Fate Brings Me Back To You
Rate T
One Piece milik Eiichiro Oda. Author tidak mengambil keuntungan apapun, tujuan author hanya untuk ngasup.
WARNING! Ini Soulmate AU. Soulmate ini berlambangkan Tanda pada pasangan dan Tanda ini baru muncul saat keduanya berusia 18 tahun. Jadi Ace bakal dapet Tanda-nya pas tanggal 20 Maret, karena Sabo juga baru dapet pas ultah dia (tanda soulmate muncul bersamaan). Typo, OOC, Alur Tidak Jelas, Fem!Sabo, BAMF Sabo, ini AceSabo slight MarLa dan (mungkin, MUNGKIN) LawLu. Umur AceSabo disini 20 tahun (AceSabo tidak sengaja bertemu saat Ace sedang bertarung dengan Kurohige di pulau Banaro).
Tempat Tanda mereka berada;
Sabo; leher belakang telinga kanan.
Ace; punggung tangan kanan.
Gambar;
element_our/20190529/ourmid/pngtree-thick-flames-fire-illustration-image_
Koala; pinggang kiri.
Marco; paha dekat pinggul kanan.
Gambar Tanda-nya kayak gini tapi warna biru;
.id/20180504/gbw/kisspng-phoenix-logo-wall-decal-5aecb3752c7a46.
Kurasa hanya itu? Warning tambahan akan muncul seiring cerita. Tidak suka? Tolong tekan tombol kembali. Aku membuat ini hanya untuk bersenang-senang dan menambah persediaan 'makanan'-ku. Terima kasih.
Happy Reading!
.
.
.
Asap membumbung dan bekas kobaran api yang berjatuhan membuat Sabo menoleh—menatap pulau Banaro yang tidak sengaja dilewatinya. Sepertinya ada yang bertarung sengit hingga dari kejauhan pun Sabo dapat melihat kerusakan besar pada pulau itu.
"Karasu, kita turun dulu disana. Aku ingin tahu siapa yang membuat kerusakan seperti itu."
Karasu—nama gagak yang ditunggangi gadis itu—menjawab, "Baiklah. Tapi jangan lama-lama. Kita masih memiliki misi yang harus di selesaikan." Lalu burung itu mengepakkan sayap dan berbelok ke arah pulau yang hampir sepenuhnya hancur itu.
Saat Sabo memerhatikan keadaan pulau itu dari atas, dapat dilihatnya bahwa bangunan-bangunan rusak—hancur berkeping-keping. Ada bekas api yang masih berkobar dan tanahnya hingga membentuk cekungan dalam.
"Siapa yang bertarung hingga seperti ini?"
"Itu bukan urusan kita—oh, kurasa dia yang membuat kerusakan disini." Karasu tiba-tiba terbang turun, kemudian mendarat disamping tubuh seorang pemuda yang berlumuran darah. Ada tatoo bertuliskan ASCE di lengannya dan wajahnya babak belur—penuh luka dan darah yang masih menetes.
Sabo langsung turun dan menyentuh pemuda itu, sedikit mengguncang bahunya, tapi tidak ada respon yang dia dapatkan selain suara napas yang lemah. Gadis itu baru akan menariknya ketika tidak sengaja melihat Tanda soulmate-nya yang ada di punggung tangan kanan. Bergambar kobaran api yang mencolok. Mirip seperti tato, tapi kilauan warnanya membuktikan bahwa itu adalah 'tanda' soulmate.
"... Karasu, Tanda-nya dan Tanda milikku... apakah... apakah itu sama persis?" tanya Sabo dengan nada tidak percaya. Gadis itu langsung menyibak rambutnya hingga memerlihatkan belakang telinga kanannya yang juga memiliki Tanda kobaran api.
Karasu melihatnya bergantian dengan punggung tangan pemuda yang masih pingsan di depan mereka, kemudian dia mengangguk. "Dia soulmatemu. Selamat! Selamat! Selamat! Akhirnya Sabo bertemu dengannya!"
"Tapi dia terluka!" Setelah memastikan, Sabo akhirnya menarik tangan pemuda itu dan memapahnya dari depan. Kemudian dia melompat dan naik kembali ke atas Karasu. "Aku tidak bisa meninggalkannya—maaf, mungkin perjalanan kali ini akan berat untukmu. Tidak apa-apa kan?"
Pria itu tidak menjawab, tapi dia kembali mengepakkan sayapnya dan bersiap untuk terbang.
Sabo bisa merasakan darah dari pemuda di punggungnya menetes membasahi mantelnya, membuat gadis itu mengigit bibir dan menelfon Koala melalui denden mushi.
"Moshi-moshi, Sa-chan, ada apa?" Koala langsung menjawab pada dering ke dua, membuat Sabo sedikit bernapas lega.
"Koala... tolong siapkan obat-obatan dan dokter secepatnya."
"Eh?"
"... aku menemukannya. Akhirnya kami bertemu—dan dia terluka. Darahnya tidak berhenti mengalir—"
"Sa-chan, Sa-chan! Tenang! Dia akan baik-baik saja, oke? Aku akan menyiapkan semuanya. Cepatlah kembali."
"Um, terima kasih.."
Bep bep...
Tanpa menunggu Koala menjawab, Sabo sudah mematikan denden mushinya dan kembali memegang pemuda di belakangnya erat-erat. Ada perasaan familiar yang hadir, tapi Sabo mengabaikannya dan memilih untuk fokus memegang pemuda yang menjadi soulmatenya ini.
Karasu tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk sampai pada kapal Wind Granma. (Pria itu ngebut karena sadar bahwa pemuda yang Sabo gendong sudah dalam keadaan kritis.)
"Sa-chan!" Tepat saat mereka mendarat, Koala langsung menyambut. Dibelakangnya ada dokter dan bangkar.
"Koala—"
"Sini! Hei kalian! Bantu aku memapahnya ke atas bangkar!"
Mereka bergerak cepat. Setelah pemuda itu dirawat oleh dokter mereka, Koala menarik Sabo dan membersihkan tangannya yang penuh darah. "Sa-chan, kau baik?"
Tangan yang dibersihkan Koala bergetar samar, tapi Sabo memasang wajah datar—baik-baik saja. "Tidak apa-apa, aku hanya... sedikit terkejut."
"Dia akan baik-baik saja. Aku yakin soulmate-mu bukan orang yang lemah." Koala menghela napas, kemudian mengeluarkannya dan menepuk punggung Sabo. "Ditambah, dia dari bajak laut Shirohige. Terlihat jelas dari tato di punggungnya."
"... ya." gumam Sabo. Gadis itu menarik napas beberapa kali untuk menenangkan diri, kemudian bertanya tentang misi mereka kali ini. "Bagaimana dengan perkembangannya?"
"Seperti dugaan, mereka mengkorupsi dana rakyat dan membeli senjata ilegal untuk perang."
"Apa kau mendapatkan buktinya?" tanya Sabo sambil melangkah masuk kedalam ruang diskusi. Rekan-rekan mereka yang lain sudah ada disana.
"Belum. Penjagaan disana cukup ketat. Dan sekilas aku melihat anak-anak kecil yang dirantai. Saat aku mencoba mencari tahu, tiba-tiba saja mereka bertambah banyak hingga kami terpaksa mundur."
Sabo mengangguk-angguk, "kalau begitu aku akan pergi sebagai pengalih perhatian. Kau dan Hack harus mendapatkan buktinya—dan kalau bisa, cari tahu tentang anak-anak itu. Yang lain datang sebagai pasukan bala bantuan setelah rahasia mereka terkuak. Jangan gegabah dan lakukan dengan hati-hati."
"Bagaimana jika anak-anak itu hanya jebakan? Kurasa sangat tidak mungkin jika mendadak pasukan mereka bertambah banyak hanya karena ada anak-anak yang terlibat."
"Tapi kita tidak bisa membiarkan mereka! Anak-anak itu pasti ingin pulang. Kita tidak bisa membiarkan mereka menderita dan mati di tempat itu!"
"Koala-kun benar. Tapi memang ini aneh, aku tidak pernah mendengar bahwa mereka juga melakukan perdagangan manusia."
"Tenryuubito Jalmack bisa jadi ada dibalik ini. Walaupun sebagian besar Tenryuubito itu bodoh, tapi Jalmack cukup cerdik dalam menyembunyikan tangan kotornya. Kita harus hati-hati."
"Ya, Sabo-san!"
"Kita berangkat setengah jam lagi. Sebisa mungkin, berpura-puralah tidak mengetahui apapun dan menjadi warga asing yang tersesat. Karasu, tolong cover kami dari atas." Sabo membuka lembar peta yang menggambarkan pulau yang akan mereka masuki, kemudian menunjuk beberapa tempat yang berpotensi menjadi tempat 'barang dagangan' musuh mereka disimpan.
"Apakah kalian sudah mengerti?"
"Sabo-san, pertanyaanku ini diluar tugas kita, tapi bagaimana dengan orang yang kau bawa tadi? Apakah kita akan meninggalkannya sendirian di kapal?"
Sabo terdiam, dia hampir melupakan pemuda itu.
"Tidak apa-apa. Dia terluka parah dan kurasa dengan bius dari dokter, dia akan pingsan seharian. Dia tidak akan bangun sampai kita kembali." Gadis itu menggeleng pelan, "lagipula, dia soulmate-ku. Aku yakin dia tidak akan melakukan hal buruk. Kalaupun itu sampai terjadi, aku yang akan bertanggung jawab."
"Dia—apa?!"
"Soulmate Sabo-san?!"
"Selamat, Sabo-san! Kau sudah menemukannya!"
"Aah, aku jadi iri!"
"Aku juga! Aku juga ingin bertemu soulmate-ku!"
Sabo hanya mampu tertawa kecil menanggapi rekan-rekannya. Di sebelahnya, Koala menepuk bahunya dan tersenyum.
"Baiklah, ayo bersiap dan kita berangkat!"
.
.
.
20 Maret, Baltigo 2 tahun yang lalu.
Baltigo sibuk seperti biasa. Yang berbeda hanyalah waktu makan siang yang biasanya diisi obrolan biasa tentang berita yang baru saja terjadi, kini diisi oleh ucapan selamat ulang tahun untuk Kepala Staff mereka yang kini resmi berusia legal.
Gadis itu tersenyum lebar, mengucapkan terima kasih dan tanpa malu langsung memakan kue ulang tahun yang dibuat koki untuknya. Dia sama sekali tidak memikirkan tanda soulmate-nya yang harusnya muncul di salah satu bagian tubuhnya.
Dia pikir tanda-nya akan muncul di lain waktu saat soulmate-nya sudah berusia 18 tahun (karena dia tidak menemukan tanda apapun saat mandi pagi tadi), tapi pemikiran itu hancur karena Koala mendadak menyibak rambutnya dan menarik lehernya dari belakang.
"Sa-chan! Kau sudah mendapatkan Tanda!" Jeritnya gembira. "Wah—kobaran api yang cantik!"
"H-huh?! Benarkah?! Cermin! Aku ingin lihat!"
Salah satu rekan mereka cepat-cepat masuk kedalam kamar mandi dan mengambil dua cermin, lalu dia memberikan satu pada Sabo dan satunya lagi digunakan untuk melihat bagian belakang telinga Sabo. Letaknya tidak tepat dibelakang telinga, tapi agak sedikit kebawah, mengenai leher dan berada di dekat ujung rahang.
"Letaknya cukup tersembunyi. Pantas saja aku tidak melihatnya tadi." Mata biru Sabo berbinar, menatap Tanda-nya agak lama. "Tanda yang cantik."
"Warnanya sangat cerah! Yaampun, Sa-chan-ku sudah dewasa sekarang!" Koala memeluk Sabo dan kembali menjerit bahagia, mengabaikan fakta bahwa wajah gadis pirang itu penuh dengan remah-remah kue.
"Selamat, Sabo-san!"
Sabo mencoba lepas dari pelukan Koala, kemudian tersenyum lebar sambil menyentuh tempat Tanda-nya terbentuk. "Terima kasih!"
.
.
.
Hening menguasai kapal ketika Sabo kembali setelah berhasil mengecoh para penjaga yang memburunya sejak siang. Gadis itu baru saja akan bertanya apa yang salah ketika Koala keluar dengan wajah cemberut.
"Oh, Sa-chan. Selamat datang kembali! Kami sudah berhasil mendapatkan buktinya dan bukti itu sudah kutaruh di ruang diskusi."
"Baguslah kalau begitu." Balasnya. Lalu dia kembali mengedarkan pandangan dan bertanya dengan heran. "Apakah terjadi sesuatu selama aku pergi?"
"Lebih tepatnya terjadi sesuatu selama kita semua pergi."
Sabo mengangkat sebelah alis—bertanya tanpa suara.
Koala mendesah kasar, kemudian memijat pangkal hidungnya seolah-olah gadis itu sedang stress berat. "Soulmate-mu itu melarikan diri. Dokter mengatakan bahwa pemuda itu langsung melompat turun dari kapal dan berlari memasuki pulau sambil berteriak bahwa ada hal penting yang harus dia selesaikan."
"Sepertinya dia terluka parah karena bertarung dengan Marshall D Teach. Ciri-cirinya mirip dengan orang yang mengaku sebagai komandan divisi dua bajak laut Shirohige—Portgas D Ace. Atau lebih dikenal sebagai Hiken no Ace." Dokter yang dari tadi menunduk mulai menjelaskan analisisnya. "Salah satu rusuknya patah—tapi aku kagum karena dia masih bisa bergerak lincah."
"Komandan divisi dua Shirohige? Yang menolak undangan menjadi Shichibukai dan membalas suratnya dengan kalimat 'Persetan dengan kalian' itu?" Rekan mereka yang lainnya mulai bertanya-tanya.
"Kapten bajak laut Spade yang katanya bertarung melawan Shichibukai Jinbei lima hari lima malam sebelum akhirnya bergabung dengan Shirohige?"
"Dia Hiken no Ace? Soulmate-nya Sa-chan itu Hiken no Ace?!"
Sabo mengerutkan kening, dia pernah mendengar informasinya, tapi dulu dia sama sekali tidak tertarik dengan itu. "Hiken no Ace?"
"Sa-chan! Kau sama sekali tidak tahu?! Dia bajak laut yang suka sekali membuat kekacauan 'loh! Apa lagi adiknya itu, Mugiwara no Luffy! Baru menjadi bajak laut di grand line saja sudah membuat kekacauan di Alabasta dengan mengalahkan salah satu Shichibukai, Crocodile!"
Tanpa sadar Koala sudah mengguncang bahu Sabo. Dia tahu bahwa sahabatnya itu sibuk sebagai Kepala Staff, tapi bukankah keterlaluan jika dia sampai tidak mengetahui berita heboh di luar sana? Lebih lagi, dia itu revolusioner!
"Ko-koala—berhentilah mengguncangku—"
Koala melepaskan tangannya, kemudian mendengus. "Yasudahlah. Suatu saat nanti kalian pasti bertemu kembali. Tapi serius, Sa-chan, kau sama sekali tidak tahu?"
"Aku tahu dari yang lainnya. Tapi aku tidak pernah tertarik untuk mengetahui lebih lanjut."
Rekan-rekan mereka menepuk jidat, begitupun Koala.
"Ini poster buronannya, Sabo-san. Dan yang ini poster adiknya, Mugiwara no Luffy." Salah satu rekan mereka memberikan dua lembar kertas pada Sabo, "mereka dari East Blue. Itu juga tempat asalmu, kan?"
Sabo menatap kertas itu dalam diam. Kerutan di keningnya semakin dalam. Suara di sekitarnya perlahan menjadi semakin jauh hingga dia tidak dapat mendengar apapun lagi. Ada sesuatu yang membuat kepalanya pusing. Bayangan-bayangan dan gambar-gambar buram yang terlihat silih berganti menutupi wajah di kertas buronan yang masih dia pegang.
"Sa-chan?"
Sedetik setelahnya, tubuh Sabo terhuyung jatuh.
"SA-CHAN!"
"SABO-SAN!"
.
.
.
East Blue, 8 tahun yang lalu.
"Hei! Pencuri! Kembalikan barangku!"
"Siapa cepat dia dapat! Ini sekarang milikku!"
Suara umpatan, pencurian, bahkan pembunuhan sudah sering terjadi di wilayah luar tembok yang biasa dijuluki sebagai Grey Terminal. Namun semua itu tidak pernah menghentikan Sabo untuk mengunjunginya. Karena di ujung tempat itu, terdapat hutan rimbun yang berbahaya, tapi juga menyimpan misteri—membuatnya penasaran dengan apa yang ada di baliknya.
Tentu saja rasa penasarannya terus meningkat tiap kali gadis kecil itu menyelinap keluar dari wilayah kerajaan. Tapi rasa penasaran itu sebanding dengan rasa takutnya—dia sadar dia hanyalah seorang gadis kecil yang lemah dan tidak berdaya. Jadi setiap kali Sabo datang mengunjungi Grey Terminal, dia hanya akan membawa tubuh yang ditutupi jubah lusuh dan buku novel yang disukainya. Kemudian dia akan duduk di bawah pohon dimana dia bisa melihat lautan luas dan membaca dengan tenang.
Hingga suatu hari, Sabo mendengar suara gemerisik daun dan melihat seorang anak laki-laki dengan bintik-bintik di wajahnya sedang memandangnya dari balik pohon.
"Hm? Kau siapa?" tanya Sabo, sedikit meningkatkan kewaspadaan.
"Kau—apa yang kau lakukan di wilayahku?"
"Wilayah?"
"Ini wilayahku! Apa yang kau lakukan disini?!" Anak itu menaikkan nada suaranya. Sepertinya dia anak nakal yang hidup di sekitar sini dan baru mengetahui bahwa Sabo selalu duduk disini.
"Membaca buku. Memangnya aku melakukan kejahatan?" Sabo membalas dengan tenang. Toh dia memang tidak membawa apapun selain buku novel yang dipegangnya.
Pipi anak itu memerah, kemudian dia masuk kembali kedalam hutan tanpa mengatakan apapun.
Sabo tidak berniat mengikutinya. Dia tahu jelas bahaya yang akan menantinya jika nekat mengikuti anak aneh itu.
.
.
.
Empat hari kemudian, anak itu mendadak muncul di depan Sabo dengan sepotong pipa besi di tangannya.
"... apa kau penasaran dengan buku ini?" tanya Sabo ketika gadis itu menyadari arah tatapan anak laki-laki yang tidak dia ketahui namanya. "Kau bisa meminjamnya jika mau, tapi jangan dihilangkan. Ini buku kesukaanku."
"Tidak. Kau saja yang bacakan untukku!" Suruhnya seenaknya. "Hm, tapi harus ada harga yang kubayar, benar? Apa yang kau inginkan?"
Sabo berkedip. Dia tidak menyangka akan dimintai tolong dengan sangat tidak sopan. Tapi ini mungkin kesempatan bagus untuk masuk lebih jauh kedalam hutan—karena anak itu terlihat sudah sering keluar masuk dari sana.
"Kalau begitu, temani aku masuk kedalam hutan dan menjelajah." Kemudian Sabo mengulurkan tangan dan tersenyum, "namaku Sabo. Namamu?"
"... Ace. Portgas D Ace." Tangannya disambut setelah anak itu mengusap telapak tangannya pada bajunya yang juga kotor. Tapi toh, Sabo tidak keberatan. Anak ini terlihat jauh lebih baik dari pada anak-anak di kota.
"Ace." Gumam Sabo, "nama yang bagus."
Ace tidak membalas dan hanya menatapnya hingga Sabo merasa bingung. "Kenapa?"
"Tidak. Ayo masuk, hati-hati dengan langkahmu." Anak itu lalu langsung memandunya memasuki hutan yang ternyata tidak semengerikan yang dia kira. (Tentu saja mengabaikan binatang-binatang buas yang mereka temui)
"Kau tinggal di hutan ini? Habisnya, kau terlihat hafal sekali dengan jalan disini. Padahal menurutku semuanya sama saja."
"... kau hanya tidak terbiasa. Aku sudah ada disini sejak bayi."
Setelah mereka masuk agak dalam, anak itu membawa Sabo masuk kedalam celah akar pohon yang diluar dugaan dalamnya cukup lebar. "Sampai mana kau ingin menjelajah?"
"Hm, sepertinya cukup sampai disini dulu. Ace mau kubacakan buku yang mana?"
Kening anak itu mengerut, kemudian mengambil salah satu buku Sabo yang menurutnya menarik. "Ini."
'Kisah penjelajah lautan.' Pikir Sabo. Kisah yang menurutnya sangat menarik—kisah ini juga yang membuatnya memiliki keinginan untuk memasuki hutan dan menjelajah di dalamnya.
"Judulnya Kisah penjelajah lautan." Mulai Sabo, "Lautan sejak dulu menyimpan banyak misteri yang tidak semua orang ketahui..."
.
.
.
Tanpa sadar, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Hubungan mereka tidak lagi sebagai dua orang asing yang saling memanfaatkan dan telah berubah menjadi teman. Terutama ketika Sabo memutuskan untuk kabur dari rumah dan membawa semua bukunya ke tempat persembunyian mereka.
Dia juga belajar bertahan hidup dari Ace, sedangkan anak itu belajar membaca darinya.
Hingga setahun kemudian, anak lain bernama Luffy hadir di tengah-tengah mereka.
Awalnya baik Ace maupun Sabo terganggu akan keberadaannya yang merepotkan—terutama karena anak itu mengetahui tempat persembunyian harta karun mereka. Tapi karena dia sudah membuktikan bahwa dia bisa tutup mulut (dimana anak itu nyaris mati karena dipukuli), mereka membiarkan anak itu mengikuti mereka.
Mereka hidup bertiga dengan bahagia di rumah pohon yang mereka bangun. Menjadi saudara sesumpah dengan minum secangkir sake bersama dan melakukan kenakalan-kenakalan bersama. Saling bahu membahu dan melindungi satu sama lainnya hingga dikenal sebagai tiga pengacau di Grey Terminal.
Sampai tiba-tiba ayah biologisnya menyewa sekelompok bajak laut untuk menyeretnya kembali ke rumah.
Ace dan Luffy dengan mudah dikalahkan dan Sabo akhirnya memilih untuk mengalah—mengorbankan dirinya sendiri agar dua saudaranya bisa tetap hidup.
Dia dikurung di dalam rumah tanpa bisa keluar. Jendela dikunci dan pintu kamarnya dijaga ketat. Ayah-ibu biologisnya sengaja melakukannya (dan menyeretnya kembali ke rumah) agar bisa menikahkannya dengan bangsawan kaya untuk menaikkan reputasi mereka.
Sabo merasa jijik dengan mereka. Hingga kesempatan untuk kabur itu datang.
Kabar menyebar dengan cepat bahwa seorang Tenryuubito akan datang berkunjung ke kerajaan mereka. Grey Terminal akan dibakar habis untuk 'membersihkan' kerajaan dan karenanya penjagaan mereka pada Sabo melemah.
Gadis itu kabur dan berlari kembali ke Grey Terminal, tapi dia tidak bisa menemukan Ace dan Luffy. Dengan pikiran kacau, dia berbalik dan mencuri sebuah kapal untuk berlayar—yang ternyata malah membuat Tenryuubito yang mereka sebut-sebut itu menembaknya hingga terluka parah.
Sabo kira dia akan mati. Tidak, dia seharusnya sudah mati. Tapi nyatanya dia diselamatkan oleh Dragon, Pemimpin Revolusioner. Sayangnya, dia hilang ingatan. Dia tidak mengingat apapun selain keinginan untuk pergi dari kerajaan Goa.
.
.
.
"Sa-chan? Sa-chan? Kau bisa dengar aku?"
Pandangannya buram dan matanya sakit karena sinar. Dia bisa mendengar Koala yang memanggilnya beberapa kali hingga Sabo benar-benar bisa membuka mata.
"Ugh..."
"Sa-chan!"
"Sabo-san!"
"Kepala Staff sudah sadar!"
Kepalanya pusing, tapi dia mencoba untuk duduk dan mencerna apa yang baru saja terjadi. Termasuk 'mimpi'nya barusan.
Baru saja berhasil duduk, Koala sudah memeluknya erat sambil menangis. "Huueee! Sabo-chan! Kau membuatku khawatir! Kukira kau akan mati! Badanmu panas sekali, tahu!"
"... maaf membuatmu khawatir. Sudah berapa lama aku tertidur?"
"Empat hari. Sebenarnya ada apa denganmu?! Kau mendadak pingsan dan demam tinggi seperti itu?!"
Sabo menepuk-nepuk punggung Koala untuk menenangkannya, barulah kemudian dia menjawab. "... Aku ingat semuanya."
"H-huh?"
Hack—yang baru Sabo sadari ada di belakang Koala sejak tadi bersedekap, "Apa maksudmu kau ingat masa lalumu?"
Koala melepaskan pelukannya, kemudian mengusap air matanya dan ikut menatap Sabo. "Ingatanmu sudah kembali?!"
"... un, aku ingat..."
"Bagaimana bisa? Apa yang memicu ingatanmu?"
"... soulmateku mengingatkanku." Balas Sabo, tersenyum lembut sambil mengusap tempat tanda soulmate-nya terbentuk. "Aku mengingatnya, juga adik kami. Impian kami, masa kecil kami. Dan... alasanku ingin pergi dari pulau itu."
Koala menghembuskan napas dengan lega, "begitu... ka-kalau begitu apa kau akan keluar dari sini?!"
"Tidak. Aku akan tetap disini."
Kemudian, barulah Sabo sadar bahwa dia ada di kamarnya di Baltigo, yang artinya mereka sudah kembali dari misi mereka sebelumnya.
"Apa Dragon-san ada di ruangannya? Aku ingin membicarakan sesuatu." Dia menyibak selimut, kemudian nyaris beranjak turun dari ranjang ketika Koala menghentikannya.
"Tidak! Kau bisa menemuinya nanti. Lihat, badanmu masih hangat! Kau masih harus istirahat!"
Koala memegang kedua bahunya erat, kemudian memaksa Sabo untuk kembali berbaring dan membetulkan letak selimutnya.
"Jangan banyak bergerak dan istirahatlah! Kau sudah membuatku sangat khawatir, jangan menambah kekhawatiranku!"
Sabo hanya bisa pasrah. Lagipula, tubuhnya memang masih lemas. "... Baiklah."
.
.
.
Walaupun Sabo sudah menemukan soulmate-nya, tapi tetap saja dia belum bisa menemui pemuda itu karena kesibukannya (terima kasih pada Dragon yang memberinya tugas ini-itu sebelum meminta jatah libur).
Hingga tiga bulan kemudian, barulah dia bisa menemui Ace. Dia dan Koala memakai pakaian santai dan datang menemui komandan divisi Shirohige yang sedang berlabuh di sebuah pulau.
Mereka bajak laut ternama di Shin Sekai, jadi Sabo sama sekali tidak kesulitan dalam menemukan mereka. Hanya bertanya dua kali pada pedagang di pinggir jalan, dan mereka menemukan mereka di dalam sebuah bar. Sedang berpesta—entah merayakan apa.
Di antara sekumpulan manusia itu, Sabo menemukan Ace sedang duduk di kursi bar dengan setumpuk makanan di depannya. Di sebelah kanannya, ada komandan divisi pertama, Marco si Phoenix.
"Sa-chan, aku hanya akan menemanimu sampai sini. Setelah ini aku akan kembali dan kau bisa menghubungiku kalau terjadi sesuatu, oke?" ujar Koala, lalu menarik tangannya dan duduk berjarak dua kursi dari Ace.
Sabo tertawa kecil dan melepas topinya, membiarkan wajahnya terlihat secara jelas. "Baiklah, aku akan mengubungimu nanti." Gadis itu kemudian duduk di sebelah kanan Koala, berjarak satu kursi dari Ace yang tidak memedulikan mereka dan tetap sibuk dengan makanannya.
Mereka memesan minuman ringan, kemudian duduk diam dan menikmati pesanan mereka hingga Koala menyenggolnya untuk segera mengatakan pada Ace.
"... Cara makanmu masih sama seperti dulu. Sama sekali tidak berubah, huh? Dan mengingat kejadian tiga bulan yang lalu, aku yakin kau juga masih sama cerobohnya seperti Luffy."
Ace langsung berhenti makan, kemudian meliriknya tajam. Sabo yakin itu karena dia menyebut nama Luffy. Ace yang sekarang ini... terlihat lebih menyayangi Luffy daripada saat mereka masih kecil.
"Padahal kau dulu sering sekali mengatainya bodoh dan ceroboh. Lihat siapa yang juga menjadi bodoh dan ceroboh disini."
Kali ini Ace menoleh dan menatapnya terang-terangan dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Tapi Sabo tidak berhenti.
"Dan juga melihat bagaimana caramu bergabung dengan Shirohige, aku tahu kau benar-benar bodoh. Kenapa dari semua orang, kau pergi melawannya? Masih ada lebih banyak cara untuk membuktikan kau lebih baik dari pada orang itu."
Koala mendengus geli dan Marco ketara sekali ikut menoleh ke arah mereka dengan ekspresi penasaran. Tidak banyak orang yang tahu bagaimana cara Ace bergabung dengan Shirohige, jadi mereka pasti terkejut.
Ace menggeram, "siapa kau?"
Sabo mengangkat bahu, kemudian meminum minumannya dan tersenyum sekilas sebelum meletakkan bayarannya. Saat dia berbalik, Ace tidak sengaja melihat Tanda-nya yang ada di leher belakang telinga. Matanya otomatis melotot dan dia baru saja akan berteriak ketika gadis itu sudah pergi meninggalkan bar.
"HAH—HEI! TUNGGU!"
"Ace, ada apa yoi?" Marco yang sedari tadi diam dan mendengarkan langsung mencegah Ace yang ingin pergi mengikuti gadis itu. Tapi Ace tidak mendengarkannya dan tetap pergi menyusul gadis pirang yang sudah sukses membuat amarah pemuda itu naik.
Marco menghela napas, tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Ace. Gadis lain yang tadi masuk bersama sang gadis pirang tertawa kecil melihatnya.
"Biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka. Kurasa kau tidak perlu terlalu ikut campur, komandan." Ujar Koala. Gadis itu tetap meminum minumannya dengan tenang dan duduk dengan santai. Dia yakin Sabo akan baik-baik saja. "Mereka akan baik-baik saja."
"Dan bagaimana caramu mengetahuinya, yoi?"
"Katakanlah... karena mereka berdua sudah saling mengenal dan sudah dihubungkan oleh takdir."
Alis berkerut. Tapi Marco tidak mengatakan apa-apa lagi. Sepertinya dia memutuskan untuk memercayai Koala.
Setelah menghabisakan minumannya dan meletakkan bayaran di sebelah gelas kosong Sabo, Koala bangkit dan melambai singkat. "Kalau begitu, sampai jumpa lagi, komandan."
"Tunggu. Kau mau pergi menyusul mereka, yoi?"
Koala menoleh sedikit, "Aku hanya akan melihat sebentar, kemudian kembali pada pekerjaanku."
"Aku ikut, yoi. Jujur saja aku tidak mempercayai kalian."
"... silahkan kalau begitu."
.
.
.
Sabo melirik, kemudian menyeringai saat mengetahui bahwa Ace mengejarnya dengan terburu dari arah belakang. Dia dengan sengaja mengarahkannya ke arah barat, tempat dimana pantai yang berada dan jauh dari kerumunan manusia.
"HEI! TUNGGU!"
Tepat saat dia menginjak pasir pantai, bahunya di tarik dan tubuhnya dipaksa berbalik.
"KAU!"
"Iya?" tanya Sabo dengan senyuman menyebalkan. "Ouch, kasar sekali. Pelan-pelan, Ace. Aku tidak akan hilang."
Pemuda itu malah menarik kerah baju Sabo dengan tatapan marah, sedih, dan tidak percaya yang bercampur aduk. "Siapa kau sebenarnya? Kenapa wajahmu mirip dengannya?"
"Aku—"
"Aku tidak peduli kalau kau soulmateku. Beraninya kau mengambil wajah miliknya!"
"Woah, tenang, Ace. Kulihat sumbumu pendek sekali. Lepaskan aku dan kita bicara, oke? Bukan tanpa alasan aku baru menemuimu lagi sekarang." Sabo mengangkat kedua tangan, kemudian senyumnya berubah menjadi senyum kekalahan. "Lepaskan, ya?"
Ace berdecak, kemudian melepaskan cengkramannya pada kemeja Sabo. "Katakan! Siapa kau?!"
"Sabo."
"Bohong! Dia sudah mati! Aku melihatnya sendiri!" pemuda itu baru saja akan mencengkram Sabo lagi (atau mungkin mencekiknya) ketika Sabo menahan tangannya.
"Dengarkan aku dulu." Setelah memastikan bahwa Ace akan mendengarkannya, barulah Sabo kembali membuka suara. "Aku belum mati. Saat itu aku hanya terluka parah—lebih tepatnya sedang di ambang kematian saat pasukan revolusioner menyelamatkanku."
Kali ini Ace terdiam dan sama sekali tidak memberontak. Terutama ketika Sabo mengangkat rambut yang menutupi sebagian wajahnya dan memerlihatkan bekas luka mengerikan di setengah wajah kirinya.
"Tapi tentu saja tidak ada yang selamat tanpa bekas luka dalam." Sabo mendesah, "aku amnesia, Ace. Itu sebabnya aku tidak kembali. Bahkan aku tidak mengingat namaku sendiri—mereka saja mengetahui namaku dari baju yang kupakai."
"Aku tidak percaya." Gumam Ace, membuat Sabo lagi-lagi mendesah berat. "Dogra bilang, dari sudut tembakan, mustahil kau selamat."
"... Ace ingat tidak, pertemuan pertama kita? Saat itu aku sedang membaca buku ketika tiba-tiba saja kau muncul." Pembicaraan mendadak melenceng jauh, tapi Sabo tersenyum lembut. Terutama ketika dia ikut mengingat saat-saat mereka berjumpa pertama kali.
"!"
"Kita saling memanfaatkan pada awalnya. Aku butuh orang untuk melindungiku dari bahaya di hutan dan kau ingin tahu apa isi buku-ku. Tapi lama kelamaan kita malah berteman—bahkan menjadi saudara sesumpah bersama Luffy."
"Kisah itu... Sa-sabo...? Kau benar-benar Sabo?"
"Ini aku, Ace. Aku kembali."
"... jadi... kau masih hidup...? Kau bilang hilang ingatan... la-lalu bagaimana caramu mengingatku?!"
"Hm, terima kasih pada seseorang yang terluka parah tiga bulan yang lalu di pulau Banaro dan kabur setelah diberi perawatan." Sabo tertawa kecil, lalu menatap Ace lurus-lurus. "Aku mengingatnya kembali setelah melihat wajahmu."
Ace terlihat bingung beberapa saat, kemudian berteriak tepat di depan wajah Sabo. "HUH?! YANG MEMBAWAKU PERGI SAAT ITU—ITU KAU?!"
Sabo mundur beberapa langkah—demi apapun, napas Ace bau daging. "Ace! Jangan berteriak di depan wajahku!"
"Lupakan itu! Itu benar-benar kau?!"
"Mn-hm. Aku juga tahu kita soulmate saat menyelamatkanmu. Sayangnya kau kabur sebelum aku kembali dari misi." Rambut disibak dan Sabo memiringkan kepala, menunjukkan Tanda api di belakang telinga kanannya. Tanda yang sama persis dengan milik Ace di punggung tangan kanan pemuda itu.
Ace mengacak-acak rambutnya sendiri, mengerang. "Saat itu aku harus memastikan bahwa si brengsek Kurohige itu terbunuh. Kalau tahu kau yang menyelamatkanku, aku akan tetap diam disana dan menunggumu!"
"Hahahaha, sebenarnya saat aku menyelamatkanmu, aku tidak bisa melihat wajahmu secara jelas. Dan aku butuh waktu empat hari penuh untuk mengingat kalian berdua setelah melihat kertas buronan kalian." Sabo mengusap tengkuknya dengan canggung, benar-benar merasa bersalah karena tidak bisa mengingat lebih cepat. "Ace, aku—"
Perkataannya terputus karena tubuhnya sudah ditarik masuk kedalam pelukan erat. Kepala Ace menunduk dan bersandar pada bahu kanannya, semakin lama bergerak semakin dekat dengan Tanda-nya. "... aku senang kau selamat... aku sangat bersyukur..."
Sabo terdiam beberapa detik, kemudian membalas pelukan Ace tidak kalah eratnya. "Aku juga, Ace. Tahukah kau bahwa jantungku hampir berhenti ketika melihatmu terluka parah seperti itu?"
"... mmn."
Mereka berpelukan beberapa saat hingga Ace melepaskannya dan beralih menangkup kedua pipi Sabo.
"Ha-he?" (Ace?)
Chu~
"Hmmphnn—" tubuh Sabo menegang ketika bibir mereka tiba-tiba bertemu. Matanya otomatis terpejam dan dia dapat merasakan bahwa Ace beralih menarik pinggang dan tengkuknya. Lidah pemuda itu dengan lihai menjilat bibir Sabo dan mengigitnya gemas hingga Sabo mendesah. "Hmmn—ah! Ummh..."
Saliva tumpah di sudut bibir ketika Sabo tidak sengaja membuka bibir dan membiarkan lidah Ace masuk dan bermain dengan lidahnya sendiri. Saling membelit, bertukar saliva dan menjelajahi rongga mulut lawannya.
Setelah puas membuat kaki Sabo melemas dan dagunya basah, barulah Ace melepaskan bibirnya. Pemuda itu menyeringai senang dan mencium pipi Sabo, kemudian kembali memeluknya erat-erat.
"Haah... haah... Ace... bisakah kau tidak menciumku tiba-tiba seperti itu?"
"Tidak." Balas Ace kelewat cepat. Pelukannya semakin erat hingga Sabo merasa tulangnya akan remuk. "Dua tahun aku penasaran, siapa yang menjadi soulmate-ku. Dan sekarang aku menemukannya."
"... maaf, bukan maksudku untuk lupa selama itu."
"Bukan salahmu. Lagipula, aku senang kau masih hidup."
"... um."
"Sabo, ikutlah denganku ke Moby Dick. Bergabunglah bersama kami—"
"Aku tidak bisa."
Jawaban Sabo membuat Ace melepaskan pelukannya dan menatap Sabo penuh pertanyaan.
"Aku tidak bisa ikut denganmu. Karena aku adalah Kepala Staff Pasukan Revolusi. Mana mungkin aku meninggalkan tugasku 'kan?"
"... kau menjadi revolusioner?"
"Mn-hm. Kalau aku jadi bajak laut, kau pasti sudah memburuku sejak lama. Lagipula, aku bahkan tidak ingat bahwa pernah bercita-cita menjadi bajak laut." Sabo gantian menangkup kedua pipi Ace ketika melihat tatapan tidak percaya pemuda itu. Nada suaranya mendadak berubah menjadi kesal. "Apa-apaan tatapan itu? Kau meragukanku? Aku tidak menghabiskan delapan tahun dengan berdiam diri, tahu? Aku yakin sekarang aku lebih kuat darimu."
Ace balas mengenggam pergelangan tangan Sabo dan menyeringai, "Hah! Coba saja! kita lihat seberapa kuatnya kau sekarang!"
Sabo ikut menyeringai.
Sedetik kemudian, mereka sudah saling menyerang hingga pantai menjadi kacau dan penuh bekas pertarungan.
Dari kejauhan, Koala menatap sparring dadakan mereka dengan senyuman di bibirnya. "Sepertinya mereka baik-baik saja."
Marco di sebelahnya mendengus dan melipat tangan, ekspresinya bingung. "Mereka baru saja berciuman dan berpelukan... lalu bertarung? Yoi?"
"Aku yakin itu hanya sparring biasa, komandan. Kau tidak perlu terlalu khawatir."
"... kurasa begitu."
"Kalau begitu, aku pergi sekarang. Pastikan dia mengantar Sa-chan pulang dengan selamat! Sampai jumpa!"
"Oh... ya, sampai jumpa, yoi." Balas Marco, menatap punggung gadis itu hingga hilang di balik pohon dan kembali memperhatikan Ace dan gadis yang dipanggil Sa-chan itu.
.
.
.
Pipi berbintik diusap, kemudian anak rambut hitam di sisir kebalik telinga. Napas mereka bertabrakan dan Sabo bisa merasakan bahwa pipinya memerah.
Tadi setelah selesai sparring (dimana Sabo benar-benar menang telak), mereka bertemu dengan komandan divisi pertama dan Ace mengatakan bahwa dia akan bersama Sabo untuk beberapa saat kedepan. Kemudian mereka menyewa satu kamar di penginapan, makan dan mandi bersama sebelum jatuh kedalam hasrat seksual.
Mereka melakukannya semalaman dan Sabo bahkan masih bisa merasakan panas dari benda yang masih ada di dalam tubuhnya itu.
Tangannya tiba-tiba ditangkap dan suara serak Ace menambah merah pada pipinya. "Mnn... Sabo... tidak tidur?"
"Belum terlalu mengantuk. Tidurlah lagi, Ace. Aku tidak akan kemana-mana."
"Hm..." Ace kemudian bergerak dan berpindah hingga Sabo kini berada di atas dada bidang yang keras. Lengan hangat mengelilingi tubuhnya yang penuh tanda kemerahan dan detak jantung Ace yang teratur membuat Sabo menjadi rileks. "Tidurlah, nanti kita pergi menemui Luffy..."
Sebuah ciuman sampai pada puncak kepalanya disertai gumaman selamat tidur, cukup membuat Sabo ikut mengantuk.
"Selamat malam, Ace. Aku mencintaimu."
"Mm... malam, Sabo... aku lebih... hm... cinta..."
Sabo tertawa tanpa suara, kemudian menyamankan diri dan ikut terlelap bersama Ace.
.
.
.
END.
Omake.
"Dimana Ace?" Tanya Edward Newgate ketika tidak melihat salah satu anak bandelnya.
Yang lain berpandang-pandangan, sama-sama tidak tahu. Hingga Marco tertawa canggung dan mengatakan hal yang dia tahu.
"Dia bertemu soulmate-nya kemarin. Dan kurasa mereka sekarang sedang berduaan?"
"Oh! Jangan-jangan gadis pirang yang kemarin ada di bar?!" Haruta tiba-tiba memekik. "Aku ingat kemarin ada dua gadis yang masuk begitu saja. Karena aku tidak merasakan adanya ancaman, aku membiarkan saja."
Semuanya langsung heboh.
Izo bahkan pura-pura mengusap air mata. "Ah, anak itu sudah dewasa."
Edward Newgate tertawa, "Gurararara! Marco, hubungi dia dan suruh dia membawa menantuku kesini saat dia kembali nanti."
"Yoi,"
.
.
.
Real End.
A/n;
AKHIRNYA SOULMATE AU-KU KELAR, YESH! HEHEHEHEHEHE~
Kutaruh di M (padahal awalnya mau kutaruh T) karena ada ehembagianyangagakvulgarehem.
MarLa cuman sepintas. LawLu gaada. Niatku ingin kubuat mereka bertemu di usia 22 tahun, jadi LawLu juga bisa muncul. Tapi kupikir-pikir lagi itu akan sangat... lama dan aku bingung harus berbuat apa dalam waktu dua tahun itu.
Lagipula, bagaimana MarLa saling tahu bahwa mereka soulmate, kalau tanda mereka sama-sama ada di tempat yang cukup tersembunyi? Masa aku membuat mereka tidak sengaja membuka baju? Kan... hem... sekali.
Yasudahlah. Fokus disini kan AceSabo. Kapan-kapan saja kalau aku mood dan punya ide lagi, aku akan buat LawLu dan MarLa. Nggak janji ya. Aku tukang php soalnya wkwkwk.
Dadah, makasih sudah baca dan jangan lupa jaga kesehatan ya!
Ketemu lagi di next story! AceSabo PWP let's go!
