"Kak Neji, hari ini aku tidak makan malam di rumah." Hinata memandang sosok Naruto dengan mobil sport silvernya keluar dari area parkir.
"Naruto-kun mengajakku makan malam. Um, aku mengerti, tidak perlu khawatir ada Sasori-san yang menjagaku."
Setelah mematikan sambungan telpon, Hinata melangkah masuk ke dalam mobil. Usai memastikan Hinata sudah memakai sabuk pengaman, Naruto melajukan mobilnya keluar dari kampus.
Matahari sudah beranjak turun, senja membuat langit berubah merah. Dan ketika keduanya sampai di sebuah restoran, malam sudah sepenuhnya tiba. Naruto membuka pintu mobil, memersilahkan Hinata turun.
Sebuah tempat makan berkelas menjadi pilihan Naruto. Mereka menyediakan ruangan tertutup untuk kebutuhan pelanggan vip. Tempat yang cocok untuk berbicara empat mata, tanpa harus terganggu dengan sekeliling.
Setelah memesan makan malam, dan segelas teh hijau disajikan. Suasana keduanya berubah hening begitu pintu ruangan ditutup. Hinata menyesap pelan minumannya, sebelum menarik napas pelan. Manik perak menatap lurus pada sepasang mutiara biru di depannya.
"Setelah aku pikirkan lagi, memang seharusnya kita perlu bicara." Ujar Hinata tenang, "Tentang perjodohan ini. Aku pikir sebaiknya kita membatalkannya, seperti yang Naruto-kun katakan."
"Eh?" respon bodoh Naruto berikan. Dia mengerjap, tidak menyangka pembicaraan mereka akan dimulai dengan pembatalan perjodohan.
Hinata menurunkan pandangan, menatap pantulan dirinya di permukaan air teh. Kematian orang tuanya meninggalkan bekas luka mendalam. Setiap kali dirinya berpikir, jika dia tetap menetap maka akan membahayakan orang-orang di sekitarnya. Hinata tidak bisa membayangkannya, tubuhnya akan selalu bergetar ketakutan dan cemas.
"Dengan kematian orang tuaku, keputusan kita berdua untuk membatalkan perjodohan di hadapan Paman dan Bibi pasti lebih mudah diterima."
Naruto mengerutkan kening, "Bukankah malah sebaliknya? rasa simpati dan tanggung jawab mereka sebagai orang terdekat keluargamu. Tentu mereka akan menentang pembatalan perjodohan ini."
"Aku akan berusaha meyakinkan mereka," Hinata kembali menyesap teh, menikmati rasa panas turun ke dada. "Lagi pula aku tidak ingin pernikahan tanpa cinta. Aku tidak ingin menggenggam tangan laki-laki yang bersedia di sampingku karena rasa iba."
Hinata tidak bermaksud menikam jantung Naruto dengan perkataannya. Dia hanya mengatakan sejujurnya, apa yang dia rasakan jika perjodohan ini tetap terjadi. Ini adalah satu dari beberapa hal yang telah gadis itu pikiran selama beberapa hari ini.
"Kita hanya memiliki satu hati, Naruto-kun." ucapnya lagi, tersenyum getir, "Apa kau tidak merasa sayang, jika harus memberikannya pada orang yang tidak kau cintai?"
Kedua tangan Naruto mencengkram kuat celananya. Seharusnya dia setuju dengan semua perkataan Hinata. Bukankah sejak awal dia menentang perjodohan ini karena dia tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Hinata. Pria itu hanya menganggapnya sebagai teman masa kecil dan juga adiknya.
Apa yang Hinata katakan benar, dirinya merasa sayang memberikan hidupnya, hatinya, pada perempuan yang tidak dia cintai. Namun mengapa, di sini, di dadanya, ada perasaan sakit ketika Hinata mengucapkannya.
"Apa yang akan dikatakan Neji-san?"
Hinata menaruh kembali cangkir teh, "Kak Neji menerima semua keputusanku selama aku bahagia." dia tidak berbohong, hari itu ketika sang kakak mempertanyakan hubungan mereka berdua. Dan ketika dirinya memberikan jawaban tegas mengenai salah satu cara untuk terlepas dari para manusia bulan.
'Aku mencintainya, sangat. Tapi aku tidak ingin orang lain terluka demi kebahagiaanku. Aku tidak ingin Naruto-kun menjadi korban dari keegoisanku.'
Hinata membuka kembali mata yang entah sejak kapan tertutup. Dia beranjak dari duduk, menyampirkan tas pinggang di bahu. Naruto ikut berdiri, terkejut melihat gadis itu hendak pergi sementara makanan mereka belum datang.
"Kau mau kemana?"
"Pembicaraan kita sudah selesai, kan?"
Naruto menggeleng, "Setidaknya mari kita makan malam bersama. Aku akan mengantarmu pulang,"
Hinata menggeleng pelan, dia tersenyum tipis. "Aku sudah janji dengan Kak Neji untuk makan malam bersama." Manik perak itu lalu menatap dalam, mungkin ini adalah terakhir kalinya mereka bertemu, saling berbicara serius seperti ini. Maka bukankah lebih baik, Hinata mengutarakan perasaannya.
"Naruto-kun," panggilnya pelan. "Terima kasih untuk selama ini, semoga Naruto-kun menemukan wanita baik di sisimu."
Untuk terakhir kalinya, Hinata tersenyum lebar mencoba menahan air mata yang hendak tumpah.
"Selamat tinggal!"
...
Langkah kaki bertalu pelan, menuju sebuah taman tidak jauh dari restoran sebelumnya. Hinata duduk di bangku panjang, menunduk, lalu tetesan air jatuh membasahi punggung tangan. Dari sepasang mutiara, hujan itu berasal turun dengan derasnya.
Hinata mengusap mata dengan kedua tangan, pundaknya bergetar menahan isak. Lalu seakan dunia turut bersedih, gerimis hadir menemani. Sebelum seluruh tubuhnya basah, sebuah payung menutupi tubuhnya.
Menyadari itu, dia mendongak, sempat berharap Naruto lah yang hadir. Namun ketika maniknya bertemu dengan sepasang batu coklat madu. Hinata kembali terisak, menyadari kebodohannya.
"Sasori-san."
Apa yang Hinata harapkan, ketika hatinya sudah bertekad untuk menyerah. Pada akhirnya hati ini menjerit mencintai dia. Naruto adalah cahaya baginya, dia yang menarik dan membawa Hinata ke dunia luar.
"Aku mencintainya," seperti kutukan, dia mengulang, berbisik pada sang hujan.
"Aku mencintainya, sangat." Setiap perlakuan lembut dan perhatiannya. Setiap canda tawa yang mereka lontarkan satu sama lain. Setiap kenangan berharga selama hampir sepuluh tahun lamanya. Semua itu harus Hinata relakan.
"Karena aku mencintainya, ta-tapi aku harus melepaskannya."
Melepaskan adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan lapang dada. Setelah mampu menerimanya dengan tulus bahwa perpisahan adalah yang terbaik. Dengan hati terluka, Hinata memaksa untuk ikhlas berdiri di ujung jalan. Dia menangis, mencurahkan seluruh perasaannya, meluapkan rasa cinta yang telah dia pendam sepuluh tahun lamanya.
Selamat tinggal pada cinta pertamanya.
Sasori masih setia berdiri di samping Hinata, memayungi sang gadis dari gerimis yang kian deras. Mendengarkan tangisan pilu dan ikut merasa sakit di hati. Berharap setelah ini pelangi akan muncul ketika hujan reda. Senyuman hangat lebih cocok di wajah Hinata ketimbang air mata.
Jika saja bibir ini tidak terkatup rapat, Sasori ingin berbisik di telinga Hinata. Mengatakan bahwa sang tuan cantik, sangat cantik ketika tersenyum. Janganlah menangis, janganlah bersedih, karena dirinya lebih baik tersenyum daripada seperti ini.
Suara genangan air beriak terdengar, langkah kaki berhenti tepat di seberang jalan. Manik biru laut itu terpaku, napasnya tesengal, namun dadanya lebih sesak bukan karena habis berlari. Pemandangan di depan sana lebih mengiris hati.
Naruto berlari, mengejar Hinata setelah berpikir lama. Dia tidak ingin berpisah, tidak dengan cara seperti ini. Dirinya tidak mau jika hubungan selama sepuluh tahun retak begitu saja. Dia tahu ini egois, dia yang meminta perjodohan ini berakhir, namun tidak dengan hubungan yang telah terjalin lamanya.
Tapi ketika dia tiba, melihat Hinata tengah menangis dan ditemani seorang pria, dirinya seakan lupa bernapas. Hujan terus menghujam seluruh tubuhnya, membuat dirinya basah kuyup. Rasa dingin angin malam dia hiraukan.
Matanya terpaku, bersama seruan di benak. Ingin berseru pada dunia, membelah langit malam. Meninju pria asing yang berdiri di samping sang gadis. Meneriaki wajah laki-laki itu dan mengklaim bahwa hanya dirinya seorang yang pantas berada di sisi Hinata. Namun tangannya mengepal, menyadari kebodohannya selama ini.
Kita hanya memiliki satu hati, pilihan apa yang akan kau buat nantinya. Memberikannya pada orang yang tepat, atau menyimpannya sendiri.
Naruto memilih memendam sementara Hinata memberikannya yang berakhir membuat hatinya hancur berkeping-keping.
...
Dua buah cangkir kopi panas sudah hampir dingin, tidak tersentuh oleh mereka yang duduk berhadapan di ruangan sebuah kantor megah di pusat kota Tokyo. Neji menyipitkan mata, menekan pelan pangkal hidungnya. Berusaha mengenyahkan sakit kepala yang mendera.
"Jadi Hinata sudah bilang," menghela napas pelan, Neji tersenyum masam. "Pembicaraan kita tidak akan lama jadinya. Aku akan mengatur pertemuan keluarga Hyuuga dan Namikaze secepatnya."
Naruto bergeming, tidak banyak bicara semenjak dia datang ke kantor Neji dari setengah jam yang lalu. Manik ametis memerhatikan, bagaimana pria matang di depannya tengah melamun. Neji menjentikkan jari, menarik perhatian tunangan adiknya.
"Kau kepikiran?"
Manik samudra mengerjap, "Tidak, ah-bukan, maksudku..."
"Sudahlah, kau tidak perlu sungkan," Neji mengibaskan tangan, duduk bersandar sambil melipat kaki. "Aku tahu hubungan kalian lebih mirip adik-kakak, dan soal perasaan lebih condong ke Hinata."
Raut wajah Naruto berubah, kedua tangannya meremas pelan celana bahan lalu menggaruk tengkuk. Kebiasaannya ketika sedang gugup dan bingung. Neji tersenyum miring, sebaiknya dia memberikan sedikit dorongan, sebagai seorang yang paling tua di sini.
"Kau yakin tidak punya perasaan apa-apa pada Hinata?" mulai Neji, "Adikku itu cantik, manis, lucu, dan juga-" kedua tangannya berayun di depan dada. "besar, lho!"
Naruto berdecak pelan, "Aish! Bisa-bisanya kau melecehkan adikmu sendiri, Neji-san."
Pria berusia tiga puluh tahun itu terbahak, "Aku hanya bicara fakta, Hinata sempurna. Apa lagi yang kurang sampai kau tidak bisa melihatnya sebagai perempuan?"
"Entahlah!" Naruto mengakui, "Aku sendiri tidak tahu, bersama Hinata sudah seperti hal yang wajar. Bercanda maupun bertengkar dengannya, malah membuatku melihat dia sebagai adik manis, tidak lebih."
"Baiklah," Neji mengangkat tangan, seakan menyerah.
"Seperti almarhum ayah, aku berharap kau bisa menjaga Hinata. Mencintai dan melindunginya saat kami tidak ada." Manik ametis itu menatap lurus pada samudra di depannya. "Tapi kalau kalian memang tidak bisa bersama, aku harus meminta Sasori untuk menjaga Hinata untukku."
"Sasori?" Naruto membeo, menatap Neji menuntut ingin tahu. "Kau sudah ada penggantiku? wah, cepat sekali!"
Neji tersenyum tipis mendengar sindiran halus Naruto. "Tentu saja, adikku itu populer, banyak pria mengantri ingin meminangnya. Kandidat suami Hinata bukan cuma kau saja, pirang!"
Naruto berdecak pelan, raut wajahnya berubah buruk. Dalam hati Neji terbahak, puas memanasi hati sang pria. Ketika suara ketukan pintu terdengar, bersama suara yang dikenalnya, Neji semakin menyeringai.
"Masuklah, Sasori-san."
Benar saja, ketika pintu terbuka dan sosok pria berambut merah muncul. Wajah Naruto berubah keruh, karena dia yakin bahwa Sasori adalah pria yang bersama Hinata malam itu.
.
.
.
Continue...
