Malam sunyi senyap. Gelap. Hawanya dingin, sepertinya cukup untuk membuat tubuh siapapun menggigil.
Bulan pun tersembunyi di balik awan tebal. Hampir hujan.
Pemuda pirang itu duduk di kursi, meneguk perlahan wine merah dalam gelas tinggi yang ada di tangannya. Kamarnya temaram, hanya ada satu penerang kecil yang diletakkan di atas meja yang terbuat dari kayu jati.
Wine sungguh membantunya menghangatkan tubuh. Dan ada satu hal yang memberatkan pikirannya akhir akhir ini. Wolfram diam diam bersyukur punya kebiasaan minum wine sebelum tidur. Matanya menatap perapian yang menyala di penyiangan. Suara derik kayu yang terbakar perlahan terasa menenangkan di telinganya.
Setelah meneguk tetesan wine terakhirnya di gelas, Wolfram pun pergi tidur. Dengkuran halus segera terdengar setelahnya.
Lewat tengah malam. Sekoyong koyong Wolfram terbangun dari tidur. Keringat memenuhi tubuh. Jantungnya berdebar keras. Wolfram kaget. Rasanya dadanya sesak sekali. Selama beberapa menit, tangan kanannya terus meremas dada kirinya, berusaha meringankan rasa sakit.
Lalu tiba tiba sakit itu hilang begitu saja. Wolfram lega. Setidaknya sekarang ia bisa kembali tidur. Matanya pun tiba tiba sangat mengantuk. Sementara di luar, hujan turun deras. Diselingi petir yang cukup nyaring.
Pagi harinya, ketika berpakaian untuk bersiap sarapan, Wolfram merasa baik baik saja. Seolah rasa sakit tadi malam hanya ilusinya saja. Dia mendesah lega.
Di ruang makan, dia berpapasan dengan Yuuri. Setelah menyapanya sekilas, Wolfram segera bergabung untuk sarapan. Meja bundar yang besar itu dikelilingi wajah yang selalu dikenalnya. Wolfram duduk diapit Yuuri dan Conrad. Gunter dan Gwendal ada di depannya. Sarapan berjalan seperti biasa. Sambil diikuti obrolan ringan dan suara pisau dan garpu yang beradu di atas piring porselen.
Usai sarapan, Wolfram merapikan berkas di rak ruang kerja. Tiba tiba rasa sakit itu kembali. Wolfram berusaha menahan rasa sakitnya. Percuma. Rasanya semakin sakit. Pandangannya mulai memudar, namun Wolfram bersikeras mempertahankan kesadarannya. Sampai dia tak sadar beberapa suara memanggil namanya.
"Wolf? Wolfram!"
Yuuri yang sedang mentandatangani tumpukan dokumen di depannya menyadari gelagat aneh Wolfram dan segera berlari ke arahnya.
Conrad yang kebetulan ada di sebelahnya segera mengamit pergelangan tangannya dan menahan tubuhnya yang limbung. Kepalanya pun ikut berdenyut. Wolfram pingsan.
Saat ia siuman, hal pertama yang dirasakannya adalah sensasi terbakar di dada kiri dan kehangatan selimut tebal. Wolfram duduk di atas ranjang, menatap samping tempat tidurnya. Baskom berisi handuk kecil basah ditaruh di atas nakas disitu.
Tiba tiba Gisela muncul. Wajahnya terkejut, sejurus kemudian dia menghampiri Wolfram.
"Akhirnya Tuan Wolfram sadar! Bagaimana perasaan Anda, Tuan?" Gisela bertanya khawatir.
"Aku baik baik saja" Wolfram menjawab lirih.
"Saya akan panggilkan heika dan yang lain" Gisela segera pergi lagi.
"Wolf! Syukurlah!" wajah Yuuri terlihat sangat lega. Conrad menatapnya dengan tatapan cemas bercampur lega.
"Bagaimana perasaanmu?" ia bertanya perlahan.
"Biasa saja" Wolfram menjawab datar. Dadanya mulai sakit lagi.
Gwendal dan Gunter yang berdiri di belakang tampak menghembuskan napas lega.
Pikiran Wolfram menerawang ke kejadian sebulan yang lalu. Saat itu lantai batu di sana kering karena timpaan sinar matahari. Sesosok pria yang amat mirip dengannya menemukan sosoknya disitu. Mereka membicarakan hal kecil, namun penting.
"Kalau untuk orang itu dan keluargamu, kau pasti tidak bisa menolak, kan? Kau selalu seperti itu"
Wolfram mendesah pelan. Menyimpan rahasia sendirian itu memang melelahkan. Akan menyenangkan sekali bila kita bisa hidup tanpa menyimpan rahasia.
Bersambung
Menulis cerita ini sambil terus mendengarkan lagu Lembayung Bali.
