Direksi Hati
Naruto by Masashi Kishimoto
saya tidak mengambil keuntungan apapun atas pembuatan fic ini
warning : OOC,(Miss)Typoo, Kata-kata kasar.
.

Musim semi tahun itu menjadi pertanda sudah satu tahun tepat setelah sebuah pernyataan cinta dahulu kala yang disuarakan Hinata dijawab oleh si pirang calon Hokage masa depan.

Naruto, dengan gugup yang luar biasa meminta maaf berkali-kali kepada Hinata tentang rasa gadis itu yang hampir mustahil untuk dia balas karena fokusnya hanya menjadi Hokage dan memimpin desa seperti cita-citanya sedari kecil.

Pemuda itu mengingat respon tenang yang mengagumkan dari seorang Hinata, seolah sang sulung Hyuuga mampu memprediksi jawaban Naruto dan mempersiapkannya jauh jauh hari. Hinata tersenyum lembut dan untuk pertama kalinya Naruto benar-benar melihat seutuhnya seorang Hyuuga Hinata. Gugup dan rona merahnya masih ada, tapi kali ini berbeda.

Setelahnya, Hinata berlaku seperti dahulu kala, tentu saja tanpa gugup dan rona merah yang tercetak di wajahnya bila bertemu Naruto. Mereka masih tetap berteman, masih saling menyapa dan bertukar kabar.

Bahkan ketika tersiar kabar bahwa beberapa bulan lagi Naruto akhirnya menjadi Hokage selanjutnya, Hinata ikut serta menyelamatinya seperti kawan-kawan Naruto yang lain, memberikan hadiah berupa syal merah sebagai pengiring ucapan selamat.

Naruto bersyukur untuk kehidupan yang membawanya ke sebuah pencapaian yang dia inginkan sejak lama, hari-harinya penuh rasa antusias yang hampir membuatnya bersiul sepanjang semua aktivitas harian yang dilakukan.

Seperti hari itu, dia sedang berjalan-jalan di sekitaran desa, menyapa seluruh penduduk yang kebetulan berpapasan dengannya di jalan. Naruto masih memasang senyum sumringahnya yang biasa ketika tak sengaja bertemua tenten yang membawa beberapa kotak besar sendirian dan terlihat kesusahan.

"Kau membawa apa?" Tanya Naruto penasaran, dihentikannya gadis itu guna meringankan bawaan rekan seangkatannya.

"Ah ini hadiah untuk Hinata dan neji yang dititipkan sebentar oleh lee padaku, dia sedang bersama guru gai mengambil satu lagi hadiah yang tertinggal."

Naruto mengernyit, untuk apa Neji dan Hinata diberikan sebuah hadiah, terlebih hadiah yang terlampau banyak seperti ini.

Pertanyaan hampir terlontar ketika hanya dengan ekspresi Naruto saja, tenten sudah bisa mengerti, "apa kau belum mendengar kabar bahwa Neji dan Hinata mengumumkan akan menikah sebentar lagi?"

Naruto tertegun, seketika dunia seperti video slow motion dengan suara bising yang sulit dimengerti. mendengar kabar Hinata menikah adalah hal paling mengejutkan di kehidupannya yang damai sejak perang dunia ninja berakhir.

Sang surai pirang tidak bertanya apa-apa lagi, dia hampir tidak ingat bagaimana dia bisa sampai ke kontrakan pemuda itu setelah berpisah dengan Tenten di jalan.

Naruto terlentang di kasurnya yang sempit, memandang langit-langit kamar dengan pikiran yang penuh mengisi otaknya, melintas terang-terangan tapi tidak ada satupun yang fokus diingat.

Rasanya aneh sekali, ketika perasaan hampa dan kosong menyerangnya bersamaan dengan terdengarnya rencana pernikahan dua orang sahabatnya itu.

Neji dan Hinata, yang Naruto yakini seharusnya menjadi sebuah kabar bahagia mengingat kedua Hyuuga yang merupakan sahabat baiknya itu akhirnya menikah.

Neji Hyuuga adalah prodigy yang angkuh dan sempat membenci Hinata, meski sudah disadarkan oleh Naruto mana mungkin pria itu mau mempersunting Hinata menjadi pasangan hidupnya.

Ah, sebuah perjodohan, Naruto tidak akan heran bila Hyuuga masih memegang adat kuno yang turun temurun berlaku di sebuah klan bangsawan besar.

Tapi itu tidak adil bagi Hinata, gadis itu baik sekali, rasanya tidak benar bila pasangannya nanti adalah orang yang tidak sepenuhnya mencintai gadis itu.

Hinata gadis paling lembut yang pernah Naruto temui, tidak pernah memandang rendah pada siapapun dan terlalu indah.

Sementara Neji adalah sosok yang angkuh, dingin dan sulit digapai.

Naruto bangkit dari posisinya semula, terduduk diam dengan rencana akan menemui Kepala Klan Hyuuga untuk menimbang agar pernikahan itu setidaknya ditunda sampai Naruto yakin Neji bisa menjadi pendamping yang baik terhadap Hinata.

Tapi realita menghajar Naruto dengan telak ketika dia sadar tak ada hak apapun baginya untuk berbicara seperti itu.

Naruto meringkuk, merasakan ada bagian di hatinya yang terasa tidak enak dan hampir melengkung patah.

Aneh sekali.

.

.

.

Perjalanan ke Kantor Hokage dan mempersiapkan pelantikan posisi sebagai Hokage menjadi hal kedua yang terasa tidak begitu menyenangkan.

"Dua bulan setelah pelantikanmu, Hinata dan Neji akan menikah, tapi persiapannya sudah jauh-jauh hari seperti sekarang, pernikahan klan bangsawan memang beda ya."

Ucapan itu disuarakan Sakura ketika mereka sedang mengobrol dan melintas seorang neji yang membungkuk pelan sebagai tanda sebuah sapaan.

Naruto enggak menanggapi, sejak tersiar kabar bahwa Hinata dan Neji menikah, terjawab sudah tanggapan atas pernyatan cinta Hinata yang hampir diketahui seluruh teman-teman mereka.

Rencana pernikahan Hinata dan Neji menjadi pertanda bahwa gadis itu telah ditolak oleh Naruto dan berjalan balik menuruti takdir yang digariskan tetua Hyuuga sejak awal klan itu berdiri.

Naruto masih di kantor Hokage, baru saja selesai memilih baju mana yang akan dia kenakan pada acara pelantikan nanti, masih terlalu besar, ada beberapa bagian yang perlu di rombak oleh penjahit.

Pemuda itu hampir terduduk di kursi panjang ketika melihat Hinata berjalan melintasi lorong.

"Hinata-chan," Panggilan itu keluar secara otomatis, mau tak mau Naruto berlari kecil menghampiri Hinata yang sudah terlanjur menoleh karena mendengar namanya dipanggil.

"Naruto-kun," ucap Hinata pelan sembari tersenyum, "Sedang bersiap-siap untuk besok?"

Naruto mengangguk, dipandanginya gadis itu sedikit lebih lama sebelum akhirnya bertanya,"Ada urusan apa Hinata-chan disini?"

"Ah, itu ..." jeda lama terbentuk,"aku dan Neji-nii sedang mengurusi acara kami beberapa bulan kedepan, kami sedang mengatur untuk penjadwalan ulang misi yang akan diberikan."

Pemuda pirang periang itu kecewa ketika sekejap melihat rona merah terlintas di wajah Hinata ketika gadis itu menjelaskan alasannya ke gedung Hokage. Sudah lama Naruto tidak melihat rona merah pekat yang sering berkumpul di pipi gadis itu seperti dulu

"Selamat ya." Perkataan paling berat yang tidak ingin diucapkan Naruto, pada akhirnya keluar juga.

"Iya, terima kasih, Naruto-kun." Hinata membalas dengan senyum lebarnya yang menawan, mengira bahwa ucapan dari Naruto memang setulus yang ia dengar, tanpa tahu bahwa sepanjang Naruto hidup, baru kali itu dia mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan kemauan hatinya.

Tak lama, setelah beberapa basa basi yang tidak berarti apa-apa, Hinata pamit untuk kembali ke kediaman gadis itu, berbalik meninggalkan Naruto yang hanya bisa memandang punggung mungil sang gadis bersurai indigo.

Hinata bergerak maju dengan sangat sempurna, seperti pengharapan Naruto ketika dia meminta maaf karena tidak bisa membalas perasaan gadis itu, jadi Pemuda itu pun harusnya bisa juga melangkah menuruti takdirnya sendiri.

Menjadi Hokage dan memimpin konoha. Seorang pemimpin gagah dan berani seperti tujuannya semula.

Tak perlu menjadi melankolis, Naruto yakin ia bisa.

Jadi hari-hari yang berlalu menjadi asa baru untuk Naruto, "waktu akan menyembuhkan" kata semua orang, jadi sang netra biru samudera berpegangan dengan itu demi meredam perasaan aneh yang masih menyelebungi hatinya.

Setelah menjadi Hokage, Naruto rasa dia akan kembali seperti dahulu kala, dia hanya sedikit kaget karena Hinata menikah dengan Neji terlalu cepat. Itu saja, tidak ada alasan apapun selain itu yang dapat diterima oleh Naruto.

Jadi, cepatlah hari pelantikan itu datang, karena Naruto yakin setelah ini hidupnya kembali seperti semula.

.

.

.

Upacara menjadi Hokage dihelat besar-besaran, ucapan syukur pada pahlawan konoha sekaligus merayakan kembali berakhirnya perang dunia ninja.

Naruto mengikuti upara dengan setengah hati, terlalu banyak kata sambutan sebelum dia benar-benar diserahi jubah dan tanda kepala sebagai pemimpin tertinggi desa daun.

Sambutan dari Kakashi selesai sedikit lagi, sang guru menghampirinya dan menyerahkan jubah sebagai simbolis bahwa tanggungjawab desa sekarang sudah diserahkan ke Naruto.

Naruto tertawa lebar, sampai menyipit saking bahagianya dia hari itu, tapi refleknya bergerak secara otomatis, mencari sosok seorang gadis bersurai indigo panjang dan bermata putih bak bulan, ketika yang dicari ternyata berada di ujung kiri matanya, dia mengerling, tersenyum makin lebar, menyampaikan lewat pandangan mata bahwa pemuda yang dahulu tak pernah takut gadis itu dekati, sekarang meraih tahta tertinggi desa.

Si penerima pandangan, yang tak merasa bahwa lirikan itu khusus untuknya, bertepuk tangan antusias, bangga sekali melihat pemuda yang sejak kecil selalu dijauhi orang-orang di desa akhirnya berhasil meraih cita-citanya.

Hinata berdoa sepenuh hati agar Naruto terus bahagia, dia pemuda paling mengagumkan yang pernah ada dalam hidupnya. Sudah sepatutnya hal baik selalu melimpah kepada Naruto.

"Hinata-san." dengan tiba-tiba Neji meraih tangan Hinata, membuat gadis itu menoleh ke samping kanannya.

"Ya, Neji-nii?"

Neji tidak menanggapi langsung, dia hanya menggenggam tangan Hinata tanpa berusaha melepaskannya, tidak erat, tapi cukup untuk menghentikan gadis itu bertepuk tangan kembali, "Tak apa-apa, aku rasa tanganmu memerah karena terlalu keras bertepuk tangan."

Hinata mengernyit heran, tapi kemudian tersenyum, "Neji-nii lucu sekali, tentu saja tidak kan?"

Si pemuda jangkung bersurai coklat memandang calon isterinya lama, lalu ikut tersenyum.

Tak sadar kalau jauh ditempat Hokage baru berdiri, ada hati yang panasnya seperti terbakar, sampai hampir yakin kalau kepala kuningnya pun mengeluarkan api.

Naruto sempat terdiam sampai Kakashi meminta pemuda itu mengucapkan beberapa kata sebagai tanggapan karena terpilih menjadi pemimpin desa.

Ucapan yang sudah dilatihnya berhari-hari keluar tanpa satupun teringat lagi bila diminta diceritakan ulang, Naruto memandang sinis kepada dua calon mempelai yang kadang berbisik-bisik di depannya entah sedang mengobrol tentang apa.

Pemuda itu marah, ingin meneriaki Hinata, meminta gadis itu memusatkan atensi padanya, ini Naruto yang dahulu hanya dianggap jinchuriki, yang menjadi Hokage dengan upaya sendiri, jadi bola mata putih cantik itu harus melihat Naruto seorang saja.

Hinata harus mengerti bahwa Naruto mempersembahkan tahta ini juga untuknya.

Hinata harus mengerti, jadi lari dari Neji dan kembalilah pada Naruto.

Hinata harus mengerti, jadi cintailah Naruto lagi karena Naruto pun mencintainya.

Sialan. Neji dan seluruh tetua Hyuuga.

.

.

.

Pelantikan sudah dilakukan, hari hari selanjutnya adalah menghindar dari hari H upacara pernikahan putri tertua Hyuuga alias Hinata.

Katanya hari cepat berlalu bila sedang dalam kondisi menyenangkan, tapi omongkosong semuanya ketika dua bulan berlalu secepat Naruto pikirkan.

Besok menjadi hari paling sial yang akan diingat Naruto seumur hidup, dia tak mau menghadiri pernikahan Hinata. Datang hanya untuk melihat Neji memproklamirkan diri menjadi pemilik hati Hinata Hyuuga adalah perbuatan paling dungu yang bisa dia pikirkan.

Berbagai cara sudah diusulkan Naruto pada Shikamaru, sebagai penasehat sekaligus asistennya di kantor Hokage. Naruto meminta sebuah kunjungan ke desa lain atau meeting besar bersama beberapa kepala desa tetangga tepat ketika pernikahan Hinata di adakan.

Tapi Shikamaru adalah orang berkompeten yang tidak akan terpengaruh oleh pendapat subjektif mengenai semua rencana yang sudah diatur sejak lama.

"Semua pemimpin desa tetangga akan menghadiri upacara pernikahan Hinata, mereka tidak akan mau menghadiri undangan tiba-tiba seperti itu." itu penolakan pertama Shikamaru.

"Dan jadwal kunjunganmu ke Suna juga sudah jauh-jauh di jadwalkan ulang karena Gaara akan kesini sebagai undangan pemimpin klan Hyuuga." dan ini penolakan kedua.

Naruto menggerutu, dan disinilah dia sekarang, duduk di kursi yang sudah disediakan, melihat upacara pernikahan Hinata.

Hinata cantik sekali dengan Uchikake berwarna jingga dengan ornamen bunga disepanjang garis kainnya. Bibirnya yang memerah terlihat kontras dengan kulit gadis itu yang pucat, senyumnya selalu menawan, mata bulatnya yang putih bergerak-gerak gugup tapi terlihat antusias.

Sang surai pirang menerawang, bagaimana rasanya bila yang duduk disamping Hinata adalah dirinya, apakah dia juga akan melirik berkali-kali kepada Hinata seperti yang Neji lakukan sekarang?

Naruto dan semua orang yang datang pada upacara itu mengerti, bahwa mempelai pria ternyata jatuh cinta terlalu berat pada mempelai wanitanya, tak sadar bahwa atensi terang-terangan difokuskan hanya pada wanita disampingnya.

Orang-orang disamping Naruto menciptakan riuh kecil, iri kepada Hinata yang dihadiahi tatapan penuh damba dari suaminya sendiri sekaligus kekehan geli karena mereka hampir bisa melihat kelopak bunga bertaburan di sekitar Neji yang memancarkan aura bahagia luar biasa.

Tapi tak ada yang tahu bahwa Naruto, pemuda yang dulu sempat dicintai Hinata, yang menolak pernyataan cintanya itu hatinya perlahan patah berserakan.

Tak ada yang patut dibenci dari Neji, dia pantas mendampingi Hinata dengan cinta sebesar itu, tapi pun Naruto sekarang bisa menghadiahi Hinata dengan cinta yang tak kalah besarnya.

Untuk diadu pun Naruto sanggup dan siap, meski pemuda itu akui dia sedikit terlambat untuk menyadari bahwa, yah dia menyukai Hinata.

Mencintai gadis itu ketika Hinata berbalik meninggalkannya, seorang bajingan sejati yang baru mengerti artinya keberadaan seseorang ketika telah tiada.

Namun kesempatan kedua bukanlah dosa besar, Hinata harus melihatnya kembali. Disini ada Naruto yang akan memeluknya erat jika Hinata berniat membelok dari garis takdirnya sebagai Hyuuga.

Sialan, setelah Pelantikan Hokage selesai, kenapa hidupnya tidak kembali juga seperti semula? Kenapa rasa yang dulu tak diakui Naruto justru semakin merangsek keluar?

Sang Hokage muda larut dalam lamunannya sendiri tanpa sadar bahwa upacara pernikahan hampir selesai diadakan, sebentar lagi adalah waktu untuk kedua mempelai itu menyalami satu persatu undangan yang datang.

Naruto tak mau menyalami Neji, kalau bisa dia bawa lari saja Hinata dari acara pernikahannya sendiri lalu menjadi pelarian ke desa lain. Pasti ada rasa cinta yang tertinggal dari Hinata untuknya.

Pemuda itu mengepal keras sekali, sungguh pikiran liarnya akan terealisasi jika saja pundaknya tidak ditepuk pelan oleh Shikamaru.

"Tenanglah, kau mengerti bahwa ini sudah terlalu terlambat."

Naruto tahu apa yang Shikamaru bicarakan, semua kegundahannya dia ceritakan pada sang asisten, tak ada yang lebih tahu soal rasa benci Naruto kepada Neji selain Shikamaru sendiri.

Shikamaru tak pernah memberikan solusi, hanya mendengar sembari mengerjakan pekerjaannya saja. Tapi sikap seperti ini yang Naruto butuhkan, pemuda itu tak butuh untuk diberikan saran apapun. Karena saran paling masuk akal hanya menculik Hinata dan memaksanya bersama.

Naruto beranjak pergi bahkan sebelum acara benar-benar selesai, dia sudah cukup menyabari diri untuk bertahan sampai sejauh ini. Tidak ada alasan untuk melihatnya lagi, biarkan saja pandangan menyebalkan dari para tetua Hyuuga yang tertuju padanya, salahkan mereka yang tidak menikahkan Hinata dengan Naruto.

.

.

.

Menjadi Hokage memang tak selalu semenyenangkan yang Naruto pikir, pantas saja Tsunade sering meminta sake kepada sizune.

Berkutat dengan berbagai perjanjian desa, permintaan pengiriman ninja, dan sekaligus mendapatkan laporan tentang desa Konoha sendiri.

Naruto ingin melarikan diri terkadang, sebuah hal yang tak mungkin, tapi kadang ia ingin sebuah jeda, setidaknya memberinya waktu memandangi hal-hal yang ia sukai.

Seperti Hinata contohnya.

.

.

.

Senin menjadi hari dimana seluruh ketua klan besar berkumpul guna membahas beberapa kepentingan desa yang perlu dirundingkan.

Naruto sudah duduk dengan antusias di kursi yang khusus diberikan untuknya, satu persatu melihat para tetua klan mulai memenuhi ruang rapat tak terkecuali dari bangsawan Hyuuga, yang diwakili oleh Hinata.

Gadis itu datang bagai angin musim semi yang membawa kesejukan kedalam hati Naruto yang kemarau.

Memakai jubah panjang yang menampilkan perutnya yang sedikit membuncit, Hinata terjamah suaminya sendiri, yang mengingatkan Naruto bahwa dia bukanlah siapa-siapa wanita itu.

Pandangan mereka bertemu, Hinata mengangguk sebagai bagian dari sopan santun lalu tersenyum kemudian, tak peka kalau hampir saja membuat pemimpin desa Konoha berlari ke arahnya dan berniat mencumbu bibir indah sang Hyuuga sulung.

Naruto sadar bahwa Neji menemani gadis itu dibelakangnya, seperti prajurit yang memastikan ratunya tak merasa kesusahan, bagi awam, Neji adalah suami siaga yang sangat didambakan, diharapkan menjadi contoh bagi para suami lainnya.

Namun tentu saja Naruto membenci semua hal baik yang dilakukan Neji pada Hinata, pemuda itu memang sinting, dia tak suka bila Neji memperlakukan Hinatanya dengan sempurna, tapi pasti akan gila bila Hinata sampai disakiti atau dibuat tidak bahagia oleh Neji. Ini hal rumit yang terjadi dan belum sembuh sampai sekarang.

Rapat dimulai dari laporan terputusnya jembatan di utara desa, menyebabkan penduduk area sana terhambat dalam hal distribusi, beberapa tetua menawarkan sebuah opsi dan solusi.

Naruto mendengarkan dengan sesekali memandangi Hinata yang duduk lurus tepat di hadapannya, sebuah kebetulan yang dia usahakan dengan bantuan Shikamaru.

Waktu bergulir semakin cepat ketika beberapa permasalahan dikemukakan satu persatu, semua hal yang perlu dilakukan dan persiapan untuk musim dingin yang akan datang sudah di catat dengan baik oleh Shikamaru sebagai rangkuman hasil meeting.

Ditutup dengan kata singkat yang sekejap membuat banyak kursi berdecit karena pergerakan para tetua klan yang mulai beranjak pergi, Naruto buru-buru menghampiri Hinata, melayangkan pandangan arogan pada Neji lalu berbasa-basi.

Ini hal rutin yang terjadi di hampir semua meeting yang mengharuskan Hinata datang sebagai perwakilan dari Klan Hyuuga, Naruto yang selalu tertawa lebar setelah pertemuan mendebarkannya dengan Hinata sering bersiul-siul riang meski diberi setumpuk perkamen berisi pengajuan misi dan berbagai perjanjian yang perlu tanda tangannya,

tapi mood baik itu terhenti sampai ketika wanita itu melahirkan dan tidak bisa menghadiri rapat dan terpaksa digantikan oleh sang suami.

Mood Naruto buruk sekali, tak sekalipun cengiran melintang ada diwajahnya sepanjang meeting berjalan, seolah dia mengajak duel setiap orang di meeting rutin ketua klan Konoha.

Tak ada yang berusaha bertanya, selama sang pemimpin tidak kehilangan fokus untuk mengurusi desa daun, hal itu bukan hal yang penting untuk dipikirkan.

Sejak Hinata memiliki seorang anak laki-kali yang mirip sekali Neji, Naruto sering mendapati gadis itu keluar menikmati indahnya sore.

Berjalan berdua menggenggam jari mungil sang anak yang sekarang Naruto kira berumur empat tahun, sudah bertahun-tahun Naruto mengamati Hinata dan belum ada yang dapat mengalihkan pusat atensinya sedikitpun.

Naruto menghampiri Hinata yang sedang berdiri di depan sebuah penjual gulali, melirik kepada sang anak yang terpaut pandangannya pada berbagai bentuk gulali yang menarik hati.

"Berdua saja, Hinata-chan?"

"Hokage-sama," sapaan pelan datang dari anak Hinata, membungkuk pelan sebagai bentuk penghormatan, membuat sang sulung Hyuuga mengelus kepala bersurai coklat lebat itu lalu ikut membungkuk pada Naruto.

Anak Neji dibesarkan dengan penuh sopan santun, Naruto tak peduli akan nama buah hati mereka, yang dia ingingkan hanya berdekatan lebih lama dengan Hinata.

"ah, ya. Kami berdua saja, Hokage-sama. Neji-san sedang melakukan misi ke ame."

Naruto menyembunyikan seringainya, dia harus bersikap se natural mungkin di depan perempuan bersurai indigo ini.

"Jadwalnya padat sekali, terakhir kali ku dengar dia mendapatkan misi ke Suna."

"Ah ya memang, tapi sepertinya dia tidak bisa menolak, membutuhkan kemampuan Neji-san untuk misi-misi itu, kuharap setelah dari ame, ada jeda waktu beberapa saat untuk beristirahat."

Naruto mengangguk-angguk seolah berempati, tak mau mengaku bahwa perbuatannyalah semua jadwal misi yang terlalu padat untuk Neji adalah cara liciknya untuk menjauhkan Hinata dan Neji selama mungkin.

Pada waktu tidak ada Neji di samping Hinata, akan mudah untuk mendekati gadis itu tanpa dihadiahi pandangan curiga dari mata putih yang sama tapi dari nama yang berbeda.

Naruto pun bisa menikmati semua gerak gerik Hinata untuk dirinya seorang, melihat senyum manis gadis itu dan juga cara bicara gadis itu kepadanya.

Naruto suka semua tentang Hinata, sering merasa marah takala ingat kenapa bukan dia yang menghadiahi rahim Hinata sebuah kehidupan manusia baru.

Hinata indah dengan caranya sendiri, menempati tahta hati Naruto bahkan tanpa perlu bersusah payah memaksa si Jinchuriki.

Tarikan anak Hinata pada kimono biru ibunya merebut atensi Hinata, bocah kecil itu meminta dibelikan hal lain selain gulali kesukaannya.

"Kaa-san, apakah aku boleh membeli Cinamon roll juga?"

Hinata mengangguk setuju dengan cepat, Naruto tahu bahwa kue itu juga kue kesukaan Hinata, jadi mana mungkin ibu muda itu menolak keinginan anaknya yang memiliki satu selera dengannya.

"Bolehkah aku mentraktir kalian berdua, Hinata-chan? Hitung-hitung sebagai permintaan maafku karena tidak bisa menolak permintaan misi untuk Neji."

Hinata terdiam sejenak, menimbang untuk reaksinya, merasa tidak enak bila mengganggu waktu santai pemimpin desanya sendiri.

"Kurasa akan merepotkan kalau kami harus ditemani oleh Hokage-sama di waktu luang Hokage sama yang sedikit."

Untuk sedetik ada rasa kecewa melintas di hati Naruto, tapi bukan pemuda itu bila dia menyerah begitu saja hanya dalam satu kali penolakan.

"Tidak merepotkan sama sekali, dan ku mohon jangan terlalu formal padaku, panggil aku Naruto seperti dahulu."

Karena Naruto ingin mencicipi nostalgia perasaan yang sekarang sudah jarang dia rasakan.

Hinata tersenyum, terlihat dengan jelas rasa enggan diwajahnya, yang tentu tak dipedulikan Naruto, pemuda itu berjalan beriringan dengan Hinata dan putranya, mengantarkan mereka ke toko kue langganan Hinata, melihat-lihat sebentar beberapa kue yang terpajang, memilih kue cinamon roll yang sama seperti yang Hinata ambil, lalu dengan bersikeras mentraktir ketua Hyuuga itu.

"Sampai jumpa, Hokage-san." Hinata dan anaknya membungkuk pelan sebelum mereka kembali ke kediaman Hyuuga.

Naruto yang melambai antusias sampai bayangan Hinata tertelan jalan yang berbelok ke kanan, berbalik pergi ke arah kantornya.

Cengiran lebar bertahan sedari dia berjalan hingga membuka pintu kantor.

"Yo! Shikamaru!"

Shikamaru yang terduduk di samping meja milik Naruto hanya menatap sekilas pemimpin desanya itu, dia sedang memeriksa dokumen yang menumpuk untuk kemudian disortir ke divisi-divisi khusus yang tersedia.

"Hari ini cerah sekali," ujar Naruto memecah keheningan.

"Kau bertemu Hinata." Sebuah pernyataan yang diucapkan sambil lalu oleh Shikamaru makin membuat kekeh Naruto semakin keras.

"Tadi aku membelikannya Cinamon roll, dan aku juga membeli kue yang sama seperti yang dia beli." Naruto berjalan menuju tempat duduknya, "Kau memiliki misi lain selain ame, Shikamaru? Kurasa besok sudah waktunya Neji kembali. Aku harus melihat misi yang membutuhkan kemampuannya."

Hening lama tercipta, Naruto yang membutuhkan respon Shikamaru menoleh ke arah laki-laki bersurai hitam itu.

"Shika-"

"sudah cukup, Naruto," potong Shikamaru cepat.

Naruto menaikan alis menuntut sebuah penjelasan.

"Tidak ada misi yang perlu kemampuan Neji untuk beberapa hari ini, lagipula meskipun ada, masih banyak anggota Hyuuga lain yang bisa kita minta untuk menggantikannya."

"Yah, tapi kau tahu kalau kemampuan Neji jauh di atas rata-rata. Sebuah bukti kalau kita menghormati para desa yang meminta misi karena sudah mengirimkan Ninja selevel Neji."

"Aku tahu niatmu. Berhentilah."

"Aku tidak bisa berhenti," ucap Naruto lantang, nadanya meninggi.

"Belajarlah kalau begitu," Balas Shikamaru enteng, "Sudah bertahun-tahun berlalu, biarlah Hinata menikmati hidup bersama keluarga kecilnya."

"Hinata tak menginginkan pernikahan itu, Shika."

"Darimana kau tahu? Kau bukanlah siapa-siapa gadis itu. Dia sudah memilih sendiri takdinya, dan kau pun harusnya begitu."

Brakkk. Naruto mengebrak meja kerjanya.

"Kau tak mengerti, Kau sungguh tak mengerti apa-apa, jadi kau yang harus berhenti menasehatiku."

"Pada akhirnya nanti, hanya kau yang tersakiti karena terus-terusan tidak bisa bergerak pergi."

Shikamaru berdiri, memandang ke jendela besar di belakang Naruto terduduk, "Sudah waktunya aku pulang, seluruh dokumen untuk divisi medis akan kubawa dan kuserahkan ke Sakura."

Pemuda jangkung itu melangkah pergi meninggalkan Naruto sendiri di kantor hokage, membiarkan Naruto bergelut dengan pikirannya.

.

.

.

ucapan Shikamaru terbukti beberapa hari kemudian, misi di Ame yang seharusnya hanya membutuhkan waktu sepuluh hari mundur menjadi dua minggu karena ada beberapa bandit yang melapisi kunai mereka dengan jenis racun yang baru.

Meski berhasil dihentikan, tapi lengan kanan Neji yang sempat terkena lemparan Kunai mengeluarkan darah terus menerus dan membuatnya demam tinggi.

Naruto bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika Hinata yang pucat pasi menunggui Neji di rumah sakit Konoha, membawa sendiri beberapa perlengkapan yang dibutuhkan seorang Neji, sementara putranya dituntun oleh pelayan lain dari Hyuuga.

Hinata yang bolak-balik menanyai Sakura yang ditugasi merawat Neji pun tak lepas dari pengawasan Naruto, apakah orang yang tidak kau cintai bisa dibuat sedemikian khawatir seperti sekarang?

Naruto tersenyum kecut, dia sudah mendapatkan jawabannya sendiri, sudah dari dulu sebenarnya jika dia tidak keras kepala untuk menolak sebuah fakta.

Cinta Hinata sudah tak ada lagi padanya, sebuah sia-sia mengharapkan gadis itu menghadiahinya perasaan yang dulu sudah Naruto tolak.

Si Hokage terdiam memandang Hinata dari jauh, dengan lirih meminta Tuhan untuk membalikan waktu, mencoba memperbaiki kesalahannya dahulu yang tidak menerima Hinata.

Tapi semua terlambat, kan? Tidak ada jurus melintasi waktu, Naruto tahu itu.

Jadi kali ini memang dia harus berhenti, mencontoh Hinata yang sudah menerima takdir untuknya, meski arah hati Naruto ada pada gadis itu, tapi bila yang dituju menitipkan hatinya pada orang lain, Naruto bisa apa?

Bersandar di dinding rumah sakit dan menghela napas panjang, Naruto memejamkan mata.

"Bahagialah diriku, bahagialah."

Untuk selamanya, cinta Naruto pada Hinata tidak pernah habis, jika Neji menghilang dan Hinata meminta cinta Naruto maka dengan tangan terbuka pemuda itu akan merengkuh semua bagian Hinata.

Namun untuk jalan hidup yang digariskan Tuhan sampai detik ini, Naruto hanya akan menunggu, siapa yang terlebih dahulu pergi diantara mereka bertiga.

Tamat

berakhir dengan tidak epic,
karakter Naruto OOT sekali, maafkan.