Hetalia belongs to Himaruya Hidekaz, saya tidak memiliki dan mengambil keuntungan apapun dari oneshot ini
Terinspirasi dari 'Fourth of July' by Sufjan Stevens
Written by sounakarin / Kana
Warning: angst, character death, broken!Alfie, sick!Arthur, typo, OOC, post-apocalypse AU, gaje, lebay, krinj, dll.
Note: uhhhhhh sebenernya aku mandang hubungan alfred-arthur disini sebagai kakak-adek yg putus hubungan keluarga semenjak empat julay ohok- tpi kalo kalian mau mandang yang lain gpp.
Listening to; Fourth of July - Sufjan Stevens
or
All I Want - Kodaline
or
Somewhere Only We Know - cover by Lily Allen
Ato tiga-tiganya aja sjsjhdjsdk /ditampar
Kaleng biru terjatuh dari pangkuan Alfred, menimbulkan bunyi klontangan yang menggelegar. Alfred mendecih. Bukan karena suara klontangan itu membangunkan pemilik toko atau menyadarkan manusia lain akan kehadiran orang tak dikenal di tokonya, melainkan suara tersebut sangat keras hingga Alfred harus menutup telinganya. Alfred tak perlu khawatir akan pemilik toko, sang pemilik toko sudah hilang tak berjejak ketika Alfred kemari ke tokonya.
Alfred mengais lemari makan toko itu. Dia menemukan sebungkus roti yang terletak di belakang botol bir kosong yang ajaibnya memiliki kondisi bagus— tidak berjamur dan tanggal kedaluwarsa yang masih lama. Alfred tersenyum cerah. Dia mengambil roti tersebut kemudian memilah-milah kaleng yang berserakan— berharap menemukan sekaleng daging yang layak. Perhatiannya tertuju ke kaleng hijau yang berat. Alfred menggenggamnya, kemudian menempelkan kaleng itu ke telinga. Dia mengocoknya dan merasakan sesuatu yang berat bergoyang. Alfred tersenyum, dia mengambil roti lalu meraih sebotol saus merah dan mayonaise. Dia melangkah keluar dari toko tersebut. Alfred menengok, mengamati toko tersebut yang hampir hancur. Atapnya jebol, jendelanya pecah, dindingnya terkelupas dan debu bertebaran di dalam dan luar toko. Kondisi dalamnya tak jauh beda, barang-barang hilang dan rak-rak jebol tertimpa atap. Alfred beruntung bisa menemukan makanan layak di dalam toko tersebut.
Alfred tanpa sengaja menendang kerikil kecil. Dia bersenandung pelan, berusaha menjaga kewarasan di tengah-tengah bangunan hancur dan tulang-tulang manusia dan hewan. Senandung pelan Alfred menggema di jalan yang sepi, berusaha menceritakan pilu yang diderita walaupun tak ada yang mendengar.
"Iggy, aku berhasil menemukan bahan-bahan untuk membuat hamburger." Alfred menyapa Arthur yang menenteng kayu bakar. Arthur menaruh tumpukan kayu bakar tersebut, kemudian menepuk tangannya untuk menyingkirkan debu. Dia berkacak pinggang, kemudian menatap Alfred yang mendekat.
Arthur menatap bahan-bahan di tangan Alfred dengan takjub. "Waw, dari mana kau mendapatkan bahan-bahan itu?"
"Dari toko terbengkalai di ujung sana." Alfred menaruh bahan-bahan tersebut di dekat tumpukan kayu bakar.
Arthur menyipitkan matanya, melihat lebih dekat bahan-bahan yang dikumpulkan Alfred.
"Kenapa gak ada selada?" tanya Arthur.
"Di sana gak ada selada. Kalaupun ada, paling-paling sudah membusuk atau digigit tikus." Alfred menempelkan bokongnya ke tanah. Arthur kemudian duduk di hadapan Alfred, dengan kayu bakar yang terletak di samping mereka. Arthur menggesekkan kayu dengan kayu yang lain, berusaha menciptakan api— sementara Alfred membuka kaleng berisi daging lalu menyiapkan pemanggang yang dia ambil di toko tadi, kemudian menunggu Arthur menyalakan api.
Percikan api kecil muncul di sela-sela gesekan kayu. Arthur menggeseknya lagi dengan tekanan maksimal, kemudian muncul kobaran api kecil yang dinanti-nanti. Dia menambahkan kayu ke dalam kobaran itu dibantu Alfred. Alfred menyusun sebuah penyangga dari kayu untuk membantunya memanggang daging itu. Dia menancapkan empat kayu di sudut kobaran api, lalu memasangkan pemanggang di tengah-tengahnya. Dia menuangkan sekaleng daging di pemanggang tersebut, kemudian menunggu api memanggang daging hingga berwarna kecoklatan. Arthur menenggak sebotol air minum, sementara Alfred dengan antusias menunggu dagingnya matang.
Arthur mengelap sudut bibirnya, kemudian menatap Alfred. Dia memeluk lututnya, mengikuti pose Alfred— kemudian mengamati daging yang perlahan berubah warna menjadi kecokelatan.
Mereka diam. Keheningan mengudara, namun mereka tak merasa sesak oleh suasana sepi yang menenangkan ini. Setelah menghadapi banyak hal, yang mereka rindukan adalah suara percik api yang hangat dan menenangkan serta suasana yang tenang dan damai di tengah-tengah dunia yang akan runtuh.
Setelah suasana hening yang cukup lama, Alfred membuka suara.
"Sudah lama, ya. Aku gak makan hamburger," desahnya. Bibirnya mengukir senyum, senyum tenang nan lega. Arthur ikut tersenyum juga.
"Hahh, terakhir kau makan itu ketika yang lain masih ada, kan? Di mana kita duduk mengelilingi api unggun, ketika keadaan belum separah ini." Arthur menatap langit abu-abu dengan mata yang berkaca-kaca. Ingatannya mengukir sebuah kenangan di mana mereka masih lengkap berenam, duduk mengelilingi kobaran api dan bertingkah konyol seperti biasa. Di mana Alfred masih mengunyah hamburger lalu mengoceh seperti biasa, Ivan masih tersenyum, Francis masih berani menggodanya, Yao masih menggendong pandanya, dan Arthur masih sempat-sempatnya memukul Francis.
Alfred terdiam.
"... Aku rindu semuanya."
Arthur mengelap air mata yang hampir menetes. Dia menoleh ke Alfred, lalu ke daging yang berwarna coklat.
"Aku juga."
Percikan api yang membara menyadarkan mereka ke realita. Alfred tersadar akan dagingnya, kemudian buru-buru menyingkirkan pemanggang. Alfred mengaduh ketika jarinya menyentuh pemanggang, kemudian tersadar dia belum memakai sarung tangan. Arthur terkikik pelan melihat tingkah Alfred, sementara Alfred misuh-misuh sendiri.
"Hey, jangan ketawa gitu dong! Bantu aku angkat pemanggangnya!"
"Makanya hati-hati, bodoh. Ini sarung tanganmu." Arthur melemparkan sarung tangan ke pangkuan Alfred. Alfred nyengir, kemudian memasang sarung tangan itu ke tangannya.
"Makasih, Artie."
Mereka berdua melepaskan ujung pemanggang yang terpasang di kayu lalu menaruhnya di permukaan. Alfred mengipasi dagingnya supaya cepat kering dibantu Arthur. Kibasan Alfred semakin keras, membuat api unggun di sebelahnya ikut terkena kibasan Alfred.
Arthur panik. "Pelan-pelan, Al! Jangan sampe kibasannya kena api unggun! Capek aku bikinnya."
Alfred terkikik. "Ups, maaf Arthur! Selanjutnya aku akan mengencangkan kibasannya!"
"Alfred!"
Alfred mengelap keringat yang mengalir di dahi. Mata birunya memandang masterpiece berupa hamburger yang tersaji di hadapannya—- buatan sendiri dengan sedikit bantuan dari Arthur. Perut Alfred berbunyi, tak sabar menyantap hamburger yang sudah lama tak ia rasakan. Alfred mengelap air liur yang hampir menetes, kemudian bersiap memasukkan hamburger tersebut ke dalam mulutnya— namun dicegah oleh Arthur.
"Tunggu dulu!" Arthur menengadahkan tangannya ke arah Alfred. Alfred terkejut, alisnya mengerut heran.
"Kenapa?"
Arthur merogoh sesuatu dari saku jaket. Tangannya mengeluarkan sebatang lilin kecil berwarna biru, warna yang sama dengan warna mata Alfred. Alfred mengerjap. Arthur kemudian menancapkan lilin itu di hamburger milik Alfred. Seketika Alfred tercengang, menyadari apa yang akan dilakukan Arthur.
"Tunggu, lilinnya kau dapatkan dari mana?"
"Dari rumah tua yang kulewati saat mencari kayu bakar." Arthur tersenyum. Tangannya mengaduk isi saku jaket, berusaha mencari satu benda lagi. Jemarinya mengeluarkan sebuah pemantik api kecil berwarna hijau. Alfred tersenyum lebar, merasa antusias.
"Oh ya ampun, sudah lama aku gak tiup lilin saat hari ulang tahunku! Artie, kamu keren banget!" puji Alfred yang merasa gembira.
Arthur tergelak. "Berterima kasihlah padaku, Al. Kau sendiri pasti gak kepikiran ide ini, kan?"
"Terima kasih Artie! Kau benar-benar jenius!" Alfred seperti anak kecil yang kegirangan pada hari ulang tahunnya.
Jari Arthur menyalakan pemantik hingga mengeluarkan secercah api kuning yang hangat. Arthur mendekatkannya ke lilin, api yang ada di pemantik terbagi ke lilin. Arthur menarik pemantiknya, kemudian mematikan api pemantik.
Alfred memandang lilin itu dengan tatapan berbinar. Arthur tersenyum, kemudian mengubah posisi duduknya menjadi bersila. Alfred ikut mengubah posisi duduknya. Arthur menarik napas, kemudian mengeluarkannya. Udara putih berisi debu keluar dari hidung saat dia mengeluarkan napasnya.
Mulut Arthur terbuka, "Selamat ulang tahun yang ke- hey, ini ulang tahun kamu yang ke berapa?"
"Masa bodo, aku juga sudah lupa umur berapa," jawab Alfred.
"Mana bisa begitu?!"
"Bisa lah!"
Mereka berdebat tentang umur Alfred selama kurang lebih tiga menit. Setelah itu, entah bagaimana perdebatan mereka berhenti, kemudian Alfred meniup lilinnya disertai senyuman bahagia dari Arthur tanpa berhasil memecahkan jumlah umurnya.
"Yay! Setelah sekian tahun akhirnya aku bisa tiup lilin lagi!" Alfred mengangkat tangannya sambil tersenyum lebar menunjukkan gigi. Wajahnya terlihat lebih cerah dan riang dari biasanya, dan sudah lama Arthur tidak melihat Alfred tersenyum menunjukkan giginya setelah sekian lama.
Ngomong-ngomong, Arthur merasa ada yang aneh dari ulang tahun Alfred hari ini. Dia seperti melupakan sesuatu, namun dia memutuskan untuk tidak memikirkannya.
Namun Arthur tetap tak bisa mengabaikan perasaan aneh yang bergejolak di tubuhnya. Seolah-olah tubuhnya sedang mempersiapkan sesuatu yang besar– yang siap mengeluarkan dirinya dari tubuh Arthur. Sesuatu itu, apapun itu, Arthur yakin itu bukan hal yang baik. Arthur merasa lambungnya bergejolak, namun dia menghiraukannya. Dia menatap Alfred yang mengoceh bahagia tentang ulang tahunnya, memutuskan untuk menikmati momen ini.
Ocehan Alfred terhenti. Dia seperti teringat akan sesuatu. Arthur menaikkan sebelah alis, terheran akan tingkah Alfred barusan.
"Ada apa?" tanya Arthur.
"Aku merasa ada yang aneh di perayaan ulang tahunku hari ini," jawab Alfred.
Dahi Arthur mengerut.
"Sudahlah, biarkan saja. Lagipula bisa merayakan ulang tahun di dunia yang hampir hancur ini sudah merupakan keberuntungan," komentar Arthur.
Alfred nyengir lebar. Dia memutuskan untuk terus mengoceh, sementara Arthur tetap mendengarkannya sambil tersenyum. Ocehan Alfred semakin lama semakin banyak, sementara suaranya semakin mengecil sehingga Arthur harus mendekatkan tubuhnya agar bisa mendengarnya dengan jelas. Suara Alfred semakin kecil, hingga akhirnya dia berhenti berbicara kemudian tersenyum lembut dengan sorot mata bahagia.
Dia mendongak, berkontak mata dengan Arthur yang terheran-heran. Semburat tipis di pipinya cukup menggambarkan perasaannya yang bahagia dan bersyukur.
"Ngomong-ngomong Arthur, aku merasa senang karena di ulang tahunku ini kau tidak jatuh sa-"
"OHOK!"
Cairan merah pekat membasahi hamburger dan tanah yang mereka duduki. Arthur menutup mulutnya erat, sarung tangannya berubah warna menjadi gelap. Dia menatap Alfred dengan sorot mata kaget bercampur menyesal, kemudian memuntahkan darah lagi. Kali ini darahnya mengenai pipi Alfred.
Alfred tercenung. Dia terpaku menatap Arthur.
Suara batuk dan muntahan terdengar jelas dari bangunan pos kecil yang terbengkalai.
Alfred mengelap mulut Arthur yang berlumuran darah. Arthur tanpa berhenti terus memuntahkan cairan merah itu, hingga keringat mengalir deras di seluruh tubuhnya. Alfred menatap pilu Arthur yang terus-terusan muntah darah di sudut ruangan, tubuhnya tanpa sadar gemetar. Dalam hati, Alfred terus-terusan meminta semua ini berhenti. Bibirnya kaku, sementara dalam hati dia berulang kali mengucapkan "berhenti" karena tak sanggup melihat Arthur menderita. Handuk putih bekas dia mengelap mulut Arthur sudah berubah menjadi warna merah saking banyaknya darah yang Arthur muntahkan.
Arthur memuntahkan cairan merah itu untuk yang terakhir kalinya. Napasnya terengah-engah, wajahnya pucat dan keringat mengalir di dahinya. Dia menatap Alfred dengan mata sayu, bibirnya menggumamkan kata "maaf". Alfred menggeleng pelan, dia menuntun Arthur untuk berbaring di atas kain abu-abu dan pakaian yang dilipat menjadi bantal. Dia menyelimuti Arthur dengan mantelnya.
Arthur menggenggam erat lengan Alfred. Dia menoleh dengan perlahan, kemudian mata sayunya memandang Alfred. Alfred tak kuasa melihat wajah pucat Arthur.
"Kau tak kedinginan?" lirih Arthur. Alfred menggeleng, khawatir terlihat jelas dari raut wajahnya.
Arthur menghela napas dengan pelan. Alfred dapat mendengar gonggongan berat ketika Arthur menghela napas, membuat hatinya bagai tertusuk jarum.
"Maaf ya, sudah mengotorkan burgernya." Arthur menatap atap berwarna kusam. "Padahal kau sudah susah-payah mengumpulkan bahannya."
Alfred menggeleng lagi. "Gak usah minta maaf atas burgernya. Sekarang aku lebih khawatir terhadap keadaan kamu, tahu," ucapnya gemetar. Dia meraih tangan Arthur yang dingin, kemudian menggenggamnya erat.
Seandainya Alfred masih memiliki kuasa atas negerinya, dia pasti akan memesankan kamar rumah sakit khusus untuk Arthur lengkap dengan peralatan yang canggih dan kasur yang empuk sehingga Arthur tak perlu terbaring menyedihkan di lantai beralaskan kain tipis, sehingga Alfred tak melihatnya menderita, sehingga Arthur tidak perlu pergi ke sudut ruangan untuk muntah, sehingga sudut ruangan tempat mereka tinggal tidak perlu berubah warna menjadi merah darah. Namun kini mereka bukan lagi negara yang kekal dari senjata dan penyakit, mereka kini hanyalah dua manusia yang hanya memiliki satu sama lain. Mereka tak lagi memiliki kuasa atas tanah dan dunia, mereka hanyalah orang-orang yang terombang-ambing mencari tempat tinggal serta makanan dan minuman yang layak.
Kini Alfred berpikir, di antara hidup kekal atau hidup seperti manusia mana yang akan mereka pilih? Dulu ia sangat ingin melepas kekekalan yang menjadi bagian dari tubuhnya sendiri sebagai seorang personifikasi, seolah-olah kekekalan itu kutukan. Namun akankah dia sanggup menjalani hidup sebagai manusia, yang setiap harinya hampir bertemu dengan kematian?
Alfred dulu tak masalah dengan penyakit ataupun senjata. Dia bisa sembuh dengan sendirinya, dia kekal, dia masih bisa beregenerasi dan tetap hidup walaupun jantungnya ditembak. Selama rakyatnya masih ada, selama identitas bangsanya masih ada, selama wilayahnya masih ada, dia tak perlu mengkhawatirkan itu. Namun jika dia hidup sebagai manusia, akankah dia siap khawatir akan keselamatan diri dan keluarganya kala perang melanda atau penyakit menjangkitinya? Akankah dia siap khawatir perihal makan apa keesokan harinya? Akankah dia siap untuk pasrah dan menyerahkan semuanya pada keadaan, saking mengerikannya cobaan yang ia alami? Dan akankah dia siap terombang-ambing mencari tempat berteduh yang layak karena rumahnya telah hancur? Dan akankah dia siap untuk menghadapi kematian— baik dari orang-orang terdekatnya maupun dirinya sendiri? Sanggupkah ia hidup tanpa Arthur?
Setitik air mata jatuh. Awalnya hanya satu, namun semakin lama semakin banyak seiring air mata yang turun deras dari pelupuk mata biru Alfred. Badannya gemetar hebat. Dulu dia takut dengan hantu, namun sekarang dia takut kehilangan Arthur. Alfred terisak pelan, membuat Arthur tersadar dari lamunannya. Arthur menoleh ke Alfred, tangan ringkihnya menghapus air mata yang menderu deras.
"Gak usah nangis, lagipula pasti keadaanku bakal membaik."
"Aku takut kehilanganmu."
"Aku gak akan pergi."
Alfred terus terisak, jemarinya mengulurkan jari kelingking— meminta Arthur untuk menepati janjinya.
"Janji?" bibirnya gemetar.
Arthur tersenyum lembut, kemudian menautkan jari kelingking miliknya ke jari kelingking Alfred— menautkan sebuah janji.
"Janji."
Pegangan jari kelingking Arthur melemah. Tangannya kemudian terjatuh lemas, seiring dirinya yang kehilangan kesadaran dan kepalanya yang menoleh lemas. Alfred panik, dia menggenggam tangan Arthur yang dingin dan menepuk-nepuk pipi Arthur sambil memanggil namanya. Arthur tak menjawab. Dia menyentuh leher Arthur, kemudian terkejut karena lehernya sangat dingin. Manik birunya melebar, jantungnya berdetak semakin keras, dia berteriak memanggil nama Arthur. Tangannya meraih tangan Arthur, berniat mencari nadinya. Dia memegang nadi Arthur, kemudian terpaku. Tangan Arthur yang dingin terlepas dari pegangannya, terjatuh lemas.
Alfred tertegun. Sorot matanya tak percaya dan syok, sementara bibirnya terus mengucapkan kata Arthur. Tangannya perlahan-lahan meraih jaket yang Arthur pakai lalu meremasnya. Pertahanan Alfred runtuh. Dia berteriak memanggil nama Arthur, kemudian tangisan keluar dari mulutnya. Alfred menunduk, tubuhnya bergetar— tak sanggup meluapkan kesedihan yang menumpuk di lubuk hati.
Hari ini, empat Juli milik Alfred dihiasi tangisan dan penderitaan. Hari ini, tanggal empat Juli, Arthur meninggalkan Alfred. Selamanya.
A/N
Yh akhirnya setelah sekian lama sy bsa publish ni oneshot di sini,, [trharu] [mnyeka air mata,,]
Dan yh, gk tw aku sendiri yang lebay ato gimana tapi gilaaaa, saya ngetik sama ngeditnya sampe nangis brayy jkaoskaosakoskosks bahkan ini aku ngetik sampe berkaca-kaca T_T gila aku juga gak kuat ngeditnya, apalagi sambil dengerin Somewhere Only We Know shdhjsdjjsjdjdjds MAMAAAAAAAAAAA /ditendang
Ini gk tau akunya yang terlalu emosional, lebay, ato gimana lah— klo misalnya oneshot ini membuat anda menangis selamat, gk bikin nangis gapapa /ohok
Ohiya, aku disini nyoba buat masukin perspektif kita sebagai manusia eak. Gimana struggle kita bertahan hidup, kehilangan orang terdekat, gagal mencapai tujuan, jatuh bangun berkali-kali, dipukul ama realita, berusaha waras di tengah situasi yang chaos, dll. Disini aku coba masukin itu. Kalo personifikasinya berkali-kali minta biar ngelepasin kekekalan mereka sebagai personifikasi, di saat itu juga kita berusaha buat tetep hidup walaupun rasanya kayak … 'udahlah capek, tapi mau gimana lagi, harus tetep bertahan' hshdhsjdjsdk. Dan ya, baik personifikasi maupun manusia ada struggle sendiri. Personifikasi harus liat kematian banyak orang sepanjang hidup mereka, sementara manusia berusaha bertahan hidup melewati kekacauan yang melanda. Itu doang sie, btw kenapa aku jadi curcol begini hsoaoaksoam
Kayaknya ini kalo dijadiin fic berchapter bagus, latarnya post-apocalypse gitu soaoksoaks. Yh, semoga aja aku bisa jadiin ini fanfic.
Dan itu bagian Alfred manggang daging aku ngasal ya, anggap aja Alfred sama Arthur suka manggang daging jadinya ambil pemanggang daging di toko perabotan trus dibawa kemana aja sfsgdhsjdjdjd
yh semoga 2000-an words cukup untuk hadiah ulang tahun Alfred, anw hepi besdey Alfie sayang, semoga setelah baca ini kamu makin sayang sama papa arthur /lope lope banyak
Dan keknya segini aja, ak mw ngegalau dulu bye bye
-Kana
