Seorang siswi bertubuh mungil berdiri di tepian atap bangunan sekolah. Sekeliling bangunan sudah dikurung dengan kawat setinggi tiang ring basket, namun tetap saja ia menemukan celah untuk melewatinya. Terlihat wajah sang gadis yang sudah sayu dan lelah. Ia letih dengan keadaan menyedihkan yang telah, tengah dan akan menimpanya jika ia masih bernapas.
Entahlah. Hidup tak pernah bersahabat. Ia dan hidup selalu bermusuhan. Tak pernah sekali pun hidup memberinya bahagia. Secuil pun. Sedikit pun. Haha. Kalau sudah begini, untuk apa ia masih bertahan?
Ia rentangkan kedua tangan, mencoba menikmati semilir angin yang tiba-tiba datang menyapa detik-detik terakhirnya. Ia hirup udara dalam-dalam. Ia layangkan sebelah kakinya ke udara, siap untuk terjun bebas menghempas diri. Haaa… ternyata inilah akhirn—
"Kau tak akan mati kalau lompat dari situ."
Sang gadis tersentak. Hampir saja ia jatuh jika refleks tak menuntutnya mencengkram kawat. Ia menoleh dan mendapati seorang lelaki berambut biru samudera sedang berdiri santai dibelakang sana.
"Kalau mau, ayo kuajak ke tempat bunuh diri yang lebih bagus," ia mengarahkan dagunya, menyuruh si gadis turun, "Dijamin langsung mati."
"Siapa kau?" tanyanya, kesal karena tiba-tiba kehilangan nyali untuk terjun.
"Boke," ia mendengus menyebalkan, "Kalau kau memang ingin mati, kenapa berhenti? Jangan bilang kalau sebenarnya kau takut mati?"
"Diam kalau kau tak tahu apa-apa!" kecam sang gadis. Matanya berubah merah, namun ia tak beranjak dari tempatnya berdiri.
"Aku tahu," anak lelaki itu berjalan menghampiri si gadis, kemudian memperhatikannya dari atas sampai bawah.
"Kau di-bully kan? Kau lemah, tak bisa melawan, akhirnya kau putus asa, lalu ingin mati. Tapi kau memang bodoh sih," ia membalikkan badan dan duduk berjongkok di belakang si gadis.
"Mana bisa kau mati kalau lompat dari sini, makanya biar kuajak kau ke tempat yang lebih bagus untuk mati."
Air mata si gadis mendadak merebak. Kedua tangannya terkepal. Ia tak tahu apa maksud takdir mempertemukan mereka berdua, namun ia tahu hari ini bukanlah hari yang pas untuk mengakhiri semua.
Hatsune Miku berjalan dengan dagu terangkat. Seperti biasa, ia tampil dengan percaya diri dan penuh intimidasi. Meski begitu, semua orang yang berpapasan dengannya tak ada yang tak melirik dua kali. Oh, semanis itu kah Miku? Yap. Ia memang cantik dan menarik. Ia kaya. Ia pintar. Ia terkenal. Ia punya segalanya. Hanya satu yang tak ia punya; sesuatu yang sangat merusak mood-nya hari ini.
Miku melihatnya; sosok menyebalkan yang sedang duduk di pojokan, terlihat lusuh dan menyedihkan seperti biasa. Cih. Ada sesuatu dari pecundang itu yang tak Miku miliki. Sesuatu yang tak bisa ia jabarkan. Entahlah, yang jelas Miku membencinya.
"Oi, BakaRin cebol!" Miku menyenggol kepala gadis bernama Rin itu dengan sengaja, "Aku belum sarapan. Cepat pergi ke kantin!"
Kagamine Rin tak menggubris perkataan Miku. Ia cepat-cepat pergi keluar kelas. Beberapa orang yang melihat adegan itu berbisik-bisik melihat Kagamine Rin yang memang setiap hari terlihat seperti babu-nya Miku.
Belum lagi ada teman-teman Miku; Meiko dan Lui. Mereka berdua juga sama-sama tukang bully di kelas dan semua orang sudah mengetahuinya. Sayang sekali tak ada yang berani pada mereka, termasuk sang ketua kelas. Salah satu alasannya adalah karena mereka semua anak orang kaya dengan kapasitas otak encer asli, bukan buatan.
Maksudnya?
Miku dkk merupakan kumpulan anak badung sejak lahir—bayangkan saja. Meski begitu, merekalah yang menduduki peringkat teratas soal akademik. Bukan hasil suap-menyuap, melainkan sudah suratan takdir. Oke. Mereka mungkin memiliki kapasitas otak yang sama dengan siswa lain, namun tingkat keenceran-nya berbeda.
"Maaf, bisa kau minggir?" ucap seseorang. Miku menoleh dengan alis berkedut. Kagamine Rin berdiri di sana sambil memegang beberapa roti melon.
"Oh, kau berani bicara sekarang?" Miku merebut roti melonnya dengan kasar, "Entah kenapa aku tak suka dengan nada bicaramu, cewek sial."
"Kembalikan. Hari ini aku tidak membelinya untukmu," ucap Rin, mengejutkan publik. Miku berhenti bergerak setelah berhasil membuka bungkus si roti melon. Suasana senyap seketika meledak begitu saja.
"Brengsek! Kau bilang apa barusan?!" Miku melempar roti melon itu sembarangan, kemudian maju selangkah mendekati Rin yang memang bertubuh lebih mungil darinya.
"Brengsek. Siapa yang melempar ini?"
O-ou. Semua mata sontak memanah sumber suara. Terlihat seorang siswa jangkung berambut biru sedang memegang sebuah roti melon. Bercak cream hijau terlihat menempel di kemeja sekolahnya. Muka anak itu datar, namun garis kekesalan terlihat jelas di sana.
"Siapa kau?" Miku menjadi orang pertama yang menyahutinya.
"Shion Kaito," sahut si jangkung, kemudian melempar roti melon itu pada Miku yang tak sempat melakukan apa pun sehingga kemejanya juga ikut jadi korban.
"KAU…!" Miku melotot marah. Kedua tangannya terkepal kuat.
"Mau apa?" Shion Kaito maju selangkah, menyingkirkan Rin dari hadapannya. Ia bertatapan dengan Miku.
"Kurang ajar—"
"Mau terus adu mulut atau mau langsung tinju?"
Urat di dahi Miku mencuat. Brengsek sekali anak ini. Lagipula siapa dia? Kenapa bisa tiba-tiba muncul di sini? Bukankah selama ini tak ada yang berani menyela kegiatannya?
"Kenapa…?" Kaito mendekati Miku, mengamati gadis itu, kemudian berbisik di telinganya, "Jadi kau orangnya? Pasti selama ini banyak yang memanjakanmu. Dasar anak manja."
Miku melotot. Ia layangkan tangan hendak menampar Kaito, namun tamparan itu dengan mudahnya dapat ditepis. Bahkan Miku dibuat tak mampu berkutik karena detik berikutnya, telunjuk Kaito sudah menempel di atas dahi.
"Beginilah rasanya dipermalukan di depam umum," ucapnya sebelum menyentil dahi Miku sampai ia terjatuh ke lantai. Orang-orang mulai ribut. Ada juga yang diam-diam mengambil video.
"BRENGSEK! DIAM KALIAN!" Miku tiba-tiba berteriak keras. Wajahnya merah padam. Bahunya bergerak naik-turun. Giginya bergerit. Sepertinya ia bahkan sudah siap jika harus membunuh Kaito saat ini juga. Meski begitu, si rambut biru sama sekali tidak terganggu. Ia tetap memasang wajah datar.
"Ingat saja…" Miku pun berdiri, kemudian menatap tajam Kaito dan Rin bergantian, "Kalian akan kubalas."
Setelah itu ia berjalan menghentak keluar. Bahunya sempat menghantam bahu Kaito yang sama sekali tak bergeming. Rin menatap punggung gadis bersurai hijau panjang itu, kemudian menatap Kaito yang juga sedang menatapnya dalam diam.
"Anak manja itu yang membuatmu begini?" ia bertanya dengan sebelah alis naik sedikit.
Rin tidak menjawab. Ia masih terlalu sibuk dengan kebingungan yang melandanya. Lagipula, kenapa tadi ia bersikap seperti itu pada Miku? Benar. Bukankah biasanya Rin tak pernah membantah? Bukankah ia selalu melakukan apa pun yang mereka mau? Apa mungkin…
…karena ia sudah menemukan sedikit keberanian akibat tidak jadi mati?
"Aku mau masuk kelas ini. Bagaimana caranya?" Kaito bertanya pada Rin yang masih belum bisa berkata-kata.
Anak itu… siapa sebenarnya? Rin sadar, semenjak mereka bertemu di atap beberapa saat yang lalu, ia tahu bahwa anak itu memiliki sebuah aura tak biasa. Entah. Semacam berbahaya? Ia terlihat sama sekali tak takut apa pun. Mungkin memang karena belum tahu apa pun.
"Aku memang sial," ucap Rin tiba-tiba, membuat alis Kaito bergerak sedikit.
"Kenapa aku harus bertemu denganmu?"
Next: Hatsune Miku
