"Neji-sama, Anda memanggil saya?" tanya Sasori begitu berdiri di depan atasannya. Manik coklatnya sempat melirik ke arah Naruto. Menyapa sekilas lalu mengacuhkannya.

Sementara Naruto menatap pria di depannya hampir melotot. Maniknya mengerjap beberapa kali dan memastikan kembali bahwa memang dia, pemuda yang berdiri disamping Hinata kemarin malam. Neji menahan senyum, sepertinya dia memang harus sedikit menyalakan api. Selama ini adiknya terlalu memuja dan mengejar pewaris Namikaze. Mungkin dengan ini, calon adik iparnya lebih paham mengenai perasaannya.

"Ada yang ingin aku bicarakan soal Hinata," Neji memulai dan berhasil menarik perhatian Naruto. "Sebelumnya bagaimana kabar adikku?"

Sasori melirik sekilas ke arah Naruto sebelum menjawab. "Kondisi Hinata-sama tidak terlalu baik, dia kesulitan tidur, dan suasana hatinya buruk."

"Hinata sakit?" Naruto menyela, kaget mendengarnya.

"Tapi Anda tidak perlu cemas, beliau sosok yang kuat." Sasori kembali berujar, mengacuhkan Naruto. "Hinata-sama hanya butuh waktu untuk sendiri."

Neji mengangguk kecil, manik ametisnya beberapa kali memerhatikan sikap Naruto dan Sasori. Dia langsung menyadari bahwa ada sesuatu di antara mereka berdua. Namun bukankah ini kali pertama mereka bertemu?

"Aku percayakan Hinata padamu, Sasori-san." Neji tersenyum tipis, memberi sedikit dorongan terakhir untuk memancing Naruto. "Dan tolong beritahu adikku, lusa ada acara makan malam dengan keluarga Namikaze."

"Kenapa tidak kau saja yang memberitahunya, Neji-san?" Naruto kembali menyela, setelah sempat diam sejak omongannya tidak ditanggapi Sasori. Keningnya mengerut samar, "Atau biar aku saja kasih tahu."

Neji mengangkat bahu, "Terserah, kalau kau yang mau beri tahu."

Senyum di wajah kepala klan Hyuuga terlihat menyebalkan di mata Naruto. Namun ada yang lebih membuatnya jengkel, yaitu kepercayaan yang Neji berikan pada pria asing di sampingnya. Manik samudra melirik tidak suka, dia tidak rela jika Hinata dekat dengan pria yang tidak dikenalnya.

...

Sasori menutup pintu ruangan Neji, baru saja mereka selesai membicarakan perihal penjagaan Hinata. Dia melangkah menjauh, mata coklatnya menangkap sosok Naruto yang tengah bersandar pada dinding dengan kedua tangan di dalam saku celana.

Neji lebih dulu meminta Naruto untuk pergi, namun pria pirang itu memilih menunggu di luar. Dia ingin bicara empat mata dengan 'pria asing' yang telah mendapatkan kepercayaan direktur muda klan Hyuuga. Setelah Sasori tepat di depannya, Naruto menghadang dengan senyum ramah.

"Hei, bisa minta waktunya sebentar?"

Sasori tidak langsung menjawab, dia menatap beberapa detik seakan tengah menilai sebelum menunduk singkat. "Maaf, saya tidak ingin membuat Hinata-sama menunggu lama."

Tolakan halus dengan Hinata sebagai alasan, malah memancing emosi Naruto. Sudut pelipis pemuda pirang berkedut kesal, namun senyum masih terjaga di wajah.

"Ini tidak akan lama, lagi pula sekarang masih jam kuliah Hinata." Dia memberi penekanan di akhir kalimat, seakan ingin memberitahu bahwa Naruto lebih tahu jadwal Hinata ketimbang Sasori. "Jadi semenit dua menit tidak akan membuat Hinata marah karena menunggu."

Manik coklat dengan tatapan sayu itu menatap datar Naruto. "Apa yang bisa saya bantu?" akhirnya dia mengalah, tidak ingin membuat keributan juga di depan ruangan atasannya.

"Sudah berapa lama kau mengenal Hinata dan Neji-san?"

"Sekitar tiga sampai empat minggu."

Naruto mengerutkan kening mendengar jawaban singkat Sasori. Dalam waktu sesingkat itu Neji memercayai pria di depannya. Membuat sang pemuda pirang heran, mengingat klan Hyuuga bukan tipe yang mudah percaya dengan orang asing.

"Bagaimana kau bertemu dengan Hinata dan apa hubungan kalian berdua?"

Sasori kembali tidak langsung menjawab, mata coklat itu lagi-lagi menatap lekat samudra di depannya. Dengan raut datar tanpa ekspresi, membuat Naruto sulit membaca pikiran pria berambut merah.

"Apa untungnya Anda mengintrogasi saya?" Sasori bertanya balik, "Hubungan saya dengan Hinata-sama tidak ada urusan dengan Tuan." sambungnya lagi dengan tegas.

Jawaban Sasori jelas membuat Naruto berdecak pelan, "Tentu ada hubungannya, aku ini tunangan Hinata. Jadi jelas aku perlu tahu siapa saja yang dekat dengan calon istriku."

Seketika raut datar Sasori pecah, tawa kecil dengan seringai tipis menghiasi wajah pria berwajah manis ini. Namun detik kemudian dia kembali berwajah datar dan dingin. "Bukankah Hinata-sama jelas mengatakan, bahwa pertunangan kalian berdua dibatalkan?"

Seketika Naruto tersentak pelan, tidak menyangka masalah pribadi antara keluarga Hyuuga dan Namikaze sampai diketahui. Raut wajah pemuda pirang berubah keruh, dia melangkah maju, menatap sengit Sasori.

"Pertunangan kami belum dibatalkan."

Sasori mengangkat alis, "Kau sedang membantah karena cinta, atau gengsi?"

Lagi pria berambut merah itu membungkam Naruto dengan kata-katanya. Sasori menghela napas pelan, kali ini dia yang berubah garang. "Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Hinata-sama. Baik fisik maupun hati lembutnya."

Sasori melangkah, melewati Naruto sambil mendorong kasar pundak pemuda pirang. Meninggalkan pewaris Namikaze bergeming di tengah lorong bersama pikirannya sendiri.

Di depan pintu mobil sedan berwarna hitam, Neji berdiri dengan pakaian semi formal. Celana hitam, kemeja dan sepatu kulit abu-abu, tengah menunggu Hinata. Sesekali dia melihat jam tangan mahal di pergelangan tangan, memastikan mereka tidak akan terlambat ke acara makan keluarga.

"Maaf menunggu, Kak," ujar Hinata begitu muncul dari balik pintu rumah.

Gadis berusia dua puluh tahun itu tampil menawan dengan gaun dibawah lutut, tanpa lengan, bercorak gradiasi warna seperti langit malam menjelang pagi. Leher jenjangnya terlihat jelas, karena rambut panjangnya ditata sedemikian rupa.

Di sampingnya Sasori berdiri, membantu putri Hyuuga menghampiri sang kakak sebelum akhirnya melepaskan gandengan tangan.

Neji bersiul nyaring, menggoda adiknya. "Seingatku kita akan membatalkan pertunanganmu, bukan malah menikahkan kalian hari ini juga."

"Pantang bagi wanita berpisah dalam keadaan tidak cantik." Hinata tersenyum lebar, "Sampai akhirpun akan kubuat Naruto mengingatku sebagai wanita menawan."

Neji mengangguk setuju, "Naruto memang buta karena tidak bisa melihat kecantikanmu, Hinata. Benarkan, Sasori-san?"

"Benar sekali, Tuan."

Kepala klan Hyuuga terbahak mendengar jawaban cepat Sasori, sementara itu kedua pipi Hinata sudah bersemu. Mereka berdua segera memasuki mobil, malam ini Neji memilih membawa sendiri kendaraannya, hitung-hitung agar bisa mengobrol santai dengan sang adik.

Setelah melihat kendaraan besi itu hilang di perempatan jalan, Sasori segera menyusul, melompati atap-atap rumah dengan kecepatan luar biasa.

Di dalam mobil yang melaju membelah jalanan kota Tokyo, Neji memutuskan untuk membicarakan hal serius pada Hinata. Terutama membujuk sang adik mengenai solusi menghadapi para manusia bulan.

"Hinata, bagaimana menurutmu tentang Sasori-san?"

Sejenak gadis itu terdiam, sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang kakak. Tidak lama kemudian Hinata menjawab, "Awalnya kupikir dia sulit didekati, karena rautnya yang datar dan pendiam. Tapi ternyata orangnya ramah, baik, dan menyenangkan."

"Kau nyaman dengannya?" Neji kembali bertanya.

Hinata mengangguk tidak yakin, "Aku tidak tahu, mungkin iya."

"Kalau kau melakukan perjanjian darah dengannya, bagaimana?"

Hinata bungkam, dia melirik sang kakak lalu menghela napas pelan begitu menyadari ujung dari pembicaraan ini. "Aku sudah bilang, masalah ini jangan sampai melibatkan orang lain selain keluarga Hyuuga. Karena itu pula alasanku kenapa membatalkan pertunangan ini. Mengapa Kak Neji malah menunjuk Sasori-san?"

"Aku pikir salah satu alasan kenapa kau tidak mau melakukan perjanjian darah, karena tidak ingin orang yang kau cintai menderita. Jadi aku pikir tidak masalah jika itu Sasori-san. Dia pengawal pribadimu, bertugas untuk melindungimu. Tugas yang selama ini ingin Ayah dan aku harapkan Naruto yang mengembannya."

"Kalau begitu mengapa tidak kita lakukan saja," Hinata berujar ketus. "Perjanjian darah, aku dan Kakak, masalahpun beres."

Neji tertawa kecil, dia menggelengkan kepala. "Tidak bisa, kalau perjanjian darah dilakukan sesama Hyuuga maka berakhir tabu. Sama saja seperti kita berdua menikah, incest, eww~"

"Nah, Kak Neji sendiri yang bilang kalau perjanjian darah adalah ritual sakral, sama seperti sebuah pernikahan. Jadi mana mungkin aku melakukannya pada sembarang orang."

"Tapi ini keadaan darurat, Hinata." masih belum menyerah, Neji berusaha merayu sang adik. "Siapa tahu dengan melakukan ritual, vampir sialan itu menyerah dan kembali ke bulan. Apa kau berniat untuk bersembunyi, terus melarikan diri, seperti rencanamu pergi ke luar negeri setelah pertunangan ini batal?"

Sejenak keheningan melanda di antara mereka berdua. Neji melirik sekilas, melihat sang adik tengah berpikir keras. Mereka sudah membicarakan ini berulang kali. Pilihan Hinata hanya ada tiga, terus melarikan diri, melawan langsung, atau memaksa para vampir mundur dengan perjanjian darah.

Tanpa mereka sadari, mobil sedan telah sampai di depan loby restoran bintang lima. Neji menarik rem tangan, untuk terakhir kali sebelum keduanya memasuki tempat makan. Pria matang itu berujar pelan pada adiknya.

"Aku lebih tenang jika ada seseorang di sampingmu."

.

"Hinata-chan!" Kushina menyambut kedatangan putri Hyuuga dengan senyum menawan. "Kau seperti dewi bulan malam ini," pujian tulus itu ditanggapi calon menantunya dengan senyum malu.

"Terima kasih, Bibi juga tidak kalah cantik." Hinata balas memuji, lalu menyapa Minato yang beranjak dari duduknya. "Malam, Paman Minato."

Minato tersenyum tipis, dari sinar matanya dapat dipastikan dia mengetahui alasan acara makan malam ini. Namun beliau tidak banyak bicara, sambil membalas pelukan Hinata, dia mengusap pelan puncak kepala dan mencium kening sang gadis.

"Ayo, duduk! Paman sudah memesan semua makanan kesukaan Hinata dan Neji."

Setelah menarik kursi untuk sang adik, Neji duduk sambil tertawa santai. "Wah, Paman masih ingat dengan makanan kesukaan kami? padahal terakhir kali kita makan bersama tahun lalu."

"Tentu saja!" Kushina ikut menimpali, "kita kenal bukan sebulan dua bulan, tapi belasan tahun!" wanita berambut merah dengan gaun malam itu menggenggam tangan Hinata yang duduk di sampingnya. "Dan kita akan terus bersama, benarkan, sayang?"

Senyum hangat Hinata berubah getir saat itu juga, dia tidak mampu menjawab. Neji tertawa, mencoba menutupi suasana canggung. Begitu pula Minato dengan tanggap mengalihkan pembicaraan.

Semua orang di ruangan mengetahui alasan acara makan malam ini, kecuali Kushina. Tidak ada yang sanggup memberitahunya, mengingat wanita paruh baya itu adalah orang paling bahagia ke-dua setelah Hikari mengenai pertunangan ini.

.

.

.

Continue...

A/N mau nangis pas ngetik bagian terakhir TT_TT