DISCLAIMER:
HAIKYUU! by Haruichi Furudate
Warning :
Lokal AU (I mean, really lokal), Indonesian setting, OOC, typos, one shot, college/university, railway station, BokuAka
this is the first time I write Lokal AU, so I hope it doesn't cringe
yang ga suka silahkan fav apalagi yang suka :)
Bokuto Koutarou – Akaashi Keiji
Happy reading~
Kilas Dialektika
Hilaryan
.
.
.
Sebagai seorang anak yang merantau di Kota Pelajar, serta menjadi putra tunggal dari orang tua yang hebat di kampung halaman, dalam usaha menjadi anak yang berbakti, Akaashi punya rutinitas pulang setiap dua minggu sekali untuk mengecek keadaan orang tua. Dia akan pulang pada hari Sabtu pagi, lalu kembali ke kota perantauannya pada Minggu sore. Jika tidak memungkinkan, ia akan pulang setidaknya sebulan sekali.
Minggu ini adalah jadwalnya untuk pulang. Karena itu, sejak pagi tadi Akaashi menghabiskan waktu untuk beres-beres kamar kosnya, memastikan ruangan itu siap untuk ditinggal untuk dua hari. Setelahnya, ia masuk ke kamar mandi dan bersiap-siap.
Akaashi tidak sempat sarapan. Saat memasuki stasiun setelah turun dari becak yang ditumpanginya, jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Untunglah. Masih ada waktu untuk mengisi perut sebelum keretanya datang.
Karena akhir minggu, stasiun cukup ramai. Orang berbondong-bondong untuk masuk dan keluar gerbong kereta, dengan barang bawaan berbagai macam ukuran. Mulai dari banyak kardus besar, sampai tas-tas selempang kecil.
Akaashi masuk ke salah satu warung. Di sana, hanya ada dua orang pelanggan. Salah satunya laki-laki yang sudah berumur, sedang minum wedang kopi hitam sambil merokok, menggunakan jaket tebal khas orang bepergian. Dari wajah lelahnya, sepertinya dia baru turun dari kereta.
Satu lagi, adalah seorang laki-laki kerempeng yang usianya tidak terpaut jauh dari Akaashi. Ia memiliki rambut hitam dan abu-abu, yang membuat Akaashi mengernyit heran. Rambutnya kekurangan pigmen sebagian atau bagaimana? Laki-laki itu hanya memakai kaos oblong, celana pendek, dan sandal jepit. Ia mencemili gorengan bakwan dan tahu brontak dengan sambal petis, ditemani segelas teh hangat. Jelas bukan orang bepergian.
Akaashi duduk di kursi paling pojok, agak jauh dari si laki-laki berambut kekurangan pigmen, berusaha menghindari asap rokok sebanyak mungkin. Ia meletakkan tas punggungnya di kursi lain agar tidak mengganggu.
"Nasi pecel sama teh hangat manis satu ya, Bu." Akaashi memesan.
Sementara menunggu pesanan, Akaashi mengambil sebuah majalah yang terletak di sebelah botol-botol minuman kemasan. Alisnya terangkat ketika mengetahui majalah itu diterbitkan tahun 1941. Wah! Rupanya masih ada yang memilikinya di tahun ini. Akaashi membuka-bukanya sejenak sampai ibu pemilik warung mengantarkan makanannya.
"Terima kasih, Bu." Akaashi mengembalikan majalah dan mulai menyantap sarapannya. Saat makan, ia bisa merasakan tatapan dari orang di sebelahnya.
"Kenapa ya Mas?" tanya Akaashi padanya.
"Gapapa, Dek!" Laki-laki dengan rambut aneh itu nyengir lebar. Ia menuding bungkusan rempeyek yang digantung bersebelahan dengan kerupuk lain. "Gak pake rempeyek?"
Akaashi menggeleng. "Tidak suka."
Laki-laki tidak dikenal itu membelalakkan mata. "Masa gak suka?! Pecel gak lengkap tanpa rempeyek lho!"
Akaashi sering mendengar itu dari ibu-ibu warung. Biasanya, untuk kesopanan, ia hanya menanggapi dengan, "Hehe, iya." Kini, mendengarnya dari pelanggan lain yang tidak dikenal, Akaashi justru menanggapi dengan, "Semua orang punya makanan yang tidak disukai, Mas."
Mata orang itu membulat, begitu juga mulutnya yang membentuk huruf O. Senyumnya kembali. "Kamu bener, Dek! Aku gak suka kopi! Terlalu pahit!"
Akaashi hanya mengangguk dan melanjutkan makan. Akaashi kira, orang itu tidak akan lagi mengusik, namun ia salah.
Si rambut aneh kembali bertanya. "Mau ke mana, Dek, kalau boleh tahu?"
"Kota Liwet." Akaashi menjawab dingin dan padat, memberikan kesan kalau ia tidak ingin diganggu.
Si laki-laki mengangguk-angguk. "Mahasiswa?"
"Iya."
"Ohhh…."
Si laki-laki menghabiskan teh di gelasnya, lalu berdiri untuk membayar. Walau kerempeng, dia tinggi. Bahkan lebih tinggi dari Akaashi, yang justru membuatnya tampak lebih kurus lagi.
"Duluan ya, Dek!" Laki-laki itu membungkuk untuk mengambil sesuatu di bawah meja, lalu menyandangnya di bahu. Akaashi melihat benda yang ia bawa. Sebuah kotak dari kayu dengan gantungan di kedua sisi, menjadikannya seperti tas selempang agar mudah dibawa kemana-mana. Di bagian depannya, tertulis "SEMIR SEPATU". Ah, seorang tukang semir rupanya.
"Dek, hati-hati ya di perjalanan!"
Akaashi mengangguk lagi.
Barulah setelah itu si lelaki pergi.
.
.
.
Di jadwal pulang berikutnya, Akaashi kembali bertemu tukang semir sepatu itu. Rambutnya yang aneh dan sikap sok akrabnya yang membuat Akaashi tidak akan melupakannya. Kali ini, Akaashi sedang duduk di ruang tunggu ketika si tukang semir duduk agak jauh di sebelahnya sambil mengucapkan, "Dek, ketemu lagi!"
Akaashi tidak menyangka dirinya masih diingat.
Si laki-laki menunjuk kaki Akaashi, membuat Akaashi heran.
"Gak mau semir?"
Oh! Tentu saja.
Akaashi melihat sepatutnya. Ia memang menggunakan sepatu hitam yang warnanya sudah agak pudar kali ini. Sebagai seorang yang ingin selalu berpakaian rapi, ia tidak suka warna pudar itu. Akaashi mengalihkan perhatian ke jam besar stasiun. Masih ada waktu sebelum kereta datang.
"Boleh." Ia melepas sepatu dan memberikannya pada si tukang semir.
Si tukang semir menerimanya dan langsung menyiapkan alat-alatnya. Saat bekerja, sesekali ia bertanya,
"Kamu kuliah di universitas mana, Dek?"
"Kampus Pendidikan, Mas."
Jawaban itu membuat si tukang semir menatap Akaashi dengan seringai. "Keren banget!" pujinya. "Jurusan apa?"
"Farmasi." Akaashi menjawab asal, padahal ia mahasiswa Arsitektur. Sebab, sungguh, memangnya untuk apa si tukang semir tahu.
"Ohh! Pintar soal obat-obatan berarti?"
Akaashi mengangguk.
Setelah tukang semir menyelesaikan tugasnya, kebetulan kereta Akaashi datang. Akaashi mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada tukang semir sebelum ia berpamitan.
"Sampai ketemu lagi, ya!" kata si tukang semir.
Sebenarnya, awalnya Akaashi ragu mereka akan bertemu lagi. Tapi setelah dipikir, kalau tempat si tukang semir sepatu mencari nafkah tetap di stasiun ini, berarti mereka memang akan kembali berjumpa. Tapi bukan berarti mereka akan saling bicara.
Tapi, si tukang semir tetap menyapa. Di jadwal pulang Akaashi yang berikutnya, dia kembali duduk di sebelah Akaashi.
"Aku tidak akan menyemir sepatu hari ini, Mas." Akaashi menegaskan sebelum si tukang semir sempat bicara.
Si tukang semir menaikkan alis, kemudian tertawa. "Iya, aku tahu. Aku gak berniat menawarkan jasaku, kok! Aku cuma mau nemenin kamu! Daripada bengong nunggu kereta mending ada yang diajak ngobrol, kan?"
Sebenarnya, ada banyak pertanyaan yang muncul di kepala Akaashi. Mulai dari, kenapa dia mau repot-repot menemani Akaashi? Kenapa bukan orang lain? Apa tujuannya? Sebenarnya siapa dia? Apa niatnya? Apa dia punya niat jabatan? Dan masih banyak lagi.
Tapi bagaimanapun, kalau dilihat dari penampilannya, si tukang semir ini hanya orang baik yang blak-blakan, mudah percaya, dan mudah dibaca. Dia tidak mungkin memiliki niat jahat. Meski begitu, Akaashi tidak berniat mengobrol dengan siapa pun. Tapi tampaknya menolak juga bukan pilihan. Tukang semir itu terlihat seperti sebagian kecil orang yang tidak akan mau menerima penolakan. Jadi, Akaashi hanya mengangguk ogah-ogahan. Kalau Akaashi terus mengabaikannya, dia akan pergi sendiri. Dan kalaupun dia tidak pergi, percakapan mereka tidak akan lama.
Si tukang semir tersenyum lebar.
Sejak saat itu, setiap kali Akaashi pulang, ia selalu bertemu dengan si tukang semir yang rupanya bernama Bokuto di stasiun. Mereka mengobrol sejenak sampai kereta Akaashi tiba, dan Bokuto akan selalu mengakhiri percakapan dengan, "Sampai ketemu lagi!" atau "Hati-hati di jalan ya, Dek Kaashi!"
Setelah satu tahun menjalani rutinitas yang sama, Akaashi jadi tahu mengenai Bokuto cukup banyak. Selain itu, meskipun awalnya Akaashi hanya mengobrol dengannya sambil lalu, kini Akaashi menikmati obrolan singkat mereka. Sejenis 'menikmati' sesuatu yang sudah menjadi kebiasaanmu, sehingga jika hal itu tidak dilakukan kau akan merasa ada yang kurang.
Dari percakapan singkat mereka, Akaashi tahu Bokuto berusia lima tahun di atasnya. Bokuto adalah penduduk asli Kota Pelajar. Dalam waktu luangnya, ia suka melukis dengan spray. Ia datang ke stasiun setiap Sabtu dan Minggu untuk menjadi tukang semir untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Dia mempunyai 2 kakak perempuan dan 2 adik perempuan. Orang tuanya sudah tiada. Kakak keduanya pergi dengan suaminya dan tidak pernah kembali. Sehingga, hanya Bokuto dan kakak pertamanya yang bergotong-royong untuk memenuhi kebutuhan adik-adik mereka yang masih kecil.
Akaashi merasa begitu kagum saat mengetahui itu.
Hal itulah yang kini membuat Akaashi bertingkah seperti orang aneh yang menanyakan pada setiap temannya apakah mereka memiliki sepatu yang butuh disemir.
"Oh, ada sih. Mau pinjem?" tanya Konoha, teman satu kos Akaashi, mahasiswa Teknik Sipil, setingkat di atas Akaashi, sembari mencari sepatu yang dibicarakan. Karena ia dan Akaashi tinggal di kos yang sama dan sama-sama dari Fakultas Teknik, mereka jadi dekat.
"Mau nyemir," jawab Akaashi.
"Kamu buka jasa penyemiran sepatu?" tanya Konoha.
"Orang di stasiun yang buka."
Konoha menghentikan pencarian dan menatap Akaashi dengan sebelah alis terangkat.
Akaashi menghela napas. Ia pun menceritakan soal Bokuto. "Ada tukang semir sepatu di stasiun. Sejak setahun yang lalu, dia selalu ngobrol bersamaku waktu aku nunggu kereta. Aku mau mengumpulkan sepatu temen-temen dan memberikan sepatu-sepatu itu padanya supaya jasanya laku."
Seperti dugaan, Konoha terbahak. "Hei, apa aku benar-benar ngomong sama Akaashi sekarang?" tanya Konoha di sela-sela tawanya. "Serius, nggak biasanya kamu mau repot buat orang lain kalau nggak diminta! Dia spesial, pasti!"
Akaashi menggeleng saja.
Konoha mendengus. "Terus, kenapa melakukan ini?" tanyanya.
Sebenarnya Akaashi ingin mengatakan kalau ia kagum dengan Bokuto karena di usianya yang masih muda, ia sudah memiliki tanggung jawab besar, namun itu malah akan melanggar privasi. "Tidak ada alasan, Mas. Cuma mau berbuat baik."
Konoha tertawa lagi seolah jawaban Akaashi tidak masuk akal.
Setelah mendengar berbagai macam ejekan soal cinta-cintaan dari Konoha yang dilakukannya sambil menepuk-nepuk punggung Akaashi, akhirnya Akaashi bisa kembali ke kamar bersama sepatu Konoha dengan tenang.
"Eh, Akaashi." Konoha kembali memanggil.
Akaashi menghela napas lagi. "Apa lagi?"
"Jadi ikut ke acara anak FBS kan?" tanya Konoha. Acara yang dibicarakan adalah sebuah pameran kesenian dengan hiburan berupa musik, drama, dan sejenisnya, yang akan diadakan pada akhir bulan ini. Akaashi setuju saja, berpikir jika istirahat sejenak dari segala bentuk konstruksi bangunan akan berdampak baik.
Akaashi pun mengangguk.
.
.
.
Di saat Akaashi membawa delapan pasang sepatu dan meminta Bokuto untuk menyemir sepatu-sepatu itu, mata Bokuto membelalak kaget. "Ini sepatu siapa aja, Dek?" Bokuto langsung tahu jika mereka bukan hanya sepatu Akaashi, sebab ukuran-ukurannya berbeda.
"Temen-temenku, Mas," jawab Akaashi, tanpa berniat memberikan informasi lebih banyak.
Bokuto mengerutkan kening. "Temen-temen kamu nitip kamu buat nyemirin sepatu mereka di aku, gitu?" tanya Bokuto.
"Iya," jawab Akaashi. "Karena aku selalu ke sini, jadi sekalian saja."
Bokuto tampak semakin bingung. Ia menggaruk-garuk rambutnya. "Terus mereka kenal aku dari mana?" tanya Bokuto.
Kali ini, Akaashi tidak menjawab. Duh, kenapa sih Bokuto harus mikir segala. Kenapa dia tidak langsung menyemir sepatu-sepatu itu saja. "Em. Dari aku." Mau tidak mau Akaashi menjawab.
Bokuto tampak berkonflik dengan dirinya sendiri. Keningnya semakin berkerut, mata terpejam erat, dan tangannya mengusap-usap dagu.
"Mas," panggil Akaashi.
"Shhsssttt!" Sebelah tangan Bokuto yang bebas menempelkan jari telunjuknya yang teracung ke mulut Akaashi, menyuruhnya diam.
Akaashi menepis tangan itu.
Saat Bokuto sampai pada kesimpulan, ia terkesiap dan matanya terbuka lebar. Ia menoleh pada Akaashi dengan tatapan tidak percaya. "Dek Kaashi! Kamu nyeritain aku ke temen-temen kamu?!"
"...Kurang lebih…" jawab Akaashi, kesal sekaligus lega karena kekhawatirannya mengenai 'Bokuto tahu kalau Akaashi mengumpulkan sepatu-sepatu itu untuknya' tidak terjadi. Lebih baik begini. Entah kenapa, rasanya akan jauh lebih memalukan mengakui itu di depan Bokuto dibandingkan di depan Konoha.
Senyum Bokuto merekah. "Dek Kaashiiii! Aku emang tukang semir sepatu yang paling hebat! Makanya kamu ceritain ke temen-temen kamu kan!?"
Sebenarnya menurut Akaashi semua tukang semir sepatu sama saja (ia tidak bisa melihat perbedaan apa pun dari hasil kerja mereka), sama-sama membuat sepatu kembali kinclong dan tampak baru, tapi ia memutuskan untuk membiarkan Bokuto menganggap seperti itu saja. "Iya."
Bokuto pun cengengesan, memuji-muji diri sendiri. Namun, sekejap kemudian, ia membelalakkan mata. "Tapi, aku gak bakal bisa menyelesaikan semuanya sebelum kereta kamu datang!"
"Nggak papa, Mas, aku ambil waktu kita ketemu lagi saja." Akaashi menenangkan.
Bokuto pun mengangguk. "Oke kalo gitu! Aku gak akan mengecewakanmu!" Bokuto mengacungkan jempol. "Kapan kamu balik ke sini?"
"Besok. Biasanya aku naik kereta sore. Jam 7 malam baru sampai di stasiun ini." jawab Akaashi. "Tapi kalau Mas ada pekerjaan lain, aku bisa naik kereta siang."
"Nggak, nggak usah, aku bakal nunggu kamu di sini." Bokuto mengibas-ngibaskan tangannya. "Setelah itu kita makan malam bareng ya?"
Akaashi mengangguk.
Dan begitulah.
Biasanya, saat Akaashi turun di stasiun Kota Pelajar, dia akan langsung kembali ke kos untuk mempersiapkan kuliah esok hari. Namun sekarang, dia telah ditunggu oleh seorang tukang semir sepatu jangkung yang tengah melambai-lambat padanya, menunjukkan senyum lebar padanya. Itu adalah pertama kalinya Akaashi disambut saat tiba di stasiun.
"Gimana perjalananmu?" adalah sapaan pertama Bokuto.
Malam itu berjalan dengan baik. Seperti yang direncanakan, mereka makan malam bersama di salah satu warung yang ada di luar stasiun. Itu adalah kali pertama mereka makan bersama di luar stasiun. Biasanya, kalau Akaashi belum sarapan, Bokuto akan menemani Akaashi sarapan di salah satu warung di stasiun sebelum keretanya datang.
Saat Akaashi hendak membayar, Bokuto menahannya. "Aku traktir."
Akaashi mengerutkan kening. "Tidak usah, Mas."
"Gak papa. Aku yang ngajak, jadi aku yang bayar!" kata Bokuto riang. "Sekalian ucapan makasih karena kamu udah kasih tahu temen-temenmu dan bikin jasaku laris!" Bokuto pun beranjak.
Kini Akaashi yang langsung menahan Bokuto. "Mas, tidak usah! Aku bisa bayar sendiri. Bapakku tidak suka aku dibayarin orang. Selain itu, lebih baik uangnya dipakai buat adik-adik Mas Bokuto saja."
Bokuto pun mulai mempertimbangkan perkataan Akaashi. "Bener gak usah aku bayarin?" tanya Bokuto memastikan.
Akaashi mengangguk mantab. "Iya."
Bokuto mendengus kecewa, namun tidak mengatakan apa pun.
"Tapi kapan-kapan kalau aku ajak makan lagi mau, ya?"
"Iya."
"Kalau aku udah sukses aku bayarin mau ya?"
"Iya iya."
Setelah makan, Bokuto mengantarkan Akaashi ke kos memakai sepeda pancalnya. Bokuto mengemudi sambil menyanyikan lagu yang baru-baru ini sering terdengar di mana-mana, sementara Akaashi duduk di sadel belakang dengan lengan yang berpegangan pada pinggang Bokuto. Bokuto pernah bilang dia selalu mengantarkan adik-adiknya ke sekolah menggunakan sepeda pancal itu. Akaashi pun menyadari, di usianya yang masih muda, Bokuto adalah figur ayah untuk kedua adiknya.
"Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu… rasanya semua begitu sempurna sayang untuk mengakhirinya…." Meski sumbang, Bokuto bersenandung dengan sukacita. Rambutnya yang sebagian besar kekurangan pigmen berkibar-kibar diterpa angin malam.
Mau tidak mau Akaashi tersenyum melihat betapa bahagia orang di depannya. "Mas Bo," panggil Akaashi.
Bokuto berhenti bernyanyi dan menoleh ke belakang. "Iyaaaa?"
"Sehat terus ya! Makan yang bener. Biar nggak tulang dan kulit saja kayak gini."
Bokuto terkesiap, sakit hati dengan ucapan Akaashi. "Dek Kaashi, kamu tahu makanku banyak! Bukan salahku lagi aku nggak bisa gendut!"
Benar. Porsi makan Bokuto memang porsi kuli. Anehnya dia masih cungkring saja sampai sekarang.
Akaashi mengedikkan bahu.
Bokuto cemberut dan kembali menatap ke depan. "Kurus-kurus gini aku bisa lho angkat kamu."
"Oh ya?"
"Iya! Mau bukti?" Bokuto menepi dan menghentikan sepeda, lalu menoleh pada Akaashi, wajah bergairah yang siap akan tantangan.
Akaashi langsung kelabakan, kedua pipinya bersemu tiba-tiba. Ia mengucapkan kalimat selanjutnya tanpa berpikir. "Y-ya tidak di sini juga, Mas! Nanti dilihatin orang-orang!"
"Yaaaahhhh…" Bokuto merengek. "Eh, tapi kalau gitu, kalau nggak ada orang aku boleh angkat kamu?" tanyanya dengan mata membulat.
Akaashi bisa merasakan pipinya setingkat lebih panas. Ia membuang muka. "Li… lihat kondisi lebih dulu."
Bokuto pun bersorak dan kembali mengayuh sepeda, bernyanyi dengan volume lebih keras dibanding sebelumnya. "Melawan keterbatasan, walau sedikit kemungkinan… tak akan menyerah untuk hadapi, hingga sedih tak mau datang lagi…."
Dalam sisa perjalanan itu, Akaashi hanya membisu, berusaha menenangkan jantungnya yang tanpa sadar telah berdebar tidak karuan dan perutnya yang terasa digelitik dari dalam.
Saat mereka sampai di kos Akaashi, Bokuto nyengir. "Makasih sekali lagi ya, Dek Kaashi!"
Akaashi mengangguk. "Salam untuk saudara Mas Bo ya."
"Beres!" Bokuto mengacungkan jempol. "Oke, aku bakal langsung pulang, ya. Sampai jumpa Dek Kaashi!" Bokuto mengayuh sepeda menjauh.
Akaashi menunggu sampai Bokuto tidak terlihat lebih dulu sebelum memasuki kos.
.
.
.
Akhirnya hari acara pameran kesenian pun tiba. Akaashi berangkat dari kos ke Fakultas Bahasa dan Seni dengan Konoha selepas adzan maghrib. Sesuai dengan tempat diselenggarakannya, acara pameran kesenian itu diadakan oleh mahasiswa FBS Kampus Pendidikan. Dengar-dengar, cara ini dilakukan setiap tahun untuk memperingati hari lahir FBS.
Konoha mengetahui acara ini dari seorang teman SMA-nya yang sekarang merupakan mahasiswa FBS. Dikarenakan mereka masih tetap menjadi teman baik bahkan sampai bangku kuliah, Konoha tentu saja harus datang ke acara ini. Lebih-lebih, sang teman rupanya akan menampilkan pertunjukan drama malam ini.
Ketika Akaashi tiba, pameran itu sudah ramai. Gerbang FBS dihias menjadi gapura yang terbuat dari styrofoam untuk pintu masuk ke pameran. Lalu, ketika Akaashi melewati gapura itu dan memasuki wilayah FBS… matanya melebar.
Akaashi belum pernah ke FBS sebelumnya, dan ia tidak pernah punya teman yang menyukai seni. Punya pun, mereka tidak pernah blak-blakan menunjukkan kesukaan mereka terhadap seni. Mereka tidak pernah terlihat menonjol dikarenakan tertelan dengan kaum mayoritas. Tapi, semua orang di sini, mereka semua sangat… berwarna.
Akaashi melihat mahasiswa FBS menggunakan pernak-pernik lucu untuk gaya berpakaian mereka. Banyak rambut berwarna dan dimodel sedemikian rupa. Beberapa dari mereka sedang mengerjakan karya seni mereka, ditonton oleh beberapa orang; beberapa sedang mengangkuti barang atau membetulkan lampu yang tidak dapat menyala; dan beberapa lainnya hanya berbincang dengan kawannya.
Melihat begitu banyak orang yang sama ekspresif dan kreatifnya berkumpul di satu tempat seperti ini membuat Akaashi merasa ia berada di dunia lain.
"Aku mau beli minuman dulu ya. Mau nitip?" tanya Konoha membuat Akaashi keluar dari lamunannya.
"Enggak, Mas, makasih. Aku mau lihat-lihat lukisannya dulu," jawab Akaashi.
"Oke."
Setelah Konoha pergi, Akaashi meluangkan waktu untuk melayangkan pandangan. Banyak sekali jenis karya. Mulai dari berbagai macam seni rupa, seni patung, kerajinan tangan dari anyaman bambu, rajutan, lukisan rajut, keramik dari tanah liat, benda-benda yang dibuat dari bahan bekas, kerajinan dari kerang, dan banyak lagi.
Akaashi melihat lukisan-lukisan yang dipajang. Lukisan-lukisan itu begitu bervariasi. Dengan bahan lukis yang beragam, ukuran kanvas yang beragam, hingga jenis aliran yang berbeda-beda.
Akaashi mengamati salah satu lukisan bergaya realisme —atau setidaknya itulah yang diingatnya dari pelajaran kesenian ketika SMA— yang menunjukkan seorang laki-laki sedang membaca koran. Di pojok lukisan itu dibubuhi sebuah tanda tangan. Di sampingnya, terdapat note kecil yang menjelaskan rincian lukisan tersebut. Mulai dari judul lukisan, nama pelukis, tanggal dibuat, serta bahan yang digunakan. Akaashi melihat lukisan berikutnya. Sebuah lukisan cat minyak menggambarkan pemandangan danau. Lukisan selanjutnya, gambar karikatur sang rektor, kemudian sebuah portrait, lukisan kolam ikan, jalanan di malam hari, seorang wanita yang sedang membatik, pedesaan, buah-buahan, hewan, dan seterusnya. Setiap lukisan seolah mengungkapan ratusan cerita berbeda.
Kemudian, Akaashi sampai pada sebuah lukisan yang sejauh ini memiliki ukuran paling besar. Lukisan itu lebih tinggi dari Akaashi. Luasnya sekitar 2×3 meter. Sebuah grafiti, Akaashi menyadari. Lukisan itu (Akaashi tidak yakin grafiti bisa disebut sebagai lukisan) menggambarkan sepasang tangan yang memutuskan rantai yang mengikat kedua pergelangannya. Sebagai latar belakang dari tangan itu, seperti ciri khas grafiti umumnya, terdapat huruf-huruf yang tidak bisa Akaashi mengerti. Entah bagaimana lukisan itu membuat Akaashi merinding. Ketika ia melihat note di sebelahnya, judul lukisan itu adalah "Freedom".
Oh.
Akaashi kembali meneliti grafiti tersebut. Berbeda dengan judulnya, garis-garis yang ditunjukkan grafiti itu terlihat diwarnai dengan sangat hati-hati, seolah dalam membuatnya, sang seniman tengah meniti tali. Begitu hati-hati, cermat, sempurna, dan takut membuat kesalahan.
Mata Akaashi melebar saat menyadari bahwa lukisan itu bukanlah visualisasi kebebasan. Grafiti itu justru gambar yang menunjukkan betapa terkekangnya sang seniman.
Grafiti itu seolah mengatakan bahwa, meskipun di era keterbukaan seperti sekarang, orang-orang masih saja memiliki batasan tertentu, yang kini bukan lagi dari pemerintah, melainkan dari masyarakat, atau dari faktor-faktor yang berasal dari diri seniman itu sendiri. Dan untuk grafiti Freedom ini, entah bagaimana, Akaashi bisa merasakan jika belenggu yang dimiliki sang seniman berasal dari dirinya sendiri.
Saat Akaashi hendak melihat nama seniman yang membuat grafiti itu, Konoha memanggilnya.
"Akaashi! Rupanya di sini!"
Akaashi berbalik, melihat Konoha berjalan ke arahnya sambil membawa kresek berisi camilan. Di samping Konoha, berjalan seorang laki-laki yang tidak dikenal Akaashi. Laki-laki asing itu tidak tinggi, serta memiliki rambut yang dipotong undercut.
Akaashi mengangguk sopan pada mereka berdua.
"Akaashi, ini Komi-yan. Temen SMA yang kuceritakan." Konoha memperkenalkan.
Oh, orang ini rupanya.
Setelah perkenalan dan basa-basi singkat, Komi berkata, "Eh, yuk ke Pendopo. Acara hiburan udah mau dimulai."
Mereka pun langsung pergi ke pendopo FBS dan mencari tempat duduk. (Komi-yan bilang dia tampil terakhir, jadi dia masih memiliki waktu untuk menonton beberapa pertunjukan awal.) Pendopo itu sudah lumayan ramai dengan penonton yang menunggu acara hiburan dimulai, sementara di panggung, para panitia masih melakukan persiapan akhir dengan pengeras suara.
"Gimana menurutmu pamerannya, Akaashi?" tanya Komi-yan.
"Bagus, Mas. Aku menikmatinya. Semua seniman di sini sangat kreatif."
Komi-yan tertawa bangga. "Tunggu sampai kamu lihat pertunjukannya!"
Acara hiburan itu dibuka dengan sebuah pertunjukan tari. Itu menawan dan berhasil membuat semua penonton bertepuk tangan. Akaashi hanya bisa berkomentar sampai di situ.
Ketika dua orang pembawa acara memasuki panggung, mata Akaashi membelalak.
Salah satu pembawa acara itu adalah seorang perempuan tinggi dengan rambut diikat ekor kuda. Pembawa acara satunya-lah yang sangat mengagetkan Akaashi. Seorang laki-laki, kerempeng, dengan rambut dua warna. Orang yang selalu ditemui Akaashi di stasiun. Orang yang minggu kemarin makan malam dengan Akaashi.
"Itu Mas Bokuto!" Tanpa sadar Akaashi berbicara sambil memukul lengan Konoha yang duduk di sampingnya.
"Hah? Siapa?" tanya Konoha bingung.
Akaashi memerhatikan ketika Bokuto menyapa menggunakan, "Hey, hey, hey!" Kemudian mengucapkan selamat datang kepada para pengunjung.
"Oh iya. Itu Bokuto Koutarou. Mahasiswa seni rupa. Kamu kenal ternyata, Shi?" sahut Komi-yan.
Mulut Akaashi menganga ketika mendengar Bokuto dan rekannya memperkenalkan diri.
Bokuto?
Si tukang semir sepatu Bokuto? Yang biasanya ditemui Akaashi pada hari Sabtu pagi saat ia menunggu kereta? Yang tetap bernyanyi keras-keras walau suaranya jelek?
Seorang mahasiswa seni rupa? Dan lagi, satu universitas dengan Akaashi?
Kok Akaashi tidak tahu? Kok Akaashi tidak pernah diberi tahu?!
Dari Komi-yan, Akaashi pun tahu kalau Bokuto adalah mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir. Ia merupakan seniman grafiti yang sangat produktif. "Di pameran tadi ada satu karyanya yang dipajang. Yang tangan sama rantai."
Ah. Grafiti Freedom yang tadi, batin Akaashi. Jadi itu lukisan Bokuto?
Ada rasa sakit di dada Akaashi saat menyadari bahwa terdapat kemungkinan besar bahwa Bokuto merasa terkekang seperti dalam lukisan itu. Namun, rasa sakit itu hilang secepat ia datang, digantikan dengan kekesalan tidak karuan. Akaashi cemberut. Bokuto memang pernah bilang kalau dia suka melukis dengan spray di waktu luang, tapi tidak pernah ia berkata soal semua ini.
"Aku selalu suka karya Mas Bokuto, sih," Komi-yan menambahkan. "Semua karyanya kayak punya nyawa sendiri. Kadang bahkan bisa bikin merinding saat melihatnya!"
Akaashi yang hendak memberikan persetujuan diinterupsi oleh Konoha.
"Bentar, bentar! Sebenarnya kalian membicarakan siapa sih? Si Mas Bokuto ini siapa?" tanya Konoha yang merasa tidak terlibat. Ia menatap Akaashi. "Kenapa kamu kaget banget?"
"Tukang semir sepatu yang pernah aku ceritakan itu lho, Mas!" jawab Akaashi. "Dia tidak pernah bilang kalau dia mahasiswa di sini!"
Awalnya, Konoha tampak terkejut. Tapi sedetik kemudian, ia mengembangkan seringai menyebalkan, dan Akaashi pun sadar tidak seharusnya ia memberitahukan informasi itu pada Konoha.
"Komi-yan," Konoha menyenggol Komi-yan dengan sikunya. "Akaashi ini sebenarnya suka sama Mas Bokuto."
Nah, kan. Akaashi tahu memang ini yang akan terjadi.
.
.
.
Setelah para pembawa acara turun, beberapa mahasiswa Seni Musik memasuki panggung untuk menampilkan pertunjukan musik. Akaashi berpamitan pada Konoha dan Komi-yan untuk pergi menemui sang pembawa acara. Kini, setelah mendengar Akaashi mengatakan itu, bukan hanya Konoha yang menyeringai, tapi Komi-yan juga nyengir penuh arti.
"Salam buat calon pacar kamu ya, Shi!" kata Konoha.
Akaashi mengabaikan Konoha dan keluar dari pendopo. Bokuto ada di samping pendopo, sedang menikmati rokok sembari mengobrol dengan pembawa acara perempuan yang tidak Akaashi ingat namanya.
Akaashi baru tahu Bokuto merokok.
Akaashi menghampiri pasangan pembawa acara itu. "Mas Bo."
Bokuto menoleh, dan matanya langsung berkilat terang ketika pandangannya jatuh pada Akaashi. Senyum secerah kebebasan terkembang. "Dek Kaaashiiiiii!" sapa Bokuto riang. "Kamu datang ternyata!" Ia membuang rokoknya.
"Lho, baru dinyalakan kok dibuang?" tanya si pembawa acara perempuan heran.
Bokuto menoleh pada perempuan itu. "Dek Kaashi nggak suka asap rokok soalnya."
Akaashi mengerutkan kening. "Kok tahu?" tanyanya.
Bokuto kembali menoleh pada Akaashi. "Waktu hari pertama kita ketemu, kamu ngehindarin asap rokok banget, kan."
Akaashi bahkan tidak ingat soal itu.
Akaashi melotot. Ini tidak adil. Kok bisa Bokuto tahu banyak hal soal Akaashi tapi Akaashi tidak tahu apa-apa soal Bokuto?
"Jadi, gimana acaranya? Kamu suka?" tanya Bokuto seolah tidak berdosa. "Tadi salah satu karyaku dipajang lho! Kamu lihat nggak?"
"Aku lihat." Akaashi menjawab dingin. "Mas Bo kenapa tidak pernah bilang kalau kita satu kampus?" tanya Akaashi tanpa basa-basi.
"Hah?" Bokuto malah kelihatan kaget. "Masa gak pernah, Dek?"
Akaashi menggeleng. "Mas Bo bahkan tidak pernah bilang kalau Mas mahasiswa."
Kedua alis tebal Bokuto terangkat. Sedetik kemudian, ia mengerutkan kening dalam-dalam. "Apa iya? Masa ga pernah sih. Sama sekali? Perasaan pernah lho… atau mungkin aku lupa ngomongin soal itu ya." Bokuto bergumam pada dirinya sendiri.
Akaashi menatap tidak percaya. Bokuto lupa menyebutkan kalau dirinya mahasiswa di universitas yang sama dengan Akaashi? Tidak masuk akal! Dia sedang membercandakan ini atau apa?
"Bokuto, ayo!" seru pembawa acara perempuan.
Bokuto tersentak. "Dek Kaashi, maaf ya, aku harus kembali ke panggung. Nanti kita bicara lagi, janji deh!" Setelah itu, Bokuto lari ke panggung.
Akaashi pun memperhatikan Bokuto yang memuji penampilan barusan. Biasanya, Akaashi bertemu Bokuto ketika ia menggunakan kaos oblong, celana komprang selutut, dan sandal jepit saja. Kini, melihat Bokuto berpakaian lebih rapi menggunakan kemeja batik, celana jeans panjang, dan sepatu, entah bagaimana berhasil membuat pipi Akaashi panas lagi.
Sisa malam itu dihabiskan Akaashi untuk ngobrol dengan Bokuto setiap kali Bokuto turun panggung. Sesekali, mereka hanya akan saling memberi pendapat mengenai pertunjukan yang berlangsung. Bokuto benar-benar lupa menyebutkan kalau ia satu kampus dengan Akaashi. Yah, sebenarnya Akaashi juga tidak pernah membahas mengenai perkuliahan saat berbincang dengan Bokuto, jadi wajar saja kalau Bokuto juga tidak berniat membicarakannya lebih dulu.
Habis, karena Akaashi pikir Bokuto tidak kuliah, Akaashi pun yakin Bokuto tidak akan mengerti kalau Akaashi mengatakan sesuatu mengenai perkuliahan. Karena itu Akaashi menghindari topik itu. Jadi, obrolan mereka setiap Sabtu sebenarnya hanya berupa hal umum seperti berita yang sedang hangat di koran dan radio, hingga hal-hal yang mereka lihat stasiun hari itu. (Mereka tidak pernah kehabisan topik untuk dua hal ini. Itu dikarenakan obrolan mereka hanya dilakukan paling sering dua minggu sekali, dengan durasi paling lama hanya 15 menit lebih). Satu-satunya waktu ketika mereka membahas mengenai diri mereka sendiri adalah keluarga.
Malam ini, untuk pertama kalinya, Akaashi dan Bokuto membahas mengenai perkuliahan. Kini Bokuto adalah mahasiswa semester sebelas. Ia sempat mengambil selang studi, dan masih sering menghabiskan waktu di kampus untuk berkarya meskipun beban kuliahnya hanya tinggal tugas akhir. "Adik-adikku selalu mengganggu kalau aku ngecat di rumah," begitu katanya. Itu memberikan Akaashi ide.
"Mas Bo," panggil Akaashi setelah pertunjukan hari itu akhirnya selesai.
"Iyaaaaa…."
Akaashi diam sejenak. Ia menarik napas sebelum mengatakan kemauannya. "Kita biasanya hanya ketemu paling sering dua minggu sekali di stasiun. Itu pun hanya sebentar. Tapi, Mas bilang Mas masih sering ke kampus. Jadi, keberatan tidak kalau, em, frekuensi ketemu kita ditambah? Saat Mas Bo ke kampus, dan aku tidak ada kelas." Akaashi mengusulkan. Ia ingin memukul dirinya sendiri karena terdengar sangat gugup. "Bagaimana menurutmu, Mas?"
Akaashi tidak tahu apa reaksi yang ia harapkan dari Bokuto, tapi apa pun itu, ia sangat tidak mengantisipasi reaksi yang didapatkannya.
Bokuto terlihat begitu bahagia sampai senyumnya bisa menyaingi sinar matahari. Kemudian, ia mendekap Akaashi, di hadapan semua orang. "Tentu aku mau sekali Dek Aakaashiiii!" Ia melepaskan pelukan, tangan memegangi kedua lengan Akaashi. "Tahu gak sih, aku selalu menunggu waktu kamu pulang! Dua minggu itu rasanya laaaaaamaaaa banget!"
Begitulah awal dari berkembangnya hubungan mereka.
Saat sampai di kos nanti, ingatkan Akaashi untuk berterima kasih pada Konoha yang sudah mengajaknya ke acara pameran kesenian ini.
.
end.
Lagu yang dinyanyikan Bokuto: Sahabat Kecil – IPANG
Bisa didengerin sambil nostalgia!
.
Halo! Sebelumnya salam kenal semuanya, aku Hilaryan!
Sebenarnya aku udah punya beberapa fanfik BokuAka, tapi ini pertama kalinya aku ngepost di sini. Hehehe.
Aku ingin tahu apakah banyak pembaca fanfik BokuAka di ? Untuk para BokuAka stand silahkan perlihatkan diri kalian!
Okey, untuk sekarang itu saja dulu. Sekian dari Hil, jangan lupa tinggalkan jejak karena aku butuh banget masukan kritik dan saran!
Yup, sampai jumpa di fanfic berikutnya!
