Boboiboy mengusap peluh yang lagi-lagi muncul di dahinya. Ia sesekali batuk, dan kepalanya terasa sangat pening sedari pagi. Namun Boboiboy memaksakan dirinya untuk bekerja di cafe milik abangnya Fang. Ia tidak boleh bermalas-malasan meski bosnya adalah kerabat temannya sendiri.
"Boboiboy, waktu shift-mu sudah habis. Kau boleh pulang sekarang,"
Kaizo tiba-tiba muncul dari arah dapur. Boboiboy menoleh, menghentikan aktivitas me-lap kaca cafe yang kotor. Ia mengecek jam yang menunjukkan pukul 5 sore.
"Ah, terimakasih bang." ujarnya sembari mendekat pada meja counter.
Kaizo hanya mengangguk. Ia menghampiri meja counter tempat Boboiboy berada untuk membuat kopi. Sementara karyawannya itu tengah melepas seragam cafenya, menyisakan kaos hitam di sana. Kaizo memicingkan mata ketika mendapati wajah pucat Boboiboy.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Kaizo, lalu meminum kopi buatannya. Boboiboy yang merasa diajak ngobrol menoleh, memberi tatapan bertanya pada sang bos. "Wajahmu pucat sekali. Kau sakit?" kata Kaizo memperjelas ucapannya.
Boboiboy menggeleng. "Aku baik-baik saja, bang. Cuma pusing sedikit." jawab Boboiboy setengah berbohong. Bukan hanya pusing yang melanda, namun seluruh sendinya terasa nyeri, dan ia bisa merasakan suhu tubuhnya naik.
"Yasudah, istirahat saja dulu. Besok shift-mu dimulai jam 7 malam."
"Iya bang. Aku duluan, terima kasih bang!"
Kaizo hanya mengangguk, dan Boboiboy meninggalkan cafe untuk pulang ke kost-annya.
"Always By Your Side" by Meltavi
Boboiboy © Animonsta Studios
Warn : AU, BoYa, Romance, Hurt/Comfort, OOC, gaje, dll.
Happy Reading!
.
.
.
Yaya
Bisa kita bertemu sebentar? Aku merindukanmu.
Langkah Boboiboy terhenti ketika matanya membaca sederet pesan itu. Dadanya kembali sesak, setengah hatinya ingin sekali membalas pesan dari gadis yang ia sukai itu, namun otaknya berkata lain. Tidak boleh, keputusannya sudah bulat dan Boboiboy harus bisa mengendalikan hatinya yang masih menaruh perasaan pada Yaya.
Dengan berat hati, Boboiboy menaruh kembali ponselnya di saku jaket dan kembali melangkahkan kaki di stasiun. Jarak cafe tempatnya bekerja dengan kost-annya sangat jauh dengan waktu tempuh dua jam, dan harus menggunakan kereta. Boboiboy tak henti-hentinya menahan diri untuk tidak ambruk, disebabkan rasa peningnya semakin parah seiring ia berjalan.
Jika saja ada tempat yang menerima dirinya untuk mencari nafkah, mungkin Boboiboy tidak akan bekerja di cafe abang Fang yang jaraknya bisa membuat Boboiboy membatin. Ia terpaksa menerimanya dikarenakan dirinya tak kunjung dapat pekerjaan, sementara ia harus bertahan hidup di tengah kota ini. Banyak biaya yang harus dibayarkan, dan Boboiboy tidak akan mau merepotkan orang tuanya lagi. Ia harus bisa mandiri, karena merantau adalah pilihannya sejak awal.
Awalnya semua baik-baik saja. Namun, sebuah ujian menghampiri keluarganya dan ia sendiri. Perusahaan sang ayah bangkrut karena dikhianati oleh rekannya sendiri, bersamaan dengan dirinya yang dipecat dari pekerjaan awal karena kesalahpahaman. Boboiboy benci mengingatnya lagi, karena itu yang menyebabkan hubungan asmaranya retak.
Drrttt. Drrttt.
Yaya
Boboiboy, kumohon balas pesanku.
Dan Yaya tidak akan pernah menyerah untuk menghubunginya, meski ia sudah menyakiti gadis itu begitu dalam.
Boboiboy mengeratkan genggamannya pada ponsel, seperti ingin menghancurkannya. Kepalanya lagi-lagi memutar kembali ingatan saat dirinya mencampakkan Yaya. Bagaimana gadis itu terlihat kecewa, menahan air matanya yang mana membuat hati Boboiboy hancur.
.
.
Sore itu diisi keheningan begitu lama. Sepasang kekasih duduk di kursi besi panjang di tengah taman kota yang begitu ramai. Semua orang di sana terlihat ceria, kecuali mereka berdua yang diam tak mengeluarkan suara selama sepuluh menit lebih.
Yaya menghela napas. Ia menghadapkan tubuhnya pada Boboiboy, jengah karena cowok itu tak kunjung memberi penjelasan kenapa mengajaknya ke sini.
"Boboiboy. Ada apa?" tanya Yaya berusaha sabar, meski sepertinya ia sudah sangat lelah karena sikap Boboiboy yang amat janggal sebulan terakhir ini.
Boboiboy masih bergeming di tempatnya. Sorot matanya begitu sendu, dan Yaya bisa merasakan kesedihan yang terpancar dari sana. Yaya kembali diam, menunggu entah sampai kapan Boboiboy akan berbicara.
"Kita sudahi saja," Suara Boboiboy hampir tak terdengar ketika mengucapkannya. Ia menunduk, tidak berani bertatapan dengan Yaya yang ia yakini tengah menatapnya kecewa. Boboiboy sudah tidak sanggup lagi. Ia tidak mau menyeret Yaya ke dalam penderitaannya. Gadis itu berhak bahagia, dan Boboiboy tidak bisa lagi membahagiakannya karena semua keterbatasannya.
"K-kau bilang apa?" Mata Yaya berkaca-kaca. Telinganya pasti salah dengar. Boboiboy tidak mungkin memutuskannya, 'kan? Cowok itu telah berjanji akan selalu di dekatnya. Dan Boboiboy tidak pernah mengingkari janjinya.
"Kita udahan ... Aku sudah lelah ... " lirih Boboiboy. Ia berdiri, berniat pergi dari sana jika saja Yaya tidak menahan tangannya. Seketika hatinya berdenyut sakit, Boboiboy memejamkan mata kala sisi lain dirinya berkata untuk tetap di sini.
"Nggak ... Aku nggak mau." Suara Yaya terdengar bergetar, menandakan gadis itu ingin menangis. "Kumohon jangan begini, Boboiboy ... Aku masih sayang padamu ... Kumohon ... "
"Maafkan aku ... "
Setelah tangan Yaya berhasil dilepas, Boboiboy pergi. Merasakan nyeri di dadanya seiring ia melangkah meninggalkan Yaya yang terpuruk di sana.
.
.
Meski dirinya mengatakan bahwa ia sudah tidak punya perasaan pada Yaya, itu adalah kebohongan. Kebohongan besar. Perasaannya pada Yaya justru semakin bertambah, seolah memberinya karma dan ingin membuat penderitaannya lebih banyak lagi.
Boboiboy mengusap wajahnya frustasi. Ia memandang jendela di sampingnya yang menampilkan pemandangan di luar kereta. Dunia terlihat baik-baik saja. Seperti tidak memedulikan dirinya yang dibelenggui penderitaan. Dan juga rasa sesal karena telah memutuskan Yaya sepihak.
Ia memang tidak menceritakan kesulitannya pada Yaya. Namun Boboiboy bisa menebak, gadis itu akan mencari tahu sendiri. Jika Fang –orang yang tahu segalanya tentangnya– memberitahu Yaya, Boboiboy sudah tidak terkejut lagi. Ia hanya tinggal menunggu Yaya mendatanginya dengan wajah marah, dan mungkin ia kembali menyakiti gadis itu lagi nanti.
Kereta berhenti di stasiun tempat ia turun. Boboiboy melangkah keluar bersama penumpang lain. Namun tiba-tiba kepalanya berputar lagi, membuat ia hampir kehilangan keseimbangan jika saja tidak ada tiang di dekatnya. Napas Boboiboy terengah-engah. Ia membiarkan tubuhnya bersandar pada tiang itu untuk beristirahat sebentar. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Boboiboy tentu tidak mau pingsan di jalanan malam jika ia tetap memaksakan berjalan.
Bunyi nyaring dari ponselnya menyentak Boboiboy. Ia merogoh ponselnya, menatap ponselnya dengan susah payah karena pandangannya mengabur.
Yaya is calling...
Dan tanpa ia sadari, Boboiboy mengangkat panggilan itu.
"Boboiboy!"
Boboiboy terdiam ketika suara yang begitu ia rindukan terdengar jelas di telinganya. Ia menunduk, menatap sepatu lusuhnya dengan tubuh masih bersandar.
"Aku tidak peduli kamu akan mendengarnya atau tidak." Suara Yaya hilang sebentar. Digantikan oleh suara angin yang berhembus kencang. "Kamu ingat saat kamu bilang ke aku, kalo kamu tiba-tiba ninggalin aku dan bilang nggak sayang sama aku lagi, itu adalah kebohongan yang kamu buat."
Ingat Yaya. Tentu saja aku ingat. batin Boboiboy berteriak.
"Jadi kumohon, jangan seperti ini Boboiboy ... Mau kamu dalam keadaan apapun, aku tetap sayang sama kamu ... Aku nerima kamu apa adanya ... "
Boboiboy memutuskan teleponnya sepihak. Ia memejamkan mata, menahan mati-matian air matanya yang ingin menerobos keluar. Tidak memedulikan tubuhnya yang seperti ingin roboh, Boboiboy melanjutkan perjalanannya dengan langkah terseok-seok.
-0-
"Apa benar di sini...?"
Yaya memandang ponselnya yang menampilkan pesan Fang dan gedung kost di depannya bergantian. Setelah berhasil memaksa Fang memberitahu alamat kost baru Boboiboy, Yaya segera pergi dan di sinilah ia berada. Tepat di depan gedung kost itu yang hampir tidak terawat.
Meski Boboiboy telah menyakitinya sedemikian rupa, Yaya tetap tidak bisa melupakannya begitu saja. Yaya mencari tahu semuanya, dengan bantuan Fang tentunya. Untungnya Fang mau mengatakan semuanya, setelah ia memaksanya terus menerus. Yaya tidak menyangka Boboiboy sedang berada dalam kesulitan. Bermula dari keluarganya, lalu pekerjaannya, dan juga kuliahnya yang kacau balau. Fang mengatakan alasan Boboiboy memutusinya adalah karena cowok itu tidak mau ia ikut terlibat dalam masalahnya. Padahal Yaya sama sekali tidak keberatan dengan itu semua, ia akan membantu Boboiboy seperti Boboiboy membantunya dulu.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Namun tanpa perasaan takut, Yaya melangkah masuk dan mencari kamar Boboiboy. Berbagai hujanan tatapan mata memandanginya aneh hingga terkejut, karena berani memasuki kost dipenuhi laki-laki itu. Berusaha mengabaikannya, Yaya melangkah maju sambil sesekali melirik nomor kamar yang tertempel di pintu.
Kini Yaya tiba di depan kamar kost bernomor 13, sesuai dengan pesan yang Fang berikan. Yaya meneguk ludah. Pintu maupun jendela kamar itu tertutup rapat. Ia ragu Boboiboy ada di dalam, atau kemungkinan besar cowok itu tidak mau membukakan pintu untuknya.
Dengan pelan, Yaya mengetuk pintu coklat yang sudah pudar catnya itu. Dalam hati Yaya berharap Boboiboy mau menemuinya. Namun sudah lima kali ketukan dan tidak ada respons apapun, Yaya menghela napas. Harapannya kembali pupus dan ia berusaha sabar ketika hatinya mengatakan untuk pergi dari sini saja, meskipun dirinya perlu melalui berbagai rintangan untuk sampai di sini.
Pada saat Yaya membalikkan tubuhnya, suara seperti pecahan kaca terdengar dari dalam kamar itu. Sontak Yaya terkejut. Ia mengetuk kamar Boboiboy lagi, kali ini berkali-kali sambil memanggil cowok itu.
"Boboiboy! Boboiboy! Aku tahu kamu di dalam!" seru Yaya. Namun tetap tak ada balasan apapun. Ia mencoba memutar kenop pintu, dan terbuka. Itu berarti ... Boboiboy tidak menguncinya?
Dengan perasaan kalut, Yaya masuk ke dalam. Jantungnya berdegup kencang ketika menemukan tubuh Boboiboy tergeletak di lantai yang dingin. Serpihan kaca berada tepat di sampingnya, dan mungkin akan melukainya jika ia bergerak sedikit.
"Boboiboy!"
Yaya segera bersimpuh di samping cowok itu. Memangku kepalanya yang terkulai lemas dengan cemas. Dada Yaya berdesir tajam ketika merasakan suhu sangat panas di sana, dan keringat dingin mengucur deras di pelipis Boboiboy.
Dengan berusaha keras, Yaya memapah tubuh Boboiboy untuk dibaringkan ke kasur. Setelah berhasil, diceknya kembali kondisi Boboiboy dengan seksama. Tangan Yaya mengusap peluh di dahinya. Wajah cowok itu sangat pucat. Napasnya terdengar putus-putus dengan tubuh yang mulai menggigil. Yaya tidak tahu apa yang terjadi. Namun yang pasti, Boboiboy saat ini sedang tidak baik-baik saja.
"Boboiboy, bertahanlah... " Yaya dengan segera mengambil ponselnya untuk menelepon ambulans. Namun tangannya tiba-tiba diraih, membuat ia terkejut hingga tak sengaja menjatuhkan ponselnya.
"Yaya ... "
Tangan Yaya digenggam kuat di atas dada cowok itu. Yaya terkesiap. Kedua matanya menatap wajah Boboiboy yang mengernyit, dan mulutnya terus memanggil namanya.
"Yaya ... maafkan aku ... maaf ... " Boboiboy terus mengigau, seolah ia sedang bermimpi kejadian di taman berapa waktu silam.
Yaya dengan pelan mengusap surai hitam itu. Air mata sudah memenuhi pelupuk matanya, namun Yaya berusaha menahannya. Tangannya bergerak menyentuh pipi Boboiboy, mengelusnya pelan dan hati-hati. Betapa rindunya ia dengan cowok ini, seseorang yang mampu membuat hatinya tak berdaya meski sudah disakiti berkali-kali. Seberusaha apapun dirinya melupakan Boboiboy, namun bayang-bayang cowok itu tetap memenuhi setiap sudut pikiran dan hatinya. Yang mana membuat Yaya sadar, ia telah jatuh sejatuhnya untuk Boboiboy.
"Yaya ..."
Boboiboy mulai tenang dalam tidurnya. Tangan kiri Yaya terus mengusap kepalanya, melirihkan nada-nada penenang untuk cowok itu. Tangan kanannya masih digenggam erat, Yaya membalas hangat genggaman itu.
Tak butuh waktu lama sampai Boboiboy benar-benar tenang dan tidak mengigau lagi. Yaya tersenyum. Matanya tidak lepas dari wajah Boboiboy yang sangat polos. Jarinya menyusuri tiap inci wajah tampan itu. Mengusapnya dengan sayang, tanpa perlu takut cowok itu akan marah. Dengan pelan, Yaya mendekatkan wajahnya untuk mencium dahi Boboiboy lembut.
-0-
Cahaya yang menerobos masuk lewat jendela membuat Boboiboy mengernyit. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum dirinya sepenuhnya bangun. Boboiboy meringis ketika rasa pening masih terasa sedikit. Ia ingin bangkit, namun gerakannya terhenti kala menyadari tangannya digenggam oleh sesuatu.
Yaya ...
Boboiboy terdiam memandangi sosok yang tengah tertidur di sampingnya. Gadis itu duduk lesehan di lantai, dengan kepala dibiarkan tergeletak di pinggir ranjangnya. Wajah Yaya tampak damai dalam tidurnya. Dengkuran halus itu menandakan bahwa Yaya sangat pulas.
Tak lama, Boboiboy mulai mengingat kejadian kemarin malam. Ia tiba di kost-nya dengan kondisi hampir tidak tertolong. Disaat ia ingin pingsan, terdengar suara ketukan dari pintu. Boboiboy mau membuka pintu itu, namun tubuhnya sudah ambruk duluan dan tak sengaja menyenggol gelas di meja. Hanya sampai situ Boboiboy mengingatnya.
Apa itu berarti ... orang yang datang kemarin adalah Yaya?
Boboiboy baru menyadari dahinya dihinggapi sesuatu. Dirabanya benda itu, dan ia menemukan handuk kecil di sana. Ia memandang ke arah nakas, mendapati baskom kecil terletak di sana, dan juga alat pengukur suhu tubuh. Pandangannya kembali pada Yaya. Satu-satunya orang yang ia tebak telah merawatnya semalaman.
"Eungh ... " Yaya mengerjap pelan sebelum membuka matanya. Ia mengangkat kepalanya, terkejut karena Boboiboy sudah bangun. "Boboiboy!" seru Yaya senang. Ia melepaskan genggaman tangannya pada Boboiboy, dan berdiri untuk menempelkan punggung tangannya di dahi cowok itu. "Syukurlah demammu sudah turun," Yaya tersenyum lega. Tapi senyumannya surut ketika menyadari Boboiboy hanya menatapnya tanpa arti.
Yaya menjadi kikuk. Ia menunduk, menyatukan kedua tangannya di depan perut sambil melangkah pelan ke belakang. "Ma-maaf ... kemarin aku datang dan menemukanmu sakit, jadi aku ... uh ... " Yaya kehabisan kata-kata. Boboiboy masih menatapnya lurus, membuat Yaya meringis dalam hati. "K-karena demammu sudah turun, a-aku pergi sekarang." Dengan terburu-buru, Yaya membalikkan badan. Namun ia menahan napas kala merasakan tangan Boboiboy melingkari pinggangnya.
"B-boboiboy ... "
"Tunggu ... Jangan pergi ... " ucap Boboiboy serak. Tubuh Yaya membeku. Boboiboy menariknya untuk mendekat. Yaya bisa merasakan wajah cowok itu menempel di punggungnya. Dan seperti basah. Apa Boboiboy menangis ... ?
"Kumohon tetap di sini ... "
Yaya akhirnya tidak berkata apa-apa lagi dan membiarkan Boboiboy memeluknya.
Boboiboy tidak peduli ia akan dianggap cowok lemah atau tidak berpendirian oleh Yaya. Yang ia inginkan sekarang hanyalah gadis itu. Melihatnya di sini saat ia membuka mata mampu membuat seluruh pertahanannya runtuh. Ia mengenyahkan segala gengsinya, karena rasa rindunya pada Yaya berhasil mengalahkan itu semua.
Boboiboy menyadari ia telah membuat keputusan salah. Berpura-pura tidak mencintai gadis itu lagi, di saat dirinya benar-benar membutuhkan sosok Yaya. Namun semua yang sudah ia lakukan pada gadis itu seolah dianggap angin lalu. Yaya tetap bersikeras untuk selalu di sampingnya, dan tidak pernah meninggalkannya dalam keadaan apapun. Boboiboy merasa bodoh. Sangat bodoh karena ingin melepaskan Yaya dari genggamannya.
"Boboiboy," Yaya membalikkan tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Boboiboy. Lingkaran tangan Boboiboy terlepas. Yaya duduk di sisi ranjang kemudian menyentuh wajah Boboiboy dengan kedua tangannya. Boboiboy langsung menurunkan pandangan. Seolah tak berani menatap iris mata Yaya. "Mau bagaimanapun kamu, aku bakal selalu di sini,"
Hati Boboiboy perlahan menghangat. Ia menitikkan air matanya, sementara tangan kanannya memegang tangan Yaya yang masih berada di wajahnya.
"Jadi jangan pernah nyuruh aku pergi dari kehidupan kamu ... Karena aku bener-bener nggak bisa, Boboiboy ..."
Tepat setelah Yaya mengatakan itu, Boboiboy langsung mendekap Yaya erat. Menumpahkan semua air matanya di bahu gadis itu.
"Maaf ... Maaf, Yaya ..."
Yaya tersenyum dan membalas pelukan Boboiboy. Semua perlakuan Boboiboy sudah ia maafkan, dan bahkan mudah Yaya lupakan. Karena Yaya tahu, hatinya akan terus tertuju pada Boboiboy, mau bagaimanapun keadaannya.
Dan bagi Boboiboy, Yaya adalah sosok langka di dunia ini. Ia berjanji tidak akan melepas Yaya sampai kapanpun.
.
.
.
.
Finizh
