Pagi hari, segaris pandangan Hinata muncul setelah ia membuka mata dengan berat. Tatapan Hinata jatuh pada Sasuke yang tertidur di sampingnya. Berbeda dengan Hinata yang terbungkus selimut, Sasuke sama sekali tidak ditutupi selimut. Posisinya meringkuk seolah menghalau udara dingin menyentuh tubuh. Punggung telapak tangan Hinata tertempel sebuah selang terhubung tiang infus. Dibanding bergerak, Hinata memilih kembali memejamkan mata beristirahat.

Lalu yang Hinata rasakan ialah sebuah olesan gel dingin membaluri luka-luka gores dari ranting rerumputan kemarin. Itu pasti perbuatan Sasuke. Entah bagaimana Sasuke bertindak seolah kakak laki-laki pada adik perempuannya. Sekali lagi Hinata memilih tidak membuka mata. Dan membiarkan kantuk menguasai menghantarkan pada mimpi. Mimpi di mana Hinata berharap akan ada akhir bahagia dalam hidupnya. Akhir di mana penyiksaan itu tidak pernah ada. Ditinggalkan itu hanyalah kesalahpahaman saja.

* * *

Dua hari telah berlalu. Hinata telah cukup beristirahat dan mampu makan menggunakan mulutnya. Tidak lagi disuntikkan cairan infus. Kini jendela atas telah ditutup. Buku-buku sudah dirapihkan, dan pergelangan kaki kiri Hinata kembali diikat dengan rantai. Berusaha berjalan terseok dengan sebelah pergelangan kaki kanan yang tidak berfungsi baik. Hinata jatuh tepat di hadapan rak buku tersusun.

Pandangannya tertuju pada buku berwarna warni. Seperti anak kebanyakan. Hinata menyukai buku ensiklopedia sains, dimana buku tersebut menampilkan lipatan-lipatan berbentuk dinosaurus. Kebinaran menghampiri wajah. Meski Hinata tidak pernah diajari baca-tulis, atau bahkan tidak mampu melakukan keduanya. Hinata tetap menyukai warna dan bentuk-bentuk makhluk hidup. Mengambil buku lain Hinata membuka buku bergambar mewarnai. Terdapat kerayon di bagian paling bawah, ia memilih menggunakan kerayon tersebut untuk mewarnai buku temuannya. Sebab bagaimanapun juga Hinata tetaplah anak-anak.

* * *

Di hari ke lima menjelang malam dini hari. Hinata terbangun dengan suara napas tertahan yang ada di samping ranjang. Ruang kosong yang Hinata sisakan-tidak Hinata tempati, takut-takut bila Sasuke datang tiba-tiba. Dan benar dugaan anak perempuan itu. Sasuke telah datang. Wajahnya memerah. Kala Hinata menyentuh dahi anak lelaki itu, rasanya benar-benar panas. Belum lagi Sasuke dipenuhi luka lebam babak-belur yang luar biasa parah untuk seusianya. Penasaran. Hinata mencoba menyingkap kaos dongker tipis yang digunakan Sasuke. Mata Hinata membulat, sadar bahwa luka tembak Sasuke bocor.

Sepertinya Sasuke terkena tembakan pistol, pisau, dan dikeroyok. Luka tembakan tersebut diobati seadanya dan kini perbannya sedikit terkelupas, terbasahi darah sampai mengotori seprai.

Apa yang harus Hinata lakukan?

Hinata menahan napas. Ia mencoba beranjak dari ranjang untuk mengadu pada pelayan sebelum sebuah tangan menahannya lemah.

"Jangan beritahu pelayan-pelayan itu. Mereka sudah dibayar untuk memata-matai ku." Hinata mengerutkan kening. Otaknya dipaksa berpikir keras.

"Aku tidak akan memberitahunya." Bisik Hinata menenangkan melepas genggaman Sasuke dengan mudah.

Bagaimana caranya mengobati seseorang yang sedang terluka?

Bagaimana?

Dengan gusar Hinata turun dari kasur. Berjalan bersama kaki tertatih, tetapi ambruk saat pada langkah kedua. Mendadak Hinata lemas hanya untuk melangkah. Menguatkan tekad. Anak perempuan Hyuuga itu merangkak dengan kedua tangan, mencari kotak obat. Setahu Hinata seperti televisi yang menyiarkan iklan pertolongan pertama. Hinata membutuhkan obat merah.

Lemari terbuka, tempat di mana Hinata mengambil sebuah kapak dan pisau di sana. Tidak lagi menginginkan untuk melarikan diri. Melirik pun tidak. Hinata benar-benar fokus pada pengobatan yang akan ia lakukan untuk Sasuke. Dan seingat Hinata, saat seseorang terkena demam, ia akan dikompres air hangat. Hinata beruntung ingatan-ingatan sederhana itu, mendadak memenuhi otaknya meski Hinata mendapatkan hal tersebut dari menonton iklan televisi tetangga yang tidak akrab.

Hinata kembali berjalan merambat dengan kedua tangan, menggeret kotak obat yang sudah ia ambil. Ternyata dalam kotak obat terdapat sisipan kertas, berisi rangkuman tata cara mengobati pasien dengan menggunakan gambar dan keterangan. Itu adalah tulisan tangan juga tempelan gambar yang sepertinya berasal dari Sasuke sendiri. Hinata tidak bisa membaca, tetapi ia mengerti gambar yang tertera. Dengan keyakinan bahwa ia mampu melakukannya. Hinata melakukan pengamatan memaksa otaknya bekerja aktif untuk menyelesaikan masalah di hadapannya.

Hinata membuka, melepas kapas yang berubah merah oleh luka yang bocor. Membersihkannya, kemudian menutupinya kembali dengan kapas, plester, dan sebuah perban yang tidak terlalu kuat, juga tidak terlalu kendur.

Selanjutnya dengan kapas Hinata kembali membersihkan luka demi luka bekas tusukan pisau, goresan demi goresan, dan mengelap darah di kulit yang tidak terluka. Menutupinya kembali dengan pekerjaan cukup baik bagi anak seusianya yang masih berumur 4 tahun.

Hinata tidak menemukan handuk kecil yang ia lihat di dalam kartun. Jadi Hinata kembali mencari selembar kain yang bisa ia jadikan untuk mengkompres dahi Sasuke. Berjalan agak terpincang, ia meraih mangkuk dan mengisinya dengan air panas-kamar mandi Sasuke memang dapat disesuaikan mengeluarkan air panas ataupun air dingin. Setelah dirasa cukup Hinata sekali lagi berusaha mencari selembar kain ataupun handuk kecil. Sama sekali tidak menemukan. Hinata menggunakan apa saja yang terpenting bisa dilipat, tipis, dan bisa mengkompres sesuai kartun tontonannya. Sebagai tambahan, rantai yang mengikat Hinata memang sedari awal memiliki panjang, yang membuat Hinata bisa mengitari kamar Sasuke.

Berhenti ke Sasuke. Dengan telaten dan hati-hati ia mengobati anak lelaki 7 tahun yang sudah dengan ganas mematahkan pergelangan kakinya. Hinata mencoba mencari pikiran-pikiran baik seperti, setidaknya ia sudah diberi makan dan tempat tinggal. Lagipula Hinata terlahir memiliki hati selembut sutera yang tiada tega melukai manusia lainnya.

Seingat Hinata, Sasuke mengambil obat di laci, meminumkannya pada dirinya, kemudian membuat Hinata tertidur dan merasa lebih baik setelahnya. Mungkin itu merupakan salah satu obat yang dibutuhkan Sasuke sekarang. Hinata meracak laci, membuatnya berantakan dan menemukan sebuah bungkusan terisi beberapa butir obat. Sepertinya satu sudah cukup.

Hmm...

Dan bagaimana cara agar Sasuke minum obatnya?

Memiringkan kepala berpikir, Hinata mengikuti bagaimana Sasuke memberinya obat kemarin.

"Sasuke buka mulut."

Setengah sadar Sasuke menuruti tanpa protes. Memangnya masih sanggupkah seorang sepertinya protes sedang ia dilanda demam dan luka parah?

"A?"

Hinata menggigit obat tersebut, untuk selanjutnya merangkak berada di atas Sasuke, mencium bibirnya, memaksa dengan lidah agar Sasuke menelan obat kunyahannya. Hinata mengikuti dengan baik hanya dalam sekali melihat perbuatan Sasuke, mengerikan bahwa potensi berbakat tersebut dimiliki Hinata. Wajar saja Hinata bisa bertahan dengan hantaman kekerasan lingkungan jika bakatnya dalam mengamati sebagus ini. Dia tidak perlu diajari, Hinata menyandang penglihatan dan kecermatan sesudah memperhatikan sesuatu. Menirunya begitu sempurna.

Sasuke tahu, kepolosan Hinata yang berpikir bahwa melalui ciuman mampu membuat Sasuke menelan obat, memaksa Sasuke ingin menambah tindakan lain yang entah mengapa memenuhi perutnya dengan kupu-kupu beterbangan. Menggelikan sekaligus membuat candu.

Dengan kekuatan tersisa Sasuke memperdalam ciuman itu. Membelai pipi, rahang, dan telinga Hinata untuk selanjutnya ia kulum sedemikian rupa erotis. Rasanya menakjubkan.

Jeda di antara mereka. Hinata kewalahan kekurangan udara.

Kantuk hadir dalam diri Sasuke membuat lelaki 7 tahun itu sedikit menahan agar tidak terpejam, untuk beberapa detik selanjutnya, sebelum benar-benar menemui mimpi. "Aku menginginkan ini lagi." aku Sasuke menyentuh bibir Hinata kedua kali.

Merasa tidak paham, Hinata pikir ia akan memberikannya. Berikutnya ciuman ketiga mereka kembali bertemu. Dan Sasuke bersumpah bahwa bila setelah ia menutup mata karena tertidur, seandainya Hinata diam-diam melarikan diri karena peluang besar itu. Sasuke akan mencekik Hinata, mematahkan dua kakinya, pula, memaksa Hinata tetap pada sisinya.

Kedua mata Sasuke terpejam. Hinata mengangkat kepala. Benang saliva mereka terputus. Anak itu memilih melanjutkan mengkompres Sasuke agar demamnya kembali turun.

* * *

Pandangannya kabur, berkedip sekali, masih terlihat kabur, berkedip dua kali, mata hitam jelaga itu sudah benar-benar terbuka. Sasuke terbangun memproses apa yang sudah terjadi padanya. Kain dari dahi jatuh, Sasuke memandang jijik pada kain yang digunakan Hinata untuk mengkompresnya semalaman. Itu merupakan pakaian dalam segitiga yang seharusnya digunakan di bawah. Sasuke mengumpat merasa malu sendiri.

Hinata.

Wajahnya menoleh tidak mendapati sosok tersebut berada di kamarnya. Napas Sasuke tercekat melihat rantai yang tergeletak dan sebuah kunci telah memberitahunya satu hal. Sasuke beranjak bangun keluar dari kamar. Berlari mencari ke mana seharusnya Hinata pergi.

Sialan. Tolol. Idiot.

Seharusnya Sasuke tahu apa yang ada di kepala Hinata bila melihat kelemahannya. Menarik kerah pakaian pelayan yang kebetulan lewat di hadapannya sampai membungkuk dengan perbedaan tinggi tubuh mereka, Sasuke berteriak meluap, "Di mana anak itu pergi?!" Suaranya beringas lepas dari kontrol.

"A-anak itu a-a-apa?" Pelayan tersebut menyahut terbata tiada mengerti.

"Brengsek. Kau tolol hah?!" Sasuke menggeram mendorong kasar sampai pelayan lain berdatangan membantu salah satu temannya yang jatuh ke lantai.

Sasuke berlari menelusuri tempat demi tempat, yang bisa ia perkirakan di mana Hinata akan kabur. "Aku akan mematahkan kakinya, aku akan mematahkan kakinya, aku mematahkan kakinya, aku akan mematahkan kakinya." Seolah sebuah mantera Sasuke bergumam tiada berhenti. Sasuke melotot dengan pandangan gelap. "Pertama aku akan mencekiknya, membiarkannya memohon ampun, lalu akan kupatahkan kedua kakinya agar ia tidak bisa berjalan." Kepalan tangan mencengkeram kuat. Langkahnya kembali pada kamar untuk menyusun rencana keji. Pandangan Sasuke menggelap. "Aku akan mematahkan kakinya, aku akan mematahkan kakinya, aku akan mematahkan kakinya."

Pintu kamar terbuka, suara itu mengalun.

"Sasuke sudah sembuh?"

Selayaknya sebuah kesejukkan di antara panas terik. Dalam sedetik kewarasan kembali hadir memenuhi Sasuke. Lelaki itu menyaksikan Hinata masih berada di dalam kamar dengan pakaian miliknya. Kaki kanan masih terluka akibat perbuatannya. Anak perempuan 4 tahun itu tidak pergi meninggalkan, walaupun kesempatan itu terbuka lebar. Dia hanya melepas rantai dan memilih membersihkan diri di kamar mandi. Sebenarnya Hinata itu polos atau kelewat bodoh?

Sasuke ambruk menjatuhkan diri. Apapun itu. Sasuke bersyukur Hinata masih tetap berada di sini. Ia merentangkan tangan. "Hinata, kemari."

Untuk pertama kalinya Sasuke menyebut nama Hinata, bahkan sebuah kata yang tidak pernah Hinata dengar belakangan ini, setelah insiden ia dibuang, sampai perempuan itu merasa melupakan namanya akibat tak ada seorang pun yang tahu dan menanyakan namanya.

Hinata berusaha turun dari ranjang, karena masih tidak terbiasa berjalan dengan kaki pincang, ia jatuh. Merangkak susah-payah dengan kedua tangan, menghambur ke pelukan Sasuke yang begitu erat mendekapnya masif. Hei, jika pertemanan, persahabatan, dan persaudaraan itu nyata adanya, mereka berdua telah menyambungkan ikatan itu tanpa keduanya sadar.

* * *

"Namanya Hyuuga Hinata. Bungsu perempuan dari kedua orangtua yang nyaris bercerai. Hiashi Hyuuga dan Hikari Hyuuga. Kakak Hinata bernama Neji Hyuuga. Dilihat dari bagaimana perbedaan kedua orang tua tersebut mengasuh Neji dan Hinata. Sepertinya Hinata tidak pernah diinginkan kehadirannya oleh mereka, Fugaku-sama." Penjelasan Kakashi mengawali balasan pertanyaan yang diajukan Fugaku untuk lebih mengenal anak perempuan yang dibawa Sasuke.

"Anak perempuan itu tangguh mampu bertahan hidup di antara pekerja paksa di umur 4 tahun." Fugaku kembali menghembuskan asap dari rokok favoritnya. "Bagaimana dengan CCTV Sasuke?"

"Dirusak oleh tuan muda Sasuke, Fugaku-sama." Kakashi membungkuk sebelum menjawab.

"Dan pelayan mata-mata?"

"Mereka mengundurkan diri akibat kebrutalan tuan muda Sasuke yang sadar sedang diawasi."

Fugaku benar-benar tertawa. "Dia cerdas." Pujian itu terlontar begitu saja. "Ini buruk, Sasuke lebih daripada mampu untuk menghancurkanku dengan otaknya itu." Kemudian dia mendengus tidak ingin kekuasaannya terebut meskipun untuk anaknya sendiri. Serakah? Ya. Itu adalah nama tengahnya. "Telepon pembunuh bayaran. Aku ingin tahu bagaimana Sasuke berhasil lolos dari kematiannya untuk ke sekian kali." Uchiha dengan segala kutukannya, tidak ada kata damai dalam hubungan keluarga mereka.

"Bukankah lebih mudah bila menyuruh orangtua angkat Sasuke saja yang turun tangan, Fugaku-sama?"

"Suruh ketiganya membunuh Sasuke."

"Baik."

* * *

Sasuke memberi pandangan lamat. Terdiam dengan posisi tengkurap menghadap Hinata yang juga menatapnya. "Mengapa kau bisa berakhir di tempat budak pekerja?" Pertanyaan yang mengawali kedekatan mereka dalam mempererat sebuah pertemanan.

"Tou-san meninggalkanku di taman bermain, dan tak pernah datang meski aku sudah menunggunya. Ada kesalahpahaman antara aku, Tou-san dan Kaa-san. Mungkin mereka sedang menunggu kepulanganku sekarang." Kalimat ketiga merupakan harapan yang sebenarnya sedang Hinata panjatkan. Kenaifan Hinata tertampak.

"Kau bilang bagaimana mungkin kau kabur sedangkan kau tak punya tempat pulang, apa maksudnya?"

Keheningan datang. Hinata memilih tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangan. Ada beberapa hal di mana ketika kau menceritakannya secara blak-blakan, kau akan menangis oleh fakta terumbar tersebut. Karena menyadari bahwa yang menimpamu merupakan suatu kejadian teramat menyesakkan.

Sasuke beranjak dari ranjang, memutus benang jahit berwarna hitam menggunakan gigi. Kemudian membungkuk mengambil kunci rantai untuk ia masukkan. Mirip kalung buatan murahan dijual pasaran. Sasuke tidak menaiki kasur. Kali ini anak lelaki 7 tahun itu berlutut di lantai, membuat pergerakan memaksa Hinata bangun dari tengkurapnya untuk duduk. Lalu ia memasangkan manual kalung kunci itu pada Hinata. Persis sekali dengan kalung mainan anak-anak. Hanya terbuat dari benang jahit, bukan sebuah emas ataupun logam.

"Aku menjadikanmu peliharaan bukan untuk benar-benar menjadikanmu sebagai hewanku. Aku hanya menginginkan dapat membawamu ke sini. Ke tempatku."

Hinata menengadah pada dua mata memasang lekat, memandang sorot Sasuke. Sorot hitam yang memiliki tarikan magnet hingga ketika terperangkap kau takkan bisa pergi. Terjerat lalu tak mengerti caranya meloloskan diri.

"Aku memiliki ayah bajingan yang ingin membunuhku karena aku adalah seorang jenius tempramental." Sasuke melepas kausnya menunjukkan tubuh setengah telanjang. Tubuh dipenuhi banyak luka-luka tak wajar. Luka tembak, pisau, dan kekerasan dari benda tumpul. "Dia pernah mencoba memasukkan sebuah chip ke dalam sini untuk mengawasiku, melacak keberadaanku, mengendalikan aku." Sasuke menunjuk leher belakang. Tawanya kering dengan bibir tidak berhenti memaki. Mengulurkan tangan, Sasuke menarik Hinata lunak, menyenderkan dahinya dengan anak perempuan itu. Napas mereka beradu. "Dia adalah ayah paling kaparat yang pernah kukenal." Bahkan firasat Sasuke menyebut Fugaku sedang mempersiapkan pembunuhan lain untuknya.

Maka masih bisakah Hinata mempunyai keinginan pergi dari Sasuke? Sedangkan lelaki itu berkuasa, memberikan Hinata sebuah ikatan tak kasat mata. Hinata tidak mau ikatan itu lepas. Tidak ada lagi ikatan yang membungkus tubuhnya selain ikatan yang Sasuke tawarkan, bahkan kedua orangtua dan saudara laki-lakinya pula menghancurkan ikatan tersebut dengan membuang Hinata di taman bermain.

Merentangkan tangan, Hinata menyapu permukaan pipi Sasuke yang kasar, lantaran bekas luka gores itu menodainya. Tatkala dua mata Sasuke terpejam menikmati usapan rapuh Hinata, Hinata menginginkan bisa berubah menjadi malaikat serta-merta menghapus segala kesedihan yang lelaki itu simpan, pun mengabulkan apa yang lelaki itu pinta.

artnius