Fate Brought Me Here To Save You

Rate T

One Piece milik Eiichiro Oda. Author tidak mengambil keuntungan apapun selain untuk ngasup.

WARNING! Fem!Sabo karena aku maunya dia jadi cewek buat melengkapi Ace/dipukul. OOC, Typo, BAMF Sabo, Alur gak jelas, AceSabo vs Kurohige tapi ada Sabo vs Kurohige karena Ace babak belur dan nyaris pingsan.

Aku mulai bikin ini di tengah malam—jam dua dini hari lebih tepatnya—hanya karena aku butuh asupan AceFem!Sabo. Ngetik dengan kondisi setengah halu setengah mata merem tapi dari pada tidur tetep nekat ngetik hahahaha. Jadi maaf kalo bener-bener ancur. Terutama aku payah dalam bikin aksi.

Happy Reading!

.

.

.

Setelah pencarian panjang selama bertahun-tahun, akhirnya Ace menemukan Marshall D Teach—atau lebih sering dikenal dengan nama Kurohige—yang sedang minum-minum bersama kru-nya di pulau Banaro.

Dengan cepat amarahnya naik. Melihat mantan bawahannya itu tertawa keras tanpa beban membuatnya muak. Bagaimana bisa dia membunuh rekannya sendiri? Tidak sampai disana, dia bahkan mencuri dan mengkhianati ayahnya!

Tanpa ragu, Ace langsung menyerangnya dengan tinju api bersama dengan kru-nya saat mereka baru saja menghancurkan sebuah bar. Dia menghancurkan bangunan hingga rata dengan tanah dan bisa saja membunuh orang tidak bersalah. Tapi persetan dengan itu! Tujuannya sekarang hanyalah membunuh Kurohige dan membalaskan dendam Thatch.

Awalnya Kurohige terlihat terdesak. Beberapa kali dia bahkan memekik kesakitan. Teman-temannya sudah melarikan diri sejak mereka gagal menembak Ace. Yang lain berusaha melawannya beberapa saat—bahkan ada yang melemparinya dengan gedung hotel—tapi itu tidak bertahan lama dan mereka semua lari terbirit-birit saat Ace menghancurkan serangan mereka dengan mudah.

"Teman-temanmu lari. Benar-benar pengkhianat, sama sepertimu."

Ace berdiri ditengah-tengah kobaran apinya, sedangkan Kurohige tersungkur di tanah. Dia baru saja akan melangkah mendekat saat Kurohige tertawa.

"Mereka bukan pengkhianat! Mereka lari karena tidak ingin mati!"

Pria gemuk itu berguling, mematikan api yang masih tersisa di tubuhnya dan menyeringai lebar. "Dengan ini, aku akan menjadi yang terkuat!"

"..."

"Lihat ini! Bahkan di antara logia lainnya, ini sangat unik!" Kurohige berdiri dan mengepalkan tangan, lalu membuat pusaran hitam. Tekniknya terlihat mirip dengan pilar api milik Ace, hanya saja ini berwarna hitam dan tidak terlihat bisa menghancurkan sekitarnya. (Terlihat dari tanah di sekitar Kurohige yang sama sekali tidak rusak). "Ace, tubuhmu api kan?"

Pilar hitam itu bergerak naik dan mulai menutupi matahari, lalu Kurohige membuka kedua lengannya dengan tatapan sombong. "Aku adalah kegelapan! Hahahahahaha!"

Ace masih diam di tempatnya, memperhatikan dengan tajam. "Kegelapan?"

"Benar sekali, komandan Ace! Aku tidak bisa dibunuh olehmu! Dari semua buah setan yang tercatat dalam sejarah, kekuatan yang satu ini dikenal sebagai yang paling jahat dari mereka semua!" Kali ini seringai lebar terbentuk. Suaranya semakin keras dan terdengar menyebalkan sekaligus merendahkan, "Tipe Logia, Yami-yami no mi! Aku adalah manusia kegelapan! Aku akan menunjukkan kekuatan ini padamu dan aku akan mengalahkanmu!"

"Hmph," kini gantian Ace yang tersenyum miring, "lakukan sesukamu."

Kurohige malah menyeringai semakin lebar. Nyaris terlihat seperti orang gila dengan obsesi yang berlebihan. Bayangan hitam mulai menyebar dan meluas dibawah kakinya, memenuhi seisi kota. Masuk kedalam bawah bangunan dan bergerak liar seperti air seolah-olah ingin menyerap seisi kota kedalam lubang hitam.

"Khehehehehe, kegelapan adalah gravitasi! Kekuatan yang menyeret segala hal! Dan kekuatan ini menjaga seluruh cahaya untuk tetap padam! Gravitasi yang tidak terbatas!"

"Meskipun begitu, itu sepertinya tidak mencapaiku." Balas Ace dengan tenang. Bayangan hitam itu mengalir kemana-mana, tapi tetap tidak mengenainya. Bahkan tidak mencapai kakinya.

"Masih belum, Hiken no Ace. Aku masih belum mengincarmu."

Kurohige berbalik dan mengangkat tangannya, tersenyum penuh kemenangan, "berdiri saja dan lihat kota ini."

CRAK!

BRAK!

CRAK!

CRASH!

Ace mengangkat kepala, melihat bangunan di sekitarnya mulai retak dan tenggelam perlahan-lahan kedalam bayangan hitam dibawah Kurohige.

"Gravitasi kegelapan, memadatkan setiap benda dengan kekuatannya yang tak terbatas dan menghancurkannya!" Setelah bangunan-bangunan kota rusak dan tenggelam, bayangan itu kembali ke Kurohige, meninggalkan tanah kosong seolah-olah tidak pernah ada bangunan di atasnya.

"Sekarang aku akan menunjukkannya padamu... apa jadinya kota ini!" Pilar hitam kembali muncul dari punggung Kurohige, lalu bangunan yang sebelumnya sudah terserap kedalamnya mendadak keluar, jatuh ke sekitar mereka dalam keadaan sepenuhnya hancur. "Wahahahahahaha! Sekarang kau mengerti kan, Ace?! Inilah kekuatan yang aku dapatkan!"

Ace merasa dirinya sudah cukup melihat pertunjukan kejam Kurohige. Jadi tanpa basa basi lagi dia menciptakan kunang-kunang untuk mengelilingi Kurohige dan mengubah mereka menjadi boneka api dalam sekejap.

Pria itu berteriak, lagi-lagi terbakar hingga dia harus berguling-guling di tanah.

"Aku mengerti betapa hebatnya kekuatan kegelapan itu. Tapi ini sungguh aneh. Kalau kau logia, harusnya kau bisa menghindari serangan itu."

Bayangan gelap bergerak naik dan mematikan api yang membakar Kurohige. Pria itu menarik nafas, terengah-engah. "Bukankah sudah kukatakan padamu... kegelapan akan menghisap segalanya. Peluru, pedang, api dan bahkan petir. Aku tidak bisa menghindari serangan seperti apa yang kau lakukan, tubuhku mendapat kesakitan seperti manusia biasa!"

Kurohige mengangkat tubuhnya sendiri, berdiri dengan seringai gila. "Tapi sebagai ganti resikonya, ada satu hal yang dapat aku serap!"

Telapak tangan diarahkan pada Ace disertai bayangan gelap yang mulai mengelilinginya, "gravitasi kegelapan secara akurat dapat menyerap 'tubuh' pengguna buah setan!"

DEG!

Tubuh Ace tiba-tiba tertarik. Tidak terlalu kuat, tapi mampu membuat topi Ace terbang dan kakinya refleks menahan dirinya di tempat kuat-kuat. "Gravitasi..?"

"Khehehehe, lalu, tubuhku bisa..!"

Tanpa Ace sadari, Kurohige sudah ada di depannya dan mencengkram bahunya sambil menyeringai lebar.

"!"

"Bagaimana, Ace? Apa kau sudah memprediksi ini?"

"Tidak mungkin-!"

Belum sempat Ace bereaksi, perutnya sudah dihantam hingga tubuhnya terlempar beberapa meter dan menabrak tumpukan kayu. Rasa besi yang tajam ada di mulutnya, dan Ace merasa seluruh tubuhnya lemas tidak bertenaga. Dia mencoba bangkit hanya untuk kembali jatuh.

"Sepertinya sudah lama sejak seseorang memukulmu kan? Ace." Bayangan hitam terbentuk dan terbang seolah-olah berubah bentuk menjadi asap di belakang Kurohige. Pria itu menyeringai senang saat melihat pukulannya yang telak melukai Ace. "Apa kau sudah mengerti sejak aku berhasil menyentuh bahumu?"

Ace mengusap bibirnya yang basah, melihat darahnya ada di tangannya. Dia tidak percaya hal ini bisa terjadi. Ini benar-benar diluar dugaannya.

"Hal lain yang bisa kegelapanku serap adalah kekuatan buah setan itu sendiri! Dengan kata lain, dengan menyentuhnya, mereka tidak bisa menggunakan kemampuan buah setan mereka pada saat itu!"

"..."

"Logia, Zoan, Paramecia, kekuatanku memungkinkanku menyegel kekuatan mereka! Karena aku punya kekuatan yang tidak dapat dihentikan!"

Decihan dikeluarkan dan Ace mencoba bangkit sekali lagi. Kali ini dia tidak akan bermain-main. "Jadi itu tidak masalah kalau aku tidak tertangkap."

"Aku sudah membuktikan bahwa kamu tidak bisa lari dari gravitasi kegelapan!" Tangan Kurohige kembali terangkat dan tubuh Ace lagi-lagi tertarik. Kali ini tarikannya lebih kuat hingga Ace tidak bisa menghindar. Dia hanya bisa balas menyerang dengan kedua tombak apinya.

Tapi walaupun tombak apinya sudah menembus tubuh Kurohige, pria itu masih sempat memukul leher Ace hingga terlempar sebelum kembali terbakar api.

BRUAGH!

"Sial! Tombak api?!"

Ace meludahkan darah dan memegangi lehernya. Seluruh tubuhnya menjerit sakit—mengingat dia tidak pernah terkena serangan sejak beberapa tahun. 'Dia hampir mematahkan leherku. Kemampuannya itu sangat berbahaya.'

Melihat Kurohige memegang tombak api yang masih melubangi tubuhnya, Ace langsung menyerang lagi dengan lintasan api miliknya.

Anehnya, Kurohige masih sempat-sempatnya menyeringai sebelum ledakan terjadi.

"Khahahahaha!" tawa Kurohige terdengar, penuh kesombongan.

Saat debu dari pertarungan mulai menghilang, sosok Ace sudah nyaris jatuh sepenuhnya. Nafasnya terengah, benar-benar kehabisan tenaga.

"Segalanya tidak berguna di hadapan kegelapan! Bahkan dengan kekuatanmu itu, itu sama sekali tidak berguna melawanku! Hahahahaha!"

"Begitukah?"

Seseorang mendadak muncul dari atas dan mendarat di depan Ace. Tubuhnya tertutup jubah warna hitam. Tapi dari suaranya, sudah jelas bahwa orang yang kini berdiri di depan Ace adalah seorang wanita.

"Tidak kusangka Ace bisa sampai babak belur begini. Kalau diteruskan, kamu bisa mati loh." Sosok itu sedikit menoleh, memperlihatkan sedikit rambut pirang di pipinya.

Ace ingin membalas perkataannya. Tapi seluruh tubuhnya sakit, termasuk paru-parunya. Kesadarannya nyaris menghilang karena luka di kepalanya.

"Khehehehe! Sepertinya kau sudah kehabisan tenaga ya? Ace."

Sosok berjubah itu melirik Kurohige sebelum berjalan mendekati Ace. Tanpa disangka langsung memukul tengkuknya hingga dia benar-benar kehilangan kesadaran.

'Sial... siapa dia...?'

.

.

.

Firasat buruk menghantui Sabo sejak beberapa hari terakhir. Dia juga selalu mimpi buruk tentang kematian Ace hingga Koala berkata agar dia libur sementara dan menemui pergi Ace.

Terakhir kali (dan pertama kali setelah delapan tahun) Sabo bertemu Ace, saudaranya itu sedang melacak bajak laut bernama Marshall D Teach. Dia diam-diam ikut mencari informasinya dan menyadari bahwa kekuatannya cukup berbahaya.

Sabo sudah pernah memperingatkan Ace tentang dirinya yang kadang bisa terlalu gegabah. Tapi sepertinya saudaranya itu sama sekali tidak mendengarkannya.

Jadi ketika firasat buruk terus menghantuinya, Sabo langsung menghadap Dragon dan meminta izin untuk pergi menyelamatkan saudaranya.

Awalnya pria itu tidak mengizinkan. Terutama karena pasukan revolusi selalu sibuk bekerja kesana kemari. Tapi melihat kegelisahan Sabo, akhirnya pria itu mengizinkan dengan syarat Sabo harus langsung menuju ke tempat tugasnya setelah menolong Ace.

Siapa yang menyangka jika nyawa Ace benar-benar dalam bahaya? Dia bahkan sudah terluka cukup parah.

"Maaf Ace, sebaiknya kau istirahat dulu." Gumam Sabo, menangkap tubuh Ace sebelum benar-benar menghantam tanah dan melepaskan jubahnya untuk menyelimuti saudaranya. "Biar aku yang menyelesaikannya."

"He? Wanita Ace kah? Tidak kusangka dia punya pacar! Kulihat kau cukup cantik, nona! Khahahahah! Bergabunglah denganku! Kau hanya akan mati dan ditinggalkan sia-sia jika bersamanya!" Kurohige yang melihat Sabo langsung tertawa. Secara langsung melecehkan Sabo dan merendahkan Ace.

"Maaf saja ya, aku tidak berminat untuk bergabung dengan orang yang sebentar lagi akan mati." Sabo dengan senyuman di wajahnya menjawab. Dia mengikat rambutnya menjadi satu di tengkuknya dan mengambil pipa yang selalu ada di punggungnya. "Kau cukup kuat hingga bisa melukai Ace."

"Kau mau melawanku? Sayang sekali! Karena aku tidak akan mati!" Lagi-lagi Kurohige mengarahkan telapak tangannya, siap untuk menarik Sabo dengan gravitasi. "Gravitasi kegelapan bisa menyerap apapun!"

Sabo tidak menghindar. Ace sekarang ada di belakangnya dan jika dia menghindar, saudaranya itu bisa-bisa mati betulan. Lagipula tarikan Kurohige melemah karena dia bukanlah pengguna buah setan.

Kini Sabo memikirkan cara untuk membunuh Kurohige. Dia bisa saja menghancurkan kepalanya dengan cakar naganya, tapi itu akan sangat beresiko. Kemampuan buah iblis Yami-yami no mi miliknya itu benar-benar merepotkan!

Kurohige terlihat terkejut karena Sabo tidak bisa sepenuhnya ditarik. Tapi dia sudah memprediksi kemungkinan bahwa wanita Ace bukanlah pengguna buah setan. Jadi dia menggunakan kemampuannya untuk membentuk bayangan di kakinya dan membiarkan bayangan itu mulai mendekati Sabo.

Melihat bayangan hitam yang sebelumnya melahap seisi kota, Sabo menghindar dan memperpendek jarak. Dia sudah memutuskan untuk mengambil resiko. Lagipula setelah diperhatikan, Kurohige terlihat sudah kehabisan tenaga setelah melawan Ace. (Itu terlihat dari keringat yang menetes deras dan caranya bernafas. Kakinya juga terlihat sedikit gemetaran, seolah-olah sudah tidak kuat untuk berdiri.)

Saat Kurohige memasuki mode defensif, Sabo dengan lincah merubah arah. Haki diaktifkan dan tangannya mengepal, siap menggunakan tekniknya; nafas naga.

"Pukulanmu tidak akan bisa mengalahkan kegelapan!" Bayangan gelap ikut mengejar, tapi selalu gagal memerangkap Sabo kedalamnya.

"Benarkah begitu?" tanya Sabo, mendadak sudah ada di belakang Kurohige yang lengah dan mencengkram kepalanya. "Tubuhmu sama seperti manusia biasa, kan? Jadi aku bisa menghancurkan tengkorakmu dengan cakar naga-ku."

Detik itu juga cengkramanannya menguat. Tangannya masih dilapisi oleh haki, menjadikan cengkramannya itu berkali-kali lipat lebih menyakitkan.

Tidak perlu waktu lama bagi Sabo untuk benar-benar menghancurkan tengkorak Kurohige sebelum pria itu menyerangnya dengan kekuatan buah iblisnya.

Teriakan menyakitkan dari Kurohige menjadi akhir dari kehidupannya.

Sabo menatap tanpa emosi pria yang kini mati dengan kepala hancur itu.

"Aku tidak akan membiarkanmu hidup lebih lama dan membunuh saudaraku." Gumamnya sambil mengeluarkan botol berisi minyak, lalu menumpahkannya ke atas tubuh Kurohige. Kemudian dia menyalakan korek api dan membakar tubuh tidak bernyawa itu, membiarkan asap hitam dengan bau gosong mengudara.

Dia tetap diam disana selama beberapa saat, kemudian mendekati Ace yang masih pingsan dan menggendongnya di punggungnya. Meninggalkan mayat Kurohige begitu saja.

.

.

.

.

Ace bangun dengan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Dia mencoba untuk duduk saat menyadari bahwa dia sedang ada di tempat yang familiar. Ada perban yang melingkari perut dan dadanya, juga tangan kanannya.

Kepalanya yang pusing dipaksa untuk berpikir dan matanya membulat, mendadak menyadari bahwa seharusnya dia sedang melawan Kurohige saat seseorang dengan jubah hitam mendadak datang dan memukul tengkuknya hingga pingsan.

"Oh, kau sudah bangun, yoi?" suara Marco mendadak terdengar. Kapan dia masuk dan kenapa dia bisa ada disini? "Kau pingsan tiga hari. Ada yang sakit, yoi?"

"Marco!" Ace langsung memanggil—setengah berteriak. "Dimana aku dan kenapa aku bisa ada disini?! Bagaimana dengan Kurohige?!"

"Woah, easy, Ace. Kau ada di Moby Dick. Apa kau melupakan kabinmu sendiri?" Izo dan Haruta muncul dari belakang Marco. Sepertinya mereka mendengar teriakannya dan masuk untuk memeriksa. "Kau akhirnya sadar setelah tiga hari. Keadaaanmu benar-benar sangat buruk ketika datang kesini."

"Izo benar. Kau ini logia, kenapa kau bisa terluka sampai seperti itu?"

Ace yang sejak awal memang tidak sabaran mulai memaksa dirinya untuk bangun. "Lupakan hal itu! Kenapa aku bisa ada disini?! Harusnya aku sedang bertarung dengan Kurohige!"

Mereka langsung menoleh dan melihatnya dengan pandangan aneh.

"Ace, aku tahu kepalamu terbentur. Yoi? Tapi kurasa itu tidak sampai ke tahap bisa membuatmu hilang ingatan, yoi?"

"Kurohige sudah mati. Bukankah kau yang membunuhnya? Tubuhnya ditemukan hangus terbakar."

Perkataan Marco dan Haruta menghentikan pergerakan Ace.

"HAH?!"

Tidak. Ace ingat dengan jelas kalau dia pingsan karena dipukul dan baru bangun sekarang. Seseorang membunuhnya dan membuatnya seolah-olah Ace yang sudah membunuh Kurohige. Sosok berjubah itu pasti—"Hei! Siapa sosok berjubah yang membawaku kesini?!"

Izo mengerutkan kening, "sosok berjubah?"

Haruta juga mengangkat alis, "yang membawamu kesini bukan sosok berjubah. Tapi dia mengaku sebagai saudarimu. Perempuan, berambut pirang panjang. Dia memakai mantel biru tua dan topi tinggi. Matanya biru dan di setengah wajahnya ada bekas luka bakar."

Otak Ace langsung memproses satu nama.

Sabo.

"Dimana dia sekarang?! Aku harus menemuinya!"

"Soal itu..." Marco menggaruk belakang kepalanya, "dia sudah pergi. Tapi dia bilang akan kembali untuk melihatmu setelah menyelesaikan tugasnya."

"Tapi sungguhan, Ace. Kau benar-benar tidak ingat sudah membunuh Teach?"

"Tidak. Aku pingsan saat sosok berjubah itu muncul. Dia memukulku dan setelahnya, semua gelap." Ace sebenarnya tidak suka mengakui bahwa dia kalah dan dia masih lemah, tapi itulah kenyataannya.

Marco, Izo dan Haruta berpandangan.

"Siapapun itu, aku yakin dia punya alasan tersendiri."

"Oh ya, ngomong-ngomong, saudarimu sudah bicara dengan Ayah. Yami-yami no mi juga sudah kembali ke tangannya."

Ace langsung menoleh, "apa yang Sabo katakan?! Aku harus bertemu dengan Ayah!"

"Wow, wow, tenang, Ace. Tubuhmu masih luka-luka begini. Istirahat dulu! Kau bisa menemui Ayah nanti."

"Aku sudah cukup istirahat tiga hari!"

Kruyuukk~

"..."

"..."

"..."

"... tapi sebelumnya, biarkan aku makan. Aku lapar!"

Marco mendengus geli, Haruta menyeringai dan Izo tertawa.

"Baiklah-baiklah. Ayo makan. Aku yakin koki sudah memasak banyak makanan."

.

.

.

.

Sabo tidak bisa membawa Ace kedalam misinya. Jadi dia meminta Karasu untuk membawanya ke Moby Dick sebelum ke tempat misinya. Dan kebetulan saja Moby Dick sedang berlayar tidak jauh dari tempatnya ditugaskan. (Jika tidak, bisa-bisa dia terpaksa meninggalkan Ace di kapalnya tanpa pengawasan)

Dia disambut rekan-rekan Ace dengan tatapan beragam saat turun dari atas burung ciptaan Karasu. Terutama karena dia membawa Ace di punggungnya.

"A-ace-san sudah kembali!"

"Aku saudari Ace. Dia terluka dan tolong panggilkan dokter!"

Seorang pria berambut mirip nanas muncul bersama dengan yang lainnya. Dia lalu membantu Sabo membawa Ace ke dalam kabin yang mereka bilang milik Ace.

"Apa lukanya parah?" tanya Sabo ditengah-tengah pria yang dia kenali sebagai komandan divisi pertama—Marco the Phoenix—sedang membalut perut Ace dengan perban. Dia sendiri membantu membersihkan darah dan debu di wajah dan tubuh Ace.

"Tidak terlalu. Tapi sebagai logia, ini cukup parah."

"Aku juga tidak menyangka dia akan terluka sampai seperti ini."

"Ngomong-ngomong, kenapa kau bisa bersamanya? Bukankah Ace sedang memburu Teach, yoi?"

"Marshall D Teach sudah mati. Ace pingsan dan terluka seperti ini jadi aku membawanya kesini."

Alis Marco naik satu. Dia bahkan sampai berhenti memasang perban. "Mati?"

Sabo mengangguk. "Terbakar." Balasnya tenang. "Ngomong-ngomong, aku harus segera pergi. Jika Ace bangun, katakan padanya kalau aku akan datang lagi saat tugasku sudah selesai."

"Aku punya pertanyaan, tapi sepertinya itu bisa menunggu. Kau tidak mau bicara dengan Ayah kami lebih dulu? Tidak sopan jika kau datang dan pergi begitu saja."

Gadis itu berpikir sejenak. "Baiklah, bawa aku padanya." Putusnya, lalu menyibak rambut Ace dan mencium keningnya sebelum pergi.

Mereka lalu masuk lebih dalam dan menemui Shirohige di kamar pria tua itu.

"Ayah. Ini orang yang membawa Ace kembali."

Shirohige mengangkat alis, "kudengar kau saudari Ace. Tapi dia tidak pernah menceritakanmu."

"Tidak sedarah. Tapi dulu kami minum sake bersama. Dan dia baru mengetahui kalau aku tidak mati dari insiden saat kami kecil." Ujar Sabo, lalu bercerita sedikit mengenai apa yang dilakukannya hingga Ace baru mengetahui bahwa dia masih hidup beberapa bulan yang lalu.

Dia juga mengatakan tentang firasat buruknya dan berakhir datang tepat saat Ace membutuhkannya.

"Dararararaara! Begitu rupanya!"

"Oh ya, ngomong-ngomong, aku rasa ini milik salah satu anakmu." Sabo merogoh saku mantelnya, lalu mengeluarkan buah Yami-yami no mi dan memberikannya pada Marco yang berdiri di sebelahnya. "Aku tidak tahu bagaimana caranya itu bisa ada di kantungku—padahal sebelumnya berisi apel. Tapi mungkin buah setan yang pemiliknya baru saja mati akan mencari buah terdekat dan mengubahnya menjadi buah setan."

"Buah itu..."

Bep bep bep bep be—

Suara dari denden mushi terdengar, dan cepat-cepat Sabo mengambilnya dari dalam topi.

"Iya?"

"Sabo-chan, kau dimana?! Cepat kembali atau kami tinggal! Ini sudah terlalu lama untuk disebut sedikit terlambat!" suara Koala cukup nyaring hingga Marco menatapnya dengan penasaran dan Shirohige dengan menyelidik. "Boss mengatakan kau akan datang setelah menyelesaikan urusan pribadi dan aku tahu kau khawatir dengan Ace! Tapi jangan lupakan tugasmu!"

"Di depan salah satu Yonkou, Shirohige-san. Ace sudah baik-baik saja dan aku akan segera kesana. Beri aku... satu jam."

"Satu jam?! Yang benar saja! Cepat kembali dalam tiga puluh menit! Aku tidak peduli kau berada di depan Yonkou atau sedang merawat Ace ataupun membantunya! Setidaknya bertanggung jawablah sedikit dengan tugasmu!"

Sabo meringis, "iya, iya. Aku segera kembali. Kututup dulu ya, dah Koala!"

"Sepertinya itu tugas yang penting." Komentar Shirohige setelah Sabo mematikan denden mushinya. "Siapa kau sebenarnya?"

"Aku belum memperkenalkan diri dari tadi. Maafkan ketidaksopananku. Aku adalah Kepala Staff dari pasukan revolusi, Sabo."

"Pasukan revolusi, yoi?"

"Mn-hm. Dan yang barusan temanku—aku harus segera pergi atau dia akan memukulku. Jadi bisakah kalian membiarkanku pergi sekarang?"

Shirohige menatap Sabo lurus-lurus, lalu tertawa terbahak. "Rarararara! Untuk seorang bocah, kau berani juga! Pergilah! Ace aman bersama kami!"

Sabo menyeringai dan membungkuk sopan. "Kalau begitu, aku permisi, Shirohige-san."

Saat dia berbalik, sesuatu mendadak muncul di pikirannya. Dia nyaris melupakan sesuatu.

"Shirohige-san, aku melupakan sesuatu." Sabo kembali menatap Shirohige lurus-lurus dengan senyuman lembut yang terbentuk. "Terima kasih sudah menjadi keluarga Ace dan menerimanya sebagai anakmu... dia tidak mudah menerima seseorang."

Shirohige terlihat terkejut beberapa saat sebelum tertawa kencang. "Dararararara! Kau tidak perlu berterima kasih, bocah! Dia adalah anakku dan ini adalah rumahnya sekarang! Kau tidak perlu khawatir!"

Masih dengan senyuman, Sabo kembali membungkuk sopan dan pergi.

Di luar, Karasu sudah menunggunya.

"Ayo pergi. Koala akan melemparku kedalam air jika kita tidak sampai dalam tiga puluh menit."

"Kaaak! Kaaarkk!" Gagak Karasu itu membalas seolah-olah kesal karena dia harus terbang dengan cepat dan sudah menunggu terlalu lama, membuat Sabo tertawa dengan wajah tanpa dosa.

"Maaf-maaf, ayo pergi!"

.

.

.

Sudah hampir sebulan berlalu sejak Sabo membawa Ace kembali ke Moby Dick, tapi gadis itu tidak kunjung datang. Denden mushinya juga tidak bisa dihubungi, membuat kesabaran Ace semakin menipis setiap harinya hingga akhirnya memilih untuk pergi dan menemui saudarinya itu.

Dia butuh penjelasan tentang Kurohige.

Mengandalkan Vivre Cards yang pernah gadis itu berikan, Ace pergi ke arah barat daya dan sampai ke sebuah reruntuhan kota tua. Saat dia masuk lebih dalam, dia menyadari ada yang aneh. Kota itu tidak terlihat benar-benar tua. Ada beberapa tempat yang terlihat sering dimasuki manusia.

Namun Ace sama sekali tidak menemukan satupun manusia di sini.

"Seriusan, ada apa dengan tempat ini? Sabo ngapain sih disini?" gumam Ace sambil mengacak rambutnya. Dia berjalan tanpa arah hingga tidak sengaja menginjak tumpukan daun kering. Sedetik kemudian, tubuhnya tertarik kebawah oleh gravitasi.

"GYAAAH!"

BRUAGH!

"Adudududuh..."

Tubuh Ace masuk kedalam lubang dan jatuh dengan sangat tidak elit—bokongnya duluan yang menyentuh tanah. Dia mengaduh beberapa saat hingga rasa panas dan sakitnya tidak terlalu terasa lagi. Lalu setelahnya baru mengedarkan pandangan.

Ace cukup terkejut ketika melihat sebuah lubang kecil di depannya—cukup untuk satu orang keluar masuk dan membentuk sebuah lorong gua bawah tanah yang lebih luas dibaliknya.

Dia masuk karena penasaran dan menggunakan kekuatan buah iblisnya untuk penerangan, melihat dinding gua yang perlahan-lahan berubah menjadi halus dan dilapisi batu dan besi yang membentuk cabang-cabang. Di sini juga lebih terang karena obor di kanan kiri. Ace baru saja akan melangkah ke salah satu lorong saat tidak sengaja mendengar langkah kaki.

"Apa yang ketua katakan?"

"Tahanan nomer lima harus segera disuntik. Kekuatannya itu mengerikan."

"Disuntik?"

"Ya, disuntik bius dan obat PX-07 yang baru. Ketua ingin mengendalikannya."

"Aku berharap obat yang baru akan bekerja dengan baik. Tuan Tenryuubito akan datang seminggu lagi untuk melihat hasil kerja Ketua..."

"Aku juga berharap begitu... gadis itu terlalu berbahaya jika kita tidak segera membuatnya tunduk. Bisa-bisa kita yang terbunuh."

Ace baru saja akan keluar dan mencari informasi dari mereka saat mulutnya dibekap dari belakang.

"Ssh! Ace, apa yang kau lakukan disini?!" suara bisikan di samping telinganya membuat Ace langsung menoleh ke asal suara.

Sabo ada di sana. Dengan rambut dikuncir tinggi di belakang kepalanya dan baju yang sama dengan orang-orang tadi. Bekas luka di wajahnya tidak ada, tapi Ace yakin dia adalah saudarinya.

"Hei! Jangan melamun dan kenapa kau bisa ada disini?!"

"Aku mencarimu. Mereka bilang kau akan menemuiku setelah tugasmu selesai, tapi kau tidak pernah datang! Denden mushimu tidak bisa dihubungi dan aku khawatir! Kau sendiri kenapa bisa ada disini?"

Gadis itu memukul kepalanya sendiri, "aku sedang dalam misi solo. Setelah tugasku disini selesai aku berniat langsung ke Moby Dick."

"Hei! Siapa kalian?!"

Sebuah suara mendadak terdengar dan Ace menoleh ke sumber suara—mereka ketahuan?

"Jangan memberontak! Lepaskan senjata kalian! Dan kau! Apa kau pengkhianat?! Kau tahu apa hukuman bagi seorang pengkhianat?! Apa yang kau lakukan dengannya disini!?"

"Uh, berisik. Bagaimana jika kubungkam—" belum sempat Ace bereaksi, Sabo sudah dengan gesit berada di belakang pria itu dan memukul kepalanya keras-keras.

DUAGH!

Bruk!

"Suaramu keras sekali sih. Bagaimana jika nanti ada yang datang?"

Ace memandangnya beberapa saat, lalu memilih tidak peduli pada pria menyedihkan yang memergoki mereka. "Jadi apa misimu sudah selesai?"

"Sedikit lagi. Hanya tinggal mencari inti utama pulau ini. Ayo keluar sebelum mereka sadar ada penyusup." Bisik Sabo lalu menarik lengan Ace untuk melalui jalan masuknya sebelumnya.

"Apa kau sering melakukan misi solo seperti ini?" tanya Ace saat mereka sudah ada di luar.

"Untuk mendapat informasi, ya. Tapi untuk misi berat seperti saat di Alabasta biasanya kami melakukan misi dengan tim."

Gadis itu mulai berjalan kesana kemari sambil membuka pakaian penyamarannya yang mirip mantel dan melepasnya begitu saja. Kunciran rambutnya dilepas dan dia mengusap mata kirinya dengan sapu tangan, menunjukkan bekas luka yang diingat Ace.

"Daripada kau tidak melakukan apapun seperti orang bodoh disana, lebih baik kau membantuku mencari batu segel disini."

Ace mendengus, "batu seperti apa?"

"Batu dengan gambar lingkaran. Ada huruf kuno di sekelilingnya. Kemungkinan keadaannya sekarang tertutup tanaman merambat atau sudah retak."

Sabo lagi-lagi menghilang dibalik reruntuhan bangunan, lalu saat Ace melihatnya lagi, gadis itu sudah memakai mantelnya yang biasanya, ditambah topi tinggi dan gesper di lengan kiri. "Apa kau sudah menemukannya? Oh aku lupa, batu itu tertanam di dinding. Kemungkinan ada di sekitar bangunan utama."

"Untuk apa batu itu?" tanya Ace saat Sabo menunjuk ke bangunan paling besar. Batu-batu disana sudah nyaris runtuh dan tanaman merambat ada dimana-mana.

"Segel untuk menghancurkan laboratorium di bawah sana. Mereka menggunakan metode aneh dengan membunuh raga dan menahan jiwa manusia disini. Lalu jiwa itu diberi semacam suntikan gas agar tunduk dengan orang yang dipanggil 'Ketua'."

"Terdengar seperti metode yang mengerikan."

"Dan sangat kejam. Maksudku—mereka yang tidak menurut benar-benar dibunuh dengan mengerikan. Dan saat mereka mati, jiwanya tetap diperlakukan semena-mena. Seolah-olah mereka tidak akan pernah mendapatkan kebebasan..."

"Kebebasan... jadi ingat saat kita masih kecil."

Sabo tertawa, "benar, waktu itu kau masih malu-malu denganku hahahaha!"

"Wha—Sabo! Aku tidak seperti itu!"

"Apa aku perlu mengingatkanmu tentang malam—"

"Hei! Jangan menggodaku seperti itu! Lagipula aku tidak pernah sadar kalau kau bukan laki-laki sebelumnya!" Ace memalingkan pandangan sambil cemberut. Dia dulu benar-benar mengira Sabo adalah anak laki-laki, sama sepertinya. Sampai suatu malam mereka mandi di sungai bersama-sama karena tubuh yang kotor.

Sungguh, Ace sangat malu saat menyadari bahwa Sabo berbeda.

"Ngomong-ngomong, Ace, kenapa kau mencariku? Bagaimana lukamu?"

Pertanyaan itu menyadarkan Ace dari lamunan sesaatnya.

"Aku perlu memastikan sesuatu."

"Hm?"

"Yang sebenarnya membunuh Kurohige, itu kau kan, Sabo?"

Sabo tidak berniat berbohong tentang hal itu. Jadi dia hanya mengangguk sambil menyibak sulur-sulur pohon yang tumbuh menutupi batu-batu. "Kalau kau tanya kenapa, karena firasatku mengatakan akan terjadi hal yang lebih buruk jika aku tidak membunuhnya saat itu juga."

"..."

"Dengar, aku minta maaf karena seenaknya saja menganggu pertarungan kalian, bahkan membunuh 'mangsa'mu. Tapi aku khawatir, Ace. Bukan maksudku meremehkan kekuatanmu, tapi kau yang sekarang belum sekuat itu." Gadis itu menolak memandang Ace dan lebih memilih fokus memperhatikan batu-batu kuno dibawah kaki mereka. "Kau bahkan terluka dan kehabisan tenaga. Bagaimana bisa aku tidak khawatir?"

Ace tidak menyangka bahwa Sabo mengkhawatirkannya hingga seperti itu. Selama ini dia tidak terlalu peduli dengan dirinya sendiri—apakah dia hidup atau mati. Tapi setelah mendengar Sabo bicara seperti itu, mendadak Ace merasa sangat bersalah karena sudah menyia-nyiakan nyawanya selama ini.

Jika Sabo saja sampai rela mengejarnya dan datang membantunya, bagaimana dengan Luffy jika dia mengetahui hal ini juga? Bukankah adik kecil mereka itu sama keras kepalanya dengan mereka? Dia tidak akan mungkin diam saja melihat Ace atau Sabo dalam bahaya. Sama sepertinya jika mereka berada dalam bahaya.

Hening mengudara setelahnya. Suasana akrab berubah menjadi canggung karena tidak ada yang ingin membuka suara hingga Sabo menjerit pelan.

"Ketemu!"

Ace langsung menghampirinya, melihat sebuah batu persegi yang tertanam di tanah. Di tengah-tengahnya ada lingkaran yang menonjol dan dikelilingi oleh tulisan-tulisan lama. Di keempat ujung lainnya, ada lubang yang entah untuk apa.

Sabo membersihkan bagian tengahnya, tepat pada tonjolan berbentuk lingkaran yang terlihat seperti kaca yang kotor.

"Batu ini terlihat rusak. Bagaimana cara kerjanya?"

"Menghancurkan batu di sekitarnya dan memaksanya turun kedalam tanah. Setelah beberapa saat, benda ini akan meledak dan menghancurkan laboratorium itu." Balas Sabo, lalu mengepalkan tangannya dan mengaktifkan haki, bersiap untuk menggunakan teknik nafas naga.

"Kau bisa menggunakan haki?"

"Aku tidak menghabiskan delapan tahun dengan berdiam diri, Ace. Dan aku yakin aku yang sekarang bisa mengalahkanmu."

"Heh? Coba saja! Mau sparring setelah tugasmu selesai?"

"Hmph, boleh. Tapi ayo hancurkan laboratorium itu dulu." Dengan itu Sabo menekan tangannya ke atas tonjolan batu, mengakibatkan retakan mulai terbentuk semakin lebar dan lebar.

Tidak lama setelahnya, tanah di sekitar mereka anjlok dengan bunyi debuman.

"Boleh juga teknikmu itu." Ace melihat ke sekitar mereka yang kini penuh dengan debu tipis dan batu-batu retak. Sisa-sisa reruntuhan bangunan yang sebelumnya nyaris tidak ada lagi.

"Bossku yang mengajarkannya." Sabo menepuk-nepuk bajunya, berusaha menghilangkan debu yang menempel. "Nah, sudah selesai. Ayo pergi. Kau ada rekomendasi tempat untuk kita sparring?"

"Aku melihat pulau lain sebelum kita kesini. Mau coba kesana?"

"Selama kita tidak mendapat masalah nantinya. Ayo."

.

.

.

Tubuh penuh keringat dan debu saling bersentuhan di atas tanah, deru nafas bersahutan selama beberapa saat hingga tawa kecil terdengar.

"Pfft—hahahaha!"

"Hahahaha!"

"Harus kuakui, Ace. Kau jauh lebih kuat daripada dulu!"

"Tentu saja! Tapi tidak kusangka kau benar-benar bisa mengalahkanku dengan mudah!"

Sabo tertawa lagi, "kau terlalu mudah terpengaruh. Apa seluruh tubuhmu sudah terbuat dari api? Sumbu kesabaranmu pendek sekali!"

"Dan kau menggunakan haki dengan sangat baik. Aku tidak menyangka aku bisa kalah..."

"Kau terlalu terburu-buru sih. Lain kali cobalah perhatikan musuhmu lebih dulu."

Ace mengubah posisinya menjadi miring, menatap Sabo yang masih tersenyum menatap angkasa hingga matanya menyipit. Rambut pirang gadis itu tersebar di sekelilingnya dan Ace tanpa sadar mengambilnya sedikit, lalu mengusapnya dengan jempol. "Hei, Sab."

"Hm? Ada apa?"

"Ajari aku menggunakan haki."

"Eh? Kenapa tiba-tiba?"

Kali ini Sabo menoleh dan balas memandang Ace yang sedang memainkan rambutnya. Tatapan Ace terlihat tidak fokus seolah sedang hanyut kedalam pemikirannya sendiri.

"Aku ingin jadi lebih kuat untuk melindungi keluargaku."

"..."

"Perkataanmu yang sebelumnya memang benar. Aku belum sekuat itu. Bahkan aku kalah saat melawan Kurohige karena terlalu terburu-buru dan tidak mempresiksi hal lainnya. Sparring kita barusan benar-benar menyadarkanku kalau aku sebenarnya masih lemah."

Sabo menghela nafas dan tersenyum, "tentu saja boleh! Tapi aku harus meminta izin dari Dragon-san lebih dulu."

Ace langsung menyeringai, "kalau begitu aku akan ikut denganmu. Sekalian bicara dengan Dragon secara langsung!"

"Mana bisa begitu? Markas kami itu tersembunyi, tahu!"

"Aku bisa menjaga rahasia."

"Aku bisa diamuk kalau membawa bajak laut—apalagi komandan divisi dua dari bajak laut Shirohige—ke markas! Ayolah Ace, apa yang mau kau lakukan di sana?"

"Aku akan—"

"Hei! Kalian yang disana! Apa kalian yang menyebabkan kerusakan ini?! Tidak tahukah kalian kalau aku mengerjakan ini selama berbulan-bulan dan kalian menghancurkannya begitu saja?!" sebuah teriakan terdengar sebelum Ace bisa menyelesaikan ucapannya. Ace dan Sabo secara otomatis merubah posisi menjadi duduk.

Mereka melihat pria tua dengan satu kaki kayu dan membawa-bawa kapak sedang berlari terpincang kearah mereka.

"Sab?"

"Ya?"

"Ayo kabur!" ajak Ace, lalu langsung bangkit dan menarik tangan Sabo untuk mengikuti larinya.

"Pfft—hahahaha!" Sabo tidak bisa menahan tawanya saat rasa nostalgia memenuhi indranya. Dia sedikit menoleh ke belakang dan berteriak sambil nyengir lebar. "Maaf ya, ojii-san! Kami tidak sengaja!"

"Kembali kalian anak-anak nakal! Aku akan mencincang kalian!"

Ace ikut tertawa, lalu mengajak Sabo untuk bersembunyi dari pria tua yang masih berusaha mengejar mereka itu.

"Sialan! Kemana mereka! Saat aku melihat mereka lagi, akan kupatahkan tangan mereka!" suara sumpah serapah terdengar semakin menjauh, lalu setelah suara itu benar-benar tidak terdengar lagi, barulah mereka keluar.

"Pfft- jadi ingat saat kita masih tinggal di hutan!"

"Seandainya Luffy juga ada di sini, pasti akan sangat seru."

"Dia memiliki petualangannya sendiri. Tapi ayo kapan-kapan kita ajak dia mengulang masa lalu."

"Ide bagus."

Lalu Ace tidak sengaja melihat rambut Sabo yang bercampur dengan tanah—begitupun tubuh mereka yang kotor. "Ayo pergi mencari penginapan. Kita harus mandi, dan aku lapar!"

"Bicara tentang lapar, aku juga lapar. Ayo pergi. Dan mengenai tadi, aku akan bertanya pada Dragon-san besok."

.

.

.

Kebetulan sekali, setelah mereka mandi dan makan malam, Dragon menghubungi Sabo (denden mushi miliknya sudah diaktifkan kembali sejak tugasnya selesai).

Gadis itu lalu melaporkan misinya dan baru saja berkata akan kembali besok ketika Dragon mengatakan dia ingin bicara dengan Ace.

Pemuda yang dari awal memang ada di sisinya—dan sedang bersiap untuk tidur—langsung datang mendekat.

"Uh... iya?"

"Aku ingin membentuk aliansi. Lengkapnya akan kubicarakan secara langsung saat kau sampai di sini."

"!"

"D-dragon-san, bukankah ini terlalu mendadak?"

"Segeralah kembali dan berikan laporan lengkap, Sabo. Dan kami baru menerima informasi lain, ada yang berniat menggulingkan salah satu Yonkou. Tugas kita adalah untuk mencegahnya."

Bep bep bep...

"Ah—Dragon-san—!"

"..."

Sabo mendengus, "selalu seperti itu. Dia sangat berhati-hati." Ujarnya sambil menyimpan kembali denden mushinya dan merebahkan diri di samping Ace.

"Apa kalian pernah disadap?"

"Tidak, sejak awal kami memang jarang membicarakan misi melalui denden mushi. Informasi yang kami terima saat diluar juga cukup terbatas."

"Sepertinya dia orang yang membosankan."

"Lebih tepatnya dia orang yang serius. Berbeda jauh dengan Luffy dan kakek Garp. Aku saja hanya beberapa kali melihatnya tertawa."

Ace yang baru saja ikut merebahkan diri di sebelah Sabo langsung mengangkat alis—bertanya tanpa kata-kata.

"Dragon-san itu ayahnya Luffy. Apa aku tidak pernah memberitahumu?"

"HAH?!" Langsung saja Ace berteriak. Mana dia tahu kalau Dragon—si pemimpin pasukan revolusi yang dicari-cari itu adalah ayah Luffy?

Sabo tertawa kecil dan meletakkan telunjuknya di depan bibir, "ini rahasia, ya. Jangan beritahu siapa-siapa."

"..."

"Sekarang, ayo tidur. Kita harus berangkat besok."

Ace tidak menjawab, tapi dengusan pelan yang terdengar membuat Sabo tersenyum kecil. Dia bangkit sedikit, mengecup pipi Ace dan menutup mata. "Malam, Ace." Dengan cepat gadis itu terlelap meninggalkan Ace yang kini bergerak memeluknya.

"Selamat malam, Sabo." Bisiknya, mengusap rambut panjang Sabo dan menghirup aromanya yang membawa kenangan. "Aku sayang padamu. Terima kasih sudah menyadarkanku."

Dalam diam, Sabo membalas. 'Aku juga, Ace. Terima kasih karena masih hidup hingga saat ini.'

.

.

.

End.

A/N

AKU GATAU ENDINGNYA HARUS DI GIMANAIN!

Trus ya, ini tuh NYEREMPET ACESABO. Nyerempet ya. Hubungan mereka disini nganu banget aku gabisa nahan diri hahahaha.

Seperti sebelumnya, gak suka gausah baca. Silahkan tekan tombol back. Aku bikin ini ditengah kegilaan. Aku cuman mau asupan AceFem!Sabo plis.

Sadar diri kok aku. Ini ff beneran gak jelas. Judul sama isi ceritanya ga nyambung samsek, tapi ya bodoamatlah astaga. Peduli amat sama judul/dipukul.

Yang mikir kalo AceSabo mandi bareng ayo kita tos/GAK.

AceSabo bobo bareng satu kamar kok. Tapi ga ngapa-ngapain dan beneran cuman tidur.

Kenapa ga sewa dua kamar aja? Kan mereka cowok sama cewek, kok ga canggung bobo bareng?

Mereka hemat duit soalnya hahahahaha. Lagi pula mereka udah biasa dari kecil bobo bareng sambil peluk-peluk. Sabo juga biasa aja tuh cium-cium pipi Ace sama Luffy.

Dahlah, intinya jangan dianggep serius ini ff gaje.

Hahahaha, oh dan makasih yang udah mau baca! 3