A Fate For Our Mind

Rate T

One Piece milik Eiichiro Oda. Author hanya pinjam nama karakter dan background dunia untuk menambah asupan AceSabo.

Warning! Female!Sabo, Akuma no mi eater!Sabo, OOC, Tidak Jelas, Telepathy!AU, Pendek (mungkin). Aku benar-benar sudah lama tidak mengetik, jadi kuharap fanfiksi ini tidak begitu buruk, sekalipun aku mengetiknya hanya untuk bersenang-senang.

Pengertian;

Buah iblis milik Sabo namanya Jūryoku Jūryoku no mi. Ini memungkinkan Sabo memanipulasi gravitasi. Ini mirip sama buahnya Fujitora, tapi punya perbedaan. Kekuatan Sabo tidak bisa digunakan untuk memanggil meteor. Tapi dia bisa mengumpulkan kekuatan gravitasi di tangannya dan melemparkannya kepada musuh, membuat mereka meledak bersama dengan kekuatannya. Dia juga bisa mengubah gravitasi dari apa pun yang dia sentuh dan memanipulasi gravitasi di sekitarnya. Dia dapat mengurangi atau meningkatkan kekuatan gravitasi, memungkinkan Sabo untuk berjalan di mana saja dan menahan peluru dengan kemampuannya (pengecualian untuk peluru dari batu laut).

Kemampuan buah ini aku ambil dari kemampuan Nakahara Chuuya dari Bungou Stray Dogs. Kurasa keren kalau Sabo bisa memanipulasi gravitasi kayak gini (tentunya tanpa harus 'hilang kendali' kayak Chuuya.)

Lalu pengertian tentang soulmate tipe Telepathy!AU ini;

Aku dapat ide ini dari facebook. 'You are capable of speaking/interacting with your soulmate telepathically' AU. Tapi karena aku malas (aku pusing memikirkan ide ini terus menerus dan aku bingung bagaimana bisa memasukkan ide ini jika Ace sudah mendengar suara Sabo sebelumnya) jadi aku merombak habis ide ini.

Jujur aja ini tema yang agak sulit buat aku. Karena yah… telepathy AU ini tuh terlalu luas (sama kayak omeverse tapi ini lebih ke… apa ya? Tidak jelas gitu. Kok bisa gini dllnya.)

Aku terlalu banyak bica—mengetik. Sudah, selamat membaca!

.

.

.

Suasana ruangan itu tegang. Bukan karena pertikaian, namun karena keadaan yang memaksa mereka untuk serius dan waspada. Selain karena badai yang menggila, mereka, Revolution Army, harus selalu siaga jika sedang berlayar. Kepala mereka semua bahkan lebih berharga daripada bajak laut—terutama kepala pemimpin mereka.

Pemegang komando tertinggi disana—kepala staff pasukan revolusioner, Sabo, dan beberapa rekannya yang lain sedang mengelilingi siput dengan cangkang berwarna hitam yang berhasil mereka curi dari musuh mereka di misi sebelumnya. Siput itu terus menerus berbunyi 'bep-bep-bep' yang menandakan tidak ada sinyal terdekat yang dapat mereka tangkap.

"Bep-bep-be—hey, apakah kau sudah sampai pada koordinat yang ditentukan?! Jangan lupakan Belly milik boss sebagai bayarannya! Dan kami ingin menjadi Shichibukai!" sinyal yang tiba-tiba tertangkap membuat semua orang yang berada di dalam ruangan itu menarik napas tajam.

"… kami membawa Belly-nya. Siapkan Hiken no Ace, kami akan segera tiba di koordinat baru yang akan kami kirimkan sekarang."

Mereka semua mengerutkan kening. Hiken no Ace tertangkap?

Tanpa mereka sadari, kepala staff mereka kini mengerutkan kening. Dia merasa mengenali nama itu, tapi dia tidak bisa mengingatnya.

'Maaf… Luffy… Ayah… semuanya…' sebuah suara tiba-tiba terdengar dan Sabo tersentak kaget. Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri, bertanya-tanya siapa yang meminta maaf dengan nada kelelahan itu, namun semua rekannya terlihat serius mendengarkan koordinat yang baru saja dikirim melalui den-den mushi. 'Maaf, Sabo… kurasa aku akan segera menyusulmu dan meninggalkan Luffy sendirian…'

"… siapa?" Sabo bertanya tanpa sadar. Dia memegang kepalanya, bingung kenapa mendengar suara, namun rekannya yang lain terlihat jelas tidak mendengarnya. "Siapa kau? Kenapa kau bisa bicara didalam kepalaku?"

"Eh, Sabo-chan? Kau kenapa?"

"Aku… aku tidak tahu. Tapi sepertinya ada seseorang yang berbicara didalam kepalaku! Aku tidak mungkin gila, kan?!"

Koala, teman terdekat Sabo, hampir saja memukul kepala sahabatnya kalau saja situasinya tidak sedang serius. "Apa maksudmu kau mendengar suara didalam kepalamu?"

"Aku tidak tahu, tapi aku mendengarnya berkata—"

'Apakah aku akan segera mati…? Sabo… Luffy… maafkan aku…'

"Sabo-chan?"

"Aku-aku mendengarnya lagi! Dia meminta maaf… padaku dan Luffy?"

Salah satu rekan mereka membuat suara terkejut, membuat mereka semua menoleh ke arahnya.

"Aku pernah mendengar kalau kau tiba-tiba mendengar suara orang lain didalam kepalamu, itu artinya laut sedang menunjukkan jalan untuk menolong orang yang berarti bagimu. Tapi kukira itu hanya mitos…"

Sabo mengerutkan kening. Orang yang berarti baginya? Dia tidak mengenal siapapun diluar tentara revolusi dan musuh mereka. Apakah ini adalah orang dari masa lalunya yang hilang…?

"Oh! Aku juga pernah mendengarnya! Katanya, jika kau mendengar suara orang lain didalam kepalamu, itu artinya kami-sama akan segera mempertemukanmu dengan takdirmu!"

"Tapi itu hanya mitos. Dan lagi, kenapa tiba-tiba sekali?"

Sabo mengabaikan mereka dan fokus untuk bertanya pada suara di dalam kepalanya. [Siapa kau? Kenapa kau tahu namaku?]

Balasannya datang tidak lama kemudian, dengan suara lebih lemah dari pada sebelumnya. '… apakah ada orang lain disini? Aku tidak dapat melihatnya… sakit… dingin… apakah berita penangkapanku sudah menyebar… ya? Berapa lama lagi waktuku hidup…?'

[Waktumu hidup? Berita penangkapan…? Kau… Hiken no Ace?]

'Heh, kau sudah tahu… kenapa masih bertan…' suaranya tiba-tiba memudar, seolah-olah dia—Hiken no Ace—sudah kehilangan kesadaran. Otak Sabo langsung berpikir cepat, apakah yang berbicara dengannya itu benar-benar Hiken no Ace? Apakah dia harus menolongnya? Kenapa tiba-tiba Sabo bisa mendengar suaranya? Kenapa Hiken no Ace bisa mengetahui namanya? Siapa Luffy?

"Sabo-chan? Bagaimana? Apakah kau tahu siapa orangnya?" suara Koala menyadarkannya dari pemikirannya sendiri.

Sabo mengangguk, lalu melihat rekannya satu persatu. "Aku punya permintaan. Ini mungkin terdengar egois dan aku tahu Dragon-san meminta kita untuk tetap berada dibawah radar, tapi… aku merasa aku harus menolongnya."

"Apakah dia memberitahu namanya, kepala staff? Apakah dia sedang berada dalam masalah?"

"… Hiken no Ace. Aku mendengarnya menyebut namaku beberapa kali beserta satu nama yang tidak kukenal. Dan—entah kenapa aku merasa bahwa mereka memiliki hubungan dengan masa laluku yang hilang." Sabo hampir meremas kepalanya sendiri. Perasaan khawatir yang tiba-tiba merambati hatinya juga tidak membantu. "Aku-aku ingin menyelamatkannya dan bertanya beberapa hal padanya."

Rekan-rekannya berpandangan, lalu mengangguk padanya.

"Aku akan memberitahu kapten kapal untuk mengubah arah dan menuju koordinat yang mereka kirimkan!" salah satu rekannya langsung melesat keluar setelah semua setuju tanpa ucapan verbal.

"Kita harus bersiap, Hiken no Ace adalah komandan divisi kedua bajak laut Shirohige. Jika dia sampai dikalahkan, berarti musuh yang menangkapnya sangat kuat." Koala langsung menggelar peta dan menandai titik lokasi yang Marine dan siapapun yang menangkap Hiken no Ace sepakati.

"Belum lagi Marine yang pasti membawa kekuatan penuh jika benar-benar ingin menangkapnya." Hack menambahkan. "Kita juga tidak tahu dimana tepatnya Hiken no Ace dikurung. Akan memakan waktu untuk mencari di kapal penangkapnya. Terutama jika itu adalah kapal yang besar."

"Aku akan mengalihkan perhatian mereka. Hack, kau cari dia. Furuta, Doyomi, dan Haramizu, bantu aku dari jarak jauh. Koala mengawasi den-den mushi dan beri kami sinyal jika kapal Marine mendekat sebelum misi selesai."

"Tapi, Sabo-chan—"

"Kekuatanku akan menguntungkanku. Jika situasi terburuk terjadi, maka aku tinggal menenggelamkan kapal mereka, kan? Itu sebabnya aku menyerahkan pencarian pada Hack. Kau bisa menolongnya seandaikan aku benar-benar harus menghancurkan kapal mereka." Sabo melihat kearah rekannya, melihat bahwa mereka juga menyetujui bahwa ini strategi terbaik yang mereka miliki sekarang.

"Baiklah. Ayo lakukan itu. Sebaiknya kita bersiap—dan turunkan bendera kita, jaga-jaga jika Marine mendekat sebelum kita bisa selesai. Koordinat mereka dengan titik pertemuan yang disepakati tidak terlalu jauh dari koordinat kita."

Yang lain mengangguk dan segera keluar untuk mempersiapkan diri mereka masing-masing.

.

.

.

Misi penyelamatan mereka tidak berjalan terlalu lancar. Awalnya Sabo dan Hack berhasil menyusup hingga Furuta, Doyomi, dan Haramizu berhasil melakukan serangan kejutan pada bagian samping kapal mereka. Tapi yang paling tidak disangka adalah ketika sang kapten kapal keluar.

Kekuatan pria itu hampir sama dengan milik Sabo. Hanya saja kekuatannya menghisap segala sesuatu dibawahnya, sedangkan Sabo menghancurkan segala sesuatu yang menghalanginya.

Mereka berdua sama-sama menahan diri, karena jika tidak, kapal yang menjadi pijakan mereka akan hancur. Sabo yang sejak awal memang menjadi umpan sampai terpojok karena harus memecah konsentrasi dari awak lain dan sang kapten kapal.

"Aku tidak tahu siapa kau dan apa maumu di atas kapalku, tapi aku sangat kesal karena kau merusak kapalku, nona."

Sabo mengusap sudut bibirnya yang berdarah, dan tersenyum kejam. Dari sudut matanya, Hack sudah berhasil menemukan Hiken no Ace dan dalam perjalanan membawanya ke kapal mereka. Dia tidak perlu lagi menahan diri, toh misi mereka sudah selesai.

"Aku tidak memiliki maksud apapun, kapten. Aku disini hanya karena penasaran. Tapi aku sudah tidak lagi penasaran." Jawab Sabo, mengepalkan tangannya dan melapisinya dengan haki, bertingkah seolah siap meninju seseorang. "Tugasku selesai, selamat tinggal, kapten."

"Ap—"

"Ryu no Ibuki!"

KRAK!

Kapal itu retak parah, membuat semuanya bergoyang dalam ketidakseimbangan. Sang kapten bahkan terjatuh karena tidak mampu menyeimbangkan diri. Tapi Sabo belum selesai. Dia mengumpulkan kekuatan di tangannya dan membentuk bola gravitasi yang bisa meledakkan seluruh kapal. Tubuhnya sendiri melayang di udara dengan bantuan kekuatannya, tidak terganggu dengan badai yang menggila.

"Juryoku;Bakuhatsu!" teriaknya sambil melemparkan bola gravitasi di tangannya. Dalam sekejap bola itu menghantam kapal dan kapal itu hancur karena ledakan yang disebabkannya.

BOOM!

Sabo mundur dan melayang turun di atas kapalnya sendiri. Dia berbagi informasi dengan Furuta, Doyomi, Haramizu dan Koala sebelum bola meriam ditembakkan menuju bagian samping kapal mereka.

"ANGKATAN LAUT! MEREKA SUDAH DATANG!" Charles memberitahu dari atas dek observasi. "Arah jam dua! Ada tiga belas kapal perang dan satu kapal laksamana!"

Mereka yang ada diatas dek dan mendengarnya mengumpat. Walaupun dengan bantuan badai dan kekuatan Sabo, mustahil mereka bisa kabur tanpa terluka. Belum lagi sisa-sisa kapal Marshall D Teach—bajak laut yang mengalahkan Hiken no Ace—masih tersebar di sekitar mereka.

"Arahkan kapal menjauh dari mereka! Gunakan kecepatan penuh! Deon! Tristan! Siapkan bola meriam! Aku akan menyerang mereka dari arah lain! Yang lain, siapkan meriam dan tahan serangan mereka! Jangan sampai mereka menghancurkan kapal!"

"Siap!"

Sabo mengepalkan tangan. Disaat seperti ini, dia benci mengakui bahwa dia tidak bisa menggunakan kekuatannya untuk mengangkat satu kapal dan membawanya pergi. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah memanipulasi gravitasi bola-bola meriam dan mengarahkannya pada kapal musuh.

Ini akan menjadi pertempuran yang sulit.

.

.

.

Kesadaran pelan-pelan menghampirinya, namun matanya enggan terbuka—mengingat bahwa dia berada di kapal Teach—atau ini kapal Marine? Dan seluruh badannya sakit—

Dia tidak merasa sakit? Dan kasur empuk yang ada dibawahnya ini… [huh, angkatan laut tidak mungkin sebaik itu padaku, kan?] Dia juga tidak merasa dingin lagi, seolah-olah kekuatan buah iblisnya sudah kembali dan dia tidak lagi diborgol oleh batu laut.

"Hiken no Ace, kau sudah bagun?" Seseorang bertanya, tapi Ace tidak bisa mengenali suaranya. [Siapa dia? Apakah dia salah satu angkatan laut yang bertugas menjagaku?]

"… aku revolusioner, kami tidak sengaja mendengar koordinasi kesepakatan Marine dengan bajak laut Marshall D Teach dan menolongmu."

Ace memaksakan matanya untuk terbuka, membuat cahaya lampu menyakiti matanya dan membuatnya harus mengerjap beberapa kali hingga dia bisa menyesuaikan cahaya yang memasuki matanya sebelum beringsut duduk. [Sial, berapa lama aku tertidur?]

"Dua hari. Kau pingsan selama dua hari, dan aku akan mengatakan ini lebih dulu—kami minta maaf karena kami tidak bisa mengantarmu pulang."

[Dan kenapa orang ini seolah-olah tahu isi pikiranku?!] Pikir Ace, melihat seorang gadis—atau wanita? Duduk membelakanginya. Di tangannya terdapat beberapa lembar kertas, entah apa isinya. Ace tidak yakin dia ingin tahu.

'Karena, Hiken no Ace, entah bagaimana pikiran kita terhubung.' Balasan itu bernada terhibur, tapi Ace yakin dia tidak mendengar suara, seolah-olah seseorang berbicara langsung kedalam kepalanya.

"Kau—uhuk-uhuk!" [Sial, tenggorokkanku kering dan rasanya perih. Teach sialan, berapa lama dia menangkapku?]Dia bertanya-tanya sampai sebuah gelas berisi air terulur di depannya.

Tanpa Ace sadari, wanita yang tadinya duduk membelakanginya sudah berada di sebelahnya dan mengulurkan segelas air—yang langsung diteguknya dengan penuh syukur. Setelahnya, barulah dia melihat wajah penolongnya—[apakah dia yang menolongku?]

Dia bukan wanita—dari wajahnya, dia masih muda. Mungkin seumuran atau bahkan lebih muda darinya. Rambutnya pirang bergelombang dan dibiarkan terlepas di pundaknya. Matanya berwarna biru cerah layaknya langit dengan bayangan sedalam lautan. Setengah wajah kirinya terdapat luka bakar yang terlihat sudah lama, menjalar dari matanya hingga pipi. Bibirnya tipis, berwarna pink natural dan kini sedang membentuk senyum kecil.

"Hiken? Aku tahu wajahku mempesona, tapi kurasa kau harus makan dan kita akan membahas keanehan yang terjadi di pikiran kita."

Ace tergagap. [Apakah aku memandanginya terlalu lama?! Dia memang cantik. tapi... kenapa wajahnya sangat familiar?]Pikirnya, langsung mengalihkan pandangan dengan semburat pink di pipinya. "Ace. Panggil aku Ace."

Gadis itu tertawa kecil, "baiklah. Terima kasih, Ace. Kau bisa memanggilku Sa—"

Kruyukk~

Semburat pink di pipi Ace mengental, salah satu tangannya memegang perut yang berbunyi keras dengan tidak tahu malunya. Tapi gadis itu hanya tertawa dan bertanya apakah dia bisa berdiri.

Ace menemukan sepatunya dibawah kasur. Dia mengambilnya dan memakainya sebelum mencoba untuk berdiri hanya untuk terhuyung. Untungnya gadis itu dengan cepat menangkapnya dan membantunya berdiri tegak.

"Kau baik-baik saja?"

"Uh, hanya sedikit lemas. Aku akan baik-baik saja setelah makan." Jawab Ace, lalu melangkah dibantu oleh gadis disampingnya. Diluar dugaan, dia ternyata sangat kuat—terlepas dari bentuk tubuhnya yang terlihat ramping.

Mereka melangkah perlahan menuju ruang makan. Gadis itu juga menceritakan sedikit tentang bagaimana cara mereka menyelamatkannya dan kenapa mereka menyelamatkannya dari genggaman Teach dan Marine. Gadis itu juga berjanji akan memberikan surat kabar kemarin dan hari ini setelah mereka makan.

Ace bersyukur gadis itu menyelamatkannya.

Ruang makan sedang sepi saat mereka sampai. Begitupun dengan dapur. Gadis itu bilang kalau mereka semua sibuk membereskan dek yang rusak di beberapa tempat karena pertempuran kemarin lusa, jadi kebanyakan dari mereka sekarang sedang berada di atas.

"Ini, sementara makanlah ini. Aku akan memasak sesuatu. Biasanya Felix menyimpan beberapa persediaan makanan, tapi kurasa dia terlalu sibuk memeriksa bahan makanan dan membantu yang lainnya di atas." Gadis itu berkata sambil meletakkan sekeranjang buah-buahan di depan Ace dan mulai mengambil apron.

"Oh, um—aku bisa membantu?" tanyanya, merasa tidak enak karena harus merepotkan gadis yang menolongnya.

Gadis itu lagi-lagi tertawa, "tidak apa-apa. Kau baru saja sadar. Biarkan aku memasak sesuatu, lagipula aku juga belum makan."

Setelahnya, hanya keheningan yang canggung menemani keduanya. Gadis itu sibuk memasak dan Ace sibuk memakan beberapa buah untuk menganjal perutnya yang lapar. Ace kembali memikirkan apa yang gadis itu katakan padanya sejak dia tersadar dan tiba-tiba teringat bahwa dia belum mengetahui nama gadis yang kini sedang sibuk dengan kompor.

Memutuskan untuk memecah keheningan yang pelan-pelan menyesakkan, Ace membuka mulut untuk bertanya—saat beberapa piring penuh makanan melayang dan mendarat didepannya. Bau harum masakan langsung membuat air liurnya menumpuk di mulutnya. Pertanyaan di ujung lidahnya terlupakan dan Ace langsung mengambil sendok yang ada di atas piring dan menyuapkan nasi dengan kare kedalam mulutnya.

"Pelan-pelan, makanannya tidak akan hilang." Gadis yang tadinya masih sibuk memasak kini sudah duduk didepannya dan mengambil piringnya sendiri, lalu mulai makan dengan lebih tenang.

Ace mengikutinya, namun tetap makan dengan lahap. Dia tidak sadar bahwa dia benar-benar kelaparan setelah entah-berapa-hari Teach menyekapnya.

"Jadi, Ace, apa kau punya ide mengapa pikiran kita tiba-tiba terhubung?" tanya gadis itu disela-sela kunyahan. "Aku mendengar beberapa mitos, tapi aku tidak bisa memastikan kebenarannya ataupun bertemu dengan orang yang pernah mengalami hal yang sama."

"Sejauh ini aku juga tidak pernah mendengarnya selain beberapa gosip." Jawab Ace setelah menelan makanan di mulutnya. Dia menjilat bibirnya untuk menghilangkan minyak dan menegak segelas air yang gadis itu letakkan di sebelah piringnya. "Apa yang kau dengar… uh—" [Siapa namanya? Dia belum mengatakannya tadi.]

"Sabo. Namaku Sabo, kepala staff pasukan revolusi." Gadis itu, Sabo, mengangguk padanya, lalu menjelaskan tentang apa yang dia dengar tanpa mempedulikan tatapan tidak percaya yang Ace layangkan padanya. "Jadi apakah—"

"TUNGGU DULU! SABO?! KAU—SIAPA KAU?!" Ace berteriak dan mengebrak meja. Dia menatap Sabo dengan tatapan marah. [Bukankah Sabo sudah mati? Tidak, Sabo memang sudah mati. Dogura melihatnya tertembak. Dia pasti orang lain. Dia tidak mungkin Sabo kami—]

"Ace? Apa—apa kau mengenalku?" tanya Sabo tiba-tiba, memutus pemikiran Ace yang kacau. "Apakah… maksudmu tertembak itu… ditembak oleh Tenryuubito?"

[Itu mustahil… kalau Sabo memang selamat… kenapa dia tidak kembali…? Kenapa dia tidak kembali ke pulau Dawn? Darimana dia mengetahui bahwa Sabo kami ditembak oleh Tenryuubito? Kenapa wajahnya sangat mirip dengan Sabo? Tapi kenapa dia tidak mengingatku? Kenapa dia tidak mengingat Luffy?]

"Ace, hey, bernapas! Pikiranmu kacau!" Sabo tiba-tiba sudah berada di sebelahnya dan meremas bahunya, membuatnya tanpa sadar mengikuti apa yang gadis itu katakan. Hampir bersamaan terdengar—ada sebuah suara didalam kepalanya. 'Pulau Dawn? Dragon-san pernah bilang kalau mereka menemukanku hampir mati disekitar pulau itu karena ditembak… apakah Ace benar-benar bagian dari masa laluku yang hilang?'

Ace menarik napas tajam setelah mendengarnya. Tanpa sadar dia menoleh, menangkup wajah Sabo dan bertanya dengan gemetar. "K-kau hampir mati di pulau Dawn?"

Sabo tidak menatapnya, namun tetap menjawab, "… ya. Delapan tahun yang lalu, revolusioner menyelamatkanku di sekitar pulau itu. Aku tidak mengingat apapun, tapi aku memiliki perasaan kuat untuk tidak kembali kesana."

[Dan Sabo? Bagaimana kau bisa mengingat nama itu jika kau tidak mengingat apapun?] "Apakah—apakah itu terjadi di East Blue? Apa kau sama sekali tidak mengingat apapun? Dadan? Makino-san? Luffy? Aku? O-outlook?" Nama terakhir diucapkan bagaikan racun, tapi Ace tidak peduli. Dia hanya peduli satu hal sekarang. Sabo.

"Ya, mereka menyelamatkanku di East Blue. Aku tidak mengingat apapun. Aku mengetahui namaku karena mereka menemukan sapu tangan dibajuku. Ada bordiran bertuliskan 'Sabo' disana dan mereka menganggap bahwa itu namaku." Sabo menjawab, kali ini menatap langsung kedalam mata Ace. 'Tapi… entah kenapa nama yang kau sebutkan itu terdengar familiar…'

Ace hampir tidak bisa menahan air mata yang menumpuk di sudut matanya. Sabo masih hidup, Sabo-nya masih hidup dan kini berada di depannya, hilang ingatan, tapi hidup. Tangannya mulai gemetar saat jemarinya mengusap pipi Sabo, masih tidak percaya bahwa gadis yang menyelamatkannya dari cengkraman Teach dan Marine adalah Sabo.

"Kau baik?" Ace terkejut saat tangan Sabo menempel di pipinya yang—entah sejak kapan telah basah. Tatapan khawatir itu membuatnya mengingat masa lalu yang telah terkubur dalam ingatan. Gemerisik daun didalam hutan, Grey Terminal yang berbahaya, rumah pohon yang menyenangkan… "Um, maafkan aku karena aku tidak ingat apapun… mungkin kau bisa menceritakannya? Aku ingin mendengar lebih banyak…"

Dan Ace menyerah. Tangisan yang ditahannya mati-matian kini tumpah.

[Sabo, Sabo, Sabo, Sabo-ku, Sabo kami masih hidup. Dia hidup dan ada didepanku. Dia masih hidup, dia tidak mati. Sabo-ku masih hidup—] Sabo menarik Ace kedalam pelukan dan menenggelamkan wajahnya yang basah di bahunya, membuat Ace dapat mencium aroma bunga yang selalu ada pada Sabo sejak mereka kecil.

Dia bahkan tidak tahu bahwa dia sangat merindukan aroma gadisnya.

"Sshhh, tidak apa-apa, aku disini, sshhh…" Jari-jari ramping mengusap kepalanya dengan lembut, sedangkan tangan lainnya menepuk-nepuk punggungnya dengan gerakkan menenangkan. Ace balas melingkarkan lengannya di punggung Sabo dan secara bersamaan mendengar suara didalam kepalanya. 'Memangnya apa hubungan kita di masa lalu? Kenapa kau memanggilku sebagai milikmu, Ace? Tapi entah kenapa, panggilan itu terasa benar. Seolah-olah aku memang milikmu.'

[Kita kekasih.] Ace membalas didalam pikirannya dan tangannya melingkari Sabo semakin erat. [Saat kita berusia sepuluh tahun, orang yang kau panggil ayah dan ibu memaksamu untuk bertunangan dengan bangsawan lain. Tapi kau kabur dan memohon padaku agar aku yang menjadi tunanganmu. Jadi malam itu dengan Dadan, Luffy dan yang lainnya menjadi saksi, kita bertunangan. Saat itu kita sama-sama tidak mengerti apa artinya, ngomong-ngomong. Tapi Dadan bilang kalau tunangan itu artinya kita akan menikah di masa depan dan aku menjadi kekasihmu.]

'Hah!? Apa!? Tunggu, KITA BERTUNANGAN?! Ace, sial, katakan padaku kalau kita tidak bersumpah!' Tubuh Sabo mematung didalam pelukannya. Suara didalam kepalanya bernada khawatir dan panik, membuat Ace ikut khawatir.

[Kita bersumpah. Dadan bilang kalau itu membuatmu tidak dapat menikah dengan orang lain, dan kau setuju untuk melakukannya, begitupun aku karena aku takut mereka akan mengambilmu dariku.] Ace mengangkat kepala dan menatap wajah Sabo yang tanpa ekspresi. [Apa ada yang salah?]

'Tidak, aku mengerti kenapa diriku di masa lalu melakukannya. Tapi—sial, Ace, apa kau mengerti konsekuensinya sekarang? Karena sumpah itu, kita harus benar-benar menikah; karena aku tidak mati dan kau menemukanku sekarang.' Sabo menutup matanya, dalam sekejap terlihat sangat lelah. "Itu hanya mitos, tidak ada yang tahu kebenarannya. Itu sebabnya tidak ada banyak orang yang mau bersumpah."

"… apakah menurutmu pikiran kita terhubung karena sumpah itu?" tanya Ace, memilih untuk mengucapkannya diluar kepala. "Kita berdua juga bersumpah pada Luffy untuk menjadi saudara selamanya dengan secangkir sake, ngomong-ngomong."

Sabo kini menatapnya seolah-olah dia sudah gila. "Kau bersumpah untuk menikahiku dan kemudian bersumpah untuk menjadi saudaraku?"

"Hah?! Tidak! Maksudku kita berdua bersumpah pada Luffy bahwa kita akan selalu menjadi saudaranya! Aku tidak bersumpah lagi padamu selain menikahimu suatu saat nanti!" Pipi Ace memerah. Siapa sangka mengatakan hal itu keras-keras bisa membuatnya merasa semalu ini?

"Haaah, baiklah, anggap saja keadaan kita sekarang adalah efek dari sumpah kita berdua." Sabo mendesah, lalu melepaskan diri dari pelukannya. 'Mari kita kesampingkan dulu hal itu. Kurasa kita hampir sampai di markas.' "Seperti yang kukatakan tadi, kami tidak bisa mengantarmu pulang. Dragon-san menyuruhku kembali karena Angkatan Laut yang ingin menangkapmu mengenaliku sebagai pasukan revolusi dan mencetak kertas buronanku dimana-mana. Jadi untuk sementara aku akan diam di markas sebagai hukuman."

Ace mengangguk. Dia tidak masalah dengan itu. "Apa aku boleh ikut bersama kalian? Maksudku—kau-aku baru mengetahui bahwa kau belum mati, dan ada banyak yang harus kau ceritakan dan aku ceritakan…" [Aku ingin bersamamu sedikit lebih lama, Sabo…]

Sabo menatapnya beberapa saat, lalu mengangguk dan berdiri. "Baiklah. Aku akan mempercayaimu. Sekarang ayo keluar dan naik ke atas. Aku akan memperkenalkanmu pada rekan-rekanku." 'Kau tahu, kau harus meminta izin pada Dragon-san kalau kau ingin berada dua puluh empat jam bersamaku. Dia sudah kuanggap sebagai ayahku sendiri.'

"Aku akan melakukannya." Gumam Ace, mengerti maksud perkataan Sabo dan ikut berdiri dan mengikutinya keluar dari ruang makan.

.

.

.

Sabo menarik napas dalam-dalam dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Untungnya, Dragon-san tidak marah padanya seperti yang Sabo pikirkan. Tapi pria itu tetap menghukumnya dengan menyuruhnya tetap berada di markas sampai beritanya mereda. Ace juga sama sekali tidak membantu dengan mengatakan pada Dragon-san bahwa mereka telah bersumpah satu sama lain di masa kecil dan pemuda itu ingin berada di dekat Sabo selama beberapa saat. Ditambah lagi dengan 'masalah' yang ada di kepala mereka berdua.

Semua itu belum ditambah dengan cerita Ace tentang mereka bertiga dan tempat seperti apa yang mereka tinggali dulu.

Sungguh, Sabo merasa stress. Kepalanya terasa bagaikan dipukuli puluhan batu.

'Apa yang sedang kau lakukan sekarang?' Sebuah suara terdengar didalam kepalanya. Setelah beberapa kali mendengarnya, Sabo mulai mengenalinya sebagai suara Ace dan tidak lagi terkejut. 'Apakah kau sudah tidur?'

[Belum. Kau sendiri kenapa belum tidur?]

'Aku tidak bisa tidur. Aku takut kalau ini semua hanyalah mimpi. Mimpi bahwa kau belum mati, bahwa kau menyelamatkanku... Luffy pasti senang jika mengetahuinya…'

[… dari ceritamu, sepertinya dia akan menangis dan meminta penjelasan sebelum tertawa bahagia karena bertemu denganku lagi…] Sabo menutup mata, tersenyum kecil dan membayangkan bertemu dengan Luffy—adik kecil mereka yang diceritakan Ace. [… hey, kemarilah. Kurasa aku tidak bisa tidur karena kepalaku pusing menerima informasi sebanyak itu dalam dua hari.]

'… kau yakin?' Suara Ace terdengar sama sekali tidak yakin, membuat Sabo tertawa kecil tanpa sadar. Dia merasa dekat dengan Ace, seolah mereka sudah lama saling mengenal—yah, walaupun pada kenyataannya mereka memang sudah saling mengenal, tapi dia sama sekali tidak mengingatnya.

[Selama kau tidak melakukan aneh-aneh. Kemarilah.]

Tidak ada jawaban selama beberapa saat hingga sebuah ketukan terdengar di pintu kamarnya, membuat Sabo bangkit dari kasurnya dan membuka pintu.

"Kau benar-benar yakin tidak apa-apa? Maksudku—mungkin kau merasa asing denganku?" Ace menyentuh tengkuknya sendiri dan bergerak gelisah, seolah-olah ingin masuk dan bertindak seenaknya namun takut membuat Sabo tidak nyaman dengannya.

Sabo hanya tersenyum melihatnya dan langsung menariknya masuk, lalu menutup pintu. "Aku merasa dekat denganmu, kau tahu? Rasanya seolah-olah sudah menemukan potongan yang hilang. Jadi kau tidak perlu menahan diri seperti itu. Aku hilang ingatan, memang. Tapi aku tetaplah aku."

Pipinya diusap dengan lembut dan hati-hati, lalu Ace langsung membawanya masuk kedalam pelukan dan menghempaskan tubuh mereka berdua ke atas kasur hingga memantul beberapa kali. Tubuh Sabo tetap berada di dalam pelukan hangat Ace ketika pemuda itu menarik selimut dan membungkus tubuhnya seperti kepompong.

"Tidur, Sabo, kau kelelahan."

[Aku tidak bisa tidur… bagaimana jika kau menceritakan lagi tentang masa kecil kita?] Jawab Sabo di pikirannya. Dia merasa nostalgia, tapi dia tidak ingat pernah tidur berpelukan dengan orang lain seperti ini. [Rasanya nyaman, apa kita pernah tidur seperti ini?]

"Kita pernah tidur bertiga bersama Luffy. Sejak kau kabur dari orang tuamu, kita bertiga selalu tidur bersama di rumah pohon kita. Kalau cuaca terlalu dingin, kita diam-diam kembali ke rumah Dadan dan tidur di loteng." Suara Ace tidak terlalu jelas karena dia menempelkan wajahnya di puncak kepala Sabo, tapi dia masih bisa menangkap kalimatnya.

[Apa kau selalu memelukku seerat ini?]

"… kita selalu tidur berpelukan, Sabo." Jawab Ace sambil memeluk Sabo semakin erat. 'Tapi kurasa Luffy yang selalu memeluk kita seerat mungkin dengan lengan karetnya itu.'

Sabo terkikik, lalu mulai memejamkan mata dan meminta Ace melanjutkan ceritanya. [Ceritakan aku tentang buaya yang kau dan aku tangkap, dan bagaimana cara kita memasaknya.]

Dia bisa merasakan Ace tersenyum dibalik helaian rambutnya, lalu pemuda itu mulai bercerita melalui pikiran mereka. 'Awalnya kau hampir jatuh di kolam…'

Keesokan paginya, Koala menemukan bahwa Ace dan Sabo tidur berpelukan erat-erat dengan senyuman terukir di bibir keduanya.

.

.

.

Di suatu tempat di Amazon Lily, Luffy menyemburkan teh yang sedang di minumnya ketika membaca berita tiga hari yang lalu.

"EEEHHH!? ACE?! SABO?!"

.

.

.

END.

.

.

.

Omake.

"Kau tahu, aku tidak ingin tahu apa yang kau katakan pada Dragon-san sampai dia memperbolehkan kita pergi menemui Luffy selama sebulan." Sabo menggumam sambil menyibak daun tanaman didepannya. "Aku juga tidak ingin tahu apa yang kau katakan pada komandan divisi pertama bajak laut Shirohige sampai dia bisa mendapatkan nomer den-den mushi-ku dan mengucapkan selamat."

Dibelakangnya, Ace tersenyum lebar. Dia secara tidak (sengaja) memberitahu rekannya bahwa dia akan pergi menemui tunangannya dan tidak akan kembali selama beberapa saat. Dan sekarang mereka berada di pulau Rusukaina untuk menemui Luffy yang sedang berlatih dibawah bimbingan Silver Rayleigh, mantan tangan kanan raja bajak laut sebelumnya, Gold D Roger.

Terima kasih pada Sabo yang memiliki jaringan informasi yang luas. Kini mereka bisa mengetahui dimana Luffy berada dan keamanan anak itu. (Dan tidak terima kasih pada Dragon yang dengan santainya meminta Ace untuk menyampaikan salam pria tua itu pada adiknya tersayang sebagai ganti karena 'menculik' tangan kanannya.)

Bah! Seperti Ace akan melakukannya saja!

"Hey, menurutmu apa yang akan dilakukannya saat melihatku nanti?"

"Dia anak yang bodoh. Paling-paling dia tidak mengenalimu, kemudian baru menangis setelah kau memberitahu namamu." Ace melambaikan tangan dengan tidak peduli, tapi matanya tetap mengawasi pergerakan Sabo. Mereka hampir mendekati tengah-tengah pulau. Luffy harusnya ada disana bersama dengan Rayleigh.

Mereka kini sudah bisa menggunakan telepati—kemampuan mereka mendengar isi kepala satu sama lainnya—dengan lebih baik. Sabo maupun Ace sekarang bisa berpikir tanpa takut isi pikirannya akan terdengar di kepala yang lain dan menganggu mereka ketika sedang bekerja.

"Wajahku tersebar dimana-mana beberapa bulan yang lalu, Ace. Kurasa dia akan langsung mengenaliku." Sabo kembali menyibak rumput tinggi, kemudian menghilang dibaliknya dan sebuah suara teriakkan mendadak terdengar.

Cepat-cepat Ace menyibak rumput yang menghalangi pengelihatannya. "SABO! APA YANG TERJAD—LUFFY?!"

Yang dipanggil kini sedang melilit tangan karetnya disekitar tubuh Sabo, membuat gadis itu terhuyung. Luffy langsung mendongak ketika mendengar suara Ace, kemudian anak itu langsung berteriak. "WAAAH ADA ACE JUGAA! SABO DATANG BERSAMA ACE KESINI! ASYIKKKK! SABO AKU MERINDUKANMU!"

'Apa kubilang, dia langsung mengenaliku.' Sabo menggumam melewati hubungan mereka. 'Sepertinya Luffy tidak se-dungu yang kau kira.'

Ace memutar mata, tapi membiarkan Sabo menyindirnya. "Lepaskan dia, Lu."

Luffy langsung cemberut, tapi Sabo hanya tertawa dan membalas pelukan Luffy, membuat anak itu tersenyum lebar dan menjulurkan lidah pada Ace. "Bweeek! Tidak mau! Ace sudah bertemu Sabo sebelumnya! Ini gantianku!"

"Haah?! Mana boleh begitu?!"

Tawa Sabo semakin keras mendengarnya, membuat Luffy ikut tertawa tidak lama kemudian. Sedangkan Ace hanya melihat dengan ekspresi terhibur di wajahnya.

Yah, setidaknya mereka semua bahagia bersama.

.

.

.

Real END.