Disclaimer:
Naruto: Masashi Kishimoto
A Silent Voice: Kyoto Animation
.
.
.
Lagu yang digunakan author saat menulis cerita ini:
Endless Tears by Maiko Nakamura feat. CLIFF EDGE
Maboroshi by Ikimonogakari
.
.
.
Hidden
By Hikayasa Hikari
.
.
.
Chapter 7. Mendengar
.
.
.
Naruto tetap berpakaian serba tebal, tiba juga di rumah Asuma. Dia membuka pintu pagar besi setinggi setengah meter, yang tidak terkunci. Berjalan santai menuju pintu rumah sederhana yang tidak bertingkat.
Naruto membuka tudung jaket, masker, dan kacamata hitamnya saat di dekat pintu rumah yang tertutup. Udara malam yang dingin, mengusik jiwanya. Hatinya yang tidak tenang, ingin mengetahui keberadaan Shouko, menuntunnya untuk mengetuk pintu beberapa kali.
Asuma tinggal sendirian di rumah itu. Telah kehilangan istri dan anaknya sejak setahun yang lalu. Kini menjalani hidup dengan penuh semangat tanpa ada keluarga di sisinya.
Asuma membuka pintu rumah. Membelalakkan mata saat menghadap Naruto. Betapa tidak, kedatangan Naruto tanpa diundang, mengagetkannya.
"Namikaze-kun?" tanya Asuma celangak-celinguk, "kau datang sendirian?"
"Ya," jawab Naruto mengangguk.
"Masuklah dulu."
Naruto mengangguk lagi. Asuma membiarkan Naruto melewatinya. Naruto duduk bersila di dekat meja berkaki rendah tanpa disuruh Asuma, menunjukkan muka kusut. Asuma menyadari perubahan wajah Naruto, langsung duduk bersimpuh menghadap Naruto.
"Apa kau mau minum teh, Namikaze-kun?" tanya Asuma tersenyum, berusaha mengalihkan perhatian Naruto agar Naruto tidak berlarut dalam kesedihan.
"Tidak usah, Sensei. Aku hanya singgah sebentar karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan pada Sensei," jawab Naruto menggeleng.
"Oh, apa itu?"
"Apa Sensei tahu Nishimiya-san pindah kemana?"
Asuma bungkam. Alisnya tertukik. Memperhatikan mimik wajah Naruto yang tetap kusut. Hatinya tidak tega melihat ekspresi Naruto.
"Kau kenal Nishimiya-san?" tanya Asuma mengerutkan kening.
"Kenal. Aku dan dia bersahabat selama dua minggu ini. Kami dekat karena selalu berkomunikasi dengan Whatsapp," jawab Naruto mengangguk lagi, "selama bersahabat dengan Nishimiya-sab, aku menyadari sesuatu yang aneh, telah terjadi padaku. Sesuatu yang menyebabkan jantungku selalu berdetak kencang saat di dekat Nishimiya-san. Aku sadar, sesuatu yang aneh itu cinta."
"Saya mengerti, kau menyukai Nishimiya-san dan ingin menyusulnya, begitu?"
"Ya."
"Itu berarti kau tidak jadi bersekolah di tempat saya mengajar?"
"Tidak."
"Aaah. Jika laki-laki sudah jatuh cinta, pasti akan berusaha mendapatkan gadis yang dicintai. Tapi, ingat, Namikaze-kun, kau jangan fokus mengejar cinta saja. Ingat juga, untuk mengejar cita-citamu."
"Tentu aku akan tetap fokus mengejar cita-citaku, tetapi aku juga ingin mendapatkan cinta Shou-chan. Karena Shou-chan, aku memiliki tujuan hidup yang sebenarnya."
Naruto tersenyum, tetapi matanya tetap sayu. Dirinya sudah mengalami kerinduan yang mendalam pada Shouko. Cintanya yang sudah tersampaikan, belum mendapatkan jawaban dari Shouko.
"Itu bagus kalau kau memiliki tujuan hidup daripada menghabiskan waktu untuk mengurungkan diri di apartemen," kata Asuma turut tersenyum.
"Ya. Aku sudah berhasil menciptakan sesuatu yang sudah kupikirkan dari dulu," balas Naruto mengangguk sekian kali.
"Sesuatu apa?"
Naruto mengungkapkan sesuatu itu pada Asuma. Tapi, tidak terlalu jelas apa yang dikatakannya. Tentu kau ingin mengetahuinya, bukan? Tunggu saja, di hari yang ditentukan.
"Saya merasa ... kau tulus menyukai Nishimiya-san." Asuma menghela napas panjang. "Baiklah, saya beritahu di mana Nishimiya-san tinggal sekarang. Tunggu, saya ambil kertas dan pena dulu."
Asuma berdiri, berjalan ke kamarnya yang ada di ruang keluarga. Naruto menunggu dengan sabar. Di otaknya, sudah membayangkan betapa bahagianya jika bertemu dengan Shouko nanti. Hatinya juga berharap Shouko menerima cintanya.
Asuma datang lagi dan memberikan secarik kertas putih pada Naruto. "Ini alamatnya."
Naruto menerima kertas itu, mengangguk. "Terima kasih, Sensei."
"Kalau kau sudah sampai di tempat Nishimiya-san, kabari saya."
"Siap. Kalau begitu, aku permisi dulu."
"Cepat sekali."
"Ya. Sudah jam setengah sembilan, aku juga harus bersiap-siap untuk mengemasi barang karena aku akan berangkat ke kota Yuki itu besok."
"Hah? Cepat sekali. Kau harus pesan tiket dulu, Namikaze-kun."
"Aku akan pesan lewat online saja."
"Oh ya, bisa dipesan lewat online."
"Ya. Aku pulang dulu, Sensei."
Naruto berdiri, membungkuk untuk memberi hormat pada Asuma. Menegakkan badan. Tersenyum sambil mengangguk. Kemudian berjalan keluar dari tempat itu.
.
.
.
Naruto naik lewat tangga menuju apartemennya yang ada di lantai dua. Sepeda yang digunakannya saat pergi ke rumah Asuma, terparkir di depan gedung apartemen. Dijaga oleh security yang ada di kantor penjagaan di dekat pintu gerbang.
Hati Naruto gembira bagai mendapatkan hadiah yang tak terduga. Menularkan kesenangan itu pada sang adik. Kemudian berhenti berjalan di dekat pintu apartemen Naruko. Mengetuk keras pintu beberapa kali.
Naruko yang baru saja mandi dan berpakaian piyama serba biru, berjalan menghampiri pintu. Membuka pintu yang terkunci. Menemukan Naruto yang langsung memeluknya. Mengejutkannya.
"Naruko, aku sudah mendapatkan alamat Shou-chan!" seru Naruto tersenyum lebar.
"Hah? Apa itu benar?" tanya Naruko membelalakkan mata. Naruto melepaskan rangkulan dan menunjukkan isi yang ada di secarik kertas ke muka Naruko.
"Benar. Aku akan berangkat ke tempat Shou-chan besok pagi karena aku sudah mendapatkan tiket kapal yang akan mengantarkan aku ke sana."
"Hah? Nii-chan pergi sendiri?"
"Iya. Aku cuma pesan satu tiket online saja."
"Dasar, Nii-chan tidak boleh pergi sendirian! Aku harus ikut menemani Nii-chan!"
"Tidak boleh! Aku mau pergi sendiri! Oka-san juga sudah memperbolehkan aku pergi sendiri!"
"Tapi, Nii-chan itu sakit. Kalau tidak ada yang menemani Nii-chan, siapa yang akan menjaga Nii-chan?"
"Ada Shou-chan yang menjagaku nanti."
Naruto bermuka serius. Matanya mencerminkan ketegasan. Menepuk pipi kiri Naruko pelan sekali.
Naruko meredupkan mata. "Ya, aku tahu ada Shou-chan yang bisa menjaga Nii-chan. Tapi, apa Nii-chan yakin kalau Shou-chan juga menyukai Nii-chan?"
Naruto melembutkan mata. "Aku yakin itu."
"Nii-chan percaya diri sekali."
"Tentu."
"Baiklah. Aku doakan Nii-chan dan Shou-chan bisa bersatu nantinya."
Naruto dan Naruto saling tersenyum. Mereka terus berbicara mengenai tempat tinggal Shouko. Tanpa mengetahui ada Sasuke yang menguping pembicaraan mereka. Sasuke baru saja keluar dari apartemen, membuang sampah ke keranjang sampah di depan apartemen Naruto.
"Suara mereka berdua keras sekali. Jadinya, aku mendengar semua apa yang mereka katakan," bisik Sasuke menyipitkan mata, "aku juga berpikir ingin pergi ke tempat Shouko itu. Kota Yuki, ya? Itu sangat jauh dari sini."
.
.
.
Pagi itu, Shouko mulai bersekolah di tempat yang baru. Dia berseragam serba biru-putih. Duduk sendirian tanpa ditemani siapapun. Beberapa gadis yang ada di dekat pintu kelas, berbisik antara satu sama lain. Membicarakan kekurangan Shouko yang menurut mereka, tidak bisa diterima oleh mereka.
"Anak baru itu bisu dan tuli."
"Saat memperkenalkan diri saja di depan kelas, dia menggunakan buku sketsa untuk menulis nama lengkapnya."
"Dia tidak bisa menjadi teman kita. Karena aku tidak akan bisa mengobrol dengannya."
"Tapi, mengapa Shoya malah mendekatinya?"
Beberapa gadis melihat tidak percaya, Ishida Shoya, ketua kelas memberikan secarik kertas pada Shouko. Ishida, laki-laki berambut hitam dan berperawakan tinggi hampir menyamai tinggi Naruto, merasa kasihan karena Shouko tidak memiliki teman.
Shouko sedikit membelalakkan mata saat Shoya menodongkan kertas ke mukanya. Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Shouko langsung mengambil kertas itu dan membaca isi kertas itu.
Halo, namaku Ishida Shoya, ketua kelas. Senang berjumpa denganmu, Nishimiya-san. Oh ya, apa kau mau berteman denganku?
Shouko tanpa pikir panjang lagi, mengangguk. Mengukir senyum di wajah Shoya. Membuat beberapa gadis yang menyaksikan interaksi mereka, tercengang.
Shoya duduk di depan Shouko. Memperhatikan Shouko yang sedang makan bento. Shouko tersenyum, menyodorkan kotak bento pada Shoya. Sang ketua kelas menggeleng.
Shoya menulis lagi di buku kosong dan menunjukkannya pada Shouko. Apa benar kau pindahan dari kota Konoha?
Shouko mengangguk. Menatap Shoya yang menulis lagi. Shoya memperlihatkan hasil tulisannya itu.
Apa kau tidak menggunakan alat bantu dengar agar kau bisa mendengar?
Shouko menggeleng. Berpikir alat bantu dengar itu sangat mahal. Karena itu, Shouko tidak pernah meminta ibunya untuk membelikan alat bantu dengar. Dia pernah sekali memakai alat bantu dengar itu sewaktu SD, tetapi karena mendengar banyak orang yang menghinanya, membuat jiwanya cukup tertekan. Kemudian dia memutuskan untuk tidak menggunakan alat bantu dengar lagi.
Shoya meredupkan mata. "Jika kau menggunakan alat bantu dengar, tentu kau bisa mendengar apa yang kukatakan."
Shouko tersenyum, tetap melanjutkan makan siang. Bersikap biasa, padahal di hatinya sedang bersedih sebab mengalami kejadian yang sama di sekolah sebelumnya -- tidak ada yang mau berteman dengannya karena kekurangannya.
Bagaimana kabar Naruto dan teman-temanku di seberang sana? Mereka pasti akan mencariku dan mengkhawatirkan aku. Maaf, aku harus bersembunyi dari kalian atas permintaan ibuku.
Shouko bermonolog. Matanya sayu. Teringat ibunya yang tidak menyukai Shouko berteman dengan Naruto dan kelompok Naruko. Karena ibunya berpikir Naruto dan kelompok Naruko tidak tulus berteman dengannya.
Shoya memberikan kertas lagi pada Shouko. Tindakannya membuat lamunan Shouko buyar.
Kau tenang saja. Kau tidak sendirian lagi. Aku yang sudah menjadi temanmu, akan selalu menemanimu selama di sekolah.
Senyum lebar terpatri di wajah Shoya yang berseri-seri. Shouko yang baru selesai membaca tulisannya, juga tersenyum. Berpikir Shoya sama dengan Naruto.
.
.
.
Pada pukul empat sore, Shouko pulang sekolah bersama Shoya. Mereka mengenakan mantel masing-masing untuk menghalau perasaan dingin yang menusuk hingga ke tulang karena hamparan salju yang menyelimuti hampir seluruh pulau.
Shouko dan Shoya berjalan kaki di trotoar, bersama murid-murid yang bersekolah di tempat yang sama dengan mereka. Beberapa teman sekelas mereka, ada di belakang mereka, saling berbisik satu sama lain. Berpikir mengapa Shoya malah memilih berteman dengan Shouko.
Memang hanya kesunyian yang menemani Shoya dan Shouko. Tidak ada yang bisa dibicarakan atau didengar. Tapi, Shoya tetap ingin mengenal Shouko lebih dekat, langsung menghentikan langkahnya untuk menurunkan tasnya yang tergantung di kedua bahunya. Merobek kertas buku tulis dan menulis sederetan kalimat dengan pena.
Shouko juga berhenti berjalan. Mengerutkan kening mengapa Shoya berhenti melangkah. Hingga Shoya menunjukkan apa yang ditulisnya pada Shouko.
Oh ya, rumahmu ada di mana? Biar aku yang mengantarkanmu sampai tiba di rumahmu.
Shouko menunjuk lurus jalan raya kecil yang terbentang, membelah padang salju. Hanya terlihat banyak orang bersepeda. Jarang ada yang menggunakan motor atau mobil.
Shoya mengangguk. Tersenyum. Kemudian meraih tangan Shouko. Menarik cepat Shouko.
Jarak sekolah menuju rumah Shouko hanya membutuhkan waktu setengah jam. Untuk menempuh rumah Shouko, harus menemukan hutan pohon pinus yang ada jalan setapak batu putih, tak jauh dari jalan raya. Hanya rumah Shouko satu-satunya terletak di tengah hutan pinus.
"Oh, di sini rumahmu," kata Shoya saat tiba di depan rumah Shouko yang tidak dikelilingi pagar.
Shouko tersenyum, menulis di buku catatannya dan menunjukkannya pada Shoya. Apa kau mau mampir ke rumahku?
Shoya menggeleng, menulis balasan di kertasnya sendiri. Tidak. Hari sudah sore. Aku harus segera pulang. Kalau terlambat pulang, aku akan dimarahi ibu.
Oh. Aku maklum.
Sudah, ya? Aku harus pulang. Sampai besok di sekolah.
Shoya membungkukkan badan, segera melangkah menjauhi Shouko. Jejak-jejak sepatunya tertinggal di permukaan salju.
Shouko berjalan menuju pintu. Membuka pintu yang tidak terkunci. Saat masuk ke rumah, dia dikejutkan dengan tamu yang duduk menghadap Ito. Matanya membulat sempurna.
"Wah, Shou-chan sudah pulang rupanya!" seru Ito tersenyum lebar, "Obaa-san kedatangan tamu dari pulau seberang. Tamu yang ingin bertemu denganmu."
"Shou-chan," kata laki-laki berambut pirang yang berpakaian musim dingin, tersenyum senang. Jiwanya tidak sabar ingin memeluk gadis pujaannya.
Na ... Naruto? Me ... mengapa dia bisa tahu aku ada di sini? Batin Shouko.
Shouko terpaku di ambang pintu. Tidak tahu harus bersikap apa untuk menyambut kedatangan Naruto. Tetap bermuka syok.
"Shou-chan, mengapa kau malah diam di sana? Ayo, duduk di dekat Obaa-san!" ajak Ito menggandeng tangan Shouko. Tidak lupa menutup pintu.
Shouko duduk bersimpuh, bersisian dengan Ito. Mukanya seolah memerah karena ditatap lama oleh Naruto. Mendebarkan jantungnya sehingga memompa darah lebih banyak.
Ito memperhatikan saksama Naruto dan Shouko. Senyum menyerupai garis lengkung terpatri di wajahnya yang keriput. Ito sudah mengetahui perasaan Naruto yang menyukai Shouko karena Naruto sudah menceritakan semua padanya. Diam-diam sudah memberi restu untuk hubungan Naruto dan Shouko.
"Oh ya, Obaa-san tinggal dulu. Silakan kau mengobrol dengan Shou-chan, Namikaze-kun," ucap Ito bangkit berdiri dan berjalan santai menuju dapur.
Shouko panik. Mulutnya terbuka seolah ingin memanggil sang nenek. Tapi, tiba-tiba, Naruto sudah berlutut satu kaki di sampingnya, mengagetkannya. Naruto menjulurkan buku catatan kecil miliknya ke muka Shouko.
"Baca ini, Shou-chan," ujar Naruto melembutkan mata.
Shouko sedikit membesarkan mata karena wajah Naruto cukup dekat dengan wajahnya. Dia merasakan badannya bergetar pelan. Mengambil buku catatan dari tangan Naruto.
Aku datang ke sini karena mendapatkan alamatmu dari Asuma-sensei. Kau tahu, aku sangat sedih begitu tahu kau memblokir Whatsapp-ku dan meninggalkan aku tanpa memberikan jawaban yang jelas atas pernyataan cintaku.
Shouko tertegun usai membaca tulisan Naruto. Dia meredupkan mata saat Naruto duduk bersila di sampingnya. Naruto menundukkan kepala, merasakan kekecewaan.
Shouko cepat menulis di buku catatannya sendiri dan menyodorkannya pada Naruto. Maaf, soal aku yang memblokir Whatsapp-mu. Itu kulakukan agar kau tidak menghubungiku lagi.
Naruto menulis di buku catatannya miliknya, Shouko membaca tulisannya. Soal itu, tidak apa-apa. Tidak usah dibahas. Yang ini kubahas sekarang, aku ingin tahu jawabanmu. Apa kau juga menyukaiku?
Aku tidak tahu harus menjawab apa, Naruto.
Begitu ya? Tapi, aku tidak memaksamu untuk menjawab sekarang. Aku akan menunggumu sampai kau siap menerimaku.
Naruto tersenyum, tetapi matanya sayu. Dia merasa Shouko masih menganggapnya sebagai sahabat. Hatinya memang terasa pedih sekarang, tetapi mencoba bersabar untuk melewati semua itu.
Shouko tidak tega melihat ekspresi Naruto yang suram. Namun, jantungnya semakin berdebar keras saat di dekat Naruto. Hatinya membisikkan bahwa dia mulai jatuh cinta pada Naruto.
Naruto menyodorkan kertas yang sudah ditulisnya pada Shouko. Oh ya, aku harus pergi sebelum malam tiba. Mau mencari penginapan sekarang. Maaf juga, aku sudah lancang langsung menemuimu ke rumah nenekmu.
Naruto berdiri, memungut tas dan koper besar yang tergeletak di lantai kayu di dekat meja. Dia langsung berjalan melewati Shouko. Membuka pintu. Keluar tergesa-gesa.
Shouko terperanjat, bangkit, dan berlari mengejar Naruto. Mulutnya terbuka lebar, ingin berteriak memanggil Naruto. Tangan kanannya terulur ke depan, hendak meraih Naruto. Tiba-tiba, dia tersandung ranting pohon pinus yang rapuh, mengakibatkannya terjatuh.
Naruto berhenti karena mendengar suara Shouko yang tersungkur. Menoleh ke arah Shouko. Menjatuhkan tas dan kopernya. Berlari menghampiri Shouko.
"Shou-chan!" teriak Naruto bertampang khawatir. Berlutut, lalu memegang kedua bahu Shouko erat sekali. "Kau tidak apa-apa, 'kan?"
Shouko bangun dan duduk. Matanya berkaca-kaca. Menggigit bibir.
Naruto, jangan tinggalkan aku. Aku ... juga menyukaimu.
Suara hati Shouko tidak akan bisa didengar Naruto. Kemudian Shouko menulis di salju dengan jari telunjuknya.
I love you, Naruto.
Naruto yang memperhatikan tulisan Shouko di permukaan salju, membesarkan mata. Terpaku. Perlahan Shouko mengangguk, menampilkan senyum menawan.
Naruto sangat senang. Cintanya terbalaskan. Mengelus pelan kedua pipi Shouko. Bibirnya bersentuhan dengan dahi Shouko. Air mata Shouko mengalir di dua pipinya saat Naruto menciumnya lembut sekali.
Naruto mengusap air mata Shouko usai mencium Shouko. Menatap wajah Shouko dari jarak yang sangat dekat. Menampilkan senyum lembut yang mampu menenangkan hati Shouko.
"Shou-chan, akhirnya aku mendapatkan cintamu," ucap Naruto memasangkan sesuatu ke kedua telinga Shouko. Sesuatu itu adalah alat bantu dengar menyerupai kepala headset. Alat yang diciptakan Naruto sendiri.
Alat bantu dengar itu memiliki empat tentakel yang mampu melekat kuat di tepi lubang indera pendengaran Shouko. Perlahan Shouko bisa mendengar suara di sekitarnya dengan jelas. Bahkan suara Naruto juga hinggap di telinganya.
" I love you so much, Shou-chan," kata Naruto tersenyum, "apa kau bisa mendengarkanku?"
Shouko melebarkan mata, langsung mengangguk. Senyum lebar terukir di wajahnya. Naruto memeluknya erat sekali, berbisik ke telinganya.
"Itu alat ciptaanku. Itu kuhadiahkan untukmu. Pakailah terus. Jangan sampai hilang." Naruto memejamkan mata, merasakan Shouko membelit pinggangnya.
.
.
.
Bersambung
.
.
.
A/N:
Hore, Naruto dan Shouko jadian juga. Pasti kalian senang ya? Saya juga senang.
Oke, sampai di sini aja chapter 7. Jika ada waktu, saya akan melanjutkannya.
Tertanda, Hikayasa Hikari.
Jumat, 2 September 2022
