Unexpected Destiny

Rate T

One Piece milik Eiichiro Oda. Author tidak mengambil keuntungan apapun.

WARNING! Typo, OOC, aku mengetik ini dalam keadaan sedikit terburu-buru, jadi mungkin alurnya akan menjadi sangat tidak jelas. Fem!Sabo. Ada OC yang masuk, namanya Jiyu dan Sace.

Jiyu persis dengan Ace saat masih kecil tanpa freckles di wajahnya, (dia mirip dengan Roger versi anak-anak). Sedangkan Sace persis dengan Sabo saat masih kecil dengan tambahan freckles di wajahnya, (dia mirip Rouge versi anak-anak). Mereka kembar pengantin tidak identik.

Oh ya, ini fotonya. Aku ambil dari google. Jika ada yang tahu artistnya, tolong beri tahu aku.

. /Hd4xy4WH5BXyDXyk7

.

Happy Reading!

.

.

.

Hari lain yang tenang di Shin Sekai. Moby Dick tengah berlabuh di sebuah pulau untuk mengisi persediaan kapal. Beberapa kru dan komandan divisi turun untuk menjelajah pulau dan beberapa yang lain kru sedang mengambil waktu untuk bersantai sejenak sambil menjaga kapal.

Bahkan Portgas D Ace, komandan divisi kedua bajak laut Shirohige sedang tidur dengan nyenyaknya sambil bersandar pada pembatas kapal. Semuanya begitu damai, hingga mendadak sebuah benda(?) melayang dan jatuh tepat di atas pangkuan pemuda itu.

"GAHH!"

Sontak semua mata terarah pada asal suara—dimana komandan divisi kedua Shirohige—yang lebih dikenal sebagai Hiken no Ace—yang kini tengah terlonjak bangun dengan dua anak kecil di pangkuannya.

"SIAPA YANG—Oh—siapa kalian? Kenapa kalian bisa ada disini?" Omelan yang tadinya ingin dimuntahkan langsung terhenti begitu saja saat melihat dua anak kecil yang memandangnya penasaran.

Dua anak itu memandang Ace beberapa saat, kemudian bertukar pandang dan seolah-olah menyetujui sesuatu, mereka langsung menyeruduk Ace kedalam pelukan.

"PAPA!"

Semua orang bisa mendengar suara guntur imaginasi yang terdengar di siang bolong saat mendengar panggilan mereka pada Ace.

"HUH—?!"

.

.

.

Edward Newgate yang baru saja naik ke atas kapalnya terdiam melihat adanya dua anak kecil sedang berlarian sambil menyeret salah satu anaknya. Dua anak itu terlihat familiar, tapi dia tidak ingat dimana dia pernah melihat mereka.

"Bocah, apa yang mereka lakukan disini?"

Ace langsung menoleh, begitupun dua anak kecil tadi. Pemuda itu terlihat baru akan membuka suara saat kaki Edward ditabrak pelan.

"KAKEK ED!"

"KAKEK! WAAAH! ADA KAKEK ED! KAKEK ED KEREN SEKALI! "

"Kakek, kakek, gendong!"

Edward mengangkat alis—bingung sekaligus terkejut. Baru kali ini ada yang memanggilnya dengan panggilan intim seperti itu. Dia membungkuk sedikit, kemudian membawa dua anak itu sekaligus kedalam gendongannya.

Dua anak itu tertawa, lalu mulai berceloteh tentang betapa kuatnya Edward dan tingginya pria tua itu. Edward hanya menanggapi dengan tawanya yang biasa, kemudian memerhatikan dua anak itu lekat-lekat dari dekat.

Komandan divisi lain yang baru datang melihat kejadian itu dan tidak bisa menahan rasa penasaran.

"Siapa mereka?"

"Tidak tahu. Mereka tiba-tiba saja jatuh di atas Ace-san saat dia tidur tadi." Salah satu kru Shirohige menjawab. Ace sendiri masih memandang anak-anak itu dengan tatapan tidak percaya.

"Gurararara! Bocah, kalian pintar sekali memujiku! Katakan, siapa nama kalian dan kenapa kalian bisa ada disini?"

"Oh iya! Ini kan bukan dunia kami! Hehehe, namaku Jiyu! Portgas D Jiyu! Dan dia adik kembarku, Portgas D Sace!"

"Salam kenal, kakek Ed! Kami tidak sengaja terlempar kesini setelah membaca buku tua di pojok perpustakaan. Untunglah papa sempat menangkap kami sebelum kami jatuh ke atas kapal! Jadi kami tidak terluka!"

Mendengar nama kedua anak itu, kali ini semua mata tertuju pada Ace.

"Ace-san memiliki anak...? Di usia semuda itu?"

"Bodoh! Jelas-jelas kedua anak itu tadi mengatakan 'ini bukan dunia kami'! Itu artinya mereka anak Ace-san dan isterinya dari dunia lain!"

"Itu sebabnya mereka memanggilnya 'papa' saat pertama kali melihatnya..."

Ace terdiam dengan ekspresi bingung. Dia membuka tutup mulutnya seperti ikan, tapi tetap tidak ada satu kata pun yang keluar.

"Jadi, kalian adalah anak Ace, yoi?"

Dua anak itu menoleh, lalu senyuman mereka bertambah lebar saat melihat Marco.

"Eh, ada paman Marco! Halo, paman! Ah! Ada paman Thatch dan paman Vista juga!"

"Waah! Semua teman papa ada disini! Jiyu, menurutmu apa teman mama juga ada disini?"

"Tidak tahu. Ayo kita tanya kakek Ed saja."

Marco yang diabaikan hanya bisa menghela napas. Anak-anak tetaplah anak-anak.

"Kakek, apa kakek tahu dimana mama sekarang? Apa bibi Koala dan paman Hack juga ada disini?"

"Oh benar juga, apakah kakek Dragon dan buyut Garp juga hidup disini? Sepertinya semua orang yang kita kenal ada disini!"

Kali ini, Ace berhasil mendapatkan suaranya dan langsung berteriak. "Huh?! Apa hubungannya dengan Dragon dan kakek itu?! Kalau kalian memang benar anakku, aku bisa mengerti kenapa kalian dekat dengan oyaji—tapi Dragon dan dia?!"

Jiyu dan Sace sama-sama memiringkan kepala dengan ekspresi polos, "papa bicara apa, sih? Kan mama adalah anak angkatnya kakek Dragon dan kakaknya paman Luffy. Eh, apa disini tidak begitu ya?"

"!" Raut wajah Ace seketika berubah. Tapi anak-anak itu tidak memerhatikannya. Mereka sibuk memandang satu sama lainnya dan berdiskusi.

"Sepertinya begitu. Ini dunia yang berbeda, jadi mungkin saja mama juga diadopsi orang lain."

"Mm.. aku jadi ingin bertemu mama yang disini!"

"Aku juga! Kakek, papa, paman! Apa kalian bisa memertemukan kami dengan mama?"

"Gurararara! Tentu saja bisa!" Shirohige tertawa, kemudian langsung mengiyakan permintaan mereka tanpa basa-basi. Anak-anaknya yang lain bahkan sampai menjatuhkan rahang. Tidak biasanya Edward Newgate bisa menerima permintaan orang lain dengan mudah. "Katakan, siapa nama ibu kalian? Aku juga ingin bertemu dengan calon menantuku! Gurararara!"

"O-oyaji!"

"Mama kami bernama Sabo! Portgas D Sabo!"

Kali ini ekspresi Ace benar-benar berubah menjadi pahit. Tangannya tanpa sadar terangkat dan mengusap tato di lengan kirinya, tepat dimana huruf S dicoret. Dia langsung mengalihkan pandangan dan hanya menjawab dengan satu kalimat. "... kalian tidak bisa bertemu dengannya di dunia ini."

"EEHH? KENAPA?"

Ace tidak menjawab. Sebaliknya dia malah berbalik dan melompat turun dari kapal. Benar-benar menolak menjawab pertanyaan kedua anak itu dan memilih berjalan-jalan di pulau yang mereka singgahi.

"... papa kenapa? Kakek Ed, apa kami melakukan kesalahan?"

"Kenapa papa bilang kalau kita tidak bisa bertemu mama? Kakek, apakah telah terjadi sesuatu pada mama?"

Edward menghembuskan napas, "berikan dia waktu. Dia pasti terkejut dengan kehadiran kalian yang tiba-tiba."

"Ditambah lagi kalian menyebut-nyebut soal 'mama' kalian. Sepertinya Ace belum bisa memercayai ini semua." Thatch mendengus, kemudian menatap Jiyu dan Sace dengan senyuman. "Ngomong-ngomong, apa kalian mau jalan-jalan di pulau? Tadi aku melihat ada penjual permen yang unik. Sekalian menunggu yang lainnya kembali."

"Gurararara! Pergilah! Bocah-bocah kecil, ikutlah bersama Thatch dan bersenang-senanglah! Karena kita akan berlayar selama beberapa minggu!"

"Eeeh!? Kita tidak akan melihat daratan selama berminggu-minggu?"

"Kakekkk! Apa kakek tidak bosan jika tidak menginjak daratan? Tapi lautan memang cantik!"

Edward tertawa, lalu menurunkan mereka di sebelah Thatch. "Itulah pekerjaan bajak laut! Sana, pergilah bersenang-senang! Vista, temani mereka! Jangan sampai mereka hilang!"

Vista mengangguk dan mengulurkan tangan untuk menggandeng mereka, tapi kedua anak itu menolak dan lebih memilih untuk berlarian di sekitar kaki mereka.

"Hehehe! Paman, kami sudah besar! Tidak perlu digandeng seperti anak kecil lagi!"

"Lagi pula kami bisa menjaga diri. Mama sudah mengajarkan kami bela diri, dan papa selalu meminta kami waspada di tempat asing."

Thatch tersenyum lebar, "kalau begitu, jangan jauh-jauh dari paman, ya?"

Jiyu dan Sace ikut tersenyum lebar, lalu memasang hormat. "Siap, paman!"

"Gurararara! Anak-anak yang lucu!" Melihat kejadian itu, Edward tertawa lagi. Kemudian dia melihat Marco di sebelahnya dan bertanya tentang 'mama' yang mereka maksud. "Cari tahu tentang wanita bernama 'Sabo' itu."

"Yoi."

.

.

.

Pulau yang mereka singgahi memang benar-benar memiliki penjual permen yang unik. Ada bermacam-macam bentuk dan warnanya juga berwarna warni. Mata Jiyu dan Sace berbinar menatap kumpulan permen itu.

"Apa kalian mau beberapa?" tanya Vista. Gemas juga melihat tingkah kedua anak kembar itu.

Kepala berbeda warna langsung menoleh kurang dari satu detik. "Eh?! Boleh?!"

"Tentu saja boleh! Kalian mau yang mana? Paman belikan."

"Asyik! Sace mau yang mana? Aku mau yang bentuknya seperti naga!"

"Uhm.. aku yang berbentuk bunga itu saja, yang warna biru!"

Thatch tertawa, lalu berbicara pada penjual dan mengeluarkan uang. "Berikan mereka yang berbentuk naga dan bunga, masing-masing satu."

Setelah mendapat permen yang mereka inginkan, kedua anak itu berlarian sambil bergandengan tangan. Benar-benar terlihat bebas tanpa rasa takut. Padahal mereka sedang berada di dunia asing.

"Jangan lari-lari!"

"Jiyu, Sace, hati-hati!"

"Hehehe! Baik, paman—ugh!"

Baru saja Vista memeringatkan, kedua anak itu sudah menabrak seseorang.

Orang itu memiliki kulit gelap dan rambut hitam mencapai bahunya, jumbai yang terlihat basah dan janggut berbentuk pusaran naik ke atas di dagunya. Dia memiliki mata dengan banyak lingkaran di sekitar pupil, telinga runcing, dan anggota badan yang panjang. Dia juga memiliki lidah panjang yang terlihat mencuat dari antara bibirnya.

"Khehihihi! Lihat apa yang aku temukan! Dua anak kecil yang seenaknya saja menabrak jubah mahalku!"

Jiyu langsung melindungi Sace dibelakang tubuhnya, tapi orang di depan mereka sudah lebih dulu meleleh dan berubah menjadi lumpur di bawah kaki mereka. Tidak lama kemudian, mereka merasa mulai terhisap.

"Jiyu! Sace!"

"Eww! Apa ini?! Jiyu, tolong aku!" Sace berpegangan erat-erat pada lengan saudaranya. Gadis kecil itu nyaris menjerit saat lumpur di bawah kaki mereka mulai merambat naik ke kaki dan tangannya.

"Lumpur ini seperti lumpur hisap! Menjijikkan! Kau ini terbuat dari apa, sih?!"

"Khehihihihi! Ah, anak-anak yang menarik! Aku ingin tahu berapa harga kalian di pasar budak!"

"Lepaskan mereka! Mereka ada dibawah perlindungan bajak laut Shirohige! Beraninya kau menyentuh anak-anak itu!" Vista dan Thatch langsung mengeluarkan senjata, membuat orang yang menangkap Jiyu dan Sace di dalam lumpurnya semakin tertawa.

"Eeh~ apa ini? Komandan bajak laut Shirohige! Khehihihihi! Bounty-ku pasti akan naik lagi jika aku berhasil mengalahkan kalian!"

"Pama—mmhhh! Mmmpph!" Lumpur itu bergerak semakin cepat dan langsung menutup mulut Jiyu dan Sace. Kedua anak itu memberontak, namun tubuh mereka malah terhisap semakin cepat.

"Jiyu! Sace! Kau! Kami akan menghabisimu!"

"Khehihihihi! Sayangnya aku tidak berniat melawan kalian~" Orang itu menjilat bibir, kemudian melebur dan menghilang kedalam kubangan air di dekat mereka. "Selamat tinggal, orang-orang lemah!"

Emosi Vista tersulut. Dia baru saja akan menyerang ketika Thatch menghentikannya. "Hentikan! Kau bisa melukai anak-anak itu!"

"Lalu kita harus membiarkan penculik sialan itu kabur begitu saja?!"

"... dia tidak akan bisa pergi jauh. Kabari kapal dan kita cari di seluruh pulau ini! Bajak laut rookie itu berani juga menantang seluruh kapal Shirohige." Thatch menyeringai, "dan lagi, kurasa ini memang salah kita karena tidak siaga."

Vista berdecak, kemudian mengeluarkan denden mushi dan menghubungi kapal utama.

"Perlukah aku menghubungi Ace juga?"

"Semakin banyak yang mencari mereka, semakin baik. Hubungi dia dan suruh dia ikut mencari 'anak-anak'nya."

.

.

.

Jiyu dan Sace terbangun dibalik jeruji besi. Di sekeliling mereka gelap dan satu-satunya cahaya yang ada berasal dari obor di ujung ruangan. Ada suara ribut yang terdengar, tapi mereka tidak bisa menangkap apapun kecuali teriakan marah dan jeritan sakit.

"Jiyu, kita ada dimana? Tempat apa ini?"

Gelengan menjadi jawaban. Mereka sama-sama baru saja terbangun di tempat asing yang menyeramkan. Seingat mereka berdua, mereka diculik oleh orang dengan kekuatan lumpur yang aneh dan sekarang tiba-tiba saja mereka ada disini. Kedua kaki mereka juga dirantai hingga mereka tidak bisa bergerak dengan bebas.

"Che! Bagaimana bisa anak-anak yang lainnya kabur?! Padahal aku sudah susah payah menculik mereka!"

"Tapi boss, kami juga tidak tahu kenapa mereka bisa tiba-tiba menghilang!"

Suara dobrakan terdengar. Kemudian sosok pria yang menculik mereka terlihat. Ekspresinya terlihat sangat kesal. Saat pria itu melihat ke arah mereka, dia berdecak keras.

"Anak-anak sialan! Aku akan menjual kalian tidak lama lagi. Lihat saja! Akan kubuat hidup kalian sangat menderita!"

Sace memeluk lengan saudaranya, tanpa sadar gemetar. Sedangkan Jiyu menggeram pada pria yang kini menjulurkan lidah dengan menjijikan ke arah mereka. "Lepaskan kami, pak tua sialan!"

Melihat Sace yang gemetaran sambil memeluk lengan saudaranya, pria itu tertawa keras. "Oho~ apa kalian takut, hm~ khehihihihi! Tenanglah! Karena kupastikan tidak akan ada yang bisa menyelamatkan kalian! Khehihihihi!"

"Bajak laut Caribou, pemakan Numa Numa no Mi dengan bounty 210 juta belly. Meningkatkan bounty dengan membunuh angkatan laut dan suka menculik wanita dan anak-anak untuk dijual sebagai budak." Sebuah suara halus terdengar bersama langkah kaki yang semakin mendekat. "Kami sudah melacakmu sejak lama. Dan ini saatnya kau dihentikan."

Caribou menoleh, kemudian menjulurkan lidahnya lagi. Dibelakangnya gelap. Tapi tidak dapat dipungkiri ada sebuah siulet yang terbentuk. "Oho~ siapa kau? Khehihihihi~ dari suaramu, kau seorang wanita. Apa kau datang untuk menyerahkan diri sebagai bu—"

BRAKKK!

Sebelum Caribou bisa menyelesaikan ocehannya, tubuhnya sudah dihantam hingga melubangi dinding. Seketika cahaya dari lubang itu menyinari isi ruangan, juga orang yang memukul pria itu hingga pingsan.

Gadis itu memakai topi tinggi dengan kacamata google yang melingkari topinya. Rambutnya pirang panjang dengan sedikit gelombang. Dia memakai mantel biru, cravat berjumbai, kemeja putih dan rok biru selutut. Kakinya dilapisi oleh sepatu bot berhak warna hitam. Kedua tangannya dilapisi sarung tangan warna coklat dan saat gadis itu mengangkat wajah, ada bekas luka di setengah wajah kirinya.

"Bawa dia dan tinggalkan di depan markas angkatan laut." Pintanya pada orang-orang yang ada di sekitar Caribou. Kemudian dia mengambil kunci yang tergeletak di atas meja dan melangkah mendekati Jiyu dan Sace. "Kalian baik-baik saja? Tenanglah, kami datang untuk membebaskan kalian."

Kedua anak itu melihat wajah gadis itu lekat-lekat dan merasakan perasaan familiar yang sangat kuat. Terutama karena mata biru dan senyum yang memancarkan kehangatan itu.

Jeruji besi dibuka dan rantai di kaki mereka dilepas, kemudian gadis itu membawa mereka berdua kedalam gendongan hangat. "Bisa aku tahu dimana rumah kalian? Aku akan mengantar kalian berdua."

"Ma-mama...?" Gumam Jiyu. Dia tidak percaya gadis yang menyelamatkan mereka itu adalah 'mama' mereka di dunia ini. Lebih lagi, walaupun setengah wajahnya memiliki bekas luka yang cukup mengerikan, 'mama' mereka tetap terlihat keren dan kuat. "Mama?"

Sace juga memikirkan hal yang sama dengan Jiyu. Tapi dia masih ketakutan karena baru saja diculik dan hampir dijual, jadi dia hanya memegang baju penyelamat mereka erat-erat dan menangis. "Hiks... mama... terima kasih... hiks... mama... hueee!"

Kening gadis itu berkerut, tapi dia tidak bertanya karena Sace menangis keras. Sebaliknya, dia memeluk mereka erat dan mengusapkan pipi pada kepala mereka. "Namaku Sabo. Aku dari pasukan revolusioner. Tidak apa-apa, kalian aman sekarang."

Jiyu bergerak dan melingkarkan lengan pada leher Sabo, diam-diam menangis.

Bagaimanapun, sebenarnya dia juga takut.

"Hei, hei, tidak apa-apa. Tenanglah, semua sudah baik-baik saja."

"U-um... terima kasih, mama..." bisik Jiyu. Dia mencoba menghentikan tangisnya dan berbicara. "Ka-kami dari kapal kakek Ed... ta-tadi kami masih ja-jalan-jalan dengan paman Thatch dan paman Vista saat di-dia menculik ka-kami..."

"Ah, kalian dari kapal Shirohige? Mereka pasti khawatir dengan kalian."

Sabo mencoba menurunkan mereka, tapi mereka menolak dan tetap menempel padanya. Terutama Sace yang masih menangis segukkan. "Tidak! Mama! Aku mau bersama mama! Hueee!"

"Tapi aku bukan mama kalian..."

"Mama! Mama tetaplah mama! Tolong jangan tinggalkan kami..." Jiyu ikut memohon. Mereka masih takut dan berada di dalam pelukan Sabo membuat mereka merasa aman.

Gadis itu mendesah, kemudian menoleh pada rekannya yang lain. "Katakan pada Koala untuk mengurus sisanya. Aku akan mengantar anak-anak ini ke Moby Dick."

"Baik, Sabo-san!"

"Nah, anak-anak, siapa nama kalian? Bukankah kalian terlalu kecil untuk ikut di kapal Moby Dick?"

"Portgas D Jiyu, dan adik kembarku, Portgas D Sace."

"Portgas? Nama itu terdengar familiar. Dimana papa kalian?"

Jiyu menggeleng. "Tidak tahu. Tadi papa turun dari kapal dengan ekspresi sedih dan marah."

"Begitukah? Memangnya apa yang terjadi?"

"Mama, sepertinya kami tadi sudah berbuat kesalahan. Kakek Ed juga bilang untuk memberikan papa waktu sendiri. Kami hanya bertanya soal ingin bertemu dengan mama."

Sabo lagi-lagi mendesah, "tapi aku kan bukan mama kalian. Kenapa kalian terus menerus memanggilku mama?"

"Karena mama adalah mama kami!" Jawaban Jiyu sukses membuat Sabo menggelengkan kepala. Dia tidak habis pikir dengan anak kembar tidak identik ini. Bagaimana bisa mereka memanggilnya 'mama'?

Sace yang sejak tadi masih terisak, kini mulai jatuh tertidur digendongan Sabo. Jiyu yang melihat bahwa saudarinya mulai tertidur, mengulurkan tangan dan menghapus bekas tangisan Sace. Kepala mereka berdua jatuh di bahu Sabo, mulai merasa tenang dan mengantuk karena tangisan sebelumnya.

"Mama..."

.

.

.

Edward Newgate baru saja akan ikut turun dan mencari 'cucu-cucu'nya saat Sabo melompat naik ke atas kapalnya.

"Jiyu! Sace!" kru bajak laut Shirohige langsung menyambut. Mereka baru saja akan kembali ribut ketika Sabo mendesis pelan.

"Shh! Mereka tertidur karena lelah menangis. Bisa tolong kecilkan suara kalian?"

Seketika mereka semua menutup mulut dan mulai berbisik-bisik. Beberapa diantaranya mengambil denden mushi dan mulai memberikan kabar pada yang lainnya.

Sabo mengabaikan mereka dan melangkah mendekati Edward Newgate, kemudian membungkuk sedikit. "Maaf karena aku menaiki kapalmu sembarangan, Shirohige-san. Aku disini untuk mengantar mereka."

Marco melangkah mendekat dan mengambil Jiyu kedalam gendongannya. Anak itu menggumam sebentar, kemudian kembali terlelap. "Mmn... mama..."

"Dan siapa kau hingga mengantar cucuku yang diculik sampai kemari?"

"Oh, maafkan aku yang belum memerkenalkan diri. Namaku Sabo, kepala staff pasukan revolusi."

Mendengar nama itu, suara terkesiap terdengar dari para kru. Marco bahkan juga tercengang.

Sabo menilai ini aneh dan melirik ke kanan dan kiri. "Apakah ada yang salah dengan namaku?"

Edward baru saja akan tertawa ketika dia ingat bahwa Jiyu dan Sace sedang tertidur. "Apakah mereka memanggilmu 'mama'?" Tanya pria itu dengan dengusan geli.

"Bagaimana kau bisa tahu?"

Tapi Edward tidak menjawab. Dia hanya mendegus geli dan tersenyum lebar. "Aku akan mengingat wajahmu."

"Huh?"

Marco ikut tertawa kecil. "Aku punya keyakinan bahwa sebentar lagi kau akan bergabung bersama kami."

Sabo ingin bertanya lebih jauh, tapi sepertinya mereka tidak berniat memberinya jawaban. "Uh, baiklah kalau begitu. Aku akan kembali. Boss-ku pasti sudah menunggu laporanku." Dia kembali membungkuk sopan dan memberikan Sace pada salah satu kru yang ada disana. "Tolong sampaikan salamku pada mereka ketika mereka sudah bangun."

"Ayah! Kudengar mereka sudah kembali—" Mendadak suara teriakan terdengar. Saat Sabo menoleh, seorang pemuda berambut hitam dengan pipi berbintik terlihat. Nafas pemuda itu terengah, sepertinya habis berlari. "... kau siapa?"

"Ace, kecilkan suaramu, yoi. Kau tidak lihat 'anak-anak'mu sedang tidur?" Marco menegur. Tapi sepertinya Ace tidak mendengarkannya.

Sabo belum sempat bereaksi ketika pemuda itu berlari ke arahnya dan mencengkram kerahnya. Lebih lagi, kepalanya mendadak pusing dan pandangannya berkunang-kunang saat melihat wajah pemuda bernama Ace itu.

"Siapa kau? Kenapa wajahmu mirip dengannya?" Tanya Ace dengan nada berbahaya.

"Ace! Hentikan! Dia yang mengantar mereka kembali!" Marco langsung menengahi.

Keributan itu membuat kedua anak itu mulai terbangun dan melihat bahwa sang 'papa' sedang mencengkram sang 'mama'.

"Papa? Mama?" Panggil Sace. Gadis kecil itu mengusap mata dan tanpa sadar merentangkan tangan pada Sabo. "Mama. Gendong."

Sabo tidak menjawab. Lebih tepatnya dia tidak mampu menjawab. Kepalanya semakin sakit dan sakit hingga dia menekan kepalanya dengan dua tangan. Rasa-rasanya kepalanya akan pecah dan keseimbangannya goyah.

Hal terakhir yang dilihatnya sebelum penglihatannya menggelap adalah tatapan khawatir pemuda yang tadi mencengkram kerahnya.

.

.

.

"MAMA!" Sace menjerit ketika Sabo jatuh dan Jiyu langsung melompat turun dari gendongan Marco. Ace juga langsung menahan tubuh Sabo agar gadis itu tidak menghantam lantai kapal.

"Papa bodoh! Apa yang kau lakukan pada mama?!"

"Huh?! Aku tidak melakukan apapun!"

"Jelas-jelas kau mencengkram baju mama seperti itu! Papa bodoh!"

"DIA BISA SAJA PENIPU!"

"APA MAKSUDMU MAMA ADALAH PENIPU?! DASAR PAPA BODOH!"

"KARENA SABO SUDAH MATI SEPULUH TAHUN YANG LALU!"

"TIDAK! BUKTINYA MAMA MASIH HIDUP!"

"MANA AKU TAHU KALAU DIA MASIH HIDUP SELAMA INI, DASAR BOCAH!"

"YA ITU SEBABNYA KAU BODOH, DASAR BODOH!"

Pertengkaran mereka menjadi semakin sengit hingga Sace kembali menjerit. "BERHENTIIII! KALIAN BERDUA YANG BODOH! MAMA BUTUH PERTOLONGAN SEKARANG! PANGGIL AMBULANS! PANGGIL PAMAN TORAO!"

Kru bajak laut Shirohige terngangga, sedangkan yang lainnya hanya bisa mendengus—mencoba menahan geli. Tapi situasinya sedang serius, jadi Marco selaku dokter langsung menyuruh Ace membopong Sabo masuk kedalam ruang kesehatan.

Sepeninggal mereka, Jiyu bersedekap. "Papa disini benar-benar bodoh!" Dengusnya kesal. "Awas saja jika nanti dia menempeli mama terus menerus seperti lintah!"

"Oh? Jadi aku tidak boleh menempel pada istriku sendiri?" Sebuah suara yang mendadak terdengar membuat yang lainnya langsung memasang sikap waspada.

Sebuah asap putih bercampur warna pink, merah, ungu dan biru mulai terbentuk di belakang Jiyu. Tidak lama kemudian, asap itu menyebar dan membentuk sebuah lingkaran.

Sosok Ace muncul dari dalam lingkaran itu. Seringai menyebalkan terpasang di bibirnya dan matanya berwarna merah menyala. Pria itu memakai mantel hitam panjang dengan garis-garis merah-hijau di ujung lengannya. "Anak nakal. Kalian membongkar perpustakaan terlarang, ya?"

Jiyu tersenyum canggung, kemudian berlari dan bersembunyi diantara kaki Thatch. "Paman! Tolong aku!"

Tapi Ace hanya memutar jari, kemudian tubuh Jiyu sudah melayang dan terbang ke arah Ace.

"Huaaa! Papa! Papa tidak boleh begitu padaku!" tubuh Jiyu melayang berputar-putar di depan Ace, seolah-olah ada angin yang memermainkan tubuh anak itu.

"Kenapa tidak boleh, hm? Kalian sudah merepotkan orang-orang di dunia ini, tahu?"

"Aaah! Nanti aku adukan mama!"

"Jangan menggunakan mama untuk mengancam papamu, Jiyu. Itu tidak baik." Suara lain terdengar, kemudian seorang wanita berambut pirang muncul dari belakang Ace. Ada kacamata bulat di wajahnya dan matanya berwarna biru terang. Wajahnya terlihat sangat familiar hingga mereka semua sadar bahwa wanita ini mirip dengan Sabo. Tentu saja tanpa bekas luka yang ada di setengah wajahnya.

Wanita itu memakai mantel yang sama dengan Ace. Ditambah tongkat kayu kecil di tangannya.

Kali ini, Sace turun dari gendongan salah satu kru Edward dan berlari kecil dengan tangan terlentang. "Mama!"

"Sace, sayang." Wanita itu membungkuk, menangkap Sace kedalam pelukan, lalu menggendong gadis kecil itu. "Jiyu, kemarilah. Sudah saatnya kalian kembali ke rumah."

Dengan satu gerakan tangan, tubuh Jiyu yang tadinya masih melayang kini berada di dalam pelukan sang mama.

Ace mengedarkan pandangan, kemudian seringainya berubah menjadi senyuman ramah. "Halo, aku minta maaf jika kalian terkejut. Dan aku juga minta maaf karena anak-anak kami yang pasti sudah merepotkan kalian."

"Benar. Ini salah kami karena tidak mengawasi mereka hingga mereka bisa terlempar ke dunia lain dan membuat kekacauan disini." Sabo membungkuk, "maafkan kami."

"Gurarararara! Sama sekali tidak! Aku malah sangat terhibur dan karena bantuan Jiyu dan Sace, sepertinya aku akan segera memiliki menantu!" Shirohige tertawa, kemudian melihat mereka bergantian. "Sepertinya disana kau sudah menemukan kebahagiaanmu ya, Ace."

Pria itu mendengus pelan, "ya. Tentu saja, ayah."

Jawabannya membuat Edward tertegun. Kemudian pria tua itu tersenyum lega. "Baguslah kalau begitu."

"Kalau begitu, sudah saatnya kami kembali. Tidak baik jika kami terlalu lama berada di dunia lain." Sabo menatap Ace, kemudian menatap kedua anak mereka. "Jiyu, Sace, ayo ucapkan salam pada mereka."

"Terima kasih, kakek Ed dan paman-paman! Maaf karena kita tidak bisa bermain lebih lama lagi!"

"Terima kasih, semuanya! Maafkan kami karena sudah membuat kalian semua cemas! Tolong sampaikan salam kami pada papa dan mama! Oh dan paman Marco, dan bibi Koala! Lalu pada kakek Dragon juga! Dan paman Luffy juga!"

"Sace, itu terlalu banyak!"

"Apa sih, Jiyu? Kan kita harus mengucapkan salam pada orang-orang yang kita kenal!"

"Tapi kita belum bertemu bibi Koala dan kakek Dragon disini! Kita juga belum bertemu paman Luffy!"

Sebelum pertengkaran mereka berlanjut, Sabo sudah menengahi mereka. "Sudah-sudah, katakan saja secukupnya. Mereka akan mengerti." Wanita itu mengedarkan pandangan, kemudian tersenyum hangat. "Kalau begitu, selamat tinggal. Terima kasih sudah menjaga anak-anak kami."

Ace memeluk pinggang Sabo, kemudian kembali menyeringai, "selamat tinggal! Titip salam untuk Sabo dan aku yang di dunia ini!"

Setelahnya, asap warna-warni itu kembali menggumpal dan menutup lingkaran yang ada. Kemudian, asap itu menipis dan menghilang begitu saja.

.

.

.

Hal yang pertama kali Sabo lihat saat tersadar adalah wajah khawatir Koala dan pemuda yang membuatnya pingsan.

"Sabo-chan! Kau sudah sadar!"

"Hei, Sab. Demammu tinggi sekali tiga hari ini." Tangan pemuda itu terulur dan menyentuh dahinya. Seolah-olah sedang memastikan bahwa demamnya sudah benar-benar turun.

"Kukira kau akan mati tahu! Aku khawatir!" Koala menangis, kemudian memeluk Sabo erat-erat.

"Maaf membuat kalian khawatir, Koala, ... Ace."

"Eh?"

"Sabo-chan? Kau ingat?"

"Aku ingat. Beberapa masih buram, tapi aku mengingat sebagian besarnya." Sabo menyentuh kepalanya, rasanya sudah sedikit ringan dan ada rasa lega di dalam hatinya. Dia kemudian memandang Ace dengan senyum kecil, "sudah lama ya, Ace. Berapa tahun sejak saat itu? Sepuluh?"

"Sa-sabo...?"

"Ini aku, Ace. Maafkan aku karena tidak mengingat kalian berdua selama ini."

Detik itu juga, Ace melompat dan memeluk Sabo erat-erat. Dia menyembunyikan wajahnya di leher gadis itu dan menghela napas dalam-dalam. "Selamat datang kembali..."

"Aku pulang, Ace."

'Ya, aku akhirnya pulang padamu, Ace. Pulang pada kalian. Rumahku.'

.

.

.

END

A/N;

Aku sedang gila. Aku butuh AceSabo dan anak-anak mereka.

Hahahaha. Terima kasih sudah membaca.