.
.
.
"Furuike ya, kawazu tobikomu, mizu no oto."
"Di kolam tua, seekor katak melompat, air pun pecah." –Matsuo Basho-
Matahari telah tergelincir turun, mengubah senja menjadi malam. Bersama sang rembulan para bintang bersinar menemani dewi malam. Dari sebuah halaman rumah bergaya tradisional Jepang, lantunan musik jazz terdengar. Nada indah menambah suasana berkelas di tengah pesta kebun.
Begitu banyak tamu yang diundang, untuk ikut merayakan keberhasilan Hyuuga Corps dalam menangani proyek besar. Mereka bertandang, silih berganti mengucap selamat pada pemilik acara. Tak jarang, rekan bisnis melontarkan pujian, sekadar pemanis kata dengan niat terselubung.
Seorang gadis cilik berusia lima tahun, tetap setia bersembunyi di balik kaki ibunda yang tertutupi kimono. Pipi putihnya merona, setiap kali kedua iris ametisnya bertemu pandang dengan kenalan orang tua-nya. Ia menghela napas pelan, mengharapkan waktu berjalan cepat agar pesta segera usai.
"Hinata," suara lembut sang bunda memanggil. "Coba lihat, siapa yang datang, sayang."
Gadis kecil menolehkan kepalanya sedikit, mengintip ragu. Namun sinar mata berubah, ketika ia mengenali pria dan wanita dewasa di depannya. Hinata tersenyum lebar, kaki kecilnya berlari untuk memeluk pinggang perempuan berambut merah.
"Bibi Kushina, Paman Minato!"
Minato tertawa ringan, ia mengusap atas kepala Hinata dengan lembut. "Hei! putri kecil, lama tak jumpa."
"Hari ini Bibi tidak datang dengan paman saja," ujar Kushina sambil menyamai tinggi Hinata. "Apa Hinata-chan mau menjadi temannya?"
Hinata tidak lekas menjawab, ada keraguan disinar matanya. "Apa dia mau menjadi temanku?"
Kushina tergelak, ia mencubit pelan pipi gembul Hinata. "Bibi pastikan, dia mau menjadi temanmu. Jika dia menolak, akan bibi pukul pantatnya sampai dia mau!"
Hinata tertawa, merasa aman dan percaya dengan perkataan Kushina. Ia kemudian mengangguk sambil tersenyum lebar. Dirinya tidak sabar untuk bertemu dengan calon teman barunya.
"Naruto?" Minato mengedarkan pandangan, "Kemana perginya dia?"
"Ayah, aku di sini-dattebayo!"
Suara melengking itu, menarik perhatian Hinata. Menarik atensi violet untuk menoleh ke atas. Di salah satu dahan pohon rindang, duduk seorang anak laki-laki lebih tua darinya. Ia mengenakan kemeja putih dengan dasi kupu-kupu dan celana pendek selutut berwarna hitam.
"Apa yang kau lakukan di sana? Cepat turun!" Kushina menyentak pelan, tidak habis pikir dengan kelakuan anak semata wayang.
Bocah itu melompat dari atas dahan, mengejutkan Hinata hingga kedua matanya melebar. Kaki kecil mendarat sempurna di atas rerumputan, kemudian ia berlari menghampiri Kushina dan Hinata. Ketika anak laki-laki itu sudah berdiri tepat di depannya, barulah Hinata menyadari rambut kuning keemasan serta kedua iris berwarna biru jernih.
"Heyo! Kenalkan, namaku Namikaze Naruto! Salam kenal-dattebayo!" katanya dengan senyuman lebar serta uluran tangan.
Detik itu juga Hinata terpana, tidak menyangka akan melihat sinar mentari di malam hari. Bagaimana cara Naruto terlihat menyilaukan di matanya? membuat ia tidak takut untuk menyambut uluran tangan dari orang asing.
Bletak!
"Ibu tidak pernah mengajarimu berkenalan seperti itu!" semburan amarah dari Kushina membuat tangan mungil Hinata mengambang di udara. Gadis kecil itu mematung, terkejut mendengar nada tinggi tiba-tiba.
Naruto menunjuk ujung hidung Hinata tiba-tiba, "Tapi Bu, dia lebih muda dariku."
"Tetap saja, kita sedang di pesta resmi. Ulangi lagi!"
"Kenapa? Aku yakin dia lebih senang perkenalan seperti itu dari pada yang diajarkan Ibu."
"Itu namanya etika, bocah nakal!" Kushina menghela napas pelan. Kadang ia lupa, betapa sulitnya mengajari anak tunggalnya tentang dasar-dasar tata krama. "Maaf ya, Hinata-chan. Anak bibi memang sedikit—"
Kushina dan Naruto sontak menoleh tiba-tiba ke arah gadis kecil yang sejak tadi diam memerhatikan. Namun perhatian itu mengejutkan Hinata, membuat ia kaget dan tersentak pelan.
"Hiks!"
Oh, tidak, ia cegukan. Hinata menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya mulai merona, lalu menunduk, dan menggunakan poni ratanya untuk menutupi separuh mata. Pundaknya bergetar pelan, tanda cegukan masih berlangsung.
"O-oi! Kau tidak apa-apa?" tanya Naruto dengan raut cemas. Bocah pirang itu bahkan sudah berlari untuk mengambilkan segelas air putih untuk Hinata.
"Aduh, maafkan bibi yang mengejutkanmu." Kushina berlutut dan mengusap punggung kecil Hinata pelan. "Bagaimana ini, Minato-kun?"
Minato membalas tatapan cemas sang istri dengan menghela napas. Ia menoleh ke arah Hiashi yang hanya diam, sementara Hikari menahan tawa geli. Pria berambut pirang panjang sebahu tersenyum pahit, merasa agak bersalah dengan tingkah istri dan putranya.
"Tolong maafkan kelakuan istri dan putraku, Hiashi-san, Hikari-san."
"Tidak masalah Minato-san, lagi pula Kushina-chanmemang seperti itu." Hikari menyahut sambil tersenyum kecil. Ia memandang putri kecilnya tengah menegak air putih yang dibawakan Naruto.
"Aku rasa dengan adanya Kushina-chan dan Naruto-kun. Putriku mungkin bisa menghilangkan sifat pemalunya walau sedikit," sambung Hikari.
"Aku harap begitu, bagaimanapun Hinata adalah salah satu pewaris Hyuuga Corps, selain Neji." Hiashi ikut menimpali sambil melirik putra sulung yang tengah beradu cakap dengan beberapa tamu undangan.
Senggolan pelan ia rasakan, mengalihkan kembali atensi Hiashi pada sang istri. Hikari mengerucutkan bibirnya kesal. "Berhentilah memikirkan kerajaan bisnismu walau hanya sebentar, sayangku."
Hiashi tersenyum tipis, "Haruskah? Meskipun aku tengah memikirkan rencana perjodohan antara putri kita dengan putra Minato?" Lelaki paruh baya itu hampir mendengus geli, begitu melihat raut istri dan sahabatnya.
Minato sendiri sudah mematung, ia sama sekali tidak tahu menahu akan hal ini. Sudut hatinya merasa bimbang. Haruskah dirinya menanggapi perkataan sahabat lamanya dengan serius, atau sebagai candaan. Meski sejujurnya, Minato sama sekali tidak akan menolak, jika Naruto dijodohkan dengan Hinata yang sudah dianggap putri sendiri.
"Benarkah itu, sayang?" kedua mata Hikari sudah berbinar senang. "Berbesan dengan Kushina-chan adalah impianku sejak dulu!"
"Aku juga berharap keluarga Hyuuga bisa bersatu dengan Namikaze." Hiashi mengusap pelan rambut panjang Hikari, lalu matanya beralih pada sahabatnya. "Bagaimana menurutmu, Minato? jika Naruto menjadi suami Hinata?"
Lelaki paruh baya itu memandang lekat teman lamanya. Seakan mencoba mencari kesungguhan dari perkataan Hiashi dan ketika mendapatinya, Minato menangguk lalu tertawa renyah.
"Tentu, mengapa tidak? aku yakin tidak akan ada yang menolak dengan keputusan ini."
Hiashi tersenyum tipis, diam-diam menghela napas lega. Sempat mengira keputusan sepihak yang ia buat akan ditolak mentah-mentah oleh Minato. Rahangnya kembali mengeras, ketika kedua iris perak memandang lekat sosok Hinata dan Naruto tidak jauh darinya.
Hikari menghampiri Kushina untuk memberitahu perihal rencana perjodohan kedua anak mereka. Tidak lama sampai keduanya meninggalkan Naruto dan Hinata bermain di dekat kolam ikan. Pria dengan kimono formal itu menghela napas untuk kesekian kalinya, mengundang tanya teman lamanya.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Hiashi?"
Agak lama Hiashi terdiam, seakan enggan menjawab kekhawatiran Minato. Lelaki paruh baya itu akhirnya membalas tatapan sahabatnya. "Minato, bisakah kau pastikan Naruto akan mencintai Hinata kelak? apakah Naruto nantinya mampu menjaga anakku walau nyawa taruhannya?"
Pertanyaan itu tak ayal membuat Minato mengerutkan kedua alisnya. Semua orang tua tentu menginginkan yang terbaik bagi anak mereka. Tentu saja kepala keluarga Namikaze berharap Naruto dan Hinata akan saling mencintai dan menjaga satu sama lain. Namun mereka tidak bisa berbuat banyak ketika hati yang dipertanyakan.
"Aku tidak bisa memastikannya, karena keputusan akhir ada ditangan mereka berdua."
Agak lama keduanya saling bersitatap, sebelum Hiashi mengalihkan atensinya menuju bulan di langit malam. Tatapannya menerawang jauh, mulutnya terkatup rapat, seakan menyimpan rahasia agar tak terdengar oleh dunia.
"Kau benar, hati manusia siapa yang bisa tahu." Hiashi terkekeh pelan, "Sepertinya aku terlalu cemas pada masa depan yang masih jauh."
...
Dua anak kecil duduk di sebuah kursi panjang menghadap kolam buatan. Sama sekali tidak tertarik dengan pesta yang diselenggarakan orang dewasa. Hinata duduk di samping Naruto, mendengarkan celotehan bocah pirang tanpa merasa bosan. Mendengarkan apa saja yang sudah dilalui oleh anak laki-laki itu. Seperti hari pertama bersekolah, berkumpul dan bermain bersama teman-teman baru, sampai saat keluarganya mengadakan acara piknik bersama.
"Masakan Ibuku adalah hal terakhir yang kau inginkan-dattebayo!" ujar Naruto tanpa lupa memasang raut ngeri saat mengingatnya. "Ibu benar-benar tidak bisa memasak!"
Tawa Hinata berderai menanggapinya, membuat Naruto ikut tersenyum hingga membuat kedua matanya menyipit. Ia mengulurkan jari kelingkingnya membuat Hinata menatapnya tak paham.
"Mau berjanji denganku? saat Hinata-chan besar nanti, kau harus pintar masak dan membuatkanku bekal setiap hari!"
Manik lavendel itu mengerjap, kedua pipi putihnya merona dengan senyum merekah. Hinata mengangguk antusias, lalu menautkan jari kelingkingnya sambil berujar. "Aku berjanji, Kak Naruto."
Usai janji itu terucap, embusan angin malam tiba-tiba hadir. Membelai helai rambut pendek Hinata dan Naruto. Iris ametis itu beralih ke atas, beradu tatap dengan bulan purnama bersama segelintir perasaan aneh menyelimuti hati kecilnya. Seakan benda langit itu menatapnya, mengawasinya, hingga memberikan getaran asing yang tidak mampu Hinata pahami.
...
Bulan purnama perlahan berubah, mengabur sebelum warna biru mulai mendominasi. Kini tampak planet bumi menjadi pemandangan di atas langit. Terlihat begitu besar, indah, dan hidup. Membuat siapapun menatap penuh damba, tak terkecuali seorang anak kecil dengan kimono putih kusam.
Rambut putih berantakan dibelai angin malam, raut wajah datar dengan sepasang mata berpupil biru bercorak bunga putih. Tampak indah, namun juga dingin dan kesepian. Ia memandang keindahan bumi bersama secuil rasa iri pada para penghuni di sana.
Bagaimana rasanya tinggal dikelilingi rerumputan hijau dan birunya lautan?
Jelas lebih baik ketimbang hidup dalam kesunyian, kehampaan, dan dalam kekangan sang waktu. Bocah laki-laki itu mengulurkan tangannya, mencoba menggapai bumi dengan sejuta pesona yang dipancarkan.
"Dia berjanji padaku, akan segera datang. Aku menunggunya, tapi siapa yang datang, selain berkas bulan di pagi hari."*
Kedua iris putih kebiruan itu perlahan menutup, seakan menikmati embusan angin malam yang begitu hampa. Bibir mungil bocah itu kembali berucap pelan, seakan berbisik pada angin.
"..., wahai pengantinku."
.
.
.
Continue...
Jejak Disclaimer (*) – Sebuah puisi dari sastrawan Jepang bernama Priest Sosei –
A/N: Halo semuanya, kali aku membawakan cerita yang sudah pernah aku publish sebelumnya, namun aku tarik kembali. Kali ini ceritanya sudah lengkap, dan siap kapan saja aku update. Kalau kalian ingin cerita ini update secepatnya, aku mau minta tolong kalian untuk tidak lupa vote dan komen. Semakin banyak vote semakin cepat aku updatenya.
.Follow
See you guys~
