It's You.
Mr. Love Queen's choice © Papergames/Elex.
Warning : Canon-based. AR. Wedding AU! Mengambil sebagian adegan dari "2 Become 1 Date" dan "Multitude of Light Date" (warning spoiler alert! Karena belum rilis di global server) serta sebagian adegan dari main story chapter 2.
Karakter utama dalam fanfik ini adalah Gavin dan MC.
Dedicated for #HBDGAVIN or #GAVINDAY2907
Disarankan untuk mendengarkan lagu It's You - Sezairi ketika membaca fanfik ini.
No commercial profit taken.
.
.
.
Loveland, 29 Juli 2022
Aku memandang pantulan diriku di depan cermin, dengan riasan sederhana yang terpoles di wajahku serta gaun seputih kapas yang membalut anggun tubuhku, membuatku tak dapat menahan senyuman.
Seorang penata rias menyodorkan sebotol air mineral dengan sedotan kepadaku. "Silakan diminum."
Aku menerima botol itu dan meminumnya. Penata rias itu berjalan menuju jendela besar lalu menyibak gorden yang menutupi jendela. Aku terdiam memperhatikan halaman luar gedung yang sudah dihias dengan dekorasi pernikahan. Beberapa mobil berbaris memasuki gerbang.
"Bagaimana Nona? Apa sepatunya sudah pas?"
Seorang penata rias berlutut di hadapanku, mengangkat bagian bawah gaunku, dan memandang sepatu kaca yang kukenakan. Tanpa menunggu respon dariku, wanita itu beranjak mengambil beberapa kotak sepatu dari dalam kopernya.
"Jika Anda merasa tidak nyaman dan ingin menggantinya. Saya membawa sepatu yang lain," katanya menawarkan.
"Sepatu yang ini sudah nyaman, jadi tidak perlu diganti," balasku.
Penata rias hanya mengangguk singkat. Dia menaruh kembali kotak sepatu ke dalam koper, sebelum pergi meninggalkanku.
Atensiku beralih pada sepasang sepatu kaca yang tampak berkilau diterpa cahaya mentari. Setiap kali menatap sepatu ini, satu persatu kenangan perlahan kembali hadir memenuhi ingatan.
xxx
Loveland, 14 February 2019
Satu hari di pertengahan musim dingin, tepatnya ketika perusahaanku menggelar acara pemotretan pernikahan gabungan–bertema Negeri Dongeng Impian–yang ditujukan untuk perayaan hari valentine.
Aku telah mempersiapkan semua dengan baik agar acaranya dapat berjalan sukses sesuai rencana. Meski ada beberapa kendala yang terjadi sebelum acara berlangsung, namun semuanya masih bisa teratasi.
Di luar dugaan, masalah terbesarnya muncul ketika acara pemotretan akan dimulai. Minor, rekan kerja sekaligus pasangan pengantinku dalam acara ini mendadak mengabariku kalau dia tidak bisa hadir.
Aku merasa kesal dan tanpa sadar meninggikan nada suaraku dari seberang telepon. "Kamu adalah pasanganku. Siapa yang akan menggantikanmu jika kamu tidak ada di sini?"
Ini adalah acara yang telah aku persiapkan selama hampir dua bulan. Apakah dia akan membuat acaranya gagal terlaksana?
"Meskipun aku tidak bisa datang, pengantin pria mu tidak akan absen," kata Minor menyakinkan.
Pernyataan yang Minor ucapkan sontak membuatku terdiam. Telepon tertutup secara sepihak, tanpa menunggu respon dariku. Dan sebelum aku sempat bereaksi, terdengar suara yang familier dari arah belakang.
"Aku tidak terlambat 'kan?"
Tersentak, aku membeku tanpa kata. Tatapanku terpaku menatap seorang pemuda dengan setelan jas dan sepatu kulit, ia berdiri beberapa langkah dariku.
Dia Gavin. Di tangannya, ada sepasang sepatu kaca yang memantulkan cahaya mentari. Sepatu itu tampak berkilau dan berkelap-kelip layaknya bintang di langit malam dan kunang-kunang di tengah kegelapan.
Aku masih tidak sadar saat Gavin berjalan ke arahku, sampai akhirnya ia membungkuk dan berlutut di depanku. Lalu, ujung jarinya yang hangat menyentuh pergelangan kakiku dengan lembut.
Detik berikutnya, sepasang sepatu kaca telah melekat indah di kakiku. Kutatap Gavin dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Seakan seluruh emosi negatif yang sempat bergejolak mendadak luruh dan berubah menjadi rasa haru yang menghangatkan hati.
xxx
Loveland, 29 Juli 2022
"Melihat seorang pengantin yang melamun sendirian seperti ini membuatku penasaran. Kira-kira apa ya yang ada di pikirannya?"
Aku menoleh dan mendapati Anna yang sedang tersenyum menggoda di depan pintu ruang rias. Anna melangkah menghampiriku, dia menempati kursi kosong di sampingku.
"Anna!" Aku berseru ceria, kurentangkan tanganku untuk memeluknya. Anna mendekat dan membalas pelukanku.
Pelukan kami terlepas. Anna menatapku dengan senyum bahagia. "Ketika menerima undangan pernikahan darimu, aku tidak menyangka jika kalian akan benar-benar menikah."
Anna mengulurkan tangan untuk merapikan mahkotaku yang sedikit miring. Setelahnya, dia menutup tudung pengantinku. Senyumnya merekah saat memastikan riasanku sempurna.
"Sudah siap?" tanya Anna.
Aku mengangguk sebagai jawaban. Anna menyerahkan buket bunga baby breath yang tergeletak di meja rias kepadaku.
Selanjutnya, Anna membantuku berdiri dan menuntunku keluar. Aku mengangkat gaun dan berjalan menuju aula utama. Suara dari sepatu kaca yang bergema, terdengar di setiap langkahku.
Pintu aula terlihat beberapa meter di depan. Aku menarik napas dalam, berusaha menenangkan rasa gugup yang semakin bertambah, bersama dengan debaran keras di jantungku.
"Rasanya baru kemarin kamu berkunjung ke rumahku, waktu berlalu begitu cepat."
Bibi memelukku dengan erat, dari balik dekapannya terdengar jelas suara tangisan. Dapat kurasakan kedua mataku memanas. Terlebih lagi, ketika Bibi mengusap lembut kepalaku.
"Jangan menangis sayang, pengantin harus terlihat bahagia di hari istimewanya," ucap Bibi mengingatkan. Bibi tersenyum dengan sepasang mata yang berair.
Kuberikan senyum manis kepadanya. "Terima kasih, Bi."
Selama aku berbicara dengan Bibi, aku baru menyadari jika Anna sudah tak lagi di sisiku. Aku pun menoleh ke belakang dan melihat Anna sudah berbaris bersama para bridesmaids, bersiap untuk mengiringi langkahku.
Pintu aula perlahan terbuka. Bibi berdiri di sisiku seraya mendekap erat lenganku. Dia yang akan menjadi wali pendamping hari ini, menggantikan ayahku.
Ketika kakiku menapaki lantai marmer aula, melodi musik klasik mengalun merdu menyapa telingaku. Aku mengangkat kepala, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Para tamu undangan tampak berdiri menyambutku dengan senyum yang mengembang di wajah mereka.
Lampu gantung terpasang kokoh di atas kubah aula. Jendela kaca memancarkan sinar mentari dari balik gorden. Karpet merah membentang menuju altar. Aula itu dihias dengan dekorasi warna putih serta biru langit. Bunga-bunga pernikahan seperti mawar dan peony, dirangkai sedemikian rupa. Sebagiannya digantung di dinding, dan sebagian lainnya diletakkan di setiap sudut ruangan sebagai pemanis dekorasi.
Sampai pada garis terakhir karpet merah, kedua gadis kecil yang sejak tadi menebarkan kelopak bunga di sepanjang jalan yang kulewati, berhenti melangkah dan menepi. Altar pernikahan terlihat jelas di depan mataku. Satu-satunya hal yang menarik perhatianku adalah sosok seorang pria dengan setelan jas putih bersama seorang pendeta yang berdiri di atas altar.
Aku menatap Bibi dengan penuh haru, sementara Bibi membalasnya dengan senyuman hangat. Gavin berjalan ke arahku, ia membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat kepada Bibi.
Bibi tertawa pelan. "Oh, ya ampun. Angkat kepalamu, sebentar lagi kita akan menjadi keluarga, bukan?"
Aku melirik Gavin yang tersenyum malu. Bibi tertawa. Dia meraih tanganku dan tangan Gavin, kemudian menyatukan kedua tangan kami. Bibi menatap bergantian diriku dan Gavin.
"Aku merestui kalian."
Meskipun hanya sekedar kalimat singkat, namun ada kebahagiaan luar biasa yang menyelimuti seluruh hatiku.
Bibi mengambil buket bunga dari tanganku. "Pak pendeta, kita bisa memulainya sekarang," ucap Bibi sebelum melangkah menuju kursi tamu.
Pendeta itu mengangguk dengan seulas senyum tipis. Dari atas altar, ia memimpin kami untuk memulai upacara pernikahan.
Melalui tudung pengantin, aku mencuri pandang ke arah Gavin, pemuda itu sedang berkontak mata dengan pendeta. Air mukanya begitu tenang, namun sorot matanya tampak sedikit gelisah. Mungkinkah Gavin juga merasa gugup?
Suasana ruangan berubah senyap, para tamu undangan menyimak dalam diam di kursi mereka masing-masing. Melodi piano berhenti di mainkan. Seluruh mata tertuju ke arahku dan Gavin. Di tengah kegugupan yang menyelimuti. Gavin menggenggam erat kedua tanganku. Dapat kurasakan dukungan dan kekuatan dari kehangatan telapak tangannya.
Kehangatan telapak tangannya, menenangkan degupan keras di jantungku. Tanpa ragu, aku balas menggenggam erat tangannya. Senyum lembut merekah di wajahnya kala mata kami bertemu. Gavin menatapku, tetapi matanya menerawang jauh ke depan, seperti merenungi sesuatu.
Dari sekian banyak hal yang aku impikan semasa kanak-kanak, salah satunya adalah pernikahan. Walaupun begitu, aku tidak pernah menduga bahwa hari ini akan datang dengan cepat. Hari ketika aku bersanding bersama Gavin sebagai sepasang pengantin. Berdiri berhadapan dengannya seperti ini, mendadak saja mengingatkanku pada suatu kenangan lucu namun juga sulit terlupakan.
xxx
Loveland, 14 February 2022
Melodi musik mengalun lembut di sekitar aula hotel. Bunga segar dan pita renda ditata indah menghiasi aula. Sinar matahari menyorot melalui kaca berwarna, memantulkan titik-titik cahaya pada meja putih.
Para tamu undangan menyimak upacara dengan tenang. Yang terdengar hanyalah suara sang pembawa acara yang membacakan janji suci dengan perlahan serta khusyuk.
"Apakah Anda, pengantin pria, menerima pengantin wanita sebagai istri Anda? Dalam keadaan kaya atau miskin, dalam keadaan sakit ataupun sehat, untuk mencintainya, menyayanginya, serta setia padanya selamanya?"
Pria di hadapanku mengangguk yakin. Kemudian pembawa acara itu menoleh kepadaku.
"Maukah Anda, pengantin wanita, menerima pengantin pria sebagai suami Anda? Dalam keadaan kaya atau miskin, dalam keadaan sakit ataupun sehat. Untuk terus mendukung, menghormatinya, serta setia kepadanya selamanya?"
Kurasakan semua tatapan tertuju padaku, tepat setelah pembawa acara itu menyelesaikan ucapannya. Aku tentu tahu, apa yang harus kuucapkan agar latihan ini dapat terus berlanjut. Tapi ketika aku memandang calon pengantin pria di depanku, perasaanku menjadi sedikit ragu.
"Aku…"
Saat aku hendak melanjutkan ucapanku, tiba-tiba saja pintu aula didorong terbuka dengan keras.
"Dia tidak akan melanjutkan pernikahan ini."
Terdengar seruan familier dari arah pintu masuk. Aku spontan menoleh lalu terpaku di tempat, terlalu terkejut hingga tak tahu bagaimana harus bereaksi. Berbagai pertanyaan melintas di benakku. Bagaimana dia bisa berada di tengah syuting lalu menghentikan upacaranya? Kenapa dia melakukan hal ini? Dan siapa yang memberitahu acara ini kepadanya?
"Gavin, kamu-"
Gavin terus melangkah menghampiriku , seakan tak terjadi apa-apa. Pandanganku teralih pada bros ginkgo yang tersemat di kerah bajunya–yang memantulkan cahaya keemasan indah saat diterpa sinar mentari.
"Aku di sini untuk menculik pengantin wanitaku."
Aku sontak membulatkan mata saat Gavin memegang tanganku dan menarikku ke samping dirinya. Dapat kurasakan jantungku berdebar keras, terlebih lagi ketika aku menatap matanya yang berbinar terang.
"Wow…"
Seruan heboh dari para tamu terdengar memenuhi aula. Aku masih tak percaya dengan situasi yang sedang terjadi saat ini. Kenapa tidak ada yang menginterupsi kami? Kenapa semua orang hanya diam dan menonton? Sementara mereka semua tahu bahwa yang terjadi sekarang bukanlah bagian dari acara.
"Ini pengantinku. Aku akan membawanya pergi."
Mendadak kurasakan kakiku tak lagi menapaki lantai, tubuhku terangkat bersama dengan kehangatan yang menyelimutiku. Gavin menggendongku lalu melangkah keluar, pergi meninggalkan aula.
xxx
Loveland, 29 Juli 2022
Aku tidak bisa membayangkan jika bukan Gavin yang menjadi pengantinku. Karena aku tidak akan pernah mau mengikrarkan janji untuk hidup bersama, jika bukan dengan dirinya.
Selama prosesi upacara berlangsung, genggaman tangan kami tak terlepas. Ketika pelafalan janji suci, suaraku terdengar sedikit bergetar. Pikiranku melayang, membayangkan bagaimana kiranya jika Ayah masih berada di sisiku.
Ayah akan menempati salah satu dari deretan kursi penting di depan, menyaksikan pernikahan kami dengan senyum hangat yang tak kunjung pudar dan melalui tatapan matanya. Ayah akan berkata, 'Berbahagialah dengan kehidupan barumu karena sesungguhnya tidak ada yang lebih penting bagiku selain kebahagiaanmu.'
Pandanganku mendadak buram, aku memejamkan mata dan berujar dalam hati. 'Sampai kapanpun, Ayah akan tetap menjadi orang pertama yang kucintai.'
Seolah memahami perasaanku, Gavin mengusap lembut punggung tanganku dengan ibu jarinya. Tidak ada lagi kata yang kami ucapkan, instruksi dari pendeta menjadi satu-satunya suara yang mengisi aula.
"Prosesi selanjutnya, adalah pemasangan cincin oleh kedua pengantin."
Seorang bridesmaid yang sangat kukenal, muncul di hadapan kami. Ia adalah Kiki–salah satu karyawan magang di kantorku. Kiki membawa sebuah nampan berisi sepasang cincin yang berkilau seperti permata.
Gavin mengambil salah satu cincin dari dalam kotak kaca di atas nampan. Senyum manis terbit di sudut bibirnya, ia meraih tanganku dan memasangkan cincin di jari manisku.
Setelahnya, aku mengambil satu cincin yang tersisa. Perlahan, kuraih tangan Gavin yang terulur di hadapanku untuk kemudian kupasangkan cincin di jari manisnya.
"Pengantin pria dipersilakan untuk melihat pengantin wanita Anda."
Gavin melangkah maju, mengangkat tudung pengantin yang menutupi wajahku. Saat kain pembatas itu terangkat sempurna. Aku bisa melihat dengan jelas wajah Gavin di depanku. Wajahnya tampak cerah dan menawan. Matanya berbinar terang, penuh dengan kebahagiaan, kelegaan dan ketulusan.
Kami bertatapan dalam hening, seakan tak ada kalimat yang mampu mengungkapkan segala afeksi dalam hati.
Gavin meletakkan kedua telapak tangannya yang hangat di kedua sisi pipiku. Aku memejamkan mata ketika ia mempersempit jarak di antara kami, dan mengecup lembut keningku.
Riuh rendah suara seruan serta tepuk tangan para tamu terdengar memenuhi seluruh aula. Kilat cahaya dan bunyi shutter kamera ikut meramaikan suasana. Musik klasik piano kembali dimainkan, mewarnai detik-detik paling berharga di hari istimewaku.
"Sekarang dan selamanya aku akan selalu menemanimu, menjagamu dengan baik, dan mencintaimu sepanjang hidupku," tutur Gavin dengan penuh kesungguhan.
Setetes air jatuh dari sudut mataku dan mengalir membasahi pipiku. Aku mengangguk dan membalas, "Aku bersyukur karena kamulah yang ditakdirkan menjadi pendamping hidupku."
Aku beralih memandang pohon ginkgo di luar jendela. Daunnya bergoyang tertiup angin musim panas. Kuraba gelang dengan liontin daun ginkgo yang melingkar di pergelangan tanganku. Daun itu membawa kembali reminisensi yang masih terukir jelas dalam ingatanku, meskipun telah empat tahun berlalu.
xxx
Loveland, pertengahan musim gugur di tahun 2017
Hari itu aku mengunjungi kantor polisi Loveland untuk mewawancarai seorang detektif polisi, tentang kasus hilangnya orang-orang secara misterius.
Ketika aku sedang bertanya kepada seorang petugas lain tentang keberadaan detektif polisi tersebut. Pria paruh baya itu melihat sekeliling, lalu berbisik kepadaku, "Jadi saya sarankan, sebaiknya Anda kembali ke kantor dan serahkan tugas ini kepada orang lain!"
Aku sungguh bingung dan juga tak mengerti mengapa petugas itu berkata demikian. Tapi ketika aku hendak bertanya kembali, kulihat ekspresi wajah petugas itu berubah terkejut.
Penasaran, aku pun mengikuti arah pandangnya. Kutolehkan kepala ke belakang, tampak seorang pria jangkung yang mengenakan jaket denim sedang berjalan ke arah kami.
"Saya pamit undur diri," ujar petugas itu seraya bergegas pergi.
Aku memperhatikan kepergiannya dengan heran, kenapa dia tampak ketakutan? Apakah ada sesuatu yang salah?
Tanpa kusadari pria berjaket denim itu telah berada di sampingku. Dia menatapku dan melontarkan sebuah pertanyaan kepadaku. "Apakah kamu masih mengingatku?"
Aku mengernyitkan dahi, entah mengapa wajahnya seperti tidak asing bagiku. Rambut dan mata cokelat itu, mengingatkanku kepada sosok seorang remaja. Lalu bayangan sepucuk surat kusut dengan noda darah di ujung amplop muncul memenuhi ingatanku. Aku membulatkan mata, mengingat kembali kenangan itu sukses membuatku merinding ketakutan.
Ingin rasanya aku melarikan diri sejauh mungkin. Namun yang kulakukan adalah sebaliknya. Aku memberanikan diri menatap matanya dan bertanya.
"Gavin?"
Dia mengangguk, yang langsung kuartikan sebagai jawaban implisit atas pertanyaanku.
Gavin adalah seorang siswa bermasalah yang terkenal di sekolah menengah. Ada banyak rumor mengatakan bahwa ia adalah orang yang arogan, tidak berperasaan dan banyak hal buruk lain tentangnya. Ia bahkan pernah melawan seorang guru olahraga, tak ada yang tahu apa alasannya.
Di sekolah, tidak ada yang berani berbicara dengannya. Aku tidak pernah menganggap serius semua rumor itu, sampai suatu hari aku melihatnya menyudutkan seorang anak laki-laki di gang belakang sekolah. Beberapa hari setelah peristiwa itu, aku menemukan sebuah surat dengan noda darah di laci mejaku, di bagian belakang amplopnya tertulis nama Gavin sebagai pengirimnya. Apakah itu adalah surat ancaman dari Gavin?
Sampai sekarang aku tidak pernah tahu apa isi surat itu, karena aku terlalu takut untuk sekedar membacanya.
Sadar akan ekspresi aneh di wajahku, Gavin lantas bertanya. "Ada apa?"
Aku buru-buru menggeleng. "Tidak, tidak ada. Hanya saja, tidak pernah terpikirkan olehku jika kamu akan menjadi polisi suatu hari nanti," ungkapku.
Gavin tertawa kecil. "Kamu kaget ya? Atau mungkin kamu berpikir aku akan berakhir di dalam penjara daripada menjadi polisi, bukan?"
"Tidak, aku hanya berpikir ini seperti sebuah kebetulan," balasku yang tidak sepenuhnya jujur.
Gavin mengerutkan dahinya. "Kebetulan?" tanyanya.
Aku memiringkan kepalaku bingung, "Iya, memangnya apalagi?"
Gavin tersenyum hangat, namun yang kurasakan hanyalah kecanggungan yang melingkupi kami. "Lupakan saja. Ayo kita pergi."
Tanpa menunggu balasanku, Gavin hendak melangkah meninggalkan kantor. Dengan berbagai macam pertanyaan yang berputar di kepalaku, aku memberanikan diri bertanya kepadanya.
"Ke mana?"
"Tempat investigasi."
Aku tidak bisa mengatakan tidak, jadi yang dapat kulakukan hanyalah mengikutinya. Dia berjalan dengan cepat sehingga aku harus berlari untuk mengejarnya.
"Gavin, kita akan pergi ke mana? Aku masih tidak tahu apa yang harus kulakukan nanti."
Gavin memperlambat langkahnya, dia menyerahkan sebuah folder kepadaku. Aku mengambil folder itu lalu mulai membacanya.
"Kamu akan tahu, setelah kita sampai di sana."
Aku hanya mengangguk. Setelah membaca penjelasan yang tertulis di dalam folder, aku sudah memahami garis besar kegiatan investigasi yang akan kami lakukan.
Senja sedang mewarnai kota ketika kegiatan investigasi selesai. Gavin mengantarku pulang ke apartemen.
Aku melangkah turun dari motor dengan sedikit sempoyongan dan kaki mati rasa. Penyebabnya entah karena kelelahan mewawancarai korban di sekitar kota, atau mungkin juga takut karena Gavin mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.
Gavin melepas helmnya. "Jika terjadi sesuatu, segera hubungi aku," pesannya.
"Tentu," balasku dengan anggukan singkat.
"Dan ambil ini."
Gavin melemparkan sebuah benda yang langsung kutangkap dengan kedua tanganku. Aku menatap lekat benda itu. Gelang dengan rantai perak berhiaskan daun ginkgo emas.
"Gavin, kenapa kamu memberikan gelang ini?" Aku bertanya penasaran.
"Ada alat pelacak di dalamnya. Jadi ketika kamu sedang dalam keadaan darurat, aku bisa langsung membantumu," tutur Gavin.
Aku termenung sejenak. Mungkinkah Gavin bermaksud melindungiku? Meskipun terdengar sedikit aneh, namun aku tetap menuruti ucapannya. Sekilas kulihat Gavin tersenyum samar sebelum kembali memakai helm. Kemudian motornya pun melesat pergi meninggalkanku.
Tanpa pernah kuduga, hari itu adalah awal ketika kami dipertemukan kembali.
.
Loveland, pertengahan musim gugur di tahun 2017
Kali kedua kami bertemu lagi, menjadi titik balik yang mengubah seluruh sudut pandangku tentang Gavin.
Sore itu aku sedang berjalan santai seraya membalas pesan yang Kiki kirimkan di grup obrolan kantor. Aku tak dapat menahan tawa ketika membaca pesan anggota grup yang lain. Setelah memastikan tidak ada pesan penting, aku pun memasukkan kembali ponselku ke dalam tas.
Untuk sesaat, aku merasa pikiranku mendadak kosong. Lalu pemandangan jalan raya yang baru saja kulihat, mendadak lenyap tergantikan oleh latar gang sepi. Cahaya matahari terbenam jatuh menyinari sisi lain gang ini. Aku mengerjapkan mata, tidak tahu di mana aku berada dan bagaimana aku bisa berada di sini. Semuanya terjadi dalam sekejap, seperti mimpi. Seperti ada kekuatan aneh yang membawaku ke tempat ini.
"Tidak ada jalan keluar dari gang ini. Lari pun tidak ada gunanya," kataku dalam hati, mencoba untuk tetap tenang.
Kilas balik tentang wanita yang kuwawancarai kemarin, muncul kembali layaknya putaran film di dalam ingatanku. Teka-teki kasus ini merujuk pada satu kesimpulan–aku termasuk salah satu target mereka.
Aku merasakan sesuatu yang aneh dari balik punggung. Aku spontan berbalik dan mendapati seorang pria dengan sebilah pisau di tangan, muncul dari balik kegelapan.
"Apakah Anda orang di balik semua insiden ini?"
Aku melangkah mundur, kurasakan seluruh tubuhku bergetar, keringat dingin merembes membasahi pipiku seiring dengan jantungku yang berdetak cepat. Dalam keadaan seperti ini, apa yang harus aku lakukan?
"Siapa Anda sebenarnya?" kataku mencoba untuk mengulur waktu.
Di tengah cahaya remang-remang, ia menyeringai lebar. "Kau harus mati!"
Tiba-tiba angin bertiup kencang dan eskpresi pria itu pun berubah. Tanpa ragu, aku berlari secepat mungkin ke arah datangnya angin yang berada di ujung gang ini.
"Lompat!"
Seruan bernada tenang terdengar samar, teredam oleh angin. Meskipun aku tidak tahu pasti siapa yang berusaha menyelamatkanku, tetapi aku tetap melompat mengikuti perintahnya.
Seketika aliran angin bertiup semakin kencang, mengangkat tubuhku dan menerbangkanku ke angkasa. Di bawah cahaya matahari terbenam, pemandangan kota tampak sangat memukau jika dilihat dari angkasa. Dengan kedua lengannya yang kuat dan hangat, Gavin merengkuh tubuhku dalam dekapannya. Berada di dekatnya, meluruhkan segala rasa takut di hatiku.
Aku menengadah, memandang wajah Gavin yang tampak begitu tampan. Menatapnya dari jarak sedekat ini, membuat kedua pipiku memanas, dapat kurasakan jantungku yang berdebar keras.
"Apakah kamu baik-baik saja?"
Aku menunduk, enggan berkontak mata dengannya. "Aku baik-baik saja. Aku hanya sedikit bingung," balasku singkat.
Gavin menurunkanku secara perlahan. Ketika kakiku sudah sepenuhnya menapaki tanah, aku merasa aman dan lega. Gavin menatap ke arah pembunuh misterius yang kini tertunduk dengan tangan terborgol.
"Jangan khawatir, pembunuhnya telah ditangkap," ujarnya menenangkan.
Aku memandang Gavin dengan penuh tanya. "Gavin, bagaimana kamu tahu kalau aku dalam bahaya?"
Gavin tampak bergeming, lalu sudut bibirnya tertarik membentuk senyum lebar. "Kamu bertanya, bagaimana aku bisa tahu jika kamu dalam bahaya?"
Angin bertiup melalui tanaman mawar di sisi jalan, kelopaknya tampak menari di udara–tumpang tindih dengan daun gingko dari ingatanku.
"Selama kamu berada di dalam aliran angin, aku bisa merasakan keberadaanmu."
Untuk sesaat, aku merasakan jantungku berhenti berdetak. Kutatap gelang ginkgo di pergelangan tanganku.
Gavin, sepertinya kamu telah berubah atau aku yang tidak mengenal baik dirimu?
xxx
Loveland, 29 Juli 2022
Kami berjalan beriringan melewati jalan setapak yang mengarah langsung ke tempat resepsi pernikahan. Aku menatap bunga merah muda yang merambat memenuhi terali pergola. Beberapa meter dari posisiku berdiri, tampak barisan kursi kayu tersusun rapi. Tak jauh dari sana, tepatnya di atas pelaminan, terdapat sebuah kue pengantin bertingkat empat yang dihias dengan dekorasi bunga berwarna biru dan cokelat. Kue itu tertata cantik di atas meja.
Kami menyiapkan pernikahan ini kurang dari tiga bulan, keseluruhan konsep dan tema pesta dibuat sesuai dengan keinginanku. Pernah, satu waktu aku bertanya kepada Gavin perihal dekorasi dan tempat resepsi, tetapi ia hanya tersenyum dan mempercayakanku untuk mengatur semuanya.
Ada satu pertanyaan yang sejak lama mendiami benakku. Kulirik Gavin sejenak. "Gavin, apakah kamu pernah memikirkan ini sebelumnya? Tentang pernikahan impian," ucapku penuh tanya.
Gavin mengerutkan alisnya, air mukanya berubah bingung. "Pernikahan impian?" ulangnya.
Aku mengangguk. "Sejak kecil aku sering kali membayangkan pernikahan impianku. Suatu hari aku akan berjalan bersama orang yang kucintai, melewati gerbang bunga dengan sepatu kaca," seruku dengan riang.
"Aku tidak pernah memikirkannya," tanggap Gavin.
Aku berhenti melangkah, pandanganku tak kunjung lepas darinya. Apakah para pria tidak pernah memikirkan hal semacam itu?
"Saat itu aku berpikir, impianku hanya ingin bertemu lagi denganmu. Hanya itu, masa depan terbaik yang bisa kubayangkan."
Angin sepoi-sepoi bertiup pelan, membawa aroma bunga-bunga yang bermekaran. Aku melihat Gavin menatapku tanpa berkedip.
"Menikah denganmu adalah hadiah terindah untukku, jawaban atas semua harapan yang kuucapkan kepada bintang."
Nada suaranya terdengar tenang namun kata-katanya menggetarkan hatiku. Aku terperangah, kurasakan kehangatan merambati wajahku sampai ke hati.
Aku mengangkat gaun, bersiap menaiki tangga menuju pelaminan. Gavin yang berada satu tangga di depanku mengulurkan tangannya, mengambil alih buket bunga yang sedang kugenggam. Sementara tangannya yang lain masih memegang erat tanganku, menuntun langkahku dengan perlahan.
Saat langkah kami mencapai tangga terakhir, aku tersenyum membalas senyuman seorang pembawa acara yang menyambut kami. Ada sepasang kursi berhiaskan bunga dan pita renda yang diletakkan sejajar, berhadapan langsung dengan jajaran kursi tamu. Pembawa acara itu mengarahkan kami agar bersiap untuk acara selanjutnya.
"Kepada para tamu undangan, dipersilakan untuk merapat ke depan pelaminan. Karena prosesi pelemparan bunga akan dimulai."
Seiring dengan seruan pembawa acara, terdengar melodi piano yang mengalun lembut. Kami berdiri berdampingan membelakangi tamu, menunggu instruksi selanjutnya dari pembawa acara.
Meskipun aku sudah mengikuti seluruh rangkaian kegiatan latihan kemarin, entah mengapa aku masih merasa gugup.
"Tiga."
Pembawa acara mulai menghitung mundur. Gavin meletakkan telapak tangannya di punggung tanganku, secara tak langsung ikut menggenggam buket bunga.
"Dua."
Dari balik sarung tangan putih yang membalut telapak tanganku, kueratkan genggamanku pada tangkai buket bunga baby breath.
"Satu."
Ketika pandangan kami bertemu, aku spontan mengangguk. Kami bersama-sama mengayunkan buket bunga itu ke belakang, lalu melepaskannya. Selanjutnya terdengar pekikan heboh dari barisan para tamu. Kami lantas menoleh dan mendapati seorang gadis sedang tersenyum lebar, dia memeluk erat buket bunga, seolah takut direbut orang lain. Aku tertawa pelan melihat ekspresi gadis itu, kebahagiaan yang dia rasakan ikut menghangatkan hatiku.
Aku sedikit tersentak saat kehangatan dari telapak tangan menyentuh pipiku dengan lembut. Kutatap Gavin yang masih berdiri di sampingku. Senyum cerah merekah di wajahnya.
"Bersamamu membuat hidupku menjadi lebih indah."
Tidak, seharusnya aku yang mengatakan hal itu kepadanya. Tahun-tahun yang telah kami lewati tidaklah mudah. Ada hari ketika kami tersenyum bersama, lalu hari-hari yang dipenuhi dengan perjuangan dan air mata, sampai pada bagian terburuk adalah hari ketika kami hampir bertemu dengan kematian. Dan sepanjang itu, tak pernah sekalipun dia meninggalkanku. Perjalanan hidup telah membawa kami pada titik ini–bentuk nyata dari kebahagiaan yang dia berikan kepadaku. Berkat dirinya hidupku menjadi lebih baik dan istimewa.
"Gavin, apa kamu tahu?" Aku menghela napas, mencoba menahan air mataku. "Aku merasa menjadi orang paling beruntung di dunia, karena aku memilikimu."
Aku berbalik, berdiri berhadapan dengannya. Kutatap langsung ke dalam matanya. Gavin masih diam, menungguku melanjutkan ucapanku.
"Selamat ulang tahun, Gavin." Aku berjinjit, menarik lembut lengannya, kuberikan sebuah kecupan hangat di pipi kanannya. "Mari kita mulai perjalanan ini dengan tangan yang saling menggenggam dan jangan pernah saling melepaskan."
Helaian kelopak bunga serta kertas warna-warni berjatuhan dari langit layaknya rintik hujan, seolah ikut merayakan kebahagiaan kami.
Aku menengadah, Gavin tampak terkejut dengan semburat merah yang meronai kedua pipinya sampai ke telinga. Senyumku merekah lebar, lucu sekali melihatnya tersipu malu. Mungkin Gavin tidak tahu, jika tanggal pernikahan serta semua kejutan ini adalah bagian dari rencanaku.
Seketika kehangatan terasa melingkupiku. Jantungku berdebar cepat ketika Gavin memeluk erat diriku. Perasaan bahagia dan juga haru kembali memenuhi hati. Aku balas memeluknya, tanpa kusadari air mata telah mengalir membasahi pipi.
Kehadiranmu di hidupku adalah hadiah terbaik yang diberikan Tuhan untukku. Hadiah yang dapat kuberikan untukmu adalah seluruh cintaku, selalu dan takkan pernah usai.
FIN!
Sudut penulis.
Hallo! Pertama, aku ingin mengucapkan Happy Birthday, Selamat ulang tahun untuk karakter kesayanganku, Gavin.
Kedua, terima kasih super banyak kepada kedua sahabat yang telah mendukungku dalam penyusunan fanfiksi ini. Terima kasih sudah menemani berdiskusi, menjadi beta-reader bahkan mau repot-repot membantu merevisi fanfik ini. Aku kirimkan banyak cinta untuk kalian.
Sebenarnya, ide fanfik ini sudah ada sejak setahun lalu. Dan hampir tertulis sebagian. Fanfiksi ini didedikasikan untuk ultah Gavin, namun sayangnya tahun lalu aku tidak dapat menyelesaikannya dengan tepat waktu. Tentu karena kesibukan dan urusan lainnya.
Maka dari itu aku memutuskan untuk menyelesaikan tulisannya pada hari ini, tepat di hari ulang tahunnya.
Aku sengaja menulis dengan tema wedding seperti ini, karena diriku gemas dengan kelanjutan hubungan mereka. Berkali-kali event wedding diadakan, namun hanya menikah pura-pura. Maka biarkan aku merealisasikan pernikahan keduanya di sini, setidaknya dicerita ini mereka benar-benar menikah.
Selamat membaca, semoga kalian dapat menikmati ceritanya. Sampai jumpa lagi di cerita lainnya.
Have a wonderful day 🌻
Sekian.
With Love, Peonyautumn ❤️
29/07/2022
