Disclaimer: I own nothing. I don't own Inuyasha, I'm just renting them from Rumiko Takahashi, Viz, etc. I will make no money from this fic, I write for my own enjoyment and the enjoyment of my readers.

.

Summary : Tahun yang dilalui Sesshoumaru dan Kagome sebagai pasangan sudah tak lagi dapat dihitung dengan satu tangan. Bukan hidup jika tidak ada aral gendala. Hanya karena sebuah kecelakaan kecil, keduanya saling melihat sisi gelap dari calon pendamping hidup. Pertanyaan terselip, keraguan pun lantas mengadang.

Genre : Romance/Supernatural

Setting : All Human/Alternate Universe


Universitas Kaio, 2015.

.

Kagome memasuki kafetaria Universitas Kaio dengan pikiran mengawang. Pelajaran pertama di hari itu baru usai, meski ia menyimak sungguh-sungguh, tetap saja ada materi yang tidak sepenuhnya ia pahami. Mengingat ujian sebentar lagi, kepalanya lantas berdenyut-denyut.

Sambil memijat pelipisnya, Kagome berjalan di lorong yang ramai di jam makan siang. Saat itu, tak sengaja ia menyenggol orang yang ada di depannya. Tanpa memandang sosok yang ia tabrak, gadis itu menunduk untuk meminta maaf sekejap dan lanjut berjalan.

Sekian lama memilih menu, akhirnya nampannya terisi lengkap oleh hidangan utama, makanan penutup, dan teh. Perempuan yang kala itu mengenakan rok mini cokelat, kaus hitam yang dipadankan mantel berwarna khaki itu memilih meja bar kosong yang menghadap ke taman.

"Apa sih yang aku pikirkan?" Gadis itu menghela napas berat, lalu menyuap power don yang terkenal enak. Bertahun-tahun ia terseok-seok menyelesaikan tugas yang dilimpahkan. "Mengambil program studi hukum," wajahnya berkerut-kerut secara menyedihkan. Ia terus menyuap dan mengunyah. "Kau terlalu memandang tinggi kemampuanmu, Kagome!" keluhnya dengan mulut penuh.

Suara gelas teh yang diletakkan di nampan oleh orang yang duduk di sebelahnya merampas perhatian mahasiswi tahun keempat itu. Kagome menoleh. Rupanya masam dan mata menyipit, ia berniat menunjukkan ketidaksukaan secara terang-terangan.

Laki-laki yang duduk di sisi kiri balik memandang dengan sorot mata menusuk dan raut muka dingin. Belasan detik berlalu, Kagome yang mengundurkan diri lebih dulu dari niramekko (lomba menatap).

"Oh, Kami!" Jika memang aku tidak ditakdirkan menjadi pengacara, maka aku hanya bisa pasrah. Tetapi ..., ' Kagome menyuarakan pikirannya dengan suara sebatas bisikan, "Setidaknya pertemukan aku dengan pria baik yang akan menjadi jodohku di kampus ini, bukan dengan lelaki bertampang stalker sepertinya."

"Percakapan mentalmu cukup nyaring hingga Sesshoumaru ini mendengarnya."

Sedetik, Kagome terpana oleh kalimat orang di sampingnya. Ia berkedip-kedip. Kemudian, ia meneliti lelaki itu, out fit mahal melekat di tubuhnya, penampilannya didominasi nuansa monokrom dari ujung rambut hingga ujung kaki. Satu-satunya yang berwarna hangat adalah iris matanya. "Benarkah?" tukasnya.

Si lelaki bergumam, tanda mengiakan.

"Apa aku terlihat peduli?" Atas balasan ketusnya, Kagome yakin ia melihat kedua alis laki-laki yang tak ia kenal itu berkumpul ke tengah seketika.

"Tadi kau bilang aku bertampang stalker?" tanya sosok itu tak terima.

"Apa baru kali ini kau mendengar seorang perempuan berkata jujur padamu?"

"Kau sangat mengganggu!" cetus si lelaki pemilik suara baritone tersebut.

Bukannya merasa bersalah, Kagome yang sedang jengkel justru tersinggung, "Aku? Pengganggu?" Perempuan muda itu lantas memutar otaknya yang tengah pampat untuk mencari balasan sesuai. "Apabila aku mengganggumu, maka ... " Sayangnya, yang terpikirkan hanyalah, "Maka kau seperti darah, sebuah kutukan menyebalkan!"

Celaan yang si lelaki tunggu malah tidak sesuai perkiraan. "Darah?"

Kagome menyembunyikan salah tingkahnya dengan bersungut-sungut, "Memangnya kau tidak pernah mendengar folklor Shinshoku Monogatari?"

Bak patung di museum, lelaki itu bergeming. Ekspresinya terkesan meremehkan.

Bibir perempuan muda itu mengerucut saat menjelaskan, "Kisah seorang pendeta shinto yang dikutuk oleh siluman laba-laba yang dijumpainya?"

Satu alis mahasiswa itu melawan gravitasi.

Malas menerangkan dan tak mau terlihat dungu, gadis itu merapikan barang-barangnya.

Melihat itu, si lelaki berkata, "Kau ingin pergi, Kagome?"

Yang dipanggil sontak memutar tumit, ia menunjuk sang lawan bicara, suaranya serius, "Jangan panggil namaku, kita bukan teman, dan tidak akan pernah menjadi teman, Sesshoumaru!"

Sebagai tanggapan, kedua alis lelaki itu terangkat ke atas.

Sadar bahwa dia juga melakukan hal yang sama_menyebut nama depan lelaki itu_Kagome menggelengkan kepala. "Salahmu menyebut diri sendiri dengan sudut pandang orang ketiga seperti para orang tua di era showa. Bukankah kita generasi milenium?"

"Abaikan zaman, menurutmu, bermonolog secara lantang di publik patut mendapatkan pujian?"

Sebal pada diri sendiri, kedua tangannya terkepal, Kagome menggigit bibir, dan mengakhiri perdebatan dengan antiklimaks, "Ah, lupakan saja!"

Gadis bertubuh mungil itu turun dari kursinya.

Intonasi Sesshoumaru super datar kala mengejek, "Jika kita bertemu lagi lain kali, ceritakanlah tentang Shinshoku Monogatari yang kau sebutkan tadi!"

Kagome yang jengkel berjalan menjauh tanpa menoleh sama sekali.

Satu sudut bibir mahasiswa hukum bernama Sesshoumaru tersungging satu inci. Menyusul kemudian, suara tertahan di dada lelaki itu samar terdengar.

.

.

.

Desember 2021.

Napas Kagome masih terengah-engah. Dia membalik badan, bertumpu pada kedua siku. Dengan kedua jari, ia memutar-mutar sejumput helaian perak kekasihnya yang terhampar di atas bantal.

Sesshoumaru memiringkan badan. Tangannya melingkari pinggang wanita di sisinya. Perlahan, ia mengelus punggung Kagome. Lalu, pria itu mencengkeram dan menarik sang pasangan agar kembali ke dekapannya.

Kedua insan itu kembali berpelukan. Badan Kagome bertumpu pada dada bidang Sesshoumaru yang kembali terlentang. Kaki kiri wanita itu berada di antara kedua kaki si pria. Tubuh-tubuh telanjang berlapis peluh itu kembali melekat. Tiada jarak.

Kagome memindahkan rambut panjangnya ke bahu kanan. Setelah itu, ia menghadiahkan kecupan singkat untuk kekasihnya di pipi, kening, mata, hidung, dan di tempat terakhir, ia menghabiskan banyak waktu. Wanita itu menjelajahi tiap inci bibir pria itu, bagian atas, maupun bawah. Secara perlahan, dengan kelopaknya, lalu dengan ujung lidahnya. Dengan suara sedikit serak, wanita itu berkata, "Aku tidak akan pernah bosan dengan ini," ia menghela napas lega, "bersamamu," imbuhnya.

Iya, mereka bukan lagi remaja yang kasmaran. Masa kuliah ketika mulai mengenal satu sama lain sudah lama berlalu. Kini, keduanya adalah manusia dewasa yang memiliki kehidupan mapan, pekerjaan terhormat dengan masa depan terbilang cerah. Tahun yang terlewati sudah tak lagi dapat dihitung dengan satu tangan. Meski pipi mereka tak lagi bersemu kala berpegangan tangan, bukan berarti buruk. Karena sekarang, mereka sudah mencapai zona nyaman dan terlengkapi hanya dengan kehadiran satu sama lain.

Kendati ribuan hari menjalin ikatan, perasaan keduanya masih sama. Sebab, yang mereka punya tak hanya cinta dan kasih sayang, tapi juga komunikasi, toleransi, kepercayaan, dan penghormatan terhadap sang pujaan hati.

"Kau ingin memulai lagi?"

Kagome tertawa kecil dan mengeluarkan pemberitahuan, "Ah, kau pun mulai bersemangat."

"Itu adalah hal yang pasti jika bersama-" Kalimat Sesshoumaru teredam oleh Kagome yang mulai menggigit bibir bawahnya. Merasa ditantang, pria itu sontak bermanuver, ia mengangkat tubuh dan membalikkan keadaan. Sekarang, Kagome yang terlentang di kasur, dan ialah yang berada di atas.

Dengan senyum kemenangan, Kagome melilitkan kedua kakinya di pinggang Sesshoumaru, menaikkan tubuh bagian bawahnya hingga menyentuh tonggak kejantanan kekasihnya seraya melenguh erotis.

Sesshoumaru beringsut sehingga kedua lututnya mengimpit panggul Kagome dan membuat tunangannya itu tertekuk layaknya huruf 'C'. Pria itu meraba sisi tubuh pasangannya dengan sentuhan seringan bulu. Namun, beberapa saat kemudian, ia meremas gemas bokong Kagome. Hanya butuh selangkah untuk kembali keintiman lainnya siang itu, tapi Sesshoumaru menghentikan diri. Ia bangkit, meraih serta mengenakan boxer gelapnya. "Sebaiknya kita sarapan sekarang."

Kagome menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Ia melirik jam digital di atas nakas. Nadanya meledek saat menyahut, "Sarapan jam dua belas siang?"

"Bukankah bangun siang di hari libur adalah hal yang biasa orang-orang lakukan?" ia membela diri.

Manik biru kelabu itu tak bisa lepas dari figur prianya. Ia mengagumi bagaimana untaian perak di punggung itu begitu indah, otot-otot sedikit menyembul di bawah lapisan kulit melengkapi semua kegagahan yang terpajan. "Ya, tapi tidak semua orang beranggapan pukul tujuh pagi itu terlalu siang. Kau selalu keras pada dirimu sendiri, Sessh." Raut wajah dingin nan maskulin itu kini menghadapnya.

"Sarapanku tidak akan terlambat jika bukan karenamu."

"Minggu pagi yang menyenangkan bukan? Hanya bermalas-malasan di ranjang, bergelung di dalam selimut, berbincang tentang hal yang tak penting panjang lebar, melakukan hal-hal yang kita sukai di akhir Desember tanpa terpengaruh oleh pekerjaan?" Sahut wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu dengan ceria. "Lagi pula ...," ia bangkit dari pembaringan, lalu duduk bersandar di kepala ranjang. Kagome menyisir mahkota indahnya dengan jari, memiringkan kepala, dan menatap manik emas pria itu dalam-dalam seraya menggigit bibir bawahnya.

Sesshoumaru mengerti apa yang wanita idamannya lakukan. Helaian legam itu begitu kontras di kulit lembut Kagome. Iris sendu itu seakan menawan dirinya dalam godaan tanpa akhir. Oleh karena itu, sesaat, ia menutup pengindra.

Dengan nada halus, Kagome melengkapi kalimatnya, "Tadi kau tidak keberatan sama sekali, Fluffy-sama."

Laki-laki yang memilih berprofesi di bidang hukum itu langsung membuka mata. Panggilan khusus yang diciptakan Kagome untuknya itu membuat Sesshoumaru melupakan apa yang hendak ia lafalkan. Hanya dengan dua kata, ia dipaksa mengingat semua pengalaman ternakal dan menyenangkan saat mainan plug tails ikut campur dalam salah satu aktivitas intim mereka. "Kagome, apabila aku tak dapat menahan diri, bisa-bisa kita akan sarapan jam dua nanti."

Atas ucapan kekasihnya, wanita itu mengikik geli. "Baiklah, Fluffy-sama," godanya lagi. Namun, pada akhirnya, ia duduk di tepi kasur dan mulai mencari gaun tidurnya yang terlempar entah ke mana.

Mata Kagome memindai sekitar, tak menemukan barang yang ia cari, ia mengambil kaus acak yang ada di lemari Sesshoumaru. Di waktu yang sama, ia mendengar desis tertahan.

Lekas-lekas ia mengenakan pakaian itu sambil mendekati tunangannya. "Kau terluka!" seru Kagome. Otomatis, kepala wanita itu menoleh ke kanan-kiri mencari sumber bahaya. Pecahan gelas bertebaran di sudut kamar yang tak tertutup karpet.

"Aku tidak apa-apa." Sesshoumaru berjalan pincang untuk duduk di pinggir kasur. Kagome mendekat dan berlutut untuk memeriksa, setelah ia yakin bahwa itu hanya luka kecil, ia segera membersihkan serpihan tajam yang mengancam.

"Bagaimana aku bisa lupa dengan kekacauan ini?" rutuknya.

Selagi mencabut serpihan kaca kecil yang melukai telapak kakinya, lelaki itu berkata, "Salahku karena menyenggol gelas wiski itu tadi malam."

"Salahku karena tidak langsung membersihkannya."

Sesshoumaru berusaha menenangkan wanitanya, "Tidak, akulah yang tidak bisa bersabar."

Lagi-lagi, Kagome tertawa riang. "Kita bisa terus menyalahkan diri sendiri atau ... " Setelah yakin tak ada lagi pecahan yang berserakan, Kagome berdiri dengan barang pecah yang terbungkus rapi. "Demi mempersingkat waktu, kita harus mengakui bahwa ini terjadi hanya karena hasrat kita lebih utama dan mendesak, ya, 'kan?"

Sebagai respons, seulas senyum merekah, menampilkan lesung pipit paling manis dan terlampau langka bagi Kagome.

Sampah telah dibuang di dapur, Kagome kembali ke kamar dengan kotak P3K. "Biarkan aku melihatnya!"

Sesshoumaru menyingkirkan tisu yang ia gunakan untuk menyeka darah yang keluar. "Tidak perlu, ini hanya luka kecil."

Tak mengindahkan ucapan pria yang lebih tua tiga tahun darinya itu, Kagome menggeser tangan Sesshoumaru. Apa yang wanita itu lihat kemudian, sungguh membuatnya tercengang. Mata wanita itu terbelalak dengan mulut terbuka, ia membeku beberapa waktu.

Itu adalah kali pertama ia menyaksikan tetesan darah kekasihnya. Wanita yang besar di lingkungan kuil itu bak ditampar oleh ketakutan terbesarnya. Sebab, cairan kehidupan yang mengalir di tubuh Sesshoumaru bukan cokelat maupun merah cerah seperti orang kebanyakan, tapi violet yang sangat pekat.

Menyadari reaksi tunangannya, seketika, laki-laki itu paham bahwa ada yang salah.

Momen berikutnya, Kagome cepat-cepat menempelkan plester luka, dan berdiri untuk mengembalikan kotak P3K. Di dapur, ia meraih gelas, mengisinya dengan air keran, dan mereguk habis likuid yang ada.

Sejak dulu, Kagome tahu, suatu saat ini akan terjadi. Karena kelebihan yang ia miliki, sudi tak sudi, ia harus melihat hal yang paling ia hindari. Akan tetapi, ia pun wanita yang berpikiran terbuka. Tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat salah adalah fakta. Tidak ada manusia yang sepenuhnya jahat, tentu saja. Mustahil pula ada manusia seutuhnya suci di zaman ini, pastinya. Semua orang pasti pernah berprasangka jelek, berpikiran kotor, dan berlaku buruk.

Semuanya adalah hal wajar.

Manusiawi.

Walaupun begitu, yang dengan pasti Kagome percayai dan ketahui adalah, kesalahan kecil tidak akan mampu menodai jiwa serta darah manusia.

Ia telah ratusan kali mempertanyakan 'bagaimana jika ia melihat sisi lain Sesshoumaru dengan kemampuannya'. Berkali-kali pula, ia gagal menjawabnya.

Tetapi, pada momen itu, ia bertekad untuk menghadapinya.

Sekuat tenaga, Kagome berusaha mengesampingkan perasaannya. Alih-alih terus terjebak dalam praduga, ia memutuskan untuk mengonfrontasi semua kecurigaan langsung pada tunangannya.

Baru saja Kagome memutar tumit, Sesshoumaru yang sudah memakai celana panjang hitam dan kemeja putih berada di hadapan. "Kau tidak apa-apa?"

"A-aku baik-baik saja," Kagome berjalan ke ruang tengah. "Aku hanya, memikirkan sesuatu tentang kita." Ia duduk di sofa tunggal.

Sesshoumaru mengikuti, melihat pemilihan tempat duduk pun ia paham kalau Kagome menjaga jarak. Masih berpikir untuk menetralkan suasana, ia membujuk, "Kau ingin kubuatkan makanan? Atau lebih baik kita memesan saja?"

"Aku tidak lapar."

"Kau hanya meminum kopi sejak pagi."

Kagome menggeleng lemah.

Pria itu berinisiasi, "Bila ada yang ingin kau katakan, katakanlah! Sesshoumaru ini mendengarkan."

"Pernikahan kita tinggal tiga bulan lagi."

"Hn."

Kagome menatap Sesshoumaru tepat di mata, air mukanya serius. "Aku tidak ingin kita merahasiakan apapun sebelum hari itu. Jika ada sesuatu yang mengganggu hubungan kita, lebih baik kita berpisah sekarang. Aku tidak ingin menyakiti keluargaku maupun keluargamu."

"Kau ragu padaku?"

"Selama ini, sama sekali aku tidak pernah ragu padamu," ia mengambil jeda. "Tidak sampai hari ini."

"Apa yang terjadi?"

Biru kelabu memperhatikan manik emas dengan intens.

Mengungkapkan keanehannya akan memicu banyak pertanyaan bahkan mungkin gelak tawa, sebab itu, Kagome berniat untuk mengorek informasi dari kekasihnya dahulu. "Aku akan menceritakan rahasiaku. Sebelum itu, izinkan aku bertanya padamu."

Masih dengan santai, pria itu bertanya, "Apakah kau tengah menginterogasiku, Detektif Divisi I, Higurashi Kagome?"

"Aku bersungguh-sungguh, Sesshoumaru!" Ia yang berusaha menegaskan justru terdengar putus asa.

Secara elegan, pria itu menempatkan diri di sofa yang berseberangan dengan wanitanya.

"Kumohon, jawablah dengan jujur."

"Sesshoumaru ini berjanji."

"Apakah kau pernah membunuh orang?"

Ekspresi lelaki tampan itu teramat datar saat mengangguk. Napas Kagome otomatis tercekat. Selang beberapa detik, Sesshoumaru menambahkan, "Aku pernah beberapa kali mengirim orang ke tiang gantungan, jika itu yang kau maksudkan."

Udara yang sempat tertahan oleh Kagome lantas terlepaskan. Meski demikian, sebagai seorang penegak hukum, ia paham bahwa itu adalah cara Sesshoumaru mengelak dari cecaran. Karena itu, ia memberikan pertanyaan yang lebih spesifik, "Terlepas dari pekerjaanmu sebagai jaksa penuntut umum, pernahkah kau memang berniat menyakiti orang lain secara fisik?"

Waktu bagai merangkak lambat selama keduanya terdiam. Sesshoumaru memalingkan wajah, pandangannya tertunduk sejenak sebelum kembali memandang jendela jiwa kekasihnya dengan tajam. "Hn, aku pernah dengan sengaja menyakiti beberapa orang."

Rahang pria itu mengeras. Lelah menyimpan semuanya sendirian, Sesshoumaru memilih untuk melisankan rahasia tergelapnya, "Para bajingan itu layak mendapatkannya. Mereka berpura-pura menjadi orang baik, masyarakat yang taat aturan, warga yang bermoral, tapi tidak kenyataannya. Banyak anak yang teraniaya. Paman yang seharusnya merawat, guru yang seharusnya membimbing, bahkan orang tua yang seharusnya menjaga malah beralih rupa menjadi pemangsa. Itu baru yang ada di sekitar si anak. Bagaimana dengan predator yang banyak berkeliaran di dunia maya?"

Baritone-nya terdengar lebih berat dan kelam,"Memuakkan, ketika makhluk busuk itu tertangkap, setelah semua perbuatan terkutuk yang mereka lakukan, hukuman yang didapat tidaklah setimpal. Penjara selama beberapa tahun saja tidak serta merta mengubah otak busuk mereka. Itu takkan sebanding dengan trauma seumur hidup yang diderita anak-anak itu." Lelaki itu menarik napas. "Sedangkan, yang bebas berkeliaran karena kurangnya bukti adalah yang paling kubenci."

"Karena itu, aku memburu mereka. Tak peduli berapa kali mereka berganti alamat maupun nama, lingkungan barunya akan segera mengetahui bahwa mereka adalah predator. Orang tua dan masyarakat di sekitarnya akan waspada. Dengan itu, aku harap tidak ada lagi anak kecil yang dengan mudah masuk ke dalam jebakan."

Pengakuan itu menggiring Kagome ke satu simpulan yang berkaitan dengan tragedi yang terjadi pada Rin Taisho, adik bungsu Sesshoumaru yang menjadi korban kebejatan seorang guru di sekolah menengah pertamanya. Sebuah kewajaran, bila insiden itu menjadi awal mula kebencian Sesshoumaru terhadap pelaku grooming dan pedofilia. Detektif wanita itu telah lama menduga, perkara itu pula yang membuat pasangannya memilih bidang hukum.

Tak pelak, satu nama yang membawa duka bagi keluarga besar Taisho disebut oleh Kagome, "Kau memiliki andil atas kematian Naito Kiichi!" bukan pertanyaan.

Naito Kiichi yang berusia tiga puluh lima tahun, seorang guru di sekolah SMP & SMA Afiliasi Wanita Keio, ditemukan tewas dengan leher patah di sebuah waduk tak jauh dari sekolah. Adalah salah satu perkara kriminal yang tak terpecahkan hingga masa kadaluarsa kasusnya menyentuh batas.

Tiba-tiba, pria itu berdiri dari duduknya. "Kau menyelidiki keluargaku," sebuah pernyataan.

Kagome bangkit jua. "Karena aku ingin tahu segalanya tentangmu."

"Demi memuaskan rasa penasaranmu?"

"Demi mencintai semua kekuranganmu," balas Kagome lugas. ia menunjuk diri sebelum menunjuk dada pria itu. "Kalau harus memilih, aku ingin mendengarnya langsung darimu. Biarkan aku juga menanggung masalahmu. Aku ingin kau lebih memercayaiku, aku ingin kau berbagi kesedihan denganku."

Senyap sejenak.

Merasa hanya ada ketulusan di perkataan kekasihnya, ia mulai mengisahkan, "Pada musim gugur tahun 2006, mengaku sebagai pacar Rin, aku meminta untuk bertemu dengan orang itu. Mudah sekali si keparat itu menyanggupi. Di belakang sekolah tempatnya mengajar, bekas sekolah Rin, adalah lokasi yang dipilih Naito Kiichi. Pukul satu siang, aku tiba, dia sudah ada di sana."

Sesshoumaru bersandar di dinding, kedua tangannya masuk ke saku celana. "Kami berbicara, tak lama, perdebatan pun terjadi. Aku menyuruhnya untuk bertanggung jawab. Ia terus berdalih dan menyangkal bahwa mungkin aku yang menghamili Rin. Bahkan, setelah tahu bahwa aku adalah kakak dari gadis yang ia lecehkan, ia tetap tidak mau mengaku. Ketika ia menghina adikku dengan sebutan yang tak pantas, saat itulah aku naik pitam. Aku memukulnya, ia balas meninju dan menendangku berkali-kali. Tentu, tenaga remaja tidak sebanding dengan pria dewasa. Mataku mulai berkunang-kunang, sebelum pandanganku sepenuhnya gelap, aku berhasil mendorongnya menjauh."

"Ketika siuman, aku sudah sendirian. Aku pikir bajingan itu sudah pergi. Dengan wajah dan tubuh penuh memar, aku pulang. Rumah dalam keadaan kosong. Tak lama, ibuku menelepon dari rumah sakit. Saat itulah aku mendengar kabar," ia menelan ludah. Suara Sesshoumaru bergetar oleh duka, "Rin dan janinnya yang baru dua puluh minggu tak tertolong. Dokter mengatakan usia lima belas tahun terlalu muda untuk persalinan prematur, ia mengalami pendarahan dan komplikasi lainnya."

"Keesokan harinya, mayat si hina ditemukan di pinggiran waduk. Ratusan murid yang tak mengenal kejahatannya berkabung." Sesshoumaru tertawa kering, sebaliknya, matanya berkaca-kaca. "Sedangkan, berita kematian Rin hanya membuat pihak sekolah lega. Tidak ada korban, berarti tidak ada kasus pelecehan, mereka yang mengagungkan nilai kredit sekolah bisa melanjutkan hidup dengan tenang."

Sang jaksa menggelengkan kepala. "Sampai sekarang, aku tidak pernah menyesali kejadian itu." Kau tahu? Hal yang paling aku sayangkan kala itu adalah, aku jatuh pingsan. Aku tidak mengingat saat aku membunuhnya. Akan sangat memuaskan bila aku menyaksikan ia meluncur, benturan dari ketinggian empat meter mematahkan lehernya, dan melihat napas terakhir meninggalkan tubuh amoral itu."

Roman tampan itu dinaungi nestapa, "Rin baru lima belas tahun, seharusnya ia memiliki hidup panjang yang bahagia. Tetapi, tidak!" Kedua tangannya terkepal, dari balik rahang yang terkatup rapat, Sesshoumaru melantangkan kemurkaannya, "Aku berharap bisa membunuh bajingan itu puluhan bahkan ratusan kali."

Kagome menelan ludah. Dadanya bergerak naik turun, ia bernapas melalui mulut yang sedikit terbuka. Sosok yang berjarak setapak darinya sungguh berbeda dari Sesshoumaru yang ia kenal selama ini. Meskipun begitu, bukan takut yang merajai emosinya, melainkan pilu. Ia ikut merasakan sedikit kepedihan batin yang selama ini ditanggung oleh tunangannya.

Dengan pangkal alis yang hampir bertaut, Sesshoumaru menyatakan, "Sekarang, tidak ada lagi yang kurahasiakan."

Hening.

Sesshoumaru menelan semua duka yang kembali menghantamnya.

Sel-sel kelabu Kagome sibuk mengingat segala informasi atas kasus dingin tersebut serta memperhitungkan rentang waktunya.

Walaupun paham seluk-beluk hukum dan mengerti bahwa ia tidak bisa didakwa atas kejahatan yang terjadi lima belas tahun lalu, tapi Sesshoumaru berusaha menghormati sang tunangan yang notabenenya aparat negara. "Entah apa yang akan kau lakukan dengan informasi itu, kuserahkan padamu."

Tanpa pikir panjang, Kagome lantas menghamburkan diri ke pelukan lelakinya. "Itu sebuah kecelakaan, semua itu sudah berakhir. Aku juga akan melakukan hal yang sama jika menjadi dirimu. Tidak ada yang dapat kita lakukan atas apa yang terjadi dahulu."

Sesshoumaru pun merengkuhnya.

Ya, benar, tidak ada satu hal pun yang dapat Kagome perbuat. Tempat kejadian berada di luar wilayah otoritasnya. Yang paling utama, lima belas tahun berlalu, rentang waktu kasus itu telah berakhir pada musim gugur beberapa bulan lalu.

Sepintas, polisi wanita itu mempertanyakan dirinya, apakah ia mampu menyerahkan lelaki yang ia cintai untuk diadili? Jawabannya tentu saja, iya. Tanpa mengindahkan segenap perasaan, Kagome pasti memaksa diri untuk menegakkan keadilan. Setelah itu, tak peduli berapa tahun yang dijatuhkan oleh pengadilan, ia akan bertahan dalam penantian. Hingga kekasihnya menghirup udara bebas, ia akan terus menunggu.

Pria berusia tiga puluh dua tahun itu menawarkan pilihan, "Kagome, bila kau ingin menjauh atau ... " ia mengambil jeda sebab kalimat berikutnya sungguh memberatkan, "memutuskan hubungan, Sesshoumaru ini akan menghormati keputusanmu."

Untuk Kagome, perpisahan sama sekali bukan opsi. Sesshoumaru telah membuka diri dengan mengungkapkan tindakan di periode lampau. Tunangannya bersedia menaburkan garam pada luka lama atas nama kejujuran yang ia pinta. Mustahil wanita itu memilih pergi.

Enam tahun yang ia jalani bersama pria itu sungguh berharga. Sudah pasti, ada masa naik dan turun. Saat aral melintang, ia merasa lebih tegar. Rasa aman dan nyaman jua selalu pria itu berikan.

Sebagai wanita dewasa, Kagome tahu apa yang ia mau. Ia tidak akan membiarkan masa lalu mengaburkan visi yang selama ini ia yakini. Wanita itu melerai diri dari rengkuhan hanya untuk berjinjit dan menghadiahkan satu kecupan lembut di bibir kekasihnya.

Kagome menatap Sesshoumaru dalam-dalam, suaranya halus dan sadik, "Yang terpenting sekarang adalah kita bersama." Kedua tangan menangkup pipi prianya. "Di antara kita berdua, tidak ada yang bisa berjanji bahwa masa depan akan selalu indah. Tetapi, aku ingin kau tahu bahwa, selama kau menghendakinya, aku tidak akan pergi dari sisimu, Sesshoumaru."

Dengan kalimat itu, keduanya saling merangkul erat. Tanpa peduli seberat apapun kehidupan, bisa terus berbagi kesenangan maupun kesedihan adalah impian mereka di masa mendatang.

"Omong-omong, apa rahasia yang kau simpan?

"Ah, itu," Kagome melerai diri dan tersenyum canggung.

Setelah belasan detik tidak ada penjelasan, sesshoumaru berucap, "Aku menunggu."

"Kau tidak akan percaya."

Tak rela berjarak, tangan Sesshoumaru melingkar di pinggang wanitanya. "Coba saja."

Kagome memalingkan wajah dan menunduk karena malu. "Kau akan tertawa."

"Aku serius."

Wanita itu menghela napas. Ia mengangkat kepala untuk menatap rekan wicaranya. "Kau ingat Shinshoku Monogatari yang kuceritakan saat pertemuan kedua?"

Sesshoumaru mengangguk. Lantas saja kilas balik cerita itu terbayang di kepala, seorang pendeta shinto yang tanpa sengaja menghancurkan sarang seorang siluman laba-laba. Sejak saat itu, pendeta shinto dan keturunannya, secara mata batin mampu melihat makhluk tak kasat mata dan warna asli darah manusia. Iya, bagaimana mungkin ia lupa pada legenda yang membuat mereka menjalin pertemanan pada awalnya.

Kagome melanjutkan dengan suara rendah, "Sebenarnya, itu adalah riwayat leluhurku ratusan tahun lalu. Kini, kutukan itu melekat padaku. Aku melihat warna darah berbeda dengan manusia lainnya. Ketika baru terlahir, darah manusia seputih susu. Seiring waktu, kian banyak dosa, kepekatan maupun warnanya semakin bervariasi. Beberapa kali, aku bahkan pernah menginterogasi kriminal yang memiliki hitam pekat."

Mengingat tunangan beserta keluarganya lahir dan besar di lingkungan salah satu kuil paling tua di Jepang, tiada perdebatan. Pria itu mengembuskan napas lega, karena rahasia Kagome tidak sekelam miliknya, juga karena ia telah mengeluarkan beban yang selama ini ia pendam seorang diri. Ia memeluk calon istrinya. "Kukira, kau akan berkata bahwa mantan pacarmu puluhan?" ledek Sesshoumaru meskipun ia tahu bahwa ia adalah yang pertama bagi wanita itu.

"Kau akan keberatan jika pacarku puluhan tapi tidak keberatan jika mungkin salah satu anak kita nanti mendapatkan kutukan yang sama denganku?'

"Selama kau tidak keberatan dengan pikiran jahatku pada mereka."

Komentar Kagome berikutnya paradoksal. "Terkadang, aku pun merasa hukum di dunia jauh dari kata adil. Grooming, pedofilia, juga rudapaksa. Para pelaku adalah manusia terburuk, sungguh memuakkan. Mengapa mereka tidak dihukum mati saja?" Setelah menenangkan diri, polisi wanita itu berjanji, "Kita berdua akan melakukan sesuatu untuk mencegah hal mengerikan itu terulang pada anak-anak lainnya. Mungkin kita tidak bisa mengubah banyak hal, tapi setidaknya kita berusaha."

"Kita akan berupaya." Lelaki itu menyanggupi. "Mengenai kemampuan tidak biasamu, menurutku, itu bukan kutukan, melainkan kelebihan."

Persoalan lain terlupakan tatkala Kagome mendengar penerimaan itu, sepasang manik biru kelabu sontak tergenang oleh rasa haru. Kedua tangan merayap ke atas dada bidang sang pria. Ia menyandarkan kepala di bahu calon suaminya. Sesshoumaru mengeratkan dekapan.

Tiada lagi setitik pun keraguan. Selain keluarga, surga terdekat yang pernah dikecap Kagome selalu bersama Sesshoumaru, begitu jua sebaliknya.

"Sesshoumaru, kau tahu apa yang kupikirkan sekarang?"

Pria itu menyebut makanan favoritnya, "Kitsune udon?"

Dalam rangkulan pria itu, si wanita tertawa.

"Hampir benar. Khusus hari ini, aku ingin kake udon. Sederhana, tapi tetap luar biasa," tandas Kagome.

Momen itu amatlah damai. Keduanya menarik udara dalam-dalam, menghirup harum alami kekasihnya, membiarkan perasaan lengkap meresap ke inti sukma.

.

~FIN~


*Era Showa berlangsung 1926-1989

*Shinshoku Monogatari cuma folklor yang kukarang.

Shinshoku = Kannushi = Pendeta Shinto.

Monogatari = Bentuk sastra dalam sastra tradisional Jepang,

*Generasi milenium = lahir awal 1980 hingga awal 2000. Generasi milenium disebut juga generasi Y merupakan generasi yang muncul setelah Generasi X.

Happy holidays, everyone! ^^

23/12/2021