langkah-langkahkaki lain yang sekonyong-konyong mengikutinya, bergerak dengan langkah lebih cepat dan lebih ringan. Bersamaan keduanya menuju pintu.
Terus, terus, terus, melewati pintu, mendekati Hinata dan ayahnya, tik tik tik, tik tik tik, langkah-langkah kaki kedua anak itu bersama-sama...
Hinata mengangkat wajah dengan panik "Mereka berdua―berdua..."
Pucat oleh perasaan ngeri, ia berbalik ke arah tempat tidur kecil di sudut sana, namun ayahnya menahannya dengan lembut, dan menunjuk.
"Di sana."
tik tik, tik tik tik... semakin pelan dan semakin pelan.
Sesudah itu… tak terdengar apa pun lagi.
End
Nb : Yah, kalau mau novelnya judulnya "Anjing kematian." Yah, ceritanya memang berkisar soal misteri dan supernatural. Terdiri dari 12 cerpen pendek...
