"Jangan mengganggu, brengsek!"
"Sesama brengsek jangan menghina."
"SHION KAITO!"
"Nani?"
Miku merasakan amarah yang kian meledak-ledak. Wajahnya benar-benar panas. Suhu sekitar serasa membakar dan ini benar-benar sial! Ingin Miku tendang wajah makhluk brengsek bernama Shion Kaito itu, kemudian ia seterika dengan besi panas hingga meleleh dan rata dengan tulang. Shit.
Padahal Miku melakukan ini di dalam toilet perempuan, tapi tetap saja Kaito bisa masuk. Meiko dan Lui yang kali ini membersamainya sama sekali tidak membantu. They were supposed to keep the people out of the toilet but failed. Kesal. Miku kesal.
Sungguh. Miku merasa tertekan semenjak Kaito hadir dalam horizon. Anak tak tahu malu itu terus-terusan mengganggu Miku, menghentikan segala aksi yang ia lakukan. Mau tahu? Hal ini sudah terjadi selama empat pekan berturut-turut. Padahal satu-satunya hal yang menyenangkan bagi Miku adalah menginjak-injak Rin sampai habis. Tapi apa?
Kaito selalu muncul di saat-saat krusial; saat Miku mengunci Rin di dalam gudang, saat Meiko berniat iseng dengan baju olahraganya, saat Lui mencoba mencuri sepatu gadis itu dari dalam loker, atau saat-saat yang lain di saat mereka bertiga melakukan hal-hal remeh.
Bahkan pernah Kaito sengaja membiarkan Miku bertingkah bodoh saat pelajaran guru killer Yuri-sensei. Miku berkata bahwa Rin meminjam buku catatan miliknya untuk mencontek pekerjaan rumah, namun belum dikembalikan. Sayang sekali saat tas milik Rin diperiksa, mereka tidak menemukan buku Miku di mana pun. Yang ada, malah buku catatan Rin yang bermain petak umpet di dalam tas Miku. Tch. Siapa lagi yang berani melakukannya selain si Shion freakin' Kaito. Memang brengsek.
"Nani? Kau kehabisan kata-kata?" Kaito menyeringai tipis memperhatikan Miku yang masih menatapnya dengan wajah kesal, "Wajar sih. Kau memang tak lebih pintar dari Rin. Selamat sudah menjadi nomor dua."
Miku mendengus. Kuso. Sekarang ia benar-benar marah. Ia tidak main-main. Serius. Miku bisa langsung merasa kesal hanya dengan melihat ujung rambut Rin. Atau sepatu ketsnya. Atau bangkunya. Atau rambut pendek sebahunya. Atau apa pun yang menyangkut DIRINYA. Miku benci itu semua. Tapi, kalian tahu apa yang paling menyebalkan?
Ketika Hatsune Miku terus dibanding-bandingkan dengan Kagamine Rin.
Miku mengepalkan tangan kuat-kuat. Baiklah. Mereka tidak tahu kalau ia menyembunyikan benda itu di balik saku roknya. Haha. Tak masalah jika mereka menganggap Miku sudah gila. Ya. Karena ia memang gila.
"Kalian tahu apa yang akan terjadi pada kalian?" Miku tertawa sambil mengacungkan sebuah kater yang sejak tadi ia sembunyikan. Kaito mulai waspada. Ia menyuruh Rin agar tetap berada di belakangnya.
"Tak masalah," Miku mengeluarkan bilahan tajam kater yang ia bawa, "Cewek sial itu akan dikeluarkan karena sudah melukaiku. Dan kau? Kau akan terus menyudutkanku yang lemah dan tak berdaya ini demi membelanya. Kau berusaha menutupi kejahatan yang ia lakukan…"
Kaito melotot melihat Miku hendak menyilet dirinya sendiri dengan kater. Spontan ia melompat untuk menghentikan.
"KAU GILA…?!" serunya, mencengkram tangan Miku yang memegang kater, "LEPASKAN!"
Percuma. Miku benar-benar sudah kalap. Ia berusaha keras melepaskan diri dari cengkraman Kaito. Saat ada celah, ia hempaskan tangan kanannya sekuat tenaga hingga—
SRAAAT!
Miku tercengang. Oh… darah. Tangan Kaito berdarah. Cairan merah itu terus mengucur dan membuat Miku sadar bahwa ia baru saja mengiris telapak tangan seseorang. Sang gadis sontak menggigil. Kater yang ia pegang pun terjun bebas ke lantai.
Kaito terdiam memperhatikan tangannya yang belum berhenti mengeluarkan darah. Saat ia kembali pada Miku, ia lihat gadis itu melorot sambil memeluk dirinya sendiri.
"Aku akan memanggil—"
"Tidak! Tunggu!" Kaito menghentikan Rin yang hendak berlari keluar.
"Tapi tanganmu…!"
"Aku tak apa-apa!" ucap Kaito tanpa berhenti menatap Miku. Ada yang aneh. Tadi, saat Miku berniat menyilet dirinya sendiri dengan kater, Kaito melihatnya. Bekas luka. Mereka terlihat jelas di balik lengan baju yang tersingkap.
"Omae…" Kaito mengulurkan tangannya hendak menyentuh Miku, namun gadis itu malah semakin ketakutan. Ia menyembunyikan kepalanya di balik lutut.
"Oi, aku baik-baik saja," Kaito melepaskan dasi yang ia kenakan, kemudian melilitkan benda itu ke tangannya, "Kau lihat?"
Miku pun mengangkat wajah, menatap nanar tangan Kaito. Darah memang sudah berhenti mengucur, namun jantung gadis itu masih berdegup sangat kencang sampai-sampai rasanya kepala ini akan meledak. Bahkan oksigen pun serasa tak bisa dihirup lagi. Tidak. Ia hanya tak menyangka bisa melukai orang sampai… sampai… ugh. Kepala Miku berat.
"Oi, kau tak apa-apa?! Oi, Hatsune Miku! OI!"
Miku tak mendengar apa pun lagi. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Satu detik berlalu dan ia rasakan seseorang menangkapnya. Sial. Miku hanya berharap kalau ini hanyalah mimpi buruk.
Kaito menghela napas menatap tangannya yang kini sudah rapi diperban. Kalau ia menelpon niisan-nya, ia pasti kena omel. Tentu. Pegawai UKS sekolah saja sudah bertanya macam-macam pada Kaito, apalagi sang kakak yang berprofesi sebagai dokter di rumah sakit. Pasti repot kalau ketahuan.
"Kau yakin kau tak apa-apa?" Rin muncul dari balik tirai dengan setelan baju olahraga. Kaito hanya tersenyum, kemudian mengacungkan tangannya.
"Aku baik-baik saja. Daripada itu…" Kaito melirik kasur sebelah. Di sana ada Miku yang masih terbaring tak sadarkan diri.
Oya. Mereka sama sekali tak mengundang keributan karena kejadian tadi berlangsung saat jam istirahat, di mana kelas akan dimulai satu menit lagi. Beruntung siswa yang lain sudah berada di dalam kelas dengan disiplin. Kalau tidak, mereka mungkin bisa menyaksikan penampilan Kaito, Miku dan Rin yang dari sisi mana pun akan terlihat sangat mencurigakan. Jelas. Yang satu basah dari ujung kepala sampai ujung kaki, dua lainnya berdarah-darah. Coba. Apa yang akan mereka pikirkan?
Tadi juga Kaito sempat mengancam Meiko dan Lui agar tutup mulut jika mereka tak ingin ada masalah. Lagipula hal ini pasti akan dianggap kejahatan berat. Mereka yang terlibat mau tak mau akan diinterogasi.
Masalahnya, Kaito tidak tahu apakah sekolah ini berlaku bias terhadap sebagian murid atau bagaimana. Yang jelas, ini akan berdampak buruk entah bagi dirinya, Miku, atau pun Rin. Kalau pun sekolah ini memang bias, mereka akan mendengar 'rencana' yang tadi disebutkan Miku dan Rin bisa benar-benar dikeluarkan.
"Kau mengkhawatirkannya?" tanya Rin. Kaito yang masih memandangi Miku menoleh pada Rin, lalu terkekeh.
"Kau pikir begitu?" tanyanya. Rin tidak langsung menjawab. Ia sempat berpikir beberapa lama sebelum menjawabnya.
"Kau selalu mengkhawatirkan orang lain, sih."
Kaito tertawa kecil, "Tidak juga."
"Tapi kau juga peduli padaku," ucap Rin, "Jujur. Kau satu-satunya orang yang peduli padaku. Baru sebulan kau datang, kehidupanku sudah hampir berubah sepenuhnya. Kau bahkan bisa menghentikanku bunuh diri saat pertama kali kita bertemu."
Kaito hanya diam mendengarkan.
"Tenang saja. Aku takkan bertanya kenapa," ucap Rin, kemudian menunjuk baju Kaito, "Kau tidak mau ganti baju?"
Kaito menatap pakaiannya yang terkena bercak darah di sana-sini. Ia tidak sempat pula mengambil baju olahraga di dalam loker karena sibuk dimarahi Megurine-sensei selaku petugas UKS.
"Akan kuambilkan," ucap Rin sambil berjalan ke arah pintu.
"Un, arigatou," balas Kaito.
Sepeninggal Rin, Kaito hanya berdua dengan Miku. Megurine-sensei yang menyuruhnya beristirahat berada di ruangan sebelah. Ehm. Baiklah. Kaito tahu ini salah. Ia paham bahwa ini sama sekali bukan urusannya, tapi ia benar-benar penasaran. Benarkah yang ia lihat tadi itu bekas luka sayatan?
Kaito ragu beberapa saat sebelum memberanikan diri menyingkap lengan baju Miku. Ia pun menghela napas. Ternyata benar. Ia tidak salah lihat. Luka itu memang bekas sayatan. Ya ampun. Apa yang terjadi pada gadis ini? Ah, bukan. Lebih tepatnya, ada apa dengan gadis-gadis di sekolah ini? Apa bunuh diri merupakan sebuah pertandingan bagi mereka? Mengapa mereka senang menyakiti diri sendiri?
"Ngh…"
Kaito terperanjat begitu melihat Miku membuka mata, menatapnya dengan kelopak yang setengah terbuka. Sedetik berlalu dan seakan baru sadar kalau itu Kaito, Miku langsung bangun dari posisinya tidur.
"Oi, oi, tenang saja. Kau pikir aku hantu?"
Miku tak menggubris. Kedua manik cokelatnya menjelajahi tangan Kaito yang sudah dibebat. Bangun-bangun, gadis itu terlihat seperti benang kusut dan semrawut. Mungkin merasa bersalah atas tingkahnya yang sudah membahayakan orang lain. Kaito pun mendengus sambil tersenyum miring.
"Ternyata kau tidak seburuk yang kukira, anak manja," ujar Kaito. Miku langsung menatapnya tajam.
"Ayo minta maaf," suruh Kaito, iseng. Miku melotot.
"Mimpi saja terus, brengsek!" makinya.
"Sudah manja, kurang ajar pula. Kalau kau tidak pintar, kau pasti sudah jadi sampah siswarakat di sini," cibir Kaito. Miku melengos tanpa membalas perkataan Kaito. Hening pun terhempas.
"Naa…"
Miku melirik Kaito dengan ekor matanya. Ia melihat ekspresi si rambut jabrik yang agak berbeda dari yang biasa nampak. Oh jelas. Selama ini, Miku selalu melihat anak brengsek itu memasang wajah datar atau mengejek. Namun kali ini tidak begitu.
"Kau… sakit?" tanya Kaito, ragu. Yang ditanya mengerutkan alis mendengar pertanyaan se-random itu.
"Apa yang kau bicarakan?" sang gadis enggan melanjutkan percakapan. Ia pun bangkit dari ranjang berniat pergi dari UKS, namun Kaito menahan lengannya.
"Apa yang kau lakukan, brengsek?!" Miku spontan menghempaskan tangan Kaito. Gadis itu terlihat sangat terkejut. Sungguh. Selama ini belum pernah ada makhluk mana pun yang berani menyentuhnya sembarangan. Seperti itu. Ada apa dengan orang sial ini?!
"Aku tanya, apa kau sakit?" Kaito berdiri mendekati Miku, kemudian melirik lengannya dengan pandangan yang menyiratkan bahwa ia tahu ada sesuatu yang tersimpan di balik tirai. Sang gadis pun mundur beberapa langkah. Ia sadar kalau makhluk brengsek itu sedang membicarakan bekas luka di tangannya. Tapi, dari mana ia tahu?
"Apa karena ini kau—"
"Iie!" tukas Miku, tak ingin tahu.
"Bukan karena Rin 'kan?"
Miku mengerutkan alis dalam-dalam. Mendengar nama itu disebut membuatnya ingin muntah seketika.
"Sebenarnya apa masalahmu?!" Miku menatap Kaito dengan sengit, "Kenapa kau tidak hidup tenang saja seperti yang lain?! Kenapa kau suka sekali ikut campur?! Apa untungnya buatmu?!"
Kaito terdiam. Memang. Ia memang tak punya urusan dengan mereka. Ia takkan mendapatkan apa pun dengan mencampuri urusan mereka. Tapi sialnya mereka semua terus-terusan membuat Kaito mengingat hal-hal yang sama sekali tak ingin ia ingat.
Jika Kaito mengingat hal itu, ia akan merasa punya tanggung jawab untuk mencegah segala kemungkinan terburuk yang bisa muncul sewaktu-waktu. Jadi apa salahnya kalau ia peduli? Ia hanya tidak tahan melihat orang terpuruk di hadapannya. Ia tak mampu membiarkan manusia membuang semua harapannya. Ia tak bisa untuk tidak mengulurkan tangan. Apa itu salah?
"Jangan pura-pura jadi orang baik, sialan," dengus Miku, "Tak semua orang bisa kau tolong."
"Bagaimana denganmu?" tanya Kaito.
Miku menatapnya dengan pandangan merendahkan, "Kau pikir aku butuh pertolongan? Kau tidak tahu aku siapa?"
"Tidak. Yang kutahu, kau hanyalah anak manja yang butuh perhatian," tukas Kaito, menohok Miku tepat di dada, "Apa aku salah?"
Miku mulai merasakan gumpalan amarah yang kian mendidih. Orang ini benar-benar tak tahu malu. Sayang sekali Miku tak bisa melakukan apa pun terhadapnya. Not for now.
"Lalu, bagaimana denganmu?" akhirnya Miku balik bertanya. Kaito menaikkan alis. Ia tak sempat bereaksi karena Miku tiba-tiba menyalami tangan kirinya yang baru dibebat. Lelaki itu dibuat bingung sampai akhirnya ia sadar bahwa ternyata si gadis memiliki maksud lain.
"Lihat. Bukankah kau juga sama saja?" ucap Miku. Kaito spontan melepaskan tangannya dan melotot menatap gadis itu.
Sial. Ia pikir takkan ada yang menyadarinya.
Next chapter: Unexpected Encounter
