Take Back Lost Time And Make It Right
Rate T
WARNING! Female!Sabo. Time Travel. OOC. Tidak jelas, dan memiliki ending yang sangat gantung (mungkin. Aku akan berusaha agar tidak seperti itu.) Ingore time skip plis. Typo dan lain sebagainya.
Ps; entahlah, aku hanya sedang tidur di kasurku tadi pagi, bergulungkan selimut dengan hawa dingin AC kamar di sekitarku, dan POOFT! Kepalaku mendadak menanyakan sesuatu. "Bagaimana kalau Sabo bertemu dengan penyihir waktu dan penyihir itu mengabulkan keinginan Sabo—menyelamatkan saudaranya. Sebagai bayarannya, keberadaannya di dunia reinkarnasi nantinya tidak akan ada. (Tahu siklus reinkarnasi? Nah, Sabo akan melewatkan satu siklus itu untuk bayaran atas permintaannya ini.) Dia akan bertemu dengan Ace, menghabisi Kurohige sebelum pria sialan itu membunuh Thatch—yang menjadi awal mula dendam Ace—dan juga membunuh Akainu yang sudah mengambil nyawa saudaranya."
Dan… yah, jadilah fanfiksi ini! BOOM! Hahaha.
Oke oke, selamat membaca!
.
.
.
"Kau mau memutar waktu untuk saudara-saudaramu?"
Alis Sabo naik, kehilangan ketenangannya beberapa saat sebelum menatap tajam wanita tua bungkuk tidak jauh darinya. Wanita tua itu tiba-tiba saja ada di depannya dan menyanyakan hal yang tidak masuk akal. "… aku lebih suka melihat dunia terbakar jadi abu daripada melihat saudaraku terluka. Jadi… ya, aku ingin, kalau bisa. Tapi waktu tidak bisa di putar, jadi itu percuma saja."
Pasukan revolusioner sedang berlabuh di pulau yang tidak ada di peta—dengan kata lain, pulau misterius, untuk mengisi persediaan kapal yang menipis. Sabo yang memang tidak bisa diam saja di satu tempat (selain untuk mengerjakan tugasnya sebagai revolusioner), memilih menjelajahi pulau itu selagi rekan-rekannya mengisi persediaan dan Koala mencari informasi.
"Kheheheh… benar juga. Apa yang sudah terjadi memang tidak bisa dikembalikan seperti semula. Tapi nak, apa kau punya penyesalan?"
"Aku sudah cukup menyesal." Jawab Sabo. Nadanya tajam dan dingin.
"Semua orang punya penyesalan." Wanita tua itu mengangguk. Senyum bahaya terbentuk di bibir keriputnya. "Kau tahu nak, aku bisa membantumu mengulang waktu. Tapi ada harga yang harus kau bayar."
"Nenek, kau ingin membohongiku? Tidak ada yang bisa mengulang waktu. Bahkan tidak ada buah iblis yang memiliki kemampuan itu."
"Khehehehe, karena ini bukan kemampuan buah iblis, tapi kekuatanku sendiri. Waktu adalah milikku, dan aku bebas mengendalikannya." Wanita tua itu tertawa, lalu jari-jarinya yang keriput menunjuk sekeliling mereka yang terhenti. "Lihatlah! Betapa bebasnya aku mengendalikan waktu!"
"…" Sabo melirik ke kanan dan kirinya. Mereka semua memang benar-benar terhenti. "… apa yang kau inginkan?"
"Mudah. Berikan aku satu kehidupan reinkarnasimu selanjutnya. Aku akan membantumu untuk kembali dan memperbaiki semuanya."
"… satu kehidupan reinkarnasi?"
Wanita tua itu tersenyum semakin lebar, "kehidupan reinkarnasi ada bermacam-macam dan terus berulang. Kau kira ada berapa banyak dari kalian yang sudah mengulangi siklus reinkarnasi? Terlahir di tempat baru, tubuh baru, ingatan baru, teman-teman baru, keluarga baru. Tanpa mengingat kehidupan lamanya yang menyedihkan."
"…"
"Kau hanya akan kehilangan satu. Dan jika takdir kalian buruk, kalian mungkin tidak akan saling mengenal seperti saat ini." Suara serak wanita tua itu secara aneh menjadi lebih lembut, "jadi, apakah kau akan menerima tawaranku ini?"
Sabo memejamkan mata, mencoba bernapas. Setelah beberapa saat yang rasanya hampir berjam-jam, akhirnya dia memutuskan. Ini adalah kesempatannya untuk menebus semua kesalahannya. Semua penyesalannya. Dia akan bisa menyelamatkan Ace. Dia tidak akan membuat Luffy menderita karena kehilangan saudaranya. Dan dia bisa meminta pengampunan untuk dirinya sendiri.
Oh, betapa egoisnya dirinya.
"… baiklah. Aku menerima tawaranmu."
"KHEHEHEHEHEH! BAGUS! BAGUS SEKALI!" Wanita tua itu tertawa keras, lalu memiringkan badan dan dengan tongkatnya, dia membentuk sebuah lingkaran yang terlihat seperti bintang-bintang di langit malam. Bibirnya merapal dan sebuah jam saku terbentuk di tangan wanita itu. "Nah, kemarilah nak. Ambil jam ini dan masuklah melalui portal ini. Jika kau ingin kembali setelah menyelesaikan persoalanmu, tekan dan nyalakan jam ini, lalu atur waktunya. Kau akan kembali saat itu juga."
Sabo dengan ragu mulai melangkah mendekat, mengambil jam saku perak yang diulurkan, kemudian melangkah masuk kedalam portal yang dibentuk wanita tua itu.
"Selamat menikmati perjalananmu!"
Suara wanita tua itu adalah hal terakhir yang dia dengar sebelum gravitasi menariknya ke bawah.
.
.
.
"HUAAAA!" Sabo menjerit, lalu memposisikan tubuhnya dan jatuh di atas dahan yang cukup kokoh. Untungnya daun dan ranting sudah memperlambat jatuhnya, sehingga dia tidak terluka terlalu parah. "Aduh—ow, ow, ow…"
Butuh beberapa saat bagi Sabo untuk menyadari bahwa dia jatuh di tengah-tengah hutan. Tubuhnya masih tergantung di atas dahan dan dia baru saja akan bangkit ketika dahan itu patah.
KRAK!
Untung saja refleksnya cepat (karena bertahun-tahun berlatih bersama revolusioner) sehingga dapat menghindari jatuh untuk yang kedua kalinya.
Sabo membersihkan baju dan rambutnya yang dipenuhi patahan ranting kecil dan daun-daun, lalu melihat ke sekelilingnya dan naik ke atas pohon lainnya hingga ke puncaknya untuk melihat keadaan sekitar. Tidak butuh waktu lama baginya untuk melihat kapal utama Moby Dick yang sedang berlabuh di dermaga. Ada kota yang tidak terlalu besar di bawah sana dan entah kenapa Sabo yakin bahwa dia akan bertemu dengan Ace di tempat ini.
Tapi, sebelum bertemu dengan Ace, ada satu hal yang harus dilakukannya.
Dia harus bertemu dengan Thatch.
Di waktu sebelumnya, Sabo sudah mencari tahu semuanya, semuanya, tanpa terkecuali. Bagaimana Teach bisa bergabung, bagaimana Thatch bisa terbunuh dan apa alasannya. Kenapa Ace bisa kalah, rencana-rencana licik Kurohige, semuanya sudah dibacanya dan diketahuinya.
Jadi kali ini, dia akan bertemu dengan Thatch dan memperingatkannya.
.
.
.
Sabo tidak tahu secara jelas kapan Kurohige beraksi hingga dapat membunuh Thatch, tapi Sabo memperkirakan bahwa pria itu akan beraksi saat Thatch lengah.
Dengan sengaja disenggolnya pundak Thatch yang masih berjalan bersama komandan divisi lainnya menuju Moby Dick.
"Oh? Ma—"
"Hati-hatilah, ada penghianat di kapalmu dan dia mengincarmu." Bisik Sabo, lalu melanjutkan langkahnya seolah tidak terjadi apapun.
Dapat dirasakannya Thatch menatap punggungnya dengan tatapan bingung.
Sekarang, ada dua hal lagi yang harus dilakukannya sebelum pergi dan memburu Sakazuki.
Melindungi Thatch dan membunuh Kurohige.
.
.
.
Menyusup ke atas Moby Dick bukanlah hal yang mudah. Terutama karena kapal itu sangat besar dan Sabo tidak benar-benar yakin dimana Thatch akan terbunuh. Dia juga tidak berani menggunakan Kenbunshoku Haki karena akan sangat beresiko jika kewaspadaan Kurohige meningkat.
Tap.
Tubuh Sabo menegang dengan kewaspadaan ketika mendengar langkah kaki di dekatnya. Dari helai coklat dan baju putih yang digunakannya, Sabo langsung mengenali siapa itu.
Thatch. Sedang memegang yami yami no mi dan memperhatikannya dengan senyuman. Dia baru saja akan memakannya saat Kurohige mencoba menusuknya dari belakang.
"Awas, Thatch!"
Klang!
Kurohige tersentak kaget ketika Sabo memblokir serangannya dengan pipanya dan Thatch langsung membalikkan badan dengan waspada. Langkah kaki lainnya terdengar dan mendadak beberapa komandan divisi bajak laut Shirohige keluar dari balik bayangan.
"Ternyata benar." Gumam Thatch. "Ada penghianat diantara kita."
Tatapan tajam terarah Kurohige yang kini mengeraskan rahang.
"Kenapa kau melakukan ini? Jika kau memintanya, aku bisa memberikannya padamu." Kata Thatch pada Kurohige. Tapi Sabo menggeleng.
"Komandan Thatch, kau terlalu baik. Sekarang aku mengerti kenapa dia mencoba membalaskan dendam untukmu." Ujar Sabo, tidak sedetikpun mengalihkan pandangan dari Kurohige. "Tapi jika kau memberikan kekuatan itu padanya, hal itu hanya akan memperburuk keadaan di masa depan."
"Aku tidak tahu siapa kau, tapi berani beraninya—"
"Tentu saja aku berani." Potong Sabo. Kemarahan sudah memuncak hingga dia merasa harus membakar Kurohige saat ini juga. "Kau mengambil segalanya dariku."
"Tunggu dulu, kau siapa, yoi? Kenapa kau bisa ada disini?"
Sabo tidak membalas karena saat itu juga Kurohige berusaha menembaknya dan kabur dari cengkraman mereka. Cengkramannya.
"Shinka; Shiranui!" Dengan cepat dan akurat, Sabo membentuk tombak api di kedua tangannya dan melemparkannya pada Kurohige. Dia mengabaikan tembakan Kurohige yang tepat mengenai jantungnya. Lagipula, dia logia. "Marshall D Teach, kau harus mati hari ini juga."
Para komandan divisi Shirohige menahan napas. Mereka tahu jurus itu.
Kurohige menjerit, dan Sabo tidak memberinya waktu untuk bernapas ketika cakar naga-nya sudah mencengkram tengkorak pria itu. Kurohige mencoba melawan dengan melukai lengannya, tapi Sabo tidak bergeming. "Menangislah, karena bukannya saudaraku, tapi aku yang datang untuk membunuhmu."
Sabo tersenyum dingin, tatapannya penuh dendam saat cakar naga-nya mengeluarkan api dan mulai membakar wajah Kurohige. Pria ini yang membunuh Ace. Dia adalah akar masalah. Dialah penyebab Ace terbunuh dan tersiksa dan Sabo tidak bisa mengampuninya.
Langkah kaki lainnya terdengar semakin mendekat. Dan Sabo menyelesaikannya.
Dia membunuh Kurohige dan menghancurkan tengkoraknya. Dia juga membakar tubuh itu tanpa memedulikan pandangan terkejut yang lainnya.
"Apa yang terjadi disini?" Suara kuat yang tegas itu mengambil alih atensi mereka semua. Sabo bahkan tidak menyadari lagkah kakinya. Ini membuatnya langsung merasa segan.
"Teach berkhianat, yoi. Dia hampir membunuh Thatch." Komandan divisi pertama, Marco si Phoenix, yang menjawab. Tatapannya tertuju pada Sabo yang masih berdiri diam disebelah mayat Kurohige. "Untungnya ada yang memperingatkan Thatch sebelumnya, sehingga kami bisa bersiaga."
"Itu benar. Aku melihatnya sendiri. Dia hampir menusuk Thatch. Untungnya ada seseorang yang mendahului kami semua dan menyelamatkannya."
Melihat seorang gadis tidak dikenal di atas kapalnya, perhatian Shirohige sepenuhnya tertuju pada Sabo. "Kau bukan salah satu dari kami. Jadi bagaimana kau mengetahui bahwa dia akan berkhianat?"
Sabo diam beberapa saat, lalu menunduk hingga bayangan topinya menutupi separuh wajahnya. "Dia membunuh saudaraku. Aku hanya datang untuk membalas dendam dan aku tahu dia mengincar yami yami no mi. Dan… dia akan menggunakan segala cara untuk mendapatkannya."
Suaranya penuh dengan kebencian bercampur kepahitan hingga beberapa komandan divisi Shirohige menatapnya kasihan.
"Itu… menyedihkan. Aku minta maaf." Thatch mendekat dan menepuk pundaknya penuh penghiburan, "tapi kau sudah menyelamatkanku—dan juga memperingatkanku sebelumnya. Terima kasih atas bantuanmu."
"Bukan masalah." Balas Sabo. Dia masih menunduk dan tangannya mulai gemetar. Dia tidak tahu harus membuat ekspresi apa jika Ace sampai ikut muncul sekarang? "Aku harus pergi sekarang. Masih ada hal lain yang harus kulakukan."
"Tunggu sebentar, yoi. Kami tidak yakin bisa membiarkanmu pergi begitu saja. Masih ada hal yang perlu dijelaskan, benar?"
Sabo mengangkat kepala, melihat tatapan penasaran semua orang yang tertuju padanya.
"Siapa kau sebenarnya?"
"… aku Sa—… Sa-chan. Namaku adalah Sa-chan." Lidah Sabo tergigit. Dia hampir mengatakan nama aslinya. Ace yang sekarang belum tahu bahwa dia masih hidup dan dia belum boleh tahu. "Aku revolusioner."
"Kau baru saja mengatakan kau datang untuk membalas dendam. Jadi aku tidak akan bertanya kenapa revolusioner bisa ada disini. Tapi bagaimana caranya kau bisa menggunakan Shiranui?" Pertanyaan itu membuat Sabo memucat. Gadis itu benar-benar melupakan fakta bahwa dia masih memiliki kekuatan buah iblis milik Ace dan baru saja menggunakannya untuk membunuh Kurohige.
"Ada apa ini? Kenapa semuanya berkumpul disini?"
Tubuh Sabo terperanjat saat mendengar suara itu. Dia mengenali suara itu. Suaranya lebih dewasa dan berat dan tetap kuat. Sabo tidak familiar dengan suara Ace yang sudah dewasa, tapi dia tetap bisa mengenalinya.
Reaksi tubuhnya tidak lepas dari pengamatan Marco, Thatch (yang masih memegang bahunya) dan Shirohige.
"Oh, Ace. Kami hanya membereskan penghianat." Pria dengan pakaian kimono dan riasan wanita menjawab. "Teach hampir membunuh Thatch, tapi untungnya Sa-chan sudah memperingatkannya sebelumnya."
"Dan menyelamatkannya, yoi." Tambah Marco, memperhatikan reaksi Sabo terhadap Ace dengan pandangan penasaran.
"Huh?! Teach yang melakukannya?! Dimana dia sekarang?!"
"Tenang, Ace. Teach sudah mati. Sa-chan membunuhnya karena… apa tadi?"
"Teach membunuh saudaranya."
"Nah,"
Ace melihat mayat Teach yang hangus di dekat kaki Sabo, lalu ke arah gadis berambut pirang yang entah kenapa… terlihat familiar dengan seseorang.
"Oh… begitu." Ada nada pahit didalam suara Ace, dan Sabo tahu bahwa Ace tahu rasanya kehilangan saudara.
Bibir Sabo gemetar. Dia tidak mampu—dia tidak bisa jika harus berhadapan dengan Ace sekarang. Jadi dia membungkuk dalam-dalam, lalu menekan suaranya sendiri agar tidak pecah. "Maaf… tapi aku harus benar-benar pergi sekarang."
"Ayolah, kenapa terburu-buru—hey, ada apa? Kau baik-baik saja?" Thacth langsung menepuk-nepuk punggung Sabo ketika gemetar itu terlihat semakin jelas. Oh, Sabo sangat berharap dia bisa melemparkan diri ke laut sekarang. "Apa kau terluka? Oh benar! Tadi Teach menusuk lenganmu! Apa itu baik-baik saja?!"
Tanpa persetujuan Sabo, Thatch menarik lengannya dan menggulung lengan bajunya. Tidak ada luka disana. Pria itu sepertinya lupa bahwa Sabo sudah tertembak sebelumnya dan dia masih bisa berdiri dan melawan Kurohige. Lagipula, Sabo sudah menggunakan haki untuk memblokir serangan itu dan dia baik-baik saja secara fisik.
Dia hampir menarik kembali tangannya saat cengkaman Thatch menguat. "ASCE? Hey, tato di nadi pergelangan tanganmu sama dengan milik Ace! Eh, tapi kenapa huruf A yang dicoret?"
Terkutuklah mulut besar Thatch. Sabo mulai berpikir bahwa pria ini terlalu baik hingga rasanya menyebalkan. Dan seharusnya tato itu tertutup sarung tangannya! Kenapa dia bisa melihatnya?!
Cepat-cepat dia menepis tangan Thatch dan memperbaiki lengan bajunya, sebisa mungkin mengabaikan tatapan Ace yang rasanya membakar tubuhnya. Gemetar di tangannya semakin terlihat jelas dan paru-parunya sesak. "A-aku harus pergi sekarang. Maaf sudah mengacau di kapal kalian. Permisi, Shirohige-san."
Tanpa menunggu jawaban, Sabo berbalik dan mulai berlari.
"Hey! Tunggu!"
Beberapa kru Shirohige menghalangi jalannya, tapi Sabo tidak memiliki niatan untuk melukai mereka dan hanya menghindar hingga mereka bukannya menangkapnya, tapi malah saling bertabrakan satu sama lainnya.
Sabo benar-benar tidak ingin berhenti, jadi dia mempercepat langkah kakinya dan melompat turun dari Moby Dick. Gadis itu sama sekali tidak berbalik ataupun menoleh saat dia mengarahkan kakinya menuju hutan. Tempat dimana dia jatuh sebelumnya.
.
.
.
Thatch memperhatikan gadis bernama Sa-chan itu hingga hilang dari pandangannya, lalu melihat ke arah saudara-saudaranya yang memandangnya pasrah. "… apakah aku mengatakan hal yang seharusnya tidak kukatakan padanya?"
"Kau… ah sudahlah." Izou menyentuh pelipisnya sendiri. Dia tidak percaya Thatch membiarkan gadis yang menolongnya kabur begitu saja. Terlebih lagi, Thatch baru saja mengatakan hal yang seharusnya tidak dikatakan di depan banyak orang—Ace, khususnya.
"Gurararara, bocah yang menarik!" Shirohige tertawa, kemudian memperhatikan anak-anaknya satu persatu. "Bereskan mayatnya, dan cari tahu tentang bocah itu!"
Marco mendesah, dilihat dari tatapan ayah mereka, sepertinya mereka akan segera mendapatkan saudara perempuan. "Baiklah."
.
.
.
Dengan hati-hati, Sabo naik kapal barang yang akan mengantarkannya menuju pulau lain. Dia menghindari kemungkinan untuk bertemu dengan Shirohige lagi. Setidaknya, Sabo ingin membunuh Laksamana Sakazuki lebih dulu sebelum memberitahu Ace bahwa dia masih hidup.
Lagipula, 'diri'nya yang sekarang masih belum mendapatkan ingatannya kembali.
Kapal barang yang ditumpanginya mengarahkannya menuju pulau bajak laut. Hal ini cukup membuatnya khawatir, tapi pada akhirnya mencoba menekan perasaannya sendiri dan pergi berkeliling untuk membeli senjata.
Jika dia akan menghadapi laksamana Sakazuki, maka yang dia butuhkan sekarang adalah senjata. Mungkin senapan, atau pisau yang terbuat dari batu laut. Licik, memang. Tapi Sabo sadar diri. Dia tidak bisa menang melawan Sakazuki jika dia datang tanpa persiapan dan rencana yang matang. Bagaimanapun, Magma lebih panas daripada Api.
"Selamat datang! Apa yang anda cari?"
Sabo mengedarkan pandangan, mengacuhkan pemilik toko itu sepenuhnya hingga tanpa sangaja dia melihat senapan laras panjang yang dirasanya cocok.
Pemilik toko mengerutkan kening saat melihat pelanggannya tertarik dengan senapan laras panjang yang tergeletak di sudut tokonya. Senapan itu agak berdebu, tapi pengalaman Sabo dengan berbagai senjata di revolusioner membuatnya mengetahui bahwa itu bukan senapan biasa.
"Berapa harga senapan ini?" tanya Sabo, lalu mengecek isinya. "Dan harga pelurunya juga."
"Nona, apa anda tidak ingin yang lainnya? Senapan itu sudah agak tua dan saya rasa itu tidak cocok digunakan nona untuk melindungi—"
"Jawab saja pertanyaanku, berapa harga senapan ini, dan berikan aku tiga kantung pelurunya juga."
"… lima puluh ribu belly. Satu kantung peluru berharga sepuluh ribu."
Sabo mengeluarkan delapan puluh ribu belly dan mengambil senapan itu, membesihkannya dan menatap pemilik toko yang langsung mengambil uangnya dan pergi kedalam untuk mencari pelurunya.
Ini bukanlah senapan biasa. Ini adalah senapan khusus—dimana pelurunya sendiri dibuat khusus dari batu laut. Senjata ini akan sangat menguntungkannya dalam melawan Sakazuki nanti.
"Nona, saya memiliki empat kantung. Ambillah satu kantung ini, bonus dariku. Aku senang akhirnya senapan tua itu terjual." Ujar pemilik toko dengan senyum lebar. Tangannya meletakkan empat kantung peluru—peluru khusus yang terbuat dari batu laut—di depan Sabo. "Aku ingin tahu apakah yang dikatakan mereka itu benar, bahwa senapan itu bukanlah senapan biasa yang tidak sembarang orang bisa menggunakannya."
Sabo mengambil empat kantung itu, memeriksa isinya dan memasukkannya kedalam tas pinggang yang sebelumnya dia beli, kemudian melangkah keluar tanpa mengatakan apapun.
Pemilik toko itu adalah orang yang buta mengenai senjata. Karena kalau dia pandai, senapan ini pasti tidak akan tergeletak dan berdebu di sudut ruangan. Peluru batu laut ini… satu kantung bisa seharga seratus ribu belly. Senapannya pun bisa seharga satu juta lebih. Sabo tidak berniat memberitahunya tentang ini, dan dia juga tidak berminat mengeluarkan uang lebih banyak lagi.
"Sekarang, aku hanya perlu mencari pisau." Gumam Sabo, menatap ke arah langit dengan tatapan kosong. Tangannya mengusap jam saku yang diberikan wanita tua kemarin dari balik saku. "Setelah aku menyelesaikannya… apakah aku sanggup melepaskannya?"
Setelah beberapa saat, Sabo mendesah. "Aku harus segera menyelesaikan ini."
.
.
.
Moby Dick berlayar dengan santai di Shin Sekai. Beberapa kru sibuk memancing dan yang lainnya membersihkan dek kapal. Sama seperti keseharian mereka biasanya. Yang berbeda hanyalah para komandan divisi yang berkumpul bersama Shirohige untuk membahas kejadian yang hampir membunuh Thatch beberapa hari yang lalu.
Meja di tengah-tengah mereka penuh dengan surat kabar selama seminggu belakangan dan peta. Den den mushi berwarna hitam juga ada di atasnya.
"Gadis misterius pengguna kekuatan api membunuh laksamana Sakazuki setelah mereka bentrok di pulau Fyrant. Sa-chan, dia pasti cukup gila untuk memburu Sakazuki yang terkenal kejam." Komentar Jozu.
"Disini dikatakan Akainu tewas setelah tertembak sebanyak tiga kali. Mereka menaikkan bountynya menjadi tujuh ratus juta belly setelah Akainu terbunuh." Thatch berdecak, "kepala staff tentara revolusi, eh? Pantas saja dia begitu gesit."
"Tapi jarak Shin Sekai dan South Blue sangat jauh dan mereka terlihat di dua tempat itu di waktu yang hampir bersamaan. Apa itu mungkin? Ini seolah-olah Sa-chan memiliki kembaran." Izou membalik surat kabar yang terbaru, lalu mendengus. "Jadi nama aslinya bukan Sa-chan, eh?"
"Apa maksudmu?"
Izou menunjukkan kertas buronan yang diselipkan di dalam surat kabar pada saudara-saudaranya. "Kepala staff tentara revolusi, orang terkuat nomer dua setelah Dragon. Sabo."
Ace membeku.
"Tapi kenapa dia bisa terlihat di dua tempat secara bersamaan?"
"Hei! Kau tidak bisa mengganggu mereka disaat—"
Krek!
Mereka semua otomatis menoleh pada pintu yang ini terbuka. Sa-chan—Sabo ada di sana.
"Permisi, Shirohige-san." Tatapan gadis itu jatuh pada tumpukan kertas yang ada di atas meja, lalu kembali pada Shirohige. "Aku datang untuk bicara pada komandan divisi dua bajak laut Shirohige, Portgas D Ace."
Tatapan semua orang langsung jatuh pada Ace yang masih membeku.
Sabo melepas topinya, menampilkan wajahnya keseluruhan. Bibirnya tersenyum—yang entah kenapa terlihat sedih. Tatapannya lembut pada Ace, "apakah boleh?"
"Sa… bo…?"
"Um… halo, Ace. Sudah lama, ya? Berapa tahun sejak saat itu? Sepuluh? Ah tidak, disini masih delapan, ya?" Sabo menarik napas, lalu memberanikan diri menatap Ace tepat di matanya. "Uh… jadi, aku tidak mati."
Marco mengerutkan kening, "apa maksu—"
Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, Ace sudah berlari dan menerjang Sabo dengan pukulan hingga melubangi dinding.
KRAK!
Para komandan divisi terkejut dan bingung sekaligus. Sabo terlihat memiliki hubungan dengan Ace dan dari ucapannya barusan, sepertinya ada sesuatu yang terjadi di antara mereka beberapa tahun yang lalu.
"KEMANA SAJA KAU SELAMA INI?!" Terdengar suara teriakkan yang mereka kenali sebagai suara Ace. "KAMI KIRA KAU SUDAH MATI—LUFFY MENANGIS BERHARI-HARI DAN MENOLAK UNTUK MAKAN! SIALAN—BAHKAN KAKEK MENANGIS!"
Ketika Marco dan yang lain keluar untuk melihat apa yang selanjutnya terjadi, Sabo sudah terbaring di atas dek kapal. Gadis itu sama sekali tidak melawan Ace yang kini berada di atasnya dan menarik kerah bajunya. Bahunya bergertar dan kepalanya tertunduk hingga mereka tidak bisa melihat ekspresi wajahnya.
"SABO!" Ace membentak, hampir terdengar seperti jeritan. "Kenapa… kau tidak pernah menemui kami…?"
Sabo mengangkat tangan, mengusap pipi Ace yang basah dan menggumamkan permintaan maaf berkali-kali.
Mereka semua terkejut karena mereka tidak pernah melihat Ace menangis. Mereka bingung, tapi memilih untuk diam dan memperhatikan lebih dulu.
Kemudian, Ace mundur dan menarik Sabo, lalu memeluk gadis itu erat-erat dan menyembunyikan wajahnya yang basah di pundak Sabo.
Gadis itu balas memeluk Ace sama eratnya. Pundaknya gemetar dan dia masih menggumamkan permintaan maaf bagaikan mantra. Mereka berpelukan beberapa saat hingga Ace melepaskannya, lalu mengusap pipinya yang lembab.
"Sekarang siapa yang cengeng disini?" Tanyanya dengan suara serak dan nada menghina.
Sabo tertawa kecil, lalu membantu Ace membersihkan pipinya dari air mata. Mengabaikan pipinya sendiri yang masih basah. "Kau."
"Aku menuntut penjelasan darimu." Ace cemberut, menangkap tangan Sabo dan menggenggamnya.
"Aku tahu." Sabo menarik napas, lalu seakan sadar bahwa mereka menjadi pusat perhatian, dia menggeleng pada Ace. "Tapi tidak disini. Aku tidak mau menanggung resiko… penyusup mendengarkan pembicaraan kita."
Ace sepertinya menyadari bahwa mereka baru saja menemukan penghianat beberapa hari yang lalu. Jadi dia menarik Sabo untuk berdiri dan berteriak pada saudara-saudaranya yang masih setia memperhatikan mereka dengan ekspresi bingung dan penasaran yang terlihat jelas.
"Aku akan pergi dengan Sabo beberapa hari! Oh, atau mungkin minggu! Ada hal yang harus kami lakukan!" Pemuda itu sama sekali tidak menunggu mereka menjawab saat menarik Sabo untuk melompat dan naik di atas striker. "Aku berangkat!"
"Hey! Tunggu! Kalian mau kemana?!" Haruta berteriak, sedangkan Izou dan Thatch tertawa. Marco dan yang lainnya hanya bisa menggelengkan kepala.
"Sepertinya kita harus menunggu mereka kembali untuk mendapatkan jawaban, yoi."
.
.
.
"Jadi, bagaimana?" tanya Ace setelah mereka berada agak jauh dari Moby Dick. Dia menyeringai senang pada Sabo, tapi seringaiannya luntur ketika menatap Sabo yang terlihat hampir menangis. "Sabo?"
"Maaf."
"Sudahlah, yang penting kau hidup dan sekarang berada di depanku. Kau harus menceritakan semuanya, kau tahu? Ka—"
"Maafkan aku karena tidak menyelamatkanmu." Sabo memotong ucapan Ace, menunduk dan lelehan air mata kembali membanjiri pipinya. Suaranya pecah dan bergetar, penuh rasa bersalah. "Maafkan aku karena tidak mengingatnya. Maafkan aku karena lupa—aku tidak ingin, aku ingin mengingatnya—tapi aku tidak bisa."
"…"
"Maaf, maafkan aku karena tidak bisa melindungimu dan Luffy… maafkan aku karena tidak berada disana… maafkan aku, Ace. Maa—" racauannya terhenti ketika Ace mengangkat dagunya dan menatapnya lembut.
"Hey, sudahlah. Kau kenapa? Aku baik baik saja. Untuk apa kau menyelamatkanku?"
Tapi Sabo malah semakin menangis dan Ace harus memeluknya. Di tengah-tengah tangisannya, Sabo mulai menceritakan semuanya. Apa yang akan terjadi dan apa yang telah dialaminya hingga kenapa dia bisa mengetahuinya. (Tentunya, Sabo melewatkan bagian tentang perjanjiannya dengan wanita tua itu mengenai reinkarnasinya.)
.
.
.
"… jadi kau adalah Sabo di masa depan yang kembali ke masa lalu?"
Sabo mengangguk. Masih berada didalam pelukan Ace yang hangat dan menenangkan. Mereka tidak berpisah sejak tadi dan membiarkan angin yang mendorong striker berlayar.
"Dan Sabo yang di masa ini masih belum mendapatkan ingatannya kembali?"
Lagi lagi Sabo mengangguk.
Ace menghembuskan napas, "sekarang aku mengerti kenapa kau membunuh Teach dan Akainu. Saudara yang pernah kau maksud itu… aku, kan?"
"… mm. Aku beruntung bisa membunuhnya sebelum dia bisa kabur. Dan aku beruntung karena Sakazuki terlalu mudah di provokasi oleh kebenciannya terhadap bajak laut."
"Haaah… aku tidak tahu harus berkomentar apa." Desah Ace, lalu menepuk-nepuk punggung Sabo dengan gerakan menenangkan. "Ngomong-ngomong, kau benar-benar memakan mera-mera no mi setelah aku mati?"
"Aku dan Luffy tidak akan membiarkan buahmu jatuh ke tangan orang lain." Balas Sabo, lalu sedikit mendorong bahu Ace agar mereka bisa bertatapan. Tangannya lalu terangkat dan menciptakan api di telapak tangan yang tertutupi sarung tangan coklat.
Cahaya api itu menari-nari di mata Ace, membuatnya terlihat berkilau.
"Heh, kau benar-benar mewarisi kekuatanku." Ace menyentuh tangan Sabo dengan lembut, lalu menggunakan api yang sama. "Setelah ini, apa kau akan kembali ke masa depan?" tanyanya. "Teach dan Akainu sudah mati, lho. Bukankah seharusnya kau kembali ke masa depan?"
"… ya, aku memang berniat seperti itu. Tapi aku berpikir bahwa kau pasti memerlukan penjelasan. Kau membaca kertas buronku 'kan, Ace?" Sabo tertawa kecil, "dan aku juga perlu meninggalkan pesan untuk diriku sendiri di masa ini."
Ace menahan napas, "lalu… bagaimana dengan Luffy? Apa kau tidak ingin memberitahunya?"
"Tentu aku ingin." Jawab Sabo cepat. "Tapi dia tidak akan suka jika aku memberitahunya cerita petualangannya sendiri di masa depan. Jadi sebaiknya 'aku' yang dimasa sekarang yang bertemu dengannya. Bukan aku dimasa depan. Dengan begitu, dia tidak akan mengetahui ini."
"… yah, memang sebaiknya begitu. Tapi aku tetap akan meninggalkan pesan untuknya dan mengatakan bahwa kau masih hidup." Ace menyentuh kepalanya sendiri, lalu mendengus. "Lalu? Kau ingin menemui dirimu sendiri di masa lalu?"
"Ya, aku sudah menghubunginya sebelum naik ke atas Moby Dick tadi. Kemungkinan dia akan sampai dua hari lagi."
"Sampai?"
"Ke pulau Tropicalla."
Ace menatap Sabo beberapa saat, kemudian tertawa canggung. "Memikirkan aku akan bertemu denganmu yang hilang ingatan membuatku sakit. Pulau Tropicalla tidak jauh dari sini. Ayo kesana dan kita sparring sebelum 'kau' datang. Aku ingin tahu sejauh mana kemampuanmu."
"Tentu. Aku yakin akan menang telak. Tidak akan ada hasil seri seperti sebelum-sebelumnya."
"Ha! Coba saja kalau kau mampu!"
.
.
.
Sabo menatap dirinya sendiri yang kini terbaring di atas ranjang. Badannya panas, sangat panas bahkan bagi logia api sepertinya. Sekarang Sabo paham kenapa Koala menangis dan mengatakan bahwa dia hampir mati terpanggang.
Gadis itu pingsan tidak lama setelah Ace muncul dan menyapanya. Seperti yang dapat diduga.
Karenanya, Sabo sama sekali tidak panik dan meminta Ace menggendong tubuhnya yang pingsan masuk kedalam penginapan. Dia juga memanggil dokter untuk memeriksanya dan memberikan beberapa obat.
"Berapa lama dia akan pingsan? Suhu tubuhnya panas sekali. Tanganku rasanya terbakar!"
"Tiga hari penuh. Aku mendapatkan ingatanku kembali setelah ini, jadi kau tidak perlu terlalu khawatir." Sabo menepuk bahu Ace yang kaku, lalu tersenyum. "Aku akan memanggil Koala dan memintanya membantumu."
Tangan Ace naik dan menggenggam tangan Sabo yang ada di bahunya. Tatapannya tetap khawatir. "Kau akan pergi?"
"Ya, tidak baik jika orang melihat dua Sabo berada di tempat yang sama. Lagipula, aku penasaran dengan perubahan yang kulakukan." Jawab Sabo, lalu mengambil den den mushi dan menghubungi Koala untuk membantunya.
Ace diam dan menatapnya dalam. Hatinya berkecamuk dengan berbagai emosi. Di satu sisi dia senang Sabo akan kembali pada mereka, padanya. Tapi di sisi lain, dia juga tidak ingin Sabo yang ini pergi.
"Kau baik?" tanya gadis itu ketika selesai menghubungi Koala. "Ada apa?"
"… hanya tidak tahu harus berkata apa. Ini semua… membingungkan."
Sabo terdiam. Lalu dia menarik kepala Ace dan memeluknya di dadanya. "Semua akan baik-baik saja. Kau tidak akan mati dan aku akan kembali padamu. Kau tidak perlu khawatir, Ace."
Pemuda itu membalas pelukan Sabo dan membiarkan gadis itu mengecup puncak kepalanya. Dia menarik napas dalam-dalam dan bersandar nyaman pada ketenangan yang diberikan detak jantung Sabo.
"Koala akan segera datang," Setelah beberapa saat, Sabo tiba-tiba membuka suara. "Aku harus pergi."
Pelukan Ace mengerat beberapa detik sebelum melepaskan pinggang Sabo sepenuhnya. "Aku akan mengantarmu."
Sabo mengeluarkan jam saku yang diberikan wanita tua itu sebelum menjatuhkannya disini. Dia menatapnya sejenak sebelum menekan dan mulai menyalakannya. Dengan ajaib waktu jam itu mulai bergerak. "Sampai jumpa, Ace."
Ace bangkit berdiri, maju dan mengapit dagu Sabo sebelum mencium pipinya. "Sampai jumpa, Sabo. Kuharap aku bisa bertemu lagi dengan dirimu yang ini."
"Hahaha, aku harap juga begitu." Balas Sabo, lalu perlahan-lahan kesadarannya turut menghilang. "Dah, Ace. Kuharap aku tidak perlu memakan buahmu lagi. Rasanya tidak enak!"
Tawa Ace adalah hal terakhir yang dapat dia dengar, sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya.
.
.
.
END.
Omake.
Di sudut gua yang gelap, sosok wanita tua tertawa terbahak bahak.
"Satu kehidupan reinkarnasi, ya? Gadis itu benar-benar menyayangi bocah itu."
Sebuah senyum lebar yang terkesan lembut perlahan terbentuk di bibir keriput.
"Ace… putraku dan dia… semoga kau bahagia di tiap kehidupanmu."
"Karena…"
"Banyak orang yang mencintaimu."
.
.
.
REAL END.
A/n;
Hayoloh. Siapa tuh? Hehehehe, sudah kubilang endingnya gantung. Aku tbh juga gatau kenapa ngetik ini. Tapi aku pingin AceSab. Butuh AceSab. Butuh semangat buat UAS/nangis guling guling.
Oh baiklah, terimakasih sudah membaca! Sampai bertemu di AceSab yang lainnya!
