Hak Cipta Naruto sepenuhnya milik Masashi Kishimoto. Chic cuma pinjem karakternya buat dinistain—eh. Tiada keuntungan yang didapat dari pembuatan fanfiksi ini, selain berlanjutnya ke-halu-an yang nulis.


Serius, Chic? Lagi?

KAU BELUM PUAS MENYIKSAKU, HA?

"Belum, ehe."

EHE MUATAMU!

-o-o-o-

The Prince and Princess of Nonsense

Prolog

-o-o-o-

"Waktumu sudah hampir habis, Naruto." Pak Kakashi mengetuk jarinya pada permukaan meja. Matanya menyipit, jelas menyampaikan kekecewaan. Aku masih heran bagaimana bisa guruku yang sok misterius ini begitu ekspresif meski yang ia tunjukkan hanya sebelah mata saja.

Dan lagi, bukankah kata-katanya terdengar seperti—

"Pak, ini bimbingan profesi atau pengumuman eksekusi mati, sih?" tanyaku, agak merengek.

Ayolah! Aku baru menyapa malaikat maut beberapa bulan yang lalu!

Mata Pak Kakashi berkedip sekali, lalu beliau mengerling. "Yah, memang tidak ada bedanya sih—"

Watdepak, Pak?

"—jadi, bagaimana jawabanmu? Kau mau lanjut ke mana?"

Aku mengerang. Ini tidak adil! Bagaimana pun aku sudah mengorbankan nyawaku untuk keselamatan dunia! Seharusnya sekolah ini memberiku kompensasi tambahan waktu untuk memikirkan masa depanku! Mereka sudah menuntutku menelan materi dua semester dalam dua bulan. Sekarang aku harus gaspol capcipcup studi lanjutan dan karier masa depan?

Yang mana tak pernah kupikirkan karena aku terlalu fokus dengan misi hidup dan mati?

Hei! Yang benar saja!

Lagi pula, tujuan para murid ber-maso mengejar cita-cita atau pekerjaan impian itu apa? Umumnya memenuhi gengsi dan ekspektasi, bukan? Juga demi mengisi perut?

Lah, aku? Boro-boro gengsi, kawan-kawanku saja bilang aku ini manusia paling tidak tahu malu sedunia. Ekspektasi? Ekspektasi siapa yang harus kupenuhi? Amanat terakhir kedua orangtuaku sudah terlaksana. Jiraiya juga hanya berpesan agar aku menikmati hidup dengan bahagia.

Masalah perut? Kompensasi yang kudapat atas kejahatan genosida di kampung halamanku, dari keempat negara elemental, nominalnya cukup membuat mataku juling. Aku bisa hidup nyaman dalam beberapa dekade. Aku juga masih mendapat izin mengosongkan dompet Sasuke.

Jadi, untuk apa aku ikut pusing seperti anak lain? Saat aku pusing memikirkan nasib dunia saja mereka tidak ikutan pusing!

"Naruto," tegur Pak Kakashi.

Aku menghela napas. "Bapak ingin aku menjawab apa? Aku sama sekali belum kepikiran."

Pak Kakashi menopang dagu. "Jadi atlet bending battle, bagaimana? Atau mendalami PJPD? Sebagai seseorang yang harus belajar keempat disiplin pengendalian, kurasa kau akan jadi guru PJPD yang andal," ujar walikelasku itu.

Aku bersandar di kursi yang kududuki, tertenung sesaat. Saran dari Pak Kakashi … tidak buruk, sih.

Menurutmu bagaimana, Kurama? Mana yang … ah.

Sial. Aku terlalu terbiasa melepaskan keresahanku pada Kurama. Aku lupa kalau naga sialan itu sudah tak ada.

Ah, shit. Jangan sekarang.

"Aku pikir-pikir dulu deh ya, Pak?" Setelah mengatakannya, aku hengkang dari kantor Pak Kakashi tanpa ada kata pamit terucap.

.

Jujur, aku tak tahu harus mulai dari mana.

Saat mengangkat gunbai dan memulai ritual penyegelan kosmikku dengan kelima Naga Spiritual, aku sudah pasrah menerima kalau kisah hidupku berhenti di sana. Misiku selesai, baik sebagai Ksatria Suku Air Selatan maupun titisan Semesta. Penyesalan yang tertinggal hanyalah … kepergianku akan menyakiti seorang anak manusia.

Aku sama sekali tidak memperkirakan Shion dan Gurus Shishui berhasil menyusulku di atas bison terbang—tepat saat tubuhku ditarik gravitasi menuju lautan lepas—setelah ritual selesai. Aku dibaringkan di punggung bison terbang itu. Kemudian, keduanya terus menyalurkan energi kosmik selama perjalanan menuju Kutub Utara, dengan harapan mereka bisa menyelamatkanku.

Mereka berhasil.

Kondisiku masih kritis saat tubuhku dibiarkan menyentuh danau spiritual Kutub Utara. Tetapi, jantungku berdetak.

Siang-malam para tabib Kutub Utara berusaha memulihkan keadaan kosmik tubuhku. Kerja keras mereka terbayar. Di malam perayaan Hari Perdamaian Sedunia, aku tersadar dari tidur panjang.

Semua bersorak karena Putri Kutub Selatan akhirnya membuka mata.

.

Aku pikir, setelah satu dekade dihantui rasa takut diburu mati, berhasil melawan veteran perang dan menyegel Naga Relik Kegelapan demi keselamatan dunia; mengejar kelulusan sekolah itu tidak ada apa-apanya.

Well, aku salah. Ini jauh lebih sulit.

Apalagi aku harus menghadapi musuh bebuyutanku—mateMATIka.

Dan tak ada Kurama yang bisa kujadikan pelampiasan keluhanku seperti biasa.

.

.

.

Segini sudah cukup disebut prolog, bukan?

Asdfghjkl. Aku benar-benar kesal. Plot twist macam apa lagi yang harus kuhadapi kali ini? Kenapa pembukaannya bau-bau drama sekali?

Penulis sinting, awas kau ya … !


Next: Apa itu galau? Sejenis cincau?


(A/N)

Padahal lagi ngemaso jadi juri IFA wkwk. Sempet-sempetnya publish ff baru. Nih, yang minta sekuel! NIHHHH! /digaplok

Selamat lumutan lagi kalian~ :D /digaplok(2)

Fav, fol, review sini! Awas aja kalo enggak. Kupatok kalian! /digaplok(999+)

Sekian terima gaji.

Salam Petok,

Chic White