Umm... Halo...? Long time no see you all hehehe...Jadi... um... aku hiatus lama karena mempersiapkan cerita ini. Ntah gimana nasib cerita lain yang aku anggurin.

Lova : Jangan lupakan dengan janjimu untuk nge-remakeceritamu yang dulu-dulu.

Author : U-urasai! Masih ingat kok!

Jadi... karena ide cerita ini yang sudah complete konsepnya... makanya aku dulukan ini. Umm... nikmati dulu cerita ini karena aku lagi kesengsem sama mereka semua.

Ah, seperti yang kalian lihat... pen nameku yang sebelumnya Hoshisora-chi ganti lagi menjadi LiTFa dan ini benar, benar, benar! Yang terakhir!


Chapter 1

Di sebuah film horor, ketika terjadi suatu peristiwa mengerikan, hujan akan turun disertai petir yang menggelegar. Penonton akan merasa adrenalinnya terpacu dan jantung memompa darah begitu cepat sampai tubuh terasa panas dingin.

Setidaknya itu yang terjadi setiap anak kecil itu melihat film dengan genre yang dia sukai. Dia berpikir hal tersebut tidak akan terjadi di dunia nyata. Iklim cuaca tidak mungkin menyesuaikan peristiwa yang akan terjadi. Jika memang sesuai mungkin itu hanyalah sebuah kebetulan.

Jadi, bolehkah dia bertanya?

Entah bagaimana iklim cuaca mengerti situasinya. Ruangan gelap, kilat petir yang sesekali membantu penglihatannya, pisau dan tangannya yang bermandikan darah, serta orangtua dan adiknya yang tergeletak bersimbah cairan merah kental.

Apakah dia ada di suatu film?

Atau mungkin dia mengalami mimpi buruk?

Haruskah dia menikam tubuhnya dengan pisau yang ia pegang? Setidaknya dia bisa bangun dari mimpi buruk yang terpapang di depan matanya.

"Assalam— astaga!" tubuhnya tersentak sedikit. Mendengar dari nada suaranya, ia tahu kalau orang tersebut adalah kakeknya. Sepertinya mereka semua telah pulang dari supermarket.

Anak laki-laki yang dari tadi memunggungi keempat orang tersebut membalikkan badan. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis yang sedari tadi menyesakkan dada. "Tok..." dia berucap dengan suara tercekat. "Mereka tidak bergerak..."

Petir pun menyambar, memperlihatkan pemandangan mengerikan tersebut sekilas.

Dan anak itu tahu, dari tatapan kakeknya, dari tangisan adiknya yang lain, semua pemandangan mengerikan itu merupakan suatu hal yang buruk.

"Apa yang kamu lakukan...?"


The Truth © LiTFa

BoBoiBoy © Animonsta Studios/Monsta

Language: Bahasa Indonesia

Rating: T

Genre: Family, Mystery

Warning: AU, Typo(s), No Power, No Alien, No Robot, No Pairing, drama about family and friendship, press "back" if you don't like this story


Manusia memerlukan kepercayaan untuk hidup. Manusia memerlukan orang lain. Manusia selalu bergantung dengan yang lain. Karena itu manusia disebut makhluk sosial.

Namun, saat manusia menemukan hal yang mengancam kehidupan mereka, tanpa belas kasihan yang ditunjukkan, mereka menjauhinya. Tidak peduli dengan kebenaran yang terpendam. Mengacuhkan semua permintaan tolong. Itu sudah menjadi naluri mereka.

Jika hewan terbuas, terkuat dan sangat mengerikan memiliki kasih sayang besar kepada hewan yang lemah, memiliki belas kasihan pada hewan yang tak berdaya, mengapa manusia tidak bisa menjadi seperti itu?

Bukankah hal tersebut menunjukkan seberapa rendah manusia yang disebut makhluk sempurna di muka bumi ini?

Setidaknya itu yang Halilintar simpulkan dari kehidupan yang ia jalani saat ini. Penolakan dan penindasan menjadi makanannya sehari-hari. Hanya segelintir orang yang menerimanya.

Salah satunya adalah Tok Aba. Pria paruh baya yang umurnya mencapai 70 tahun. Kebaikan hatinya tidak ada yang menandingi siapapun. Kemarahannya melebihi kemarahan ibunya. Hatinya seluas samudera dan beliau tidak pernah membedakannya dengan saudaranya yang lain. Halilintar dapat berkeluh kesah kepada beliau dan ia tahu Tok Aba akan mendengarkannya. Namun, Halilintar memilih untuk memendamnya sendiri.

Bukannya Halilintar tidak percaya dengan kakeknya, dia hanya takut menambah beban pikiran beliau. Karena itu Halilintar memasang dinding tak terlihat untuk memisahkan dirinya dengan orang yang percaya padanya. Menutup diri sepenuhnya pada orang-orang yang merasa dirinya selalu benar. Menutup mata dan telinga pada dunia yang memuakkan baginya. Meski begitu, dia harus tetap bertahan hidup dalam kerasnya dunia.

Jam 02.58 pagi, alarm tidak berbunyi tapi laki-laki itu membuka matanya. Tubuhnya penuh peluh dan napasnya tersengal-sengal. Seakan-akan dia mengalami mimpi buruk. Rambutnya basah karena keringat, padahal hawa pagi ini tidak begitu panas sampai harus mengeluarkan keringat.

Halilintar memegang kepalanya. Dalam kamarnya yang gelap, dia hanya bisa mendengar suara napasnya yang cepat. Tangan yang satunya tanpa sadar menggenggam erat selimutnya.

Mata ruby-nya melihat jam digital di meja belajar. Lagi-lagi dia harus bangun di jam segini. Entah sudah berapa tahun dia rutin bangun jam tiga pagi. Haruskah dia berterima kasih pada mimpinya sampai membuatnya bangun begitu pagi? Berkatnya dia tidak akan takut telat berangkat sekolah maupun ketinggalan adzan subuh dan mengabaikan dirinya yang baru tidur 2 jam lalu. Tidak mengherankan dia memiliki kantung mata. Beruntungnya, kantung mata tersebut tidak terlalu terlihat. Halilintar menetralkan napasnya. Dia duduk di tepi kasur, memijat pangkal hidungnya untuk meredakan pusing di kepalanya. Kemudian, laki-laki tersebut akan melamun. Memikirkan apa yang telah terjadi hari kemarin, apa yang akan terjadi hari ini, dan apa yang mungkin terjadi di hari besok. Tanpa ia sadari itu menjadi rutinitasnya.

Setelah sadar dari lamunannya, Halilintar akan ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi lalu memakai jaket kemudian meninggalkan rumah tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Menghela napas lega ketika berhasil mengunci pintu rumah. Dia tidak perlu khawatir dengan penghuni rumah lain terkunci karena setiap penghuni memiliki kunci rumah cadangan.

Seperti biasa yang ia lakukan pada pagi hari lainnya, Halilintar akan berjalan santai diselingi dengan lari-lari kecil. Dengan kata lain, laki-laki tersebut olahraga pagi. Pagi dalam artian jam tiga ke atas. Hanya orang gila yang olahraga saat matahari belum menunjukkan sinarnya. Sayangnya, Halilintar termasuk orang gila tersebut.

Apa boleh buat? Dia perlu menjernihkan pikirannya dan menjauh dari rumah itu.

Halilintar akan kembali ke rumah sebelum adzan subuh dan penghuni rumah lainnya bangun. Dia akan membersihkan badannya kemudian menunaikan sholat subuh dan menyiapkan sarapan tanpa diketahui yang lain. Bersiap berangkat sekolah setelah menghabiskan satu gelas minuman mengandung kafein dan meninggalkan rumah sebelum penghuni yang lain bangun. Sebut saja Halilintar menyembunyikan hawa keberadaannya dan berperan sebagai hantu di rumahnya.

04.30 pagi. Siapapun tahu kalau jam segitu terlalu pagi untuk ke sekolah atau bekerja. Karena itu, Halilintar memanfaatkan waktu luang tersebut untuk pergi ke pemakaman orang tuanya yang meninggal 10 tahun lalu karena terbunuh. Tepatnya saat Halilintar dan saudara lainnya berumur 7 tahun.

Apa yang ia lakukan di tempat peristirahatan terakhir orang tuanya? Tentu saja berkeluh kesah atau memberi kabar kakek dan adik-adiknya.

Aneh? Bagi Halilintar hal tersebut sudah menjadi kegiatan rutinitas di hidupnya. Tidak ada tempat baginya untuk berkeluh kesah selain orang tuanya yang sudah meninggal. Meskipun Tok Aba dengan senang hati menyiapkan telinganya untuk mendengar cerita Halilintar, laki-laki itu tidak mau menambah beban pikiran beliau. Dia juga tidak mungkin bercerita pada adik-adiknya karena situasi yang tidak menguntungkan.

Berkat satu masalah yang mereka semua hadapi dan tak kunjung selesai, situasi mereka berlima saat ini seperti "Perang Gerilya". Ini bukan seperti hubungan mereka longgar bahkan putus. Mereka...

Hanya sedang menunggu. Memberi waktu dirinya untuk membuka diri. Membiarkan dirinya tahu bahwa dia tidak sendirian.

Sayangnya, Halilintar tidak menyadari hal itu dan tetap berjalan sendirian.


Laki-laki beriris kuning emas tersebut membuka matanya ketika bunyi alarm menusuk telinga. Salahkan dirinya yang meletakkan jam di dekat telinga. Jam menunjukkan 04.45 pagi, mengingatkan dirinya untuk segera menunaikan sholat subuh dan menyiapkan diri berangkat ke sekolah.

Merupakan kebiasaan laki-laki itu membuka jendela kamar saat pagi datang. Udara sejuk langsung memasuki kamarnya yang tertata rapi. Sedikit terheran ketika melihat kakak sulung keluar rumah mengenakan seragam sekolah lengkap. Sekali lagi dia melihat jamnya, "ini terlalu pagi untuk pergi ke sekolah," gumamnya.

Heran untuk kedua kalinya ketika melihat kakaknya menuju arah yang berlawanan dengan jalan menuju sekolah, "itu bukan jalan menuju sekolah, Kak Halilintar mau pergi ke mana?"

Melihat kakak sulungnya keluar tanpa ada penghuni rumah lain tahu membuatnya mengingat situasi mereka saat ini. Niat untuk memanggil kakaknya ia urungkan karena pekerjaan rumah sedang menunggunya. Dia juga belum menyiapkan sarapan untuk keluarganya, membersihkan rumah, dan menjemur pakaian yang ia cuci semalam.

Gempa, nama laki-laki itu, keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. Menghilangkan kantuk yang tersisa dengan mengambil wudhu dan menunaikan sholat subuh. Ia terkejut ketika meja makan sudah penuh dengan menu sarapan yang masih hangat. Gempa melihat gelas dan piring yang basah di rak. Bisa ia pastikan kakak sulungnya tadi menyiapkan semua ini. Memikirkan bagaimana kakaknya tersebut sarapan dalam kesendirian membuatnya sedih. Kakaknya itu mengabaikan tradisi makan bersama di keluarga ini.

Jika saja setiap masalah mereka selesaikan satu persatu tanpa ada masalah baru, keadaan seperti ini tidak akan terjadi. Jika saja dia mengingat apa yang terjadi 10 tahun lalu, kakaknya tidak akan menderita seperti ini. Gempa tersenyum sendu, "menyalahkan diri sendiri tidak akan memperbaiki apapun kan?"


Dengan tatapan datar, Halilintar memandangi bangunan tempat ia menggali ilmu. Singkat kata, Halilintar ada di sekolah. Matahari masih malu menunjukkan sinarnya dan gerbang sekolah masih dikunci. Melihat jam yang melingkar di tangan kirinya menunjukkan jam 05.30 membuatnya mendengus. Apa belum ada orang yang datang ke sekolah? Biasanya dia berpapasan dengan Satpam yang mau membuka gerbang.

"Lho? Dik Hali? Kok sudah ada di sekolah? Ini masih terlalu pagi," Halilintar menatap pria yang umurnya sekitar 30 tahunan itu dengan datar. Pria itu memakai seragam satpam alias orang yang sering berpapasan dengannya di depan gerbang sekolah. Halilintar mendengus mendengar pertanyaan Satpam tersebut.

Mengabaikan ucapan Si Satpam, laki-laki yang menutupi seragamnya dengan jaket merah-hitam itu melihat kunci yang dipegang oleh penjaga sekolah tersebut. Sadar dengan tatapan Halilintar, Satpam segera membukakan kunci gerbang. "Adik gak ngantuk tiap hari datang jam segini?" gerbang terbuka. Halilintar menggelengkan kepalanya, berjalan masuk menuju pos satpam.

Sang Satpam menghela napas, "sekali-kali kalau jawab ngomong gitu gak bisa Dik? Berasa bicara sama patung nih Bapak."

Tatapan tajam dilayangkan, Pak Satpam tersenyum menunjukkan giginya. "Kamu bisa bicara, kenapa malah diam saja? Bagusnya... kalau ada orang yang mengajak bebicara, kamu juga membalas," pagi-pagi sudah kena wejangan dari Pak Satpam. Halilintar mendengus, "gak ada yang ngelarang buat diam, uhuk," batuk menyela. "Gak penting juga."

"Wah... Bapak sakit hati ini... kalau kamu diam saja Bapak gak tahu kamu mau ngomong apa. Orang-orang juga gak suka kalau ucapannya gak diberi respon."

"Gak ada yang peduli. Uhuk."

"Ngomong kayak gitu juga bikin sakit hati orang yang dengernya lho... Bapak mah sudah kebal," Halilintar berdecak saat satpam tidak berhenti bicara. "Kopi hitam. Ngopi bareng," laki-laki itu berbicara seakan memerintah.

"Kalau ngomong juga dikasih penjelasan... kalau kamu ngomongnya kayak gitu kelihatan merintah. Gak baik," Halilintar memilih diam. Tidak membalas karena tenggorokannya yang sakit. Pak Satpam tersenyum memaklumi. Halilintar terkenal dengan sifatnya yang pendiam. Jangan mengharapkan untuk mendapat suatu respon darinya jika bukan masalah yang penting. Temperamental dengan masalah yang biasa dianggap sepele oleh orang lain. Pintar di atas rata-rata, dia bisa saja langsung masuk ke kelas 12 bila mengikuti kelas akselerasi. Halilintar menolak karena tidak mau membebani otaknya dan beberapa alasan lainnya.

Saking pendiamnya, tidak heran ketika Halilintar berbicara akan diselingi oleh suara seraknya dan terkadang diselingi batuk. Diajak berbicara juga kadang tidak merespon. Dan beberapa faktor membuat Halilintar hampir tidak memiliki teman di sekolahnya membuatnya jarang berbicara.

Satpam ber-name tag 'Iwan' di seragamnya itu memberi segelas kopi hitam panas pada Halilintar. Cocok dengan hawa dingin yang menusuk tulang. Halilintar menghangatkan tangannya lewat panas yang menghantar dari kopi ke gelas tersebut. Meniupnya sebentar kemudian meminumnya sedikit. Hangat langsung menjalar di kerongkongan yang membuatnya menghela napas lega. Padahal dia baru saja minum kopi sebelum keluar rumah.

"Dik Halilintar gak mau cari teman gitu? Bapak sering liat Adik sendirian," alis Halilintar berkedut. Emosi hampir mencapai ubun-ubun ketika Iwan terus mengajaknya bicara. Kembali dia mengabaikan Si Satpam. Iwan meminum kopinya sedikit, menatap Halilintar lewat sudut mata. "Gak dijawab Dik?"

"Bicara siram. Minum kopinya," ancaman dari anak berumur 17 tahun. Iwan hanya tertawa kecil. "Bapak tahu kamu gak bakalan siram Bapak. Kopinya mahal buat cuci muka," candanya yang dibalas dengusan oleh Halilintar.

Halilintar kembali meminum kopinya. Matanya menyipit saat sinar matahari memasuki pos satpam. Dia melihat jam yang menggantung di dinding ruangan tersebut. Jam tersebut menunjukkan angka 6, sedikit demi sedikit para murid berdatangan.

Halilintar meletakkan gelas yang sudah tandas isinya di meja satpam. Bersiap-siap memasuki kelasnya. "Lho? Lho? Mau masuk sekarang? Ini masih jam 6," tanya Iwan tidak percaya.

"Kelasnya sepi," kali ini Halilintar menjawab dengan benar meskipun singkat.

"Kopi Bapak belum habis nih," alasan yang dibuat agar Halilintar menemaninya minum. Tatapan tajam kembali dilayangkan, laki-laki itu menghela napas, "Bapak minum sendiri. Tadi disuruh minum malah bicara," menjadi kalimat terpanjang untuk pagi ini. Tenggorokannya tidak sakit, karena itu dia lebih mudah berbicara tanpa ada batuk yang mengganggu. Tapi suara yang seperti kaset rusak itu masih ada.

"Tega kamu Dik," gerutu Iwan. Tatapan datar langsung diterimanya, "salah Bapak sendiri juga. Aku ke kelas," Halilintar pamit. Tidak mengindahkan tatapan memohon dari Si Satpam. Dia tahu kalau Satpam tersebut hanya bercanda. Hampir dua tahun dia minum kopi bersamanya, jadi Iwan tahu kebiasaan Halilintar yang berangkat sekolah begitu pagi dan masuk kelas tepat jam 6 saat kelas masih sepi dengan murid.

"Semangat belajarnya Dik!"


Gempa berjalan menuju kelas kakaknya dengan senyuman. Tangannya membawa dua buah kotak bekal dan botol air mineral. Mengabaikan tatapan mencela dari semua murid dalam perjalanannya.

Iris kuning emas itu langsung tertuju di salah satu bangku yang sangat ia hafal ketika sampai di tujuannya. "Kak Halilintar!" panggilnya dengan nada ceria. Sedikit menarik perhatian murid yang ada di kelas tersebut.

Laki-laki yang tengah sibuk dengan novelnya itu diam, tidak mengindahkan panggilan sang adik. Dengan telinga yang ditutupi oleh earphone, Halilintar melewati suara panggilan adiknya tersebut.

Memaklumi sifat kakak sulungnya, Gempa memasuki kelas tersebut. Kembali mengabaikan tatapan benci dari murid lain. Tepukan ringan ia berikan pada bahu Halilintar yang direspon dengan sentakan kaget karena tubuhnya hanya menerima fisik ketika dia sparring. Hampir saja Halilintar membanting adiknya jika saja dia tidak melihat terlebih dahulu. Iris ruby milik Halilintar menatap iris kuning emas milik Gempa. Melayangkan pertanyaan lewat tatapannya.

"Ayo makan... Ice sudah menunggu di halaman belakang sekolah," ucap Gempa seolah mengerti tatapan kakaknya. Tanpa banyak kata, Halilintar berdiri kemudian berjalan mengikuti Gempa dengan mata yang masih fokus dengan novel. "Yang lain?" pertanyaan tiba-tiba dari Halilintar. Gempa tidak menatap kakaknya, mulutnya membentuk senyuman, "ada urusan yang harus mereka selesaikan katanya. Tidak bisa ditunda."

Mendengar jawaban adiknya, Halilintar menatap Gempa sejenak. Menghela napas ketika ia mengingat setiap Gempa mengajaknya makan bersama terkadang grup mereka tidak lengkap.

Apa mereka menyembunyikan sesuatu kepadaku?

Menutup novel yang bersampul warna hitam itu, Halilintar mengambil dua kotak bekal tersebut yang ia yakini milik dirinya dan adiknya. "Tahu kalau akan seperti ini kenapa mengajakku?"

Halilintar berpikir, terkadang dua adik lainnya itu mulai jenuh kepadanya. Mereka memang jarang berkumpul seperti dulu, jarang berbicara seperti saat kejadian itu belum terjadi. Jadi, Halilintar berpikir, mungkin Taufan dan Blaze terkadang tidak ikut makan bekal bersama karena dirinya. Karena tatapan semua murid. Andaikan mereka berempat bukan adiknya, mereka tidak akan merasakan semua ini.

Gempa mengedipkan matanya beberapa kali, "apa maksudnya? Kita biasa makan bekal bersama. Kadang juga gak lengkap dan..." Gempa berhenti sejenak. "Aku tahu kalau Kak Halilintar gak bawa bekal. Padahal Kak Halilintar bisa menyiapkannya selagi membuat sarapan."

"Kau..."

"Jangan lupakan kebiasaanku tentang bangun pagi Kak..." Gempa tersenyum, "sempat lihat Kakak keluar rumah juga. Pakai baju seragam tapi berangkatnya gak ke sekolah. Ke mana?" tanyanya.

"Di belakang halaman sekolah kan? Ayo. Ice nanti lama menunggu," jelas sekali Halilintar menghindar pertanyaan Gempa. Bisa ia dengar adiknya menghela napas.

Aku harus berhati-hati saat keluar.

Hampir saja aku membocorkannya.


Langit malam tidak berbintang hari ini. Angin dingin menusuk kulit memasuki jendela kamar yang tidak tertutup, menerbangkan lembaran demi lembaran kertas di meja. Menambah "kekacauan" di kamarnya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana keluarganya melihat keadaan kamarnya yang berantakan bagai diterjang angin topan.

Tapi, apa pedulinya? Tidak akan ada yang menghampiri kamarnya. Pintu kamar selalu ia kunci ketika keluar. Tok Aba dan saudaranya selalu mengetuk pintu saat mau masuk ke kamarnya. Kecuali kalau ada sesuatu yang penti—

Kriet...

"Bukankah ini waktunya untuk berhenti, Kak?"

Kilat tiba-tiba menyambar diikuti dengan suara yang memekakkan telinga. Air turun setetes demi setetes dan semakin deras membasahi bumi. Angin menutup jendela kamar Halilintar dengan keras.

Halilintar dengan terang-terangan menunjukkan ekspresi heran. Dalam kegelapan di kamarnya, Halilintar tetap bisa menebak siapa yang ada di ambang pintu kamarnya. Cara membuka pintu kamar yang pelan, cara bicara yang lirih tanpa ada niatan untuk memulai percakapan. Halilintar tahu kalau dia adalah...

"Apa yang kamu bicarakan, Ice?" tanya Halilintar dengan suara serak disusul batuk. Si bungsu, Ice, melontarkan pertanyaan yang tidak ia mengerti.

"Aku sudah tahu semuanya Kak. Semua yang terjadi aku— kami tahu," jawaban Ice hanya menambah kadar kebingungan yang ada di kepala sang kakak.

Iris aqua menenangkan dan iris ruby tak bercahaya saling bertatapan selama beberapa detik. Halilintar yang pertama memutuskan kontak. Dia tidak menemukan jawaban dari sang adik lewat tatapan mata.

"Aku masih tidak tahu apa yang kalian bicarakan. Lebih baik kalian berdua segera tidur," Halilintar bebicara tanpa menatap kedua adiknya. Ia lebih memilih mengumpulkan kertas yang berserakan akibat angin besar tadi dengan cepat. Halilintar tidak mau kedua adiknya melihat isi dari kertas-kertas tersebut.

Sedangkan Gempa yang dari tadi ada di luar kamar Halilintar terkejut. Tidak menyangka bahwa kakaknya mengetahui keberadaan dirinya. Dia mengikuti Ice karena ingin menghentikan niat adiknya itu untuk membuat Halilintar memberitahu semuanya.

Jder!

Langit kembali bersuara, kamarnya yang remang-remang sekilas diberi pencahayaan oleh kilat. Gempa menunjukkan dirinya, "maaf Kak... aku rasa... Ice benar. Meskipun aku gak terlalu ingat—"

"Gempa," intonasi Halilintar menurun. Itu adalah sebuah peringatan untuk tidak melanjutkan apa yang akan Gempa sampaikan. BoBoiBoy ketiga itu menundukkan kepalanya.

"Jangan memarahi Kak Gempa, dia hanya ingin kita semua menyelesaikan masalah ini. Kami semua hanya ingin Kak Halilintar memberitahu kami bahwa Kakak bukanlah seorang pembunuh."

Halilintar tersenyum tipis kepada kedua adiknya, "aku bukan seorang pembunuh."

Ucapan Halilintar tidak membuat keadaan membaik dan itu dibuktikan dengan...

Jder!

Kilatan yang kembali menyambar apalagi melihat senyuman tipis si sulung menghilang. "Apa hanya dengan aku mengucapkan kalimat itu semua masalah menjadi selesai?"

Seperti yang Gempa dan Ice duga. Tidak mungkin Kakak mereka dengan mudah memberitahu kebenarannya jika hal itu belum bisa dibuktikan.

"Dengan diriku yang waktu itu memegang pisau penuh cairan merah, apakah orang-orang dengan mudahnya akan percaya bila aku bukanlah seorang pembunuh?"

Gempa dan Ice tidak bisa menjawab. "Tidak kan? Dengan bukti sejelas itu orang akan menyimpulkan bahwa aku telah membunuh mereka. Membunuh Ayah dan Ibu," Halilintar menatap kedua tangannya yang gemetar.

"Bukan! Kak Halilintar bukan pembunuh. Aku tahu itu! Aku ada di sana! Seharusnya aku mengingat hal itu! Tapi..." Gempa menundukkan kepalanya dalam.

"Tapi... dengan bodohnya... hanya dengan luka kecil di kepala... aku... aku... melupakan—"

"Akan lebih baik seperti itu," Gempa menatap Halilintar tidak percaya. Sedangkan yang ditatap kembali menunjukkan senyuman tipis.

"Akan lebih baik jika kamu tidak mengingat hal mengerikan itu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan jika kamu mengingatnya. Jadi, jangan berusaha mengingatnya. Itu akan sangat membantu."

"Meskipun ingatan Kak Gempa dapat membantu Kak Halilintar?" tanya Ice.

Halilintar mengangguk, "semua rumor itu tidak akan tertutup hanya dengan Gempa mengingat kejadian di hari itu. Tidak akan tertutup jika kamu tidak punya bukti. Begitu juga fakta bahwa aku seorang pembunuh."

Gempa memeras rambutnya erat, Halilintar mendekati kedua adiknya. "Tapi... Kak Halilintar bukan... aku yakin bukan... mereka pelakunya... mereka—" gumaman Gempa terhenti ketika dia merasakan Halilintar memeluknya. Memeluk dia dan Ice. "Kalian percaya padaku itu saja sudah cukup."

"Tapi itu tidak cukup untuk kami semua," Ice hanya bisa memejamkan matanya.

Dia adalah BoBoiBoy Halilintar.

Anak pertama dari lima bersaudara.

Umur 17 tahun.

Seorang pembunuh.

Itu yang dikatakan orang-orang.

[To Be Continued]


Bagaimana? Dah lama gak buat cerita hasilnya malah tema yang mainstream hehehe...

Kalau kalian berkenan... Mohon berikan review.. Itu akan membantuku meningkatkan kemampuan menulisku.

Deas : Ini aneh melihat sikap Author yang berubah setelah sekian lam.

Author : Damare Deas.