Chapter sebelumnya...

"Bukan dikendarai, tetapi diangkut. Besok malam angkut mobil itu ke arena. Namun sebelum itu, berikan masalah pada remnya."

Chapter 21. Folding Knife.

Suara dua pedang kayu yang beradu terdengar cukup kuat. Menyerang dan bertahan. Gerakan kuat dan gesit. Kecepatan dan ketepatan. Semua diperhitungkan meski ini hanya dianggap sebagai olahraga bagi keduanya, Sakura dan Toneri.

Hari sabtu ini Sakura bermain pedang dengan Toneri, sedangkan sang kakek dan kedua paman serta kakak lelaki lainnya, menonton di gazebo. Di meja mereka terdapat hidangan kecil dan teh hijau sebagai camilan.

"Meski sudah cukup lama tak berlatih, gerakanmu masih bagus, Saki." Toneri menahan ayunan pedang Sakura dengan pedang miliknya.

"Apa kau tadi--" Sakura menarik pedangnya. "--meremehkanku?" Kembali ia ayunkan pedang ke arah Toneri secara diagonal. Namun, reflek dan tenaga Toneri yang bagus membuat ia bisa menahannya.

Di gazebo, empat pria dari tiga generasi berbeda itu memperhatikan Sakura dan Toneri. Dari pakaian yang mereka kenakan, sepertinya mereka juga akan ikut mencari keringat seperti Sakura dan Toneri saat ini.

Momoshiki keluar dari gazebo lalu melakukan pemanasan. Rambut panjangnya ia ikat ke belakang. Sang kakek yang berpikir jka cucu pertamanya tersebut hendak mengambil alih posisi Sakura melawan Toneri, segera saja berdiri mendekati Momoshiki.

"Jii-san?"

Hagomoro mulai melakukan pemanasan juga di samping Momoshiki yang sedang menatapnya. "Jangan mengganggu mereka," ucap Hagomoro pada Momoshiki.

"Kau bantulah kakekmu ini merenggangkan otot-otot tua ini sebentar lagi." Kalimat itu berarti ia ingin Momoshiki menjadi lawannya.

Satu jam telah berlalu, tetapi enam orang itu masih terus beradu pedang. Sakura dan Toneri masih tampak menikmati permainan mereka. Kakek dan cucu yaitu Hagomoro dan Momoshiki juga masih terlihat bersemangat. Begitu juga dengan Indra dan Ashura yang menyusul bermain pedang tak lama setelah Hagomoro dan Momoshiki.

Sejak kematian Hamura, bisa dibilang jika Sakura hidup dan dibesarkan oleh keluarga Otsutsuki. Hal itu membuatnya merasakan didikan salah satu klan tertua dan terkenal yang dihormati masyarakat. Berbagai olahraga beladiri dan pelajaran akademik harus ia pelajari dengan baik. Keluarga Otsutsuki memiliki kelas bahasa asing dan guru pribadi untuk mereka bertiga. Peralatan olahraga dan fasilitas tempat untuk melakukan berbagai kegiatan fisik juga sudah sangat memadai di mansion.

Setelah beberapa saat Hagomoro berhenti, disusul dengan Sakura, sedangkan Momoshiki menjadi lawan Toneri. Empat lelaki itu masih melanjutkan permainan pedang. Di sisi lain Sakura dan Hagomoro beristirahat di Gazebo sambil mengobrol ringan.

"Apa besok kau akan pergi, Saki?"

"Tidak, Jii-san."

"Kalau begitu besok temani aku memancing di laut."

"Baiklah."

Memakai piyama putih bergambar buah ceri, Sakura duduk di kursi belajarnya. Terlihat Bimbang. Ia mengetuk-ngetukkan tangannya ke permukaan meja.

'Adik kita Shisui Shimura-Uchiha. Aku ingin dia juga datang.'

Ucapan Itachi terngiang di kepalanya. Membuatnya berdecak kesal. 'Sial!'

Setelah itu ia teringat perintahnya ketika di markas akatsuki. 'Bukan dikendarai, tetapi diangkut. Besok malam angkut mobil itu ke arena. Namun sebelum itu, berikan masalah pada remnya.'

Menghembuskan napas panjang, ia mundurkan tubuhnya hingga bersandar pada sandaran kursi. "Ini terlalu berbahaya untuknya," gumamnya pelan seraya menunduk.

'Sebenarnya ini tugas yang mudah. Namun aku tidak ingat kita pernah pergi berkunjung ke rumah satu pun kerabat, Nee-san. Jadi aku belum bisa menyelesaikannya.' Seketika Sakura mengangkat wajahnya kala ia teringat kalimat Shisui.

"Dear, kau harus melewati ini," ucap Sakura pelan namun yakin. 'Berat bagiku membuatmu melakukan ini, dan jika terjadi hal buruk padamu, kupastikan aku akan membuat diriku mendapatkan hal yang sama.' batinnya.

Dengan segera Sakura berdiri lalu mengganti piyama dengan pakaian berwarna hitam berlapis jaket, lalu memakai bots warna hitam juga. Membuka pintu, ia memantau keadaan dengan kepala yang menyembul, memastikan kedua kakaknya yang memiliki kamar dilantai sama tidak ada di luar. Perlahan ia keluar kamar, berjalan tergesa tetapi hati-hati menyusuri lorong. Kemudian menuruni tangga pelan-pelan, meminimalisir suara langkahnya.

Pintu keluar sudah ada di depan mata, ia hampir berhasil keluar tanpa diketahui siapa pun. Sedikit lagi, hanya sedikit lagi ia berhasil membuka pintu lalu keluar dengan cepat. Namun sebuah suara menghentikannya.

"Malam ini dingin sekali." Tubuh Sakura terasa kaku seketika. Ia tahu itu suara siapa. 'Sial!'

Pupus sudah harapannya untuk tak diketahui siapa pun saat pergi. Perlahan ia balik badan. Menatap orang yang muncul dari balik pilar lalu bersandar santai di pilar tersebut. Di tangannya tergenggam sebuah mug dengan uap yang mengepul.

'Bodoh, kenapa aku tidak melihatnya? Pilar sialan!' rutuk Sakura dalam hati.

Sosok yang sedang menunduk menatap isi mug di tangannya sendiri itu mengangkat kepalanya, untuk menatap Sakura. Ia berjalan perlahan mendekati gadis itu. Langkahnya yang santai berbanding terbalik dengan jantung Sakura yang berdegup kencang.

"Kau mau, Saki? Cokelat ini masih hangat." Melihat mug yang tersodor ke arahnya, Sakura menahan napas sesaat.

"Ti-tidak."

"Ah, sayang sekali. Padahal jika kau mau, ini bisa menghangatkanmu di malam yang dingin ini. Yah, meski ini bukan musim dingin." Sakura menatapnya was-was.

"Saki, apa kau tahu sekarang jam berapa?" Sakura tentu tahu sekarang jam berapa, tetapi ia tak menjawab. "Ah, sudah malam sekali rupanya, lalu kenapa kau ada di sini, Saki?" tanyanya setelah melihat arloji yang melingkar di tangannya.

"Pergilah ke kamarmu, ini sudah larut." Diam. Sakura tak kunjung merespon.

"Aku ingin pergi, Nii-san," ucap Sakura setelah beberapa saat terdiam. Ia bahkan tak menatap lawan bicaranya.

"Ulangi."

"Aku ... aku ingin pergi."

"Lagi."

"Kubilang, aku ingin pergi, Toneri-nii." Sakura geram. Ia sudah ketahuan dan masih diajak bermain-main. Kini rasa kesal ikut menyusul rasa takut yang sejak tadi ia rasakan. Emerald itu menatap Toneri yakin, meski binar ketakutan dan rasa bersalah masih nampak jelas.

Toneri tidak menjawab. Ia hanya menatap datar Sakura. Setelah itu ia merogoh saku celananya. Mengeluarkan sesuatu. Sebuah pisau lipat.

"Lukai salah satu jarimu."

Sakura menatap pisau lipat yang tersodor di hadapannya. Ia lalu menatap Toneri yang kini sedang menatapnya. Tampak menunggu apa yang akan ia lakukan. Mengepalkan tangannya sesaat, ia lalu mengambil pisau itu dengan cepat menggunakan tangan kanan. Mengangkat tangan kirinya. Melipat semua jarinya kecuali jari kelingking. Jempol kanan menekan tombol di pisau lipat, mencuatlah pisau yang terlihat sangat tajam. Tanpa ragu, dari sisi telapak tangan, Sakura menyayat jari kelingking kirinya dari pangkal hingga ujung jari dengan cepat. Segera setelah itu darah segar keluar deras.

'Sial!' Mug terlempar ke arah sofa. Membuat cokelat panas di dalamnya berceceran.

"Kau memang keras kepala," desis Toneri yang kemudian menarik tangan Sakura, hendak mengobatinya. Itu terjadi dengan cepat. Ia pikir Sakura tak akan berani menyayat jarinya, mengingat ia sedang coass maka jari adalah salah satu anggota penting saat praktek. Namun, ia salah. Sakura, tetaplah Sakura. Keras kepala.

Sakura tak bergerak. Membuat Toneri menoleh. "Apa yang kau lakukan? Jarimu terluka."

"Aku ingin pergi. Sekarang." Sakura kekeh ingin pergi tanpa mengobatinya jarinya lebih dulu.

"Setelah mengobati jarimu," sahut Toneri cepat lalu kembali menarik tangan Sakura.

Sakura tetap diam. Berdiri gigih di tempatnya. "Aku ingin pergi, Nii-san. Sekarang. Ini sudah terlambat."

Toneri menggeram menahan amarah. Kenapa Sakura sangat keras kepala? Astaga. Dengan cepat ia meraih pisau lipat di tangan kanan Sakura. "Kau benar-benar luar biasa, Sakura Otsutsuki," desis Toneri sampai menyebutnya dengan marga ibunya.

Menyadari Toneri sudah melepaskan tangannya dan mengambil kembali pisau lipatnya, Sakura hendak berbalik dan lekas pergi. Namun, dengan segera Toneri meraih tangannya. Dengan suara menahan amarah dan tatapan tajam dengan mata memerah, lelaki itu melarangnya pergi. "Diam di tempatmu," ujarnya dingin.

Toneri menggunakan pisau lipat itu untuk merobek kaus putih yang ia kenakan. Sakura tentu terkejut melihat itu. Belum bangkit dari rasa terkejutnya, kakak keduanya itu lalu meraih tangan kirinya kemudian menggunakan kain itu untuk membalut jari kirinya. Menutup luka yang sedari tadi mengeluarkan darah segar. Bahkan sekarang lantai sudah tercecer banyak darah.

"Segera obati. Jika besok sampai memburuk, jangan harap aku akan membiarkanmu pergi seperti ini untuk kedua kalinya. Ingat itu." Sakira mengangguk setuju.

"Cepat pergi, dan kembalilah sebelum fajar."

"Terima kasih, Nii-san."

Melihat Sakura yang dengan cepat pergi, Toneri menghela napas panjang.'Untunglah aku yang memergokinya. Jika Aniki atau Indra-jisan, maka entah apa yang akan mereka lakukan.' batinnya.

"Aneh, apa yang membuatnya nekat seperti itu," lirih Toneri. "Aku harus mencari tahu," lanjutnya.

Menundukkan kepala sekilas, ia melihat noda darah. Menoleh ke kiri, ia melihat noda cokelat. Memejamkan mata ia mengerang pelan. 'Oh, hebat sekali kau, Saki.' batinnya. Mana mungkin ia membangunkan pelayan. Itu terlalu beresiko. Meski dirinya juga salah satu tuan rumah. Mereka tetap sangat setia pada kakeknya. Siapa yang tahu jika mereka akan mengadu setelah membantunya nanti. Lebih baik ia bersihkan sendiri sebelum diketahui orang lain. Lebih cepat lebih baik.

Di luar gerbang mansion Otsutsuki, Sakura terlihat segera masuk ke dalam mobil berwarna hitam dengan corak merah dan putih. Setelah duduk di kursi penumpang, keluhan langsung terdengar di telinganya. "Kau membuatku menunggu cukup lama, Sakura-chan." Sakura hanya menggumam.

"Apa kau ketahuan?" Sakura tak menjawab.

"Eh, ada apa dengan jarimu?" tanya pria berambut klimis berwarna putih sembari mulai melajukan mobilnya. Ia sempat melihat jari Sakura yang terbalut kain.

"Terluka."

"Ck. Aku tahu itu. Maksudku aku ingin tahu kenapa bisa terluka."

"Berhenti bertanya dan tambah kecepatan mobilmu, Sekte," desak Sakura pada Hidan, lelaki yang ia panggil Sekte.

Di kediaman Shimura semua anggota keluarga sedang berkumpul di ruang tengah. Mereka baru saja selesai makan malam.

"Anak-anak, besok bantu Kaa-san menanam sayuran di kebun belakang ya?" pinta Hikari sambil menyajikan makanan ringan untuk anak-anaknya. Di belakangnya ada Ayame yang membawa minuman.

"Kaa-san ingin bercocok tanam?" Hikari mengangguk.

"Ya. Kami berdua berencana menanam beberapa sayuran di kebun belakang yang sudah lama terbengkalai," kata Ayame.

"Besok hari minggu, kalian libur sekolah dan kuliah. Jadi kami meminta kalian untuk membantu membersihkan lahan di belakang rumah ini."

"Baik, Kaa-san. Kami akan membantu besok," tutur Shisui yang di setujui semua adiknya.

"Eh, di mana Tayuya-nee?" tanya Ayame.

"Dia pergi ke kamar lebih dulu," jawab Samui yang satu kamar dengan Tayuya.

"Ada apa dengannya? Tingkahnya sedikit aneh beberapa minggu ini," kata Megumi.

"Mungkinkah dia sedang ada masalah?"

"Mungkin saja," imbuh Samui.

Seperti teringat sesuatu, Ayame berkata dengan gembira. "Ah, anak-anak. Apa kalian tahu, hari ini Kaa-san mendapat pelanggan seperti apa?"

Putera-puteri Shimura menatap Ayame lalu menggeleng. "Tidak. Memangnya seperti apa, Kaa-san?" tanya Karin.

"Hari ini pelanggan didominasi oleh murid yang satu sekolah dengan kalian. Mungkin juga mereka teman kalian," ucap Ayame sambil tersenyum.

"Teman kami?" tanya Shion ragu.

Ayame mengangguk. "Ya. Kaa-san berpikir begitu karena seragam kalian sama."

"Mereka anak-anak yang sopan. Ada tiga anak yang Kaa-san tahu siapa mereka."

"Benarkah? Siapa mereka?" tanya Kiba antusias.

"Putera Walikota Konoha, putera Shikaku Nara, dan putera bungsu keluarga Uchiha." Suasana mendadak hening setelah ucapan Ayame.

"Wah, mereka orang-orang dari keluarga terpandang," komentar Samui segera memecah keheningan.

"Ya. Benar." Untungnya suasana hening hanya berlangsung sesaat. Mereka kembali berbincang santai lagi.

Di sisi lain, Megumi masih terdiam. Ia terkejut seketika saat mendengar marga terakhir yang disebut Ayame. Isi gelas yang ia pegang bahkan berguncang akibat gemetar tangannya.

Setelah beberapa saat, para ibu pamit pergi ke kamar lebih dulu. Bosan menonton televisi, Kiba ingin bermain video game yang langsung disambut Shisui dengan baik. Keduanya lalu bermain game. Hinata menonton video memasak di tablet, lalu Hanabi dan Karin sedang asik menonton video action di youtube menggunakan laptop. Kamudian Shion sedang membaca buku horor kesayangannya.

Besok hari libur. Orangtua mereka membebaskan anaknya dari belajar. Maka dari itu mereka bisa melakukan apa pun malam ini. Asalkan masih dalam batas wajar, tidak berlebihan.

Pukul sepuluh malam lewat. Shisui dan Kiba berhenti memainkan video game. Mereka melihat Hinata dan Hanabi yang tertidur. Shion dan Karin juga hampir tertidur, mereka berdua sudah mengantuk berat. Terlihat dari mata mereka.

"Kita akan menggendong mereka berdua," ucap Shisui. Kiba mengangguk setuju. Kiba dan Shisui lalu menepuk pelan bahu Karin dan Shion. Menarik mereka dari kesadaran yang menipis. Kedua gadis itu hampir tertidur.

Setelah kedua gadis itu berdiri lunglai dan mulai berjalan ke kamar dalam keadaan mengantuk. Shisui dan Kiba segera menggendong Hinata dan Hanabi yang tertidur pulas. Menyusupkan tangan mereka ke balik lutut dan punggung gadis kembar itu. Mengangkatnya pelan-pelan lalu membawa mereka ke kamarnya. Sembari memperhatikan Karin dan Shion yang berjalan di depan.

Lampu kamar Shisui dan Kiba sudah padam sejak tadi. Kiba bahkan sudah tertidur sejak setengah jam yang lalu. Namun Shisui baru saja ingin tidur, karena sebelumnya ia membaca buku terlebih dahulu. Dia pergi ke kamar mandi lalu kembali dan segera naik ranjang. Saat akan memakai selimut, ponselnya berbunyi. Untung saja Kiba tidak terbangun. Mengambil ponsel di meja nakas, dan segera mengangkat panggilan.

"Kutunggu kau di depan gerbang. Ingat, sendiri dan tanpa diketahui siapa pun. Waktumu dua puluh menit, My Dear."

"Ap-" Tut! Sambungan diputus sepihak sebelum Shisui menyelesaikan kata pertamanya.

Shisui bingung. Tidak mengerti. Namun, ia yakin. Pasti ada alasan dibalik perintah itu. Segera ia bangun dari tempat tidur. Mengganti piyamanya dengan kaus abu-abu berlapis jaket biru gelap, jeans hitam, lalu memakai sepatu. Membawa ponsel dan dompet, ia pergi dari kamar dengan berjalan mengenda-endap hingga berhasil keluar rumah lalu segera berlari menuju gerbang.

Itachi berdiri bersandar pada bamper depan mobil. Tangan bersembunyi di kantung celana. Mata hitamnya memandang ke depan. Memperhatikan mobil modifikasi berwarna hitam dengan corak berwarna merah dan putih yang mendekat. Setelah mobil itu berhenti, Sakura dan Hidan segera keluar.

"Lama," ucapnya pada Sakura.

"Aku tahu," ujar Sakura. "Kotak obat," lanjutnya seraya mengangkat tangan kirinya yang terbalut kain putih yang sudah hampir berganti warna menjadi merah sepenuhnya.

Dahi Itachi menyernyit, tetapi segera ia masuk ke dalam bengkelnya lalu kembali dengan membawa sebotol air dan kotak berwarna putih dengan lambang merah berbentuk simbol tambah.

"Kenapa jarimu terluka?" tanya Itachi sambil mengobati jari Sakura.

"Aku sudah bertanya tetapi dia tak menjawabnya," ungkap Hidan. Sakura menatapnya sekilas lalu menggumam.

"Kau atau orang lain yang melukai jarimu?" tanya Itachi saat pertanyaan pertamanya tak mendapat jawaban.

"Aku," jawab Sakura santai. Hidan melotot mendengarnya.

"Apa!? Kau sengaja melukai jarimu sendiri? Apa kau gila?" tanya Hidan terkejut.

"Apa alasanmu? Jika ingin memotong nadi, kau salah tempat," tutur Itachi santai.

"Kau!" sungut Sakura. "Kaulah salah satu alasanku."

"Sudah, cepatlah," desak Sakura agar Itachi lebih cepat saat mengobati jarinya.

Setelah beberapa saat, Hidan merasa bosan. "Hei, bisakah aku pergi lebih dulu?" tanya Hidan.

"Tak ada yang memintamu tetap di sini."

"Ck, sialan. Baiklah aku pergi, sampai bertemu nanti," pamit Hidan.

Selesai mengobati Sakura, Itachi membawa masuk kotak obatnya lalu kembali dengan satu minuman kaleng di masing-masing tangannya. Ia berikan satu pada Sakura setelah sebelumnya ia membukanya. Menerima minuman dari Itachi, ia lalu berdiri dan mengulurkan tangannya. Meminta kunci mobil.

"Kuharap kau membawanya," ucap Itachi serius sambil memberikan kunci mobil pada Sakura. Decakan kesal gadis itu adalah balasan yang ia dapat.

Sakura pergi dengan mengendarai mobil hitam yang sudah di modifikasi. Meninggalkan Itachi yang kemudian mengendarai mobil hitam juga. Mobil yang sejak tadi terparkir di samping mobil Sakura.

Setelah beberapa saat mengemudi, Sakura menepikan mobilnya, ia mengeluarkan ponselnya dari saku jaket bagian dalam. Mencari nomor seseorang lalu menelfonnya. Memberi perintah lalu segera memutus sambungan tanpa memberi kesempatan orang di seberang sana mengucap satu kata. Menyimpan kembali ponselnya, ia mengendarai mobilnya lagi dengan kecepatan tinggi.

Shisui sudah ada di luar rumah. Ia hanya perlu menggindari pos penjaga lalu memanjat tembok pagar. Ia sudah mencoba memanjat tembok, tetapi sulit karena cukup tinggi, bahkan setelah ia melompat. Sedikit lagi, ia hanya perlu sedikit lebih tinggi untuk bisa menggapai tembok bagian atas.

Memperhatikan sekelilingnya, ia melihat ada kursi kayu di luar pos. Kursi yang biasa di duduki oleh satpam mereka saat sedang bersantai ketika siang hari. Ia hanya perlu mengendap tanda di ketahui si satpam yang ada di dalam pos.

Berjalan mengendap mendekati pos penjaga. Setelah sampai, ia bergeser perlahan dengan punggung bersandar pada tembok, semakin memperpendek jaraknya dengan kursi yang ingin ia ambil. Kini kursi ada di depan mata. Memantau situasi. Perlahan ia angkat kursi itu lalu cepat ia bawa ke tembok pagar. Berdiri di atas kursi, dengan mudah ia memanjat pagar tembok. Saat ada di atas, ia melihat Sakura sedang menunggunya. Bersandar pada badan mobil berwarna hitam yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Melompat dan mendarat dengan sempurna, Shisui lalu menghampiri Sakura. "Nee-san," ujar Shisui sembari memperhatikan mobil hitam itu. Ia kagum dengan mobil yang dibawa kakaknya itu.

"Hm, tidak ada yang tahu kau pergi?"

"Ya, sama sekali tidak ada yang tahu. Bukankah itu yang kau mau, Nee-san? Apa seharusnya kulakukan sebaliknya?" tanya Shisui masih mengamati mobil Sakura dengan bantuan cahaya lampu jalan. Ia hanya menatap Sakura sekilas.

Sakura yang mendengar itu hampir tersedak liurnya sendiri. Bahkan kini wajahnya bersemu. Beruntung, lampu jalan yang tidak terlalu terang dan fokus Shisui pada mobil, membuat adiknya itu tak menyadari Sakura yang sedang blushing.

Bagaimana bisa dirinya yang meminta Shisui pergi tanpa diketahui siapa pun, tetapi justru dirinya yang ketahuan. Bahkan jarinya sampai harus terluka demi mendapat izin. Memalukan, sungguh memalukan.

"Ti-tidak, itu bagus. Cepat masuk," pintanya sedikit terbata. Namun Shisui tak menyadarinya. Keduanya segera memasuki mobil.

"Nee-san, ini mobil siapa?"

Sakura meliriknya sesaat. "Tentu saja mobilku."

Itachi terkejut. "Benarkah?" Setahunya Sakura hanya punya satu mobil. Meski ia tahu jika kakaknya berpenghasilan besar dan bisa membeli mobil sendiri, serta keluarga Otsutsuki mencintai kakaknya, tetapi ia juga tahu jika Sakura bukanlah tipe yang akan meminta dibelikan benda-benda seperti ini.

Sakura menyeringai. "Tentu saja." Ia lalu menekan pedal gas dalam-dalam. Membuat mobilnya melaju lebih kencang di jalanan yang cukup sepi.

"Wooa! Ini keren, Nee-san." Shisui terkagum. Ia memegang pegangan tangan. Membantu menstabilkan tubuhnya.

Tak lama setelah itu, ketika sedang melaju dengan kencang, di jalur lain dari arah berlawanan, sebuah mobil sedan berwarna abu-abu melaju tidak stabil. Terlihat oleng. Sepertinya sang pengemudi mengantuk atau ada masalah dengan kendaraannya. Sakura sempat melihat sesaat mobil sedan itu, tetapi ia segera kembali fokus pada jalan di depannya.

"Nee-san, kita mau ke mana?" tanya Shisui dengan pandangan yang fokus ke depan. Melihat kencangnya laju mobil yang ia tumpangi.

"Kau akan tahu nanti."

Shisui melirik Sakura, tetapi tak sengaja ia melihat jari Sakura yang terbalut perban. Ia mengernyit.

"Nee-san, jarimu kenapa?" Sakura tentu terkejut dan malu. Pipinya sedikit merona. Namun ia cukup mahir dalam pengendalian diri. Dia menjawab tengan tenang.

"Insiden kecil. Bukan apa-apa."

Setelah melewati jalan perumahan, jalan raya, lalu jalan tol dan kemudian jalan lebar beraspal yang kiri kanannya sepi, hanya terdapat pepohonan seperti hutan. Kini mobil Sakura melwati jalanan yang memilihi banyak tikungan tajam, kemudian melewati sebuah tugu berhiaskan patung mobil di atasnya dengan diterangi lampu.

Beberapa saat kemudian, mobil Sakura memasuki sebuah lorong besar yang muat untuk lima mobil ukuran sedang berjejer. Setelah itu Shisui melihat ada banyak orang di sana. Di sisi pinggir terdapat banyak mobil mewah yang sudah di modifikasi maupun yang belum. Ada juga sebuah bangunan tiga lantai yang ia tak hau bangunan apa itu. Suara deru mobil dan musik modern menjadi penambah suasana ramai, begitu juga dengan banyaknya lampu warna-warni. Wanita berpakaian mini juga turut hadir di sana. Shisui tentu terkejut melihat itu semua. Ini kali pertama ia datang ke tempat seperti ini.

Sakura memarkirkan mobilnya lalu mengajak Shisui keluar. "Ayo ke sana."

"Nee-san, kau mengajakku ke tempat-"

"Balapan," sahut Sakura cepat. Shisui menatapnya tak percaya.

"Ingat malam ketika aku memperingatimu? Saar itu kau tentu menyadari jika aku sudah tahu bahwa kau memilik usaha bengkel mobil sekaligus motor meskipun kau belum punya mobil," ucap Sakura.

"Datang ke tempat ini bisa menambah pengetahuan dan lingkaran pertemananmu. Namun ingat, bijaklah dalam berteman, Shisui," lanjut Sakura.

Sakura tahu tentang usaha bengkel Shisui. Ia tahu setahun belakangan ini Shisui mulai tertarik dengan mobil. Namun terlalu mahal jika membelinya. Adiknya itu membeli buku dan mencari tahu banyak hal tentang mobil, lalu mengubah bengkel motornya menjadi bengkel mobil juga. Bengkel itu tidak besar, tetapi ia cukup puas karena itu adalah hasil jerih payahnya sendiri.

Dulu Shisui menyukai motor, ia juga membutuhkannya sebagai kendaraan, jadi Sakura membelikannya motor besar yang sampai sekarang masih ia pakai. Sifat Shisui dan hal itulah yang membuatnya yakin bahwa Shisui pasti akan menolak jika ia membelikannya mobil baru. Karena itu, ia akan membantu adiknya dengan cara lain, tanpa harus membelikannya langsung. Mungkin dengan memperkenalkannya pada orang-orang yang tahu banyak tentang mobil, misalnya.

Kedunya berjalan ke arah keramaian. Saat semakin dekat dengan keramaian. Seseorang melambaikan tangannya pada Sakura.

"Sakura-chan!" Sakura dan Shisui menghampirinya.

"Pain-swn/Shisui-kun?" Shisui dan si pemanggil tadi terkejut. Keduanya langsung menatap Sakura. Namun Sakura mengabaikannya.

"Di mana Itachi-nii?" tanya Sakura pada Konan yang berdiri di samping Pain. Ia juga terkejut kala menyadari jika pemuda yang dibawa Sakura adalah Shisui.

"Ada di atas," jawb Konan yang cepat pulih dari keterkejutannya.

"Aku tak menyangka kau akan membawanya ke sini, Sakura-chan," ucap Pain. Sakura hanya meliriknya sekilas.

"Malam ini meriah bukan?" tanya Pain sembari memandang sekelilingnya. Ya, malam ini lebih ramai dan lebih meriah dari biasanya.

"Lihat si rambut uban itu, dia mengoda banyak gadis. Astaga, sangat tidak setia," tutur pain sembari menunjuk Hidan yang sedang berjoget di dekat meja bar outdor dengan membawa segelas minuman.

"Kau tahu di mana rekannya, Sakura-chan?" tanya Pain. "Si maniak uang itu sedang bermain casino di dalam. Aku yakin uang wanita yang ia rayulah yang ia gunakan," terka Pain sembari menunjuk ke dalam bangunan. Ah ternyata salah satu fungsi banguan itu adalah sebagai tempat berjudi. Shisui, kau sudah tahu satu fungsinya, selamat.

Tak lama seseorang datang beberapa pria, berbasa basi sedikit seperti bertanya kapan ia pulang dari Tokyo lalu berakhir mengajak Sakura balapan. Shisui tentu terkejut, dan tambah terkejutlah ia ketika Sakura mematok jumlah uang untuk pemenang yang di setujui oleh beberapa pria itu. Kesepakatan telah terjadi. Shisui sampai tak bisa berkata-kata menyaksikan hal tersebut.

"Tenanglah, jika Sakura-chan yang menentukan nominal, itu berarti ia yakin jika dirinya akan menang," ujar Konan pada Shisui saat melihat Sakura pergi mengambil mobilnya di area parkir.

Namun perlu diingat, jika Shisui masih terkejut terus menerus sejak melihat kakaknya menjemput dengan mengendarai mobil yang tak pernah ia lihat. Dimulai dari itu, lalu berlanjut dengan tempat ini, kemudian bertemu orang-orang yang ia kenal, setelah itu melihat bagaimana tingkah kakaknya barusan. Oh Kami-sama! Mimpi apa ia kemarin hingga malam ini mengalami begitu banyak hal yang mengejutkan.

Terlihat Sakura memasuki area start balapan dengan mengendarai mobil hitamnya. Begitu juga dengan empat pria yang menantangnya tadi. Menyadari ada yang akan balapan, sebagian besar orang menghentikan kegiatannya sesaat, ingin tahu siapa yang akan balapan.

Seorang pria berpakaian kemeja putih dan seorang gadis berpakaian seksi yang sedang duduk di temani sebotol minuman di meja bundar kecil, berdiri lalu mendekati kelima mobil itu, termasuk Sakura. Mengulurkan tangannya lalu semua pembalap memberikan sejumlah uang pada pria itu. Gadis berpakaian seksi itu kemudian berdiri di depan kelima mobil, tepatnya di sela mobil kedua dan ketiga. Memegang bendara kecil bermotif seperti papan catur. Di pinggir, pria tadi memegang pistol dan mengarahkannya ke atas.

Gadis seksi itu menunjuk satu per satu mobil yang dibalas dengan raungan deru mesin mobil oleh semua pembalap. Setelah itu ia menghitung dari satu sampai tiga lalu berteriak 'Go!' Sambil membungkukkan tubuh dan mengarahkan bendera ke bawah. Tepat saat itu juga suara pistol berbunyi nyaring, yang memancing teriakan heboh dan tepuk tangan orang-orang. Itu semua adalah tanda bahwa balapan di mulai.

"Ya, aku teman kakakmu dan juga teman mereka."

"Benarkah, Uchiha-san?" Shisui lalu menatap Konan, Pain, Hidan, dan Kakuzu bergantian yang diangguki oleh keempatnya. Mereka kini sedang duduk di sofa sebuah ruangan.

"Kau tadi mendengar saat kakakmu bertanya 'di mana Itachi-nii', bukan?" tanya Konan. Terlihat berpikir sesaat, Shisui mengangguk. Ia ingat, itu kalimat pertama yang Sakura katakan saat bertemu mereka.

Itachi tersenyum. "Jangan memanggilku begitu, panggil aku Itachi saja."

Shisui meringis. "Ah, itu, itu tidak sopan. Lagi pula kau lebih tua dariku." Tiba-tiba bertemu dan berbincang dengan anggota klan terkenal tentu membuatnya canggung. Apa lagi, tahu jika dia teman kakaknya. Oh! kejutan macam apa lagi ini?!

"Kalau begitu panggil aku seperti kakakmu memanggilku." 'Karena memang panggilan itulah yang seharusnya kau pakai untukku.' batin Itachi.

Obrolan mereka terhenti kala mendengar suara bising teriakan dan siulan orang-orang dari luar. Menyibak gorden, mereka melihat mobil yang mereka tahu milik siapa, memasuki lorong. Sudah jelas siapa pemenangnya.

Terlihat orang-orang mulai menyingkir ke pinggir, memberi ruang lebih. Sakura melajukan mobilnya dengan kencang melewati garis start, berdiri di samping garis start, gadis pemberi aba-aba mengangkat bendera kecilnya, tanda sudah di tentukan siapa pemenangnya. Sakura lalu sengaja membuat mobilnya berputar, ban mobil yang bersinggungan dengan aspal menimbulkan jejak lingkaran dan asap pekat. Makin terlihat menakjubkan dengan didukung oleh suara deru mobil Sakura yang meraung kencang.

'It-itu sungguh Cherry-nee?'

Shisui melotot tak percaya. Melihat bagmana aksi Sakura, kakaknya. Melihat ekspresi Shishi, yang Konan dan yang lainnya tertawa.

"Tidak mau menghampirinya dan mengucapkan selamat?" goda Konan. Shisui menatapnya, tidak menjawab. Namun ia segera pergi. Membuat mereka tertawa.

Di luar, Sakura berjalan menghampiri pria berkemeja putih yang sedang duduk. Pria itu berdiri lalu mengambil uang yang ada di meja kemudian memberikannya pada Sakura. Menerima uang itu lalu segera berbalik pergi, tetapi ia sempatkan meninggalkan beberapa lembar ke atas meja. Setelah itu, menghampiri gadis pemberi aba-aba lalu memberinya beberapa lembar uang yang diterima dengan senang.

"Sakura-chan!"

Sakura menoleh ke arah sumber suara, dan terlihatlah Sasori menghampirinya. "Selamat atas kemenanganmu dan mobil yang kau inginkan ada di sana." Ia menunjuk ke arah sebuah mobil berwarna biru tua.

"Terima kasih."

"Bukan masalah. Baiklah, aku ke atas dulu," pamit Sasori sambil memberikan kunci mobil pada Sakura.

"Nee-san!" Sakura menoleh dan melihat Shisui menghampirinya.

"Kau membuatmu hampir mati terkejut malam ini." Sakura tertawa.

"Baru hampir, tidak sungguh mati, bukan?" canda Sakura.

"Lihat mobil biru tua itu." Shisui mengikuti arah yang ditunjuk Sakura. "Bagaimana menurutmu?"

"Wah, mobil itu bagus," puji Shisui. "Apa itu untuk balapan juga?" tanya Shisui antusias. Sakura menyeringai.

"Ingin mencoba?" Sakura menyodorkan sebuah kunci mobil di hadapan Shisui. Kunci yang baru saja diberikan oleh Sasori.

Dengan menenteng sebuah kaleng minuman dingin. Sakura memasuki ruangan Itachi dan yang lainnya. Semua menoleh menatap Sakura yang baru datang.

"Selamat, Sakura-chan," ucap Pain.

"Kau menang lagi, Sakura-chan," ujar Hidan.

"Eh, di mana adikmu?" Pain celingukan mencari keberadaan Shisui di belakang Sakura. Namun tak kunjung ia lihat.

"Mencoba mobil," jawab Sakura. Menggunakan dua tangan, Sakura membuka kaleng minuman dingin. Tindakannya membuat Konan dan Sasori mengernyit.

"Kunci mobilmu ada di tanganmu, Sakura-chan. Mobil siapa yang Shisui pakai? Bukankah dia datang bersamamu?" tanya Konan kala melihat di tangan kanan Sakura terdapat kunci mobil saat membuka kaleng minum.

"Barbie." kata Sakura singkat lalu duduk di sofa. Konan langsung menatap Sasori, orang yang dimaksud Sakura.

Sasori membulatkan mata terkejut. "Kau! Apa kau gila!? Kau membuat Shisui mengendarai mobil dengan rem yang bermasalah!? pekik Sasori tidak percaya. Sontak ucapannya membuat Itachi menatapnya tajam.

"Apa maksudmu Sasori?" tanya Itachi dingin.

"Kemarin malam Sakura-chan memintaku mengangkut mobil biru tua di garasi ke sini, tetapi sebelumnya aku harus merusak remnya. Kalian tahu itu, kan?" jelas Sasori panik. Kecuali Itachi dan Sakura, semua mengangguk. Mereka tahu itu, mereka ada di sana saat itu.

"Sekarang kunci mobilku masih ada padaku. Sebelum ke sini aku memberikan kunci mobil biru tua itu padanya," lanjut Sasori cepat sambil menunjuk Sakura yang sedang menenggak minuman dingin dengan santai.

"Sakura Shimura," panggil Itachi dingin. Tangannya bahkan meremat kencang gelas berisi red wine.

Sakura menatap Itachi sekilas yang duduk tepat di hadapannya. Menyeringai, ia lalu meletakkan ponsel dan kunci mobilnya ke atas meja, kemudian menatap serius Itachi.

"Bawa dia kembali dalam keadaan sama seperti semula jika kau ingin aku mempercayakannya padamu, Itachi Uchiha."

.

.

.

Chapter 21 selesai.

-oOo-

Sampai jumpa di chapter selanjutnya.