Di luar gedung sudah datang dua mobil pemadam kebakaran dan ambulan. Naruto membantu kedua orang tuanya mendapatkan pertolongan. Seorang anggota medis segera memeriksa keadaan Kushina yang lemas. Wanita paruh baya itu sesak napas akibat debu dan juga mengalami syok ringan.

Minato berada di samping istrinya, mengusap lembut punggung Kushina sambil memakaikan selimut. Naruto menghela napas lega, ia lalu menoleh mencari sosok Hyuuga Neji yang entah sejak kapan sudah menghilang.

"Di mana Neji-san?"

Saat mencari sosok dari Kepala Keluarga klan Hyuuga, manik samudra menangkap sosok tidak asing berambut merah. Seorang pria muda dengan pakaian serba hitam. Sasori berada di tengah kerumunan, menatap cemas gedung di depannya. Dia bergerak cepat, melewati kerumunan massa dan masuk ke dalam gedung tanpa diketahui pihak keamanan.

Tanpa berpikir dua kali, Naruto menyusul Sasori dengan perasaan berkecamuk. Dia tidak peduli dengan teriakan petugas keamanan, sang pemuda menerobos masuk ke dalam gedung. Menaiki tangga, menghindari beberapa reruntuhan, hingga dia sampai di lokasi Hinata terpisah dari mereka.

Ledakan kecil kembali terjadi, debu mengepul pekat. Naruto terbatuk, mengibaskan tangan agar pandangannya lebih jelas. Dinding penghalang sudah tidak ada di depan mata, berganti dengan pemandangan yang mengejutkan laki-laki berusia dua puluh lima tahun.

Sosok Hinata berdiri tidak jauh dari Naruto, ujung gaunnya hangus seperti habis terbakar, dan robek panjang hingga memperlihatkan paha mulusnya. Sebuah holster paha berwarna hitam terlihat di sela-sela robekan gaun.

"Hi-?!"

"HINATA-SAMA!"

Seseorang mendahuluinya lagi, Naruto melihat pria yang dia kejar menghampiri Hinata. Sasori menghela napas lega, melihat kondisi tuannya baik-baik saja. Keningnya mengerut samar melihat segores luka di bawah mata Hinata dan sontak dia menyentuhnya.

Manik mata rembulan semula melihat ke arah lain, ketika tangan Sasori menyentuhnya, manik itu bergulir tajam. Dua pasang mata berbeda warna saling tatap, dengan suara jantung bergemuruh di satu sisi.

"Aku tidak akan mati sebelum membunuhnya," Hinata berkata seakan mengerti maksud dari tatapan Sasori.

Pria itu menarik tangan, mengeluarkan dua kunai, dan tersenyum miring. "Kali ini saya tidak akan menghentikan Hinata-sama, tapi izinkan saya untuk membantu Anda."

Tanpa menunggu jawaban, Sasori lebih dulu melompat, pria itu mempersempit jarak dan mengayunkan kunai, siap menghunus Momoshiki. Pria berambut putih bergerak ke samping, menghindar, lalu tersentak saat Hinata sudah berada di depannya. Gadis itu mengarahkan dua moncong pistol peraknya, menembak dengan target kening Momoshiki.

Mahluk bulan berputar, berhasil menghindar beberapa senti. Mantel hitam yang dia kenakan sudah dipenuhi lubang akibat tembakan beruntun Hinata. Dia lalu melepaskannya, memperlihatkan tubuh kurus berbalut pakaian serba putih.

Sasori kembali menyerang, mengayunkan kunai dengan lihai, sesekali memberi tendangan yang selalu berhasil ditepis Momoshiki. Sebenarnya pria itu sadar, bahwa ini semua sia-sia, dia hanya manusia biasa dengan sedikit kemampuan bertarung. Sementara lawannya ini seperti gabungan alien dan mahluk mitos yang menjadikannya monster.

Sial, sedikit saja, aku harus membuat cela! batin Sasori.

Gerakan Momoshiki cepat, tidak akan bisa diikuti oleh mata manusia. Karena itu Hinata membantu Sasori agar Ninja pribadinya itu mampu menghindar dan menyerang.

"Arah jam dua!"

Momoshiki muncul tepat seperti yang dikatakan Hinata, lalu menendang Sasori yang berhasil menyilangkan kedua tangannya tepat waktu. Namun kuatnya tendangan membuat tubuh itu terpelanting beberapa meter sebelum punggungnya menabrak dinding.

Sasori memuntahkan darah pekat, napasnya pendek-pendek, sebagian wajahnya sudah basah oleh darahnya sendiri. Pria itu membuka sebelah matanya, pandangannya kabur, namun masih bisa melihat Hinata yang sedang terpojok. Momoshiki menyerangnya habis-habisan, dengan kekuatan aneh diluar nalar manusia.

Bebatuan dari reruntuhan gedung bergerak sendiri, menghantam berulang kali tubuh mungil Hinata. Kekuatan misterius yang sejak tadi menyerang sang gadis tanpa bisa memberikan perlawanan. Momoshiki menatap datar, mata serupa bulan itu berkilat sesaat.

"Apa hanya ini yang bisa dilakukan calon ratu?" Momoshiki berkomentar, "Aku sudah memikirkannya sejak kita terakhir kali bertemu."

Momoshiki berjalan menghampiri Hinata yang tersengal dan jatuh terduduk. Di bawah sinar bulan, tatapan datar pria itu terasa dingin dan menusuk.

"Mengapa Anda tidak menggunakannya?"

Hinata berusaha mengatur napasnya yang tersengal, seluruh tubuhnya sakit, nyeri, dan panas. Kepalanya mulai berkunang, pusing dan tidak fokus. Mendengar bualan Momoshiki yang tidak dia pahami semakin menyulutkan emosinya.

"Mengapa Anda tidak menggunakannya, Yang Mulia?" Momoshiki kembali bertanya.

Apa yang harus Hinata gunakan? dia sudah menggunakan semuanya, kekuatan manusia super sejak dia menjadi vampir, maupun latihan keras ilmu bela diri. Semua sudah dia gunakan, tetapi tidak satupun membuahkan hasil, dia bahkan tidak bisa membuat gores di wajah pria pucat ini. Hinata benar-benar tidak tahu!

Tidak mendapatkan jawaban, raut wajah Momoshiki berubah gelap.

"Sepertinya, kami semua salah tentangmu."

Momoshiki mengangkat tangan ke atas, percikan listrik muncul, berkilat pelan sebelum berkumpul dan membentuk bulatan kecil berwarna hitam pekat. Di bawah kakinya, Hinata melihatnya dengan wajah pucat pasi dan mata bergetar. Semua akan selesai begitu serangan ini mengenainya.

"Aku harus membuat alasan nantinya," ucap Momoshiki sebelum mengayunkan tangan.

Manik rembulan membulat sempurna, Hinata diam membeku, pasrah menerima serangan terakhir dari Momoshiki. Setidaknya jika dia mati, maka orang-orang yang dia sayangi akan terbebas dari ancaman manusia bulan.

Kak Neji, kau tidak perlu khawatir lagi. Jadi cepatlah menikah dengan Tenten-san...

Sasori, maafkan aku. Gara-gara memiliki tuan keras kepala sepertiku, kau terluka parah...

Naruto-kun... sampai akhirpun aku tidak menyesal mengenalmu dan membatalkan perjodohan kita...

"HINATA!"

Sayup-sayup suara teriakan Naruto terdengar, sontak Hinata menoleh ke sumber suara. Manik rembulannya membulat, melihat laki-laki itu berlari ke arahnya dengan wajah putus-asa, raut yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Tidak, Naruto tidak boleh ke arahnya, ini berbahaya, dia bisa mati!

"Naruto-kun!"

Dengan sisa tenaganya Hinata berteriak, memanggil nama pria itu. Sekelebat bayangan muncul di hadapannya, sosok hitam dan merah, menabraknya kuat-kuat hingga tubuhnya terpelanting jauh, berguling beberapa kali sebelum berhenti karena menabrak sesuatu.

Telinga Hinata berdegung, membuatnya pusing beberapa detik. Dia dapat merasakan seseorang memeluknya erat. Kedua matanya terpejam kuat, perlahan terbuka sebelum maniknya membulat ketika tahu siapa yang memeluknya.

"Sasori-san!"

Raut wajah pria itu memucat, hampir membiru dan tubuhnya bergetar pelan. Hinata tidak menyangka Sasori akan menyelamatkannya di detik-detik menuju kematian. Dia berusaha menyadarkan pria itu, menepuk punggungnya dan memanggil namanya berulang kali. Sesuatu yang basah dan lengket dia rasakan di telapak tangan. Ketika melihatnya, gadis itu merasa darahnya berdesir turun, tubuhnya ikutan dingin, saat hidungnya dengan jelas mencium bau anyir dari telapak tangannya.

"Sasori-san! tidak, ini tidak boleh terjadi, aku mohon sadarlah!"

Hinata mendorong pelan tubuh lemah pria itu, dengan hati-hati membaringkannya. Manik rembulan bergetar pelan melihat darah mengalir deras di bagian tulang rusuk. Napas Sasori tersengal, putus-putus dan matanya terpejam.

"Maafkan aku, ini semua salahku," Hinata berujar pelan sambil terisak. "Seharusnya aku menyuruhmu pergi, bukannya bertarung bersamaku."

Kedua tangan gadis itu bergetar pelan, dia cepat-cepat merobek panjang gaunnya. Kemudian menekan area luka, berharap dapat memperlambat pendarahan. Sesekali Hinata menyeka air mata yang sudah jatuh sejak tadi. Sambil sesegukan dia terus menekan luka Sasori dan memanggil namanya berulang kali.

Ketika sepasang mata coklat itu akhirnya terbuka, Sasori tersenyum tipis. "U-untunglah... A-Anda baik... baik... saja."

Hinata menggeleng kuat, wajahnya berantakan, penuh debu, air mata, dan juga darah Sasori. Pemuda berambut merah itu dengan sisa tenaganya, dia mengangkat tangan, menyeka air mata tuannya, dan mengusap pelan bibir yang sejak tadi terkatup rapat.

"Semua akan baik-baik saja, jangan tutup matamu, Sasori-san!"

Hinata harus segera membawa Sasori ke rumah sakit, dia pasti bisa membawanya tepat waktu. Dokter pasti bisa menyelamatkannya selama dia tidak terlambat. Hinata berniat menggendong Sasori ketika tiba-tiba tangan yang menyentuh pipinya terkulai lemah.

"Sasori-san?! tidak, buka matamu, Sasori-san!"

Pria itu memejamkan mata, bibirnya membiru, wajahnya semakin pucat. Hinata kembali menggigit bibirnya, namun rasa manis di ujung lidah dia rasakan. Sedetik kemudian jantungnya berdebar keras, cukup keras hingga membuat Hinata membeku dan menyentuh dada kirinya.

Tubuhnya terasa panas seperti terbakar, detak jantungnya berdetak cepat. Baru kali ini Hinata merasakan perasaan aneh seperti ini, terlebih kepalanya sakit, berdenyut menyakitkan. Manik rembulan itu tiba-tiba melirik telapak tangan yang berlumuran darah Sasori. Aroma manis menguar, menusuk indra penciumannya, gadis itu menelan ludah gugup.

Perlahan Hinata mendekatkan telapak tangannya, lalu menjilat darah yang menempel. Seperti kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri, gadis itu mulai menarik napas dalam-dalam, lalu merobek baju Sasori, tepat di mana area luka dan terjadinya pendarahan. Hinata kemudian menunduk, mulai sibuk menjilati darah yang terus keluar dari luka menganga.

Momoshiki yang sejak tadi diam memperhatikan, kini menyeringai lebar. Keraguan yang dia rasakan telah hilang sepenuhnya melihat gelagat Hinata. Kali ini dia yakin, bahwa wanita muda itu benar-benar sejenis dengannya dan calon ratu bagi kerajaannya. Dia melangkah ringan, kemudian berlutut satu kaki, siap memberikan kesetiaannya pada calon pendamping dari rajanya.

Sementara itu, Naruto sejak tadi mematung di tepat, melihat semua kejadian itu seperti kepingan filem bergerak lambat. Perasaannya campur aduk, panik ketika melihat Hinata hampir mati, terkejut saat Sasori melompat menyelematkan gadis itu lebih dulu. Dan perasaan lainnya saat melihat mantan tunangannya menangisi pria lain, lalu tiba-tiba bertingkah aneh, menjilati darah seperti vampir.

Naruto menelan ludah kering, suaranya serak saat dia berusaha memanggil teman masa kecilnya.

"Hi-Hinata!"

Gadis itu tersentak pelan, mendengar seseorang memanggilnya. Apakah itu artinya Hinata kembali mendapatkan kesadarannya? ketika gadis itu menoleh, sekujur tubuh Naruto bergedik ngeri. Tidak hanya dia, Momoshiki merasakan hal yang sama.

Pria pucat itu kembali menyeringai, "Hamba datang untuk menjemput Anda, Yang Mulia."

Manik rembulan berubah perak, rambut panjang biru gelap terlihat tumbuh memanjang hingga semata kaki dengan misteriusnya. Kulit putih pucat bersinar diterpa cahaya rembulan, sosok Hinata begitu indah, namun juga menakutkan. Gadis itu berdiri, menoleh ke arah Momoshiki dengan tatapan datar dan dingin.

.

.

.

Continue...

Halo guys, maafkan aku soal kesalahan update kemarin. Ternyata aku malah double update dengan isi yang sama. Terima kasih sudah memberitahu hehe