Lima belas menit berlalu sejak Naruto duduk di ruang makan VIP restoran bintang lima, menunggu kedatangan Hinata dan Neji. Duduk di belakang meja makan bundar bersama kedua orang tuanya di sisi kanan. Tanpa dia sadari, jari telunjuk mengetuk meja berulang kali. Pikirannya masih melalang buana, memikirkan pertunangan ini, dan juga perasaannya. Sudah sejak kemarin dia selalu mempertanyakan dirinya.
Bukankah ini yang dia inginkan?
Pertunangan yang tidak Naruto harapkan, semua karena keegoisan orang tua mereka. Dia masih ingin mengejar karir, ingin bebas tanpa terikat, dan lelah dengan sikap Hinata yang terlalu memerhatikannya layaknya pasangan.
'Aku ingin membatalkan pertunangan kita.'
Namun mengapa ketika kalimat itu diucapkan Hinata, hatinya berubah gundah.
"Hinata-chan!"
Suara Kushina menyadarkan Naruto dari lamunan panjang, hanya untuk terpaku pada keindahan di depan mata. Manik samudra tidak kunjung berkedip, menatap sosok Hinata dengan balutan gaun panjang di bawah lutut.
"Kau seperti dewi bulan malam ini," perkataan sang bunda mewakili perasaan Naruto ketika melihat Hinata.
Rambut panjang sewarna langit malam, terlihat lembut berkilau diterpa cahaya. Manik perak serupa bulan dengan tatapan teduh. Bibir tipis dipoles serupa buah cheri, terlihat ranum. Lehernya jenjang seputih gading dengan kalung emas putih berbandul batu permata ametis.
Apakah Hinata memang secantik ini?
Selama acara makan malam, Naruto tidak banyak bicara, diam membisu dengan atensi selalu mencuri pandang ke arah Hinata. Setelah selesai makan malam, Minato berdehem pelan, memaksa fokus sang pemuda kearah kepala keluarga klan Namikaze.
Minato melirik sekilas ke arah Neji, memberi isyarat bahwa sudah saatnya masuk ke dalam pokok permasalahan. Mengangguk paham, kepala keluarga klan Hyuuga menaruh cangkir teh dan berdehem pelan.
"Sebenarnya ada alasan mengapa kami mengundang kalian untuk makan malam hari ini," ucap Neji memulai, di sampingnya Hinata sudah menunduk dengan wajah ditekuk.
"Kami ingin meminta maaf kepada pihak keluarga Namikaze."
Kakak beradik Hyuuga dengan kompak membungkuk dalam, di hadapan keluarga calon mempelai laki-laki. Kushina membulatkan kedua mata, menoleh ke arah suami dan putranya. Melihat tatapan yang diberikan dua laki-laki itu membuat sang wanita menutup mulut tidak percaya.
"Kami ingin membatalkan pertunangan antara Naruto dan Hinata," ujar Neji setelah kembali duduk tegak. "Masalah ini sebelumnya sudah dibicarakan baik-baik oleh mereka berdua, sebelum keputusan akhir dibuat."
"Ta-tapi mengapa?" Kushina akhirnya bersuara, tidak terima. "Sebenarnya ada masalah apa dengan kalian berdua, sampai-sampai-"
Wanita paruh baya itu menoleh, memukul lengan sang putra. "Apa yang sudah kau lakukan?" tanyanya dengan tatapan menusuk. "Kau pasti sudah berbuat sesuatu sampai Hinata membatalkan pertunangan ini, benarkan?! apa kau selingkuh?! jawab Namikaze Naruto!"
Sang pemuda pirang hanya diam, menerima pukulan dari wanita yang telah melahirkannya. Dirinya pasrah menerima walau nyatanya sudut hati ikut tercubit. Tidak menyangka akan sesakit ini, dan merasa bersalah telah mengecewakan semua orang.
Minato segera menahan tangan istrinya, mencoba meredakan amarah Kushina. "Sayang, jangan seperti ini! Kita bisa bicarakan baik-baik, bukannya langsung menuduh Naruto sebelum dia bicara."
"Benar, Bibi," Hinata ikut menimpali. Dia segera meraih tangan Kushina, mengusapnya lembut dengan tatapan sendu. "Ini semua murni dari keputusanku."
Kedua mata Kushina berkilat, setetes air mata jatuh di pipi. Dia membalas genggaman Hinata, mencoba memperbaiki keretakan hubungan dari keduanya. Meski sampai saat ini wanita paruh baya itu bahkan tidak tahu apa yang terjadi, sampai kenyataan menamparnya begitu saja.
"Apa yang salah, Hinata-chan? tolong beri anak bibi kesempatan kedua, kami akan coba memperbaikinya."
Hinata menggeleng lemah, tersenyum kecut. "Maafkan Hinata, semua ini karena aku tidak bisa menjaga hatiku."
Perkataan sang gadis menarik atensi sang pria, Naruto memandangnya, dan dibalas oleh sepasang rembulan. Mereka bersitatap seperkian detik, sebelum Hinata memutuskan kontak mata, dan mengakui perasaannya.
"Aku jatuh cinta pada pria lain."
.
.
Keheningan menyelimuti ruangan, Naruto terpaku, seakan lupa caranya bernapas. Tiba-tiba dirinya teringat sosok pria berambut merah, yang berapa kali terlihat di samping Hinata. Dia sontak berdiri, membuat kursi jatuh dengan suara keras. Semua mata tertuju ke arahnya, melihat raut wajahnya berubah merah menahan amarah.
"Bohong!" cetus sang pemuda, menatap lurus pada rembulan di depan mata. "Kau tidak mencintai pria lain, tapi karena aku tidak mencintaimu. Kau menyerah, Hinata!"
Semua orang terkejut, kecuali Hinata. Apa yang selama ini dia sembunyikan sampai akhir, pada akhirnya terungkap oleh mulut Naruto sendiri. Kedua matanya memanas, ingin menangis saat itu juga.
Pengakuan Naruto seketika menampar semua orang kecuali Hinata. Selama ini mereka mengira bahwa tidak ada yang salah, Naruto dan Hinata saling mencintai. Namun siapa sangka, bahwa selama ini hanyalah ilusi belaka.
Kushina mengepalkan tangan, air mata kembali jatuh, merasa kecewa, sedih, dan marah diwaktu bersamaan. Hatinya ikut terluka, ketika membayangkan dirinya menjadi Hinata, yang selalu mengejar, memuja putranya, sementara perasaannya tidak pernah terbalas.
"Naruto, kau—"
BOOM!
Tidak cukup dengan kejutan dari Naruto, tiba-tiba saja sebuah suara keras dari ledakan terdengar. Tidak lama langit-langit ruangan runtuh, membuat panik dua keluarga inti perusahaan besar.
"HINATA!"
Naruto segera menarik Hinata, melindungi gadis itu dengan tubuhnya, menjadikan punggungnya sebagai tameng.
...
Malam semakin larut dengan bulan penuh di atas langit. Setitik bayangan di tengah-tengah bulan terlihat, sebelum semakin lama semakin jelas. Sesosok pria berambut abu-abu panjang dengan mantel hitam menutupi seluruh tubuh.
Mata perak memerhatikan sebuah gedung tinggi. Dia menarik napas, mencium aroma manis yang dikenalnya. Aroma khas dari keturunan Putri Kaguya, dan calon ratu bagi klan Otsutsuki. Malam ini adalah malam perjanjian ke-dua, Momoshiki sangat berharap dapat membawa pulang pasangan sang pangeran mahota.
Tangannya terangkat, memerlihatkan sebuah bola hitam berkilat. Dia lalu menjatuhkannya ke atas gedung bertingkat di bawah kaki. Benda itu terjun bebas, membelah udara, menciptakan percikan api, sebelum menghantam keras bangunan dan meledak.
Kekuatan ledakan dari bola hitam itu setara dengan bom rakit yang dapat menghancurkan separuh bangunan. Setelah kepulan asap perlahan menghilang, Momoshiki dapat melihat isi bangunan yang telah hancur separuh.
DI sana, dibalik pundak lebar seorang manusia, calon ratu menatapnya dengan kilatan amarah.
...
Kepulan asap perlahan memudar, suara erangan, teriakan dan tangisan terdengar dari berbagai arah. Keadaan saat itu benar-benar kacau, disertai kepanikan. Minato menggeser sisa reruntuhan dinding, mengecek keadaan Kushina dalam pelukannya. Setelah memastikan istrinya baik-baik saja, pria paruh baya itu melihat sekeliling.
Neji muncul dari bawah meja, sementara Naruto tidak jauh darinya bersama Hinata dalam pelukan. Minato bernapas lega, dia lalu membantu Kushina untuk berdiri dan mendekati putranya.
"Kalian terluka?"
Naruto mengerang pelan, punggungnya seakan mati rasa. Dia menggeleng menjawab sang ayah, lalu menoleh pada Hinata. Pria itu membersihkan debu yang menempel di pundak, baju dan kepala sang gadis. Dia juga mengecek apakah ada luka tanpa memedulikan bahwa keningnya sendiri sudah baret dan mengeluarkan darah.
"Kau baik-baik saja, Hinata?" tanya Naruto cemas.
Namun sang gadis tidak menjawab, bergeming sambil menatap ke satu arah. Ketika Naruto melihat ekspresi Hinata, dia tertegun. Manik rembulan yang selama ini selalu terlihat ramah, teduh kini berkilat penuh amarah. Sontak Naruto segera mengikuti arah tatapan Hinata, mencari sumber dari api yang berkobar di sepasang manik indah sang gadis.
Saat itulah ia menemukan sosok asing di atas langit, membelakangi bulan purnama. Naruto mengerjap, wajahnya berubah pucat, apakah dia baru saja melihat hantu?
"Hinata!" panggilan Neji serta sentuhan di pundak berhasil menyadarkan Hinata. Mereka berdua sontak saling tatap, sang kakak memberi isyarat pada sang adik. Lalu mempertegas dengan kalimat perintah. "Kita harus pergi!"
Hinata menoleh kembali ke arah Momoshiki, sebelum menghela napas pelan. Kedua tangannya sudah mengepal, gemas ingin menarik pelatuk dual gun miliknya dan melubangi kepala vampir beruban itu. Dia lalu mengangguk pada Neji, menoleh pada Minato dan Kushina.
"Paman, Bibi, kita harus mengungsi!"
Momoshiki memerhatikan sosok Hinata yang mulai bergerak, bersama dengan beberapa manusia mengikuti. Keningnya mengerut samar, apakah kali ini pun sang ratu menolak pulang. Keningnya berkedut kesal, dia tidak ingin berada di bumi lebih lama lagi.
Pria itu mulai menjatuhkan diri, terjun bebas menuju restoran bintang lima yang hampir rubuh. Malam ini Momoshiki akan membawa sang ratu pulang, meski memaksanya sekalipun.
.
Hinata bersama yang lain menuruni tangga darurat menuju lantai dasar. Ketika sedikit lagi mereka akan keluar dari bangunan, sebuah ledakan kembali terjadi. Dinding langit-langit rubuh, memisahkan mereka menjadi dua kelompok.
Naruto terbatuk keras dan matanya perih akibat debu yang bertebaran di depan wajah. Ketika pandangannya kembali jernih, dia tersentak menyadari Hinata tidak ada di sampingnya. Padahal sejak mereka menuruni tangga darurat, Naruto terus menggenggam tangan Hinata. Dia lalu segera berbalik, melihat sebuah tembok yang tercipta akibat reruntuhan.
"Hinata!" teriak Naruto keras, "Kau ada di sana, Hinata? apa kau bisa mendengarku?!"
"Naruto-kun!" sahutan Hinata di balik tembok membuat Naruto bernapas lega. "Aku baik-baik saja, pergilah lebih dulu, aku akan menyusul."
Pemuda pirang itu tersentak mendengarnya, "Apa kau gila?! aku akan mengeluarkanmu dari sana!" dia lalu segera meraih bebatuan satu persatu, hendak membuat celah untuk Hinata.
"Hinata, kau baik-baik saja?!" kali ini Neji yang berteriak keras, sementara Minato dan Kushina berusaha membantu Naruto menyingkirkan reruntuhan.
"Aku baik-baik saja, Kak!" Dari suaranya, Neji tahu bahwa adiknya tidak hanya baik-baik saja. "Kalian harus segera pergi sekarang juga!" dan perintah itu mempertegas segala kemungkinan yang berputar di kepala pria matang itu.
Neji segera menarik pundak Naruto dan Minato bersamaan, "Kita harus pergi dan memanggil bantuan," ucapnya tegas. "Adikku baik-baik saja!" sambungnya memotong bantahan yang akan dikeluarkan Naruto.
Setelah berhasil mengajak keluarga Namikaze untuk memanggil bantuan, Neji menoleh ke arah dinding di mana sang adik berada. "Bertahanlah, Hinata!"
"Tentu saja, Kak Neji."
Manik rembulan berkilat berbahaya, menatap tajam sosok pria bermantel hitam yang melayang di depannya. Momoshiki memerhatikan Hinata dengan raut dingin sebelum mengulurkan tangannya.
"Aku datang menjemputmu, Yang Mulia."
.
.
.
Continue...
Kejutan, chapter baru aku update hari ini. Semoga Suka :)
