Disclaimer:

Naruto: Masashi Kishimoto

A Silent Voice: Kyoto Animation

.

.

.

Lagu yang digunakan author saat menulis cerita ini:

Endless Tears by Maiko Nakamura feat. CLIFF EDGE

Maboroshi by Ikimonogakari

.

.

.

Hidden

By Hikayasa Hikari

.

.

.

Chapter 6. Kehilangan

.

.

.

Naruto dan Naruko turun dari bus yang berhenti di depan halte, tak jauh dari rumah Shouko. Mereka berlari tergesa-gesa, tidak sabar ingin bertanya perihal mengapa Shouko memblokir Whatsapp milik mereka.

Naruto dan Naruko tiba juga di depan pintu pagar rumah Shouko. Menemukan Yaeko yang hendak menutup pintu pagar. Yaeko mengerutkan kening, menatap saudara kembar itu bergantian.

"Kalian," kata Yaeko bermuka serius -- sudah mengenal Naruto dan Naruko karena sering berkunjung ke rumah Shouko.

"Oba-san, Shou-chan ada di rumah?" tanya Naruko maju mendekati Yaeko.

"Shouko sudah pergi."

"Maksudnya pergi ke sekolah? Sepagi ini?"

"Bukan. Dia sudah pindah sekolah ke kota lain."

"Hah?"

Naruto dan Naruko membulatkan mata sempurna. Tercengang. Tubuh mereka seolah membeku di antartika.

"Shou-chan pindah ke kota mana, Oba-san?" tanya Naruto. Dia melepaskan kacamata hitam dan maskernya.

"Maaf, aku tidak bisa mengatakannya," jawab Yaeko bermuka tegas, lalu menutup pintu pagar, "permisi!"

"Oba-san, tunggu!"

Langkah Naruko terhenti saat Naruto menangkap tangannya. Naruko menoleh ke arah Naruto. Menangkap sinar mata Naruto meredup.

"Jangan kau kejar ibu Shou-chan," kata Naruto melihat Yaeko masuk ke rumah, "kita bisa bertanya soal keberadaan Shou-chan pada orang yang tepat."

"Orang yang tepat?" tanya Naruko mengerutkan kening.

"Kepala sekolah di tempatmu, pasti tahu Shouko ada di mana sekarang."

"Oh ya, benar juga. Kalau begitu, aku harus buru-buru pergi ke sekolah sekarang juga!"

Naruko langsung berlari ke halte bus. Sementara Naruto tetap terpaku di sana. Naruto merasakan hatinya menangis karena telah kehilangan bunga cintanya.

Shou-chan, mengapa kau tidak bilang kalau kau akan pindah sekolah? Padahal aku ingin bersekolah di tempatmu dan ingin selalu bersamamu setiap waktu. Sekarang kau tidak ada, aku merasa kesepian lagi sekarang.

Tanpa sadar, Naruto meneteskan air mata. Kepalanya tertunduk. Merasakan belaian angin dingin sepoi-sepoi yang menyentuh wajahnya. Tidak merasakan kehangatan sinar mentari yang sudah naik ke langit.

Tiba-tiba, handphone berbunyi di kantong jaket Naruto, mengagetkan Naruto. Berpikir Shouko yang menelepon, membuat Naruto kegirangan. Tapi, ketika menyadari siapa yang menelepon, perasaan senang itu menghilang dari dirinya bagai air yang berubah menjadi uap.

Oka-san? Mengapa Oka-san meneleponku? batin Naruto mengerutkan kening, mengusap air mata dengan cepat. Menjawab panggilan sang ibu.

Terdengar suara Kushina di seberang sana. "Halo, Naruto."

Naruto berusaha menahan air matanya agar tidak diketahui Kushina, tersenyum tipis. "Halo, Oka-san. Ada apa sehingga Oka-san meneleponku sepagi ini?"

"Oka-san minta kau datang ke rumah sekarang. Oka-san ingin membicarakan sesuatu yang penting padamu."

"Kalau soal aku yang minta bersekolah di tempat Naruko, aku membatalkannya."

"Hah? Tu ... tunggu! Mengapa kau berubah pikiran secepat itu? Tapi, pokoknya kau harus datang ke rumah sekarang! Ceritakan semua masalahmu itu pada Oka-san!"

"Baiklah. Aku segera pergi ke sana."

Naruto mematikan komunikasinya dengan Kushina. Memutuskan berjalan menuju halte, tempat Naruko menunggu bus tadi. Tapi, Naruko tidak ada di halte, karena sudah pergi ke sekolah dengan bus.

.

.

.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, bertepatan Naruto tiba di rumah keluarganya. Rumah elit berlantai dua serba jingga-biru. Dikelilingi pagar besi setinggi dua meter.

Naruto duduk bersimpuh, menghadap Kushina di ruang keluarga yang cukup luas. Meja berkaki rendah menjadi pemisah di antara mereka. Dua cangkir teh hijau hangat sudah tersaji di atas meja. Barusan Kushina yang membuat teh itu.

"Kemarin, gurumu datang menemui Oka-san. Kau ingin sekolah di tempat Naruko, ya?" tanya Kushina mengerutkan kening. Membayangkan adegan pertemuannya dengan Asuma di ruang keluarga itu.

"Sebelumnya, aku maunya begitu. Tapi, setelah kupikir lagi, aku tidak mau bersekolah di sana," jawab Naruto sedikit menunduk, menyembunyikan ekspresi wajahnya yang sebenarnya.

"Mengapa?"

Mulut Naruto terkatup rapat. Tidak berani mengatakan kejadian yang sebenarnya pada Kushina. Tahu benar tabiat Kushina yang terlalu overprotektif padanya. Jika Naruto memberitahu keinginannya yang lain, tentu membuat ibunya marah dan khawatir.

"Katakan apa yang kau inginkan, Naruto. Oka-san akan berusaha mewujudkannya," ucap Kushina bernada lembut.

Naruto menengadah, menatap Kushina. "Kalau aku mengatakannya, Oka-san tidak akan mengizinkannya."

"Ya, katakan saja apa yang kau inginkan. Oka-san akan mengizinkannya."

"Benar?"

"Benar."

"Aku ingin ... menyusul Shou-chan yang sudah pindah sekolah ke kota lain."

"Hah?"

Kushina ternganga. Matanya sedikit membesar. Bukan perasaan marah yang dirasakannya, melainkan perasaan penasaran.

"Ka ... kau ingin menyusul Shou-chan?" tanya Kushina terbata-bata.

"Ya. Aku mengetahui dari ibu Shou-chan, bahwa Shou-chan sudah pindah sekolah ke kota lain. Aku tidak tahu penyebabnya apa sehingga Shou-chan pindah sekolah. Tapi, sekarang Naruko sedang mencari tahu semua itu dengan cara bertanya pada kepala sekolah," jawab Naruto mengangguk.

"Alasanmu apa sehingga mau menyusul Shou-chan?"

"Aku menyukainya, Oka-san."

Kushina melebarkan mata. Mulutnya sedikit terbuka. Tidak menyangka kalimat itu meluncur dari mulut anak kesayangannya. Perlahan, senyum menyerupai garis kurva muncul di wajahnya.

"Kau sama dengan Otou-san-mu, Naruto," ungkap Kushina bermuka cerah, "Otou-san-mu pernah berjuang mati-matian untuk mendapatkan Oka-san. Karena Oka-san adalah cinta pertamanya. Oka-san juga pindah sekolah, lalu Otou-san juga memutuskan sekolah di tempat Oka-san. Akhirnya Oka-san menerima cinta Otou-san dan menikah setelah menyelesaikan kuliah."

Naruto terpaku. Giliran dirinya yang sedikit membelalakkan mata. Hatinya terasa bahagia mendengar cerita tentang orang tuanya.

"Kalau kau ingin mengejar cintamu, kejarlah sampai mendapatkannya," sambung Kushina tetap tersenyum.

"Oka-san mengizinkan aku sekolah di tempat Shou-chan?" tanya Naruto melebarkan mata lagi.

"Iya. Tapi, kau harus ajak Naruko juga untuk menemanimu."

"Itu tidak perlu. Aku tidak mau si berisik itu ikut denganku. Cukup aku sendiri yang pergi."

"Tidak bisa, Naruto. Kau harus membutuhkan orang yang harus menemanimu. Kau itu sakit. Kalau perlu, Oka-san yang akan pergi menemanimu."

"Tidak. Oka-san bekerja, 'kan? Jadi, Oka-san fokus saja mengurus toko bunga milik Otou-san."

"Ada asisten kepercayaan Oka-san yang bisa dipercaya untuk mengurus toko. Jadi, Oka-san bisa bebas pergi menemanimu."

"Tidak."

"Iya."

"Tidak!"

"Iya!"

Naruto dan Kushina berperang adu mulut. Mereka sama-sama kesal. Tidak ada yang mau mengalah.

.

.

.

Naruko dan teman-temannya mengejar Kakashi yang keluar dari kelas lain. Saat itu, semua orang sedang beristirahat pada pukul dua belas siang. Mereka pergi ke berbagai tempat yang ada di sekolah untuk sekedar makan siang dan bersantai bersama.

"Kakashi-sama!" seru Naruko dan semua kawannya kompak. Mereka berhasil mencapai Kakashi di antara keramaian di koridor lantai dua.

"Ya. Ada apa?" tanya Kakashi memegang maskernya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya memeluk buku tebal.

"Apa benar Nishimiya Shouko pindah sekolah?"

"Benar. Lalu mengapa?"

"Apa alasannya sehingga Nishimiya Shouko pindah sekolah?"

"Itu karena Nishimiya-san selalu di- bully di sekolah ini. Saya yang melaporkannya pada ibu Nishimiya-san saat ibu Nishimiya-san dipanggil untuk datang ke sekolah. Lalu ibu Nishimiya-san tidak tahan lagi melihat anaknya selalu dianiaya di sekolah ini, memutuskan memindahkan anaknya sekolah di kota lain."

"Begitu, ya? Nishimiya-san pindah ke sekolah di kota mana?"

"Oh ya, maaf, saya harus segera makan siang! Takut maag saya kambuh!"

Kakashi mengalihkan perhatian, langsung berlari terbirit-birit seperti dikejar hantu. Semua orang menepi agar membiarkannya lewat. Tindakan Kakashi membuat kelompok Naruto terperangah.

"Sepertinya Kakashi-sama sudah dikode seseorang agar tidak memberitahu di mana Shou-chan pindah sekolah," ungkap Sakura menyipitkan mata.

"Dikode siapa?" tanya Naruko menoleh ke arah Sakura yang ads di belakangnya.

"Tentu saja Yaeko-oba-san."

"Kalau Kakashi-sama tidak mau mengatakan yang sebenarnya, pasti guru-guru lain mengetahuinya," timpal Ino juga menyipitkan mata.

"Aku sudah bertanya pada guru-guru lain, tetapi guru-guru lain juga bersikap sama dengan Kakashi-sama," sela seorang lelaki berambut raven, datang menghampiri kelompok Naruto. Memasukkan kedua tangan ke saku blazer-nya.

"Eh? Sasuke?" Naruko tercengang.

Kelompok Naruko membelalakkan mata. Mereka bertukar pandang. Kemudian menatap Sasuke yang menghadap mereka.

"Mengapa kau bisa tahu Shou-chan pindah sekolah?" tanya Ten Ten bermuka sewot.

"Aku melihat tempat duduk Nishimiya-san kosong saat aku melewati kelas kalian tadi," jawab Sasuke membayangkan dirinya yang lewat di depan kelas Shouko karena ingin pergi ke toilet ketika jam pelajaran sudah berlangsung.

"Dasar, kau selalu ikut campur saja, Sasuke!"

"Aku akan selalu ikut campur jika masalahnya berhubungan dengan Nishimiya-san."

Sasuke menukikkan alis. Menunjukkan raut muka yang serius. Hatinya sudah terpaut pada Shouko yang menurutnya berbeda dari gadis lain.

Naruko yang menyadari sikap Sasuke, merasa kecewa. Betapa tidak, dia sudah jatuh hati pada laki-laki terpopuler di sekolah itu. Tapi, dia tidak menyalahkan Shouko yang telah menjadi incaran Sasuke.

"Apa kau juga menyukai Shou-chan?" tanya Sakura bersedekap dada. Melirik tajam Sasuke.

"Ya," jawab Sasuke mengangguk, "aku juga tahu Naruto menyukai Shinimiya-san. Karena itu, aku akan berusaha mengejar Shinimiya-san untuk menyatakan cinta ini."

"Kau sudah terlambat, Sasuke. Karena Naruto-Nii-chan sudah menyatakan cinta pada Shou-chan kemarin itu. Bahkan Naruto-Nii-chan juga mencium pipi Shou-chan untuk membuktikan perasaannya itu," sela Naruko menukikkan alis.

"Apa?" Sasuke membeliakkan mata.

Orang-orang di sekitar Sasuke dan kelompok Naruto, tertarik mendengarkan percakapan mereka, termasuk geng Karin. Suasana hening ketika Sasuke merasa kesal karena kalah cepat lagi untuk menyatakan perasaan.

"Apa Naruto dan Nishimiya-san sudah berpacaran sekarang?" tanya Sasuke bermuka kusut.

"Soal itu, mereka sudah berpacaran. Benar, 'kan, teman-teman?" jawab Naruko tersenyum kaku. Semua temannya terpaksa mengangguk. Padahal perkataannya itu bohong.

"Itu tidak mungkin..."

"Itu sungguhan."

"Tidak."

Sasuke membulatkan mata. Tercengang. Syok. Tubuh Sasuke menegang. Merasa kehilangan tenaganya saat itu juga.

Situasi ini membuat semua orang ribut karena mengetahui fakta itu. Shouko yang dianggap tidak pantas untuk bersekolah di sana, sudah mendapatkan cinta sejati. Beberapa gadis yang menyukai Sasuke, mengembuskan napas lega karena saingan mereka, Shouko sudah tidak ada lagi di sekolah itu. Berpikir bisa berusaha lagi untuk mendapatkan hati Sasuke.

"Karin-sama, ternyata Nishimiya-san tidak berpacaran dengan Sasuke-sama," kata Tatuya tersenyum, di sisi kanan Karin.

"Ya. Itu bagus. Tapi, aku baru Naruko itu punya saudara laki-laki," tukas Karin mengangguk.

"Sama," sela Shion turut mengangguk.

"Apa saudara laki-laki Naruko juga tampan seperti Sasuke-sama? Sehingga Nishimiya-san bisa berpacaran dengannya." Tatuya sedikit melebarkan mata.

"Tentu dia tampan. Naruko saja secantik itu. Dia juga idola laki-laki di sini."

Karin menyipitkan mata. Menatap teliti Naruko dan Sasuke, bergiliran. Kemudian Naruko merasakan handphone-nya bergetar di saku blazer-nya. Langsung mengecek gawainya.

Naruko, apa kau sudah tahu Shou-chan ada di mana?

Naruko membaca isi pesan dari Naruto yang tertampil di Whatsapp. Dia bermuka sedih, lalu perlahan mengetik balasan untuk Naruto.

Aku sudah bertanya pada Kakashi-sama. Tapi, Kakashi-sama tidak mau memberitahukannya pada aku dan teman-teman. Bahkan guru-guru lain juga sama seperti Kakashi-sama, tidak mau jujur mengungkapkan keberadaan Shou-chan.

Apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku berencana ingin bersekolah di tempat Shou-chan bersekolah. Itu kulakukan demi mengetahui perasaan Shou-chan padaku.

Oh ya, Nii-chan sangat dekat dengan Asuma-sensei. Nii-chan bisa tanya padanya soal keberadaan Shou-chan.

Benar juga. Baiklah, aku akan pergi ke rumahnya nanti malam.

Semangat berjuang mengejar cintamu, Nii-chan.

Naruko tersenyum. Hatinya sedikit terhibur setelah berkomunikasi dengan kakaknya. Dia mendekap ponsel ke dadanya.

"Naruko, siapa yang chatting denganmu?" tanya Hinata memegang bahu Naruko.

"Nii-chan-ku," jawab Naruko tersenyum lagi.

"Oh. Ayo, kita pergi ke kantin dulu! Soal Shou-chan, nanti kita bahas lagi."

"Ya."

Naruko mengangguk. Tangannya ditarik oleh Hinata. Mereka berjalan bersama ketiga teman lain. Semua orang yang menyaksikan interaksi di antara Sasuke dan kelompok Naruko, bubar.

.

.

.

Jejak-jejak sepatu tertinggal di belakang ketika pemiliknya berjalan di atas hamparan salju. Uap-uap udara keluar dari mulut seorang gadis berambut cokelat kemerah-merahan yang terbuka-menutup. Tubuhnya yang mungil, terbalut pakaian serba tebal. Menjinjing koper kecil dan menyandang tas besar di punggungnya.

Akhirnya aku tiba juga di rumah Obaa-san, batin Shouko.

Shouko sudah pergi dari kota Konoha sejak pukul enam pagi dengan menggunakan kapal laut. Dia menyeberang ke pulau besar yang ada di samudera luas. Pulau yang menjadi tempat tinggal sang nenek.

Pada pukul satu siang, Shouko tiba di kota salju, kota Yuki, karena ada pegunungan salju di tengah pulau itu. Rumah nenek Shouko terletak tak jauh dari kaki bukit dan dikelilingi banyak pohon pinus.

Shouko meletakkan koper di dekat pintu rumah neneknya yang berbentuk rumah tradisional jepang, tetapi memiliki cerobong asap. Dia mengetuk pintu beberapa kali. Menunggu sejenak hingga pintu terbuka.

"Shou-chan, cucuku!" seru wanita berambut putih pendek, tersenyum. Bermata sipit. Lebih pendek dari Shouko.

Shouko memeluk Nishimiya Ito. Menampilkan senyum tipis. Matanya meredup. Hatinya sangat merindukan nenek.

"Sudah lama sekali, kita tidak bertemu, Shou-chan," kata Ito memejamkan mata. Diam-diam menitikkan air bening dari netranya.

Shouko mengerti betapa rindu sang nenek dengannya. Terbukti, Ito memeluk erat Shouko lama sekali. Shouko hanya tersenyum hingga Ito bertatap muka dengannya.

"Apa kau membawa pena dan buku?" tanya Ito memperagakan telunjuk dan tangan terbuka. Shouko paham, kemudian memberikan pena dan buku pada Ito.

Ito menulis perlahan di salah satu halaman buku yang masih kosong. Dia menunjukkan hasil tulisannya itu pada Shouko.

Oka-san-mu menelepon Obaa-san dua minggu yang lalu. Katanya, rambutmu dipotong paksa oleh gadis-gadis berandalan di sekolahmu. Lalu Oka-san-mu meminta Obaa-san untuk mendaftarkanmu ke sekolah terbaik di kota kecil ini. Obaa-san mengetahui kabar itu, sangat senang karena kau akan tinggal di sini dengan Obaa-san. Obaa-san tidak sendirian lagi.

Shouko tersenyum haru usai membacanya. Matanya melembut. Giliran dia yang menulis balasan untuk Ito.

Ya, Obaa-san. Aku juga senang bisa tinggal di sini. Tapi, aku juga sedih karena harus meninggalkan teman-teman baikku di kota Konoha.

Ito tertegun saat membaca tulisan Shouko. Dia bermuka sendu. Meraih tangan Shouko.

"Shou-chan, Obaa-san senang karena kau sudah mendapatkan teman-teman baik di kota kelahiranmu itu." Ito menatap Shouko, menampilkan senyum haru.

.

.

.

Bersambung

.

.

.

A/N:

Maaf, atas keterlambatan saya mengupdate chapter cerita ini. Karena kesibukan di dunia nyata, cuaca buruk seperti hujan lebat yang mengganggu sinyal internet sehingga saya susah membuka berbagai aplikasi yang membutuhkan internet, dan faktor penyebab lainnya yang nggak bisa saya sebutkan.

Chapter ini, kayaknya cukup banyak dramanya, ya? Apa kalian merasakannya saat membacanya? Saya merasa begitu sih, tetapi jalan cerita udah mengarah ke sana. Jadi, maaf, bagi kalian nggak suka dengan genre hurt/comfort di cerita ini.

Oh ya, saya selesai mengetik cerita ini pada pukul sebelas malam, di tengah hujan lebat. Tadi siang, saya ada urusan, makanya menulisnya bisa sore sampai malam. Jadi, saya bisanya mengupdate cerita ini siang hari, pada hari Jumat, tanggal 2 September 2022, karena faktor hujan yang menyebabkan sinyal internet terganggu. Terus biasanya saya mematikan hp saat hujan karena takut petir menyambar hp dalam keadaan hidup.

Kalau saya nggak update chapter baru selama satu hari hingga beberapa hari atau beberapa minggu, itu tandanya saya lagi kena writer block atau lagi nggak ada paket internet. Hehehe

Oke, sampai di sini aja Author Note dari saya. Selamat menunggu chapter berikutnya. Terima kasih.

Dari Hikayasa Hikari.

Kamis, 1 September 2022