Notes/warning: Mengandung selipan kata dan frasa dalam bahasa Korea yang mungkin mengganggu bagi pihak2 tertentu. Dan, chanbaeknya (masih) sedikit. Ini masih permulaan dan belum banyak adegan intens di antara keduanya. Sudut pandang penceritaan pun masih terbatas di sisi baekhyun. Oke? Oke. Happy reading.
.
.
oOo
.
"Apa kau punya kunci inggris?"
Pangkal hidung Baekhyun mengerut tak terelakkan. Ia pun tak tahu-menahu kalau gara-gara itu wajahnya kelihatan super aneh sekarang. Tapi kalaupun tahu, Baekhyun tetap akan bersikeras kalau pria di hadapannya ini jauh lebih aneh.
Apa pria ini pikir kamarnya semacam toserba?
Mengabaikan sekelebat teguran yang tiba-tiba melintas di pikirannya tentang bertanya ke tetangga itu amat lumrah dan kau seharusnya tidak perlu se-sewot ini, Baekhyun sudah kepalang jengkel mendapati lagi-lagi pria ini yang mengganggu harinya. Mulai dirasanya keinginan besar untuk mengabaikan pertanyaan itu dan membanting pintu agar kembali menutup. Itu akan sangat mudah dan Baekhyun bisa segera melaksanakan kegiatan mulianya yang tertunda; rebahan di atas tempat tidur.
Tapi malaikat (atau setan yang sedang dalam mode baik?) dalam dirinya mungkin membisikkan hal yang berlawanan sekarang. Sebab tiba-tiba saja Baekhyun merasa harus berusaha mengingatkan dirinya untuk segera memberi respon ketimbang hanyut dalam perasaan jengkelnya.
"Aku.. tidak punya. Ada apa?" tanya Baekhyun dengan senyum dipaksakan. Jelas-jelas ada perempatan di pelipisnya—bukti betapa tegang urat-uratnya saat ini mempertanyakan kenapa harus ia repot-repot bertanya ada apa.
Pria itu mengusap tengkuknya. Sekilas garuk-garuk kepala. "Mesin airnya rusak. Kurasa ada baut yang kendur. Aku butuh kunci inggris dan tidak bisa menemukan milikku." Ia menjelaskan dengan senyum—tipe-tipe senyum tak enak hati, yang menurut Baekhyun membuat pria itu kelihatan payah. Bagian pria itu yang kesulitan menemukan barang miliknya, Baekhyun tidak merasa perlu terheran-heran mengingat betapa asal ia menyusun barang di dalam kotak kardus seperti tadi siang.
Sebentar, siapa nama pria ini? Chanyoung?
"Mungkin bisa kau coba tanyakan ke pintu di sebelah kanan kamarmu, Chanyoung-ssi. Paman yang tinggal di sana mungkin punya," kata Baekhyun, mencoba memberi solusi. Ia harap, kebaikan hatinya ini benar-benar dicatat di Atas Sana. Mengesampingkan ego dan memilih membantu orang yang membuatmu jengkel itu susah—meski setengah dari niat Baekhyun adalah ingin cepat-cepat mengusir pria ini dari hadapannya.
"Anu.. namaku Chanyeol. Park-Chan-Yeol." Park Chanyeol berkata dengan suara beratnya, membuat tulisan imajiner di udara dengan ujung telunjuk.
"A-ah," Baekhyun seketika bersemu. Bodohnya. "Ya. Chanyeol-ssi," koreksinya, "maaf."
Si pria tinggi tersenyum ramah. Tampak lega pula. Seolah-olah berhasil membuat Baekhyun menyebutkan namanya dengan benar adalah sebuah pencapaian. "Tidak apa-apa. Kalau begitu terima kasih. Aku akan bertanya padanya."
Baekhyun turut menundukkan kepala ketika pria itu melakukannya sebelum pergi. Dan begitulah akhirnya Baekhyun berhasil kembali mendapatkan ketenangan. Meski ia cukup merasa bersalah perkara salah sebut nama, ia rasa itu bukan hal yang perlu ia ambil pusing.
Tanpa berminat untuk misuh-misuh lagi, Baekhyun memilih segera melemparkan diri ke atas tempat tidurnya. Masa bodoh dengan mandi. Dia akan mandi besok saja. Turbulensi emosi seharian ini sungguh membuatnya lelah lebih daripada serba-serbi Tugas Akhir-nya.
.
oOo
.
Rasanya baru satu detik mata Baekhyun terpejam. Rasanya ia masih butuh seharian untuk memenuhi kebutuhan tidurnya. Tetapi bunyi berisik dan getar beruntun mengguncang kedamaian alam bawah sadarnya. Meruntuhkan keinginan itu.
Ia melenguh. Mengeluh. Alarm ponselnya sudah berbunyi dan itu berarti pagi pukul tujuh. Berjam-jam waktu yang ia gunakan untuk terlelap seperti berlalu dalam sekejap mata.
"Ugh." Dengan mata setengah tertutup, Baekhyun kesulitan mematikan alarm itu. Kantuk yang belum terpuaskan serta bunyi berisik tentu bukan perpaduan yang sama sekali pas. Inginnya Baekhyun lempar saja perangkat itu agar suara nyaringnya berhenti.
Bunyi alarm berhenti tepat setelah pikiran absurd itu terlintas. Omong kosong. Apalah arti hidupnya tanpa ponsel ini. Isi tabungannya—yang nyaris tidak ada—mana cukup untuk membeli ponsel baru kalau yang satu ini rusak akibat dibantingnya atas emosi sesaat.
Baekhyun memaksa diri bangkit dari posisi tidurnya. Mendorong permukaan kasur sekuat tenaga sebagai upaya mengangkat tubuhnya yang luar biasa mager. Ia berakhir dalam posisi menungging. Nyaris tidak kuat melawan kemalasan. Bayangan harus menemui dosen pembimbingnya dan menerima entah berapa banyak masukan—dan mungkin revisi lagi—melipatgandakan kemalasan pagi harinya. Kau tahu, overthinking duluan itu nyata meningkatkan niat prokrastinasi.
Kalau kesulitan pertama dalam mengerjakan skripsi adalah mendapat persetujuan atas judul penelitian, maka nomor dua pastilah melawan rasa malas. Di akhir perjuangannya merampungkan skripsi ini, Baekhyun akan membuat daftar untuk semua kesulitan yang dilaluinya itu.
Seusai bising dari alarm pagi ponselnya, kini bunyi ketukan pintu yang mengusik. Dengan kesadaran yang baru tiga perempat pulih, sejujurnya Baekhyun tak yakin bunyi itu berasal dari pintu kamarnya ataukah sekadar ilusi. Tapi seiring berjalan waktu dan tiga perempat kesadarannya berangsur penuh, Baekhyun beringsut turun dari tempat tidur. Benar pintu kamarnya yang diketuk.
Baekhyun seharusnya sadar penampilannya terlalu berantakan untuk menyambut seseorang di depan pintu. Tetapi sebelum sempat pikirannya sampai ke sana, kehadiran sosok di hadapannya sudah lebih dulu membuat Baekhyun menganga tak habis pikir.
Pria ini lagi.. sungguh?
"Selamat pagi," sapa pria itu. Pria itu lagi.
Baekhyun mengela napas. Apa pria ini semacam hobi mengunjungi tetangga? Nah, siapa pula namanya, ya? Sungguh sial. Otaknya masih sedikit korslet karena tak terpuaskan hasrat tidurnya.
Prasangka yang jelek-jelek yang baru mau menyembul di dalam pikiran Baekhyun tertahan oleh apa yang ia lihat. Baru disadarinya pria itu membawa kotak makanan bening—kalau memang Baekhyun tak salah menilainya sebagai kotak berisi makanan. Bentuknya tidak meyakinkan, tapi kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya itu memang makanan.
"Terima kasih sudah membantuku kemarin. Ah, paman di sebelah juga ternyata benar-benar punya kunci inggris. Jadi aku berutang dua kali padamu," katanya sumringah. Kotak di tangan pria itu mendekat beberapa inci menuju Baekhyun. "Untukmu. Sekaligus salam perkenalan. Sekali lagi terima kasih."
"O-oh," Baekhyun menerima kotak makan yang disodorkan padanya dalam gerak sedikit patah-patah. Mungkin lagi-lagi ini efek dari otaknya yang belum bekerja secara sempurna pasca bangun tidur. Ah, dengan ini, Baekhyun jadi sedikit merasa berdosa atas kejengkelannya pada pria ini semalam.
Pagi ini, pria itu tidak tampak segitu menyebalkannya, kok. Penampilannya pun tampak normal dengan kemeja putih—yang sejujurnya tampak terlalu kusut—dan celana panjang hitam. Rambut hitamnya tertata rapi menampakkan dahinya. Seperti pria dewasa pada umumnya. Apalagi dengan membawakan makanan kepada fakir seperti Baekhyun. Jelas-jelas pria ini termasuk manusia yang berbudi. Ini mungkin teguran untuknya yang sempat menyumpah-serapahi pria ini dalam hati kemarin.
"Terima kasih, Changmin-ssi," ucap Baekhyun. Ia tak tahu mengapa pria itu tersenyum aneh setelah ia mengucapkan terima kasih, tapi pria itu membungkuk dan segera berlalu.
Entah benar teguran atau justru balasan atas perbuatan baiknya melawan ego dan membantu pria itu semalam, yang jelas Baekhyun berterima kasih atas sekotak berisi makanan ini. Setelah mandi ala kadarnya, ia duduk di meja kecilnya dan membuka tutup kotak makan itu. Sudah siap dengan sumpit di tangan. Berniat menyantapnya sebagai sarapan.
Dahi Baekhyun berkerut samar melihat isinya. Sedikit berantakan, tapi untungnya masih bisa Baekhyun kenali makanan itu. Kimbab.
Satu potongan berpindah dari kotak makan ke mulut Baekhyun. Kunyah, kunyah. Kerut samar di dahi kian dalam dan Baekhyun melanjutkan kunyahannya dengan nelangsa.
Tidak, Baekhyun tidak berniat mengeluhkan betapa buruknya rasa makanan ini, hanya saja—oh, baiklah, sebenarnya memang ia ingin mengeluhkan itu—rasanya tidak seperti makanan yang mungkin diniatkan.
Pria itu beruntung Baekhyun yang menerima makanan ini, karena Baekhyun sendiri adalah penganut aliran sebisa mungkin, makanan tidak boleh dibuang-buang. Kalau bukan, tidak tahu akan berakhir di mana kotak makanan ini beserta isinya.
Bayamnya masih terlalu mentah—oke, mungkin saja Park Changmin itu sedang terburu-buru. Soal telur yang kelewat asin, mungkin tangan pria itu tergelincir saat memasukkan garam. Baekhyun berusaha maklum.
Namun setelah tiga potong, ia menyerah. Perpaduan rasanya terlalu aneh sampai ke campuran rasa di nasinya. Lidah dan perutnya tidak mampu menerima semua itu di pagi hari seperti ini.
Mendorong bongkahan terakhir kimbab agar sempurna tertelan ke dalam kerongkongannya, Baekhyun menutup kembali kotak makan di atas meja. Mengatupkan telapak tangan memohon maaf karena kali ini ia harus melanggar kebiasaannya sendiri dalam hal tidak boleh buang-buang makanan.
"Bagaimanapun, terima kasih sudah mengisi perutku pagi ini," katanya pada potongan-potongan kimbab yang tersisa di dalam kotak. Memberikan puk-puk di bagian tutupnya.
Setidaknya ia tinggal membeli makanan ringan untuk menyempurnakan kenyangnya alih-alih seporsi penuh seperti biasanya.
.
.
Di awal tahun ajaran begini, masih bisa terlihat wajah-wajah cerah para mahasiswa yang hilir-mudik di kampus. Wajah-wajah itu seolah menyiratkan kebahagiaan karena sudah mampu melewati semester sebelumnya, dan siap serta percaya diri untuk menempuh yang selanjutnya.
Ah, memasuki pertengahan semester nanti, paling-paling sudah mulai kusut lagi wajah anak-anak itu. Begitu pikir Baekhyun. Biar pengalaman yang berbicara. Mengingat sebentar lagi ia tidak perlu menghadapi siklus melelahkan itu, sedikitnya semakin bertambah semangatnya menyelesaikan skripsi.
Setelah satu jam lebih menunggu di atrium kampus, Baekhyun akhirnya mendapat kabar dari sang dosen pembimbing. Beliau akhirnya punya waktu luang setelah harus menyelesaikan pekerjaan tak terduga. Syukurlah. Dengar-dengar satu jam itu termasuk singkat untuk ukuran menunggu-dosen-pembimbing di fakultasnya. Tidak sedikit senior Baekhyun di fakultas ini yang di-ghosting hampir seharian setiap harus melaksanakan bimbingan Tugas Akhir. Benar-benar.
Baekhyun beranjak bersama proposal penelitian dan laptopnya di sebelah tangan. Memilih dosen dengan standar tinggi sepertinya tidak terlalu bikin rugi. Yang tadi itu salah satunya. Bisa Baekhyun tebak kalau dosennya yang merupakan salah satu panutan ini sangat disiplin terhadap—
"YO BAEKHYUN BYUN!~"
Baekhyun yakin jantungnya baru saja lepas dan kembali lagi ke tempatnya dalam waktu kurang dari satu detik. Cukup untuk membuatnya terlonjak di tempat.
"YAH!" bentaknya refleks. Lelaki tinggi yang baru saja melemparkan diri padanya sampai Baekhyun sendiri merasa seperti ditabrak truk di tengah jalan nyengir dan menaik-turunkan alis. Bahu Baekhyun dirangkulnya kuat seenak hati, sampai ia sebagai pihak yang lebih pendek kesulitan menyimbangkan langkah. "Lepaass!"
Seseorang yang baru saja menghampiri tertawa lepas, pun melepaskan rangkulannya.
"Mana sopan santunmu pada senior, hah?" tuntut Baekhyun. Suaranya sengaja ia buat-buat supaya kedengaran jutek, tapi lawan bicaranya tentu tidak mengindahkan. Keduanya kini berjalan beriringan.
"Ck ck ck, zaman sekarang ini sopan santun berlaku timbal-balik. Senioritas sudah expired. Kau tidak boleh meneriaki junior yang menyapamu baik-baik."
"Baik-baik matamu." Baekhyun mencebik. Tapi toh ia tak lagi ambil pusing karena, yeah, ini nyaris selalu terjadi. "Jadi, apa yang dilakukan DJ-Kang-Dong-Ho di sini?" tanyanya, menekankan dengan setengah mengejek nama si lawan bicara.
"Aish, sudah kubilang panggil aku Baekho. Baek-Ho. Tidakkah kau senang memiliki nama yang mirip denganku?" protes yang lebih tinggi.
Baekhyun memutar bola mata. "Dari sekian banyak nama kenapa pula kau memilih nama itu."
"Eeyy, kau senang, kan? Ya, kan? Karena dengan begitu kita adalah Baek Duo. Yeah!" Kang Dongho mengepalkan telapak tangannya ke udara, kontras dengan penampilannya yang sudah bagaikan preman kampus. Lihat jaket kulit dan aksesori rantai di celananya itu. Orang ini mau kuliah atau jadi boyband?
Yah, meskipun kenyataannya, laki-laki yang satu ini memang cukup terkenal. Cukup membuatnya nyaris setara dengan anggota boyband.
Baekhyun melirik tak minat pada Dongho di sampingnya. Lelucon soal Baek Duo itu sungguh menggelikan dan lelaki ini tidak bosan-bosannya menyinggung hal itu.
Dongho berdeham. Ia kembali merangkul Baekhyun seiring langkah mereka. Kali ini Baekhyun tak protes. Lagi-lagi, sebenarnya ini adalah hal yang biasa.
"Besok Klub Radio akan berkumpul di Hexagon. Bergabunglah."
Satu kali lirikan sebelum Baekhyun kembali fokus ke depan. Kantor dosen pembmbingnya sudah dekat. "Maksudmu kau minta aku bergabung dan menjadi satu-satunya senior di sana?" ketusnya.
"Astaga, tentu saja tidak." Dongho menyahut dengan suaranya yang mungkin terdengar sampai ke ujung koridor. "Junmyeon-hyung akan hadir juga. Ini acara lintas angkatan, dan kami mengundang sebanyak mungkin senior yang bisa turut hadir."
Dibanding kalimat bersirat bujukan itu, Baekhyun iritasi dengan panggilan 'hyung' yang tersemat untuk Junmyeon. Kenapa dia tidak dapat itu dari bocah tengil ini?
"Panggil aku hyung dan akan kupertimbangkan," ujar Baekhyun.
Dongho memajukan bibir. Mengganti rangkulan dengan tarikan-tarikan kecil di lengan seniornya itu. "Jagiya—AHK!"
"Bilang apa kau tadi?!" Baekhyun melotot selebar-lebarnya, berusaha mengintimidasi calon pelaku pelucahan ini, setelah menyerang rusuk lelaki itu dengan sikunya. Berani-beraninya.
Dongho masih meringis. Diusap-usapnya bagian yang baru saja menerima serangan. Barangkali dia hanya lupa senior yang ada di sebelahnya ini punya cukup basic bela diri sehingga kekuatannya tidak bisa dianggap main-main.
"Aish, hyungnim~"
Baekhyun mendelik. Sudah tidak berlaku lagi tawaran itu. "Pergi kau. Aku tidak akan ikut." Lantas ia pergi dengan langkah besar-besar. Mengabaikan Kang Dongho yang memanggil-manggil dengan suara diimut-imutkan dari belakang. Sungguh pemborosan tenaga untuk sempat meladeninya.
Namun, pikir Baekhyun hal itu mungkin salah. Meladeni Kang Dongho masih jauh lebih menyenangkan dibanding apa yang terjadi setelahnya; bertemu pembimbing skripsi, dan mendapatkan 'mandat' untuk merampungkan panduan pengambilan data dalam semalam. Tidakkah itu terlalu buru-buru? Dia ini sedang dikejar anjing atau bagaimana?
Seberapa pun Baekhyun mau protes, pada akhirnya ia mengangguk dan menyanggupi. Hal yang ia rutuki segera setelahnya. Dengan bahu yang turun seperti itu, ia meninggalkan ruang dosen di mana sempat terjadi diskusi yang sempat disangkanya tidak akan berakhir sampai malam menjemput. Sungguh, Baekhyun pikir Profesor Ji sedang berusaha membuatnya mempersiapkan karya untuk sebuah konferensi internasional. Terlampau detail.
Baiklah. Ini mungkin saatnya menggunakan senjata andalannya.
Baekhyun mencari sebuah nama di ponselnya. Menjejaki koridor dan selasar kampus menuju gerbang.
Segera setelah terdengar halo dari seberang panggilan, Baekhyun menyahut seolah tengah memberi salam pada seniornya di kamp militer. "Sunbaenim!"
"Astaga. Hentikan itu." Suara dari seberang merespon setengah geli.
Baekhyun tertawa. Ia yakin seseorang yang tengah ia hubungi ini sudah tahu ada udang di balik batu.
"Apalagi, hm?"
Tenangnya suara itu sedikit membuat Baekhyun merasa lebih baik. Hatinya berseru-seru memprotes soal mengapa bukan pria ini saja yang menjadi pembimbing untuk Tugas Akhir-nya. Maka disampaikannya hasil bimbingan yang baru saja ia jalani.
"Kupikir aku butuh beberapa bantuan konsultasi," tutup Baekhyun atas cerita panjang-lebarnya sebagai usaha meringkas diskusinya dengan profesor wanita yang menjadi dosen pembimbingnya itu.
"Baiklah. Aku ada di apartemen sekarang. Kau bisa langsung ke sini saja."
Diberkatilah Kim Junmyeon!
"Terima kasih, Jun-sunbae~" Baekhyun nyengir lebar. Tidak ragu-ragu menyematkan embel-embel karena sungguh orang ini lebih cocok jadi seniornya saja.
"Nah. Kuharap kau tidak lupa kalau kita ada di semester yang sama dan sama-sama sedang menggarap Tugas Akhir."
Baekhyun melewati gerbang dengan riang gembira. Segera mengarahkan langkah ke bangunan apartemen mewah tak jauh dari sana. Ia menanggapi kalimat barusan itu dengan tawa.
"Meluncur dalam lima menit~" ujarnya.
Kalau ditanya siapa saja orang paling berjasa dalam kehidupan perkuliahannya, Baekhyun memastikan Kim Junmyeon ada di dalam daftar itu. Meski orang bilang hubungannya dengan Junmyeon lebih mirip parasit dan inangnya, Baekhyun merasa ini lebih seperti dirinya yang diberkati dengan segala kemurahan hati pria itu.
Kim Junmyeon satu tahun lebih tua darinya. Karena beberapa alasan mereka bisa ada di semester yang sama saat ini. Mau seperti apa pun Junmyeon meminta agar tidak sama sekali mengungkit itu, sikap dan kemampuan yang bicara. Junmyeon jauh lebih dewasa dan mumpuni dalam hal akademik maupun non-akademik daripada Baekhyun. Memperolehnya sebagai kawan seperjuangan di jurusan dan klub adalah anugerah besar bagi Baekhyun sendiri. Sumpah!
.
.
Baekhyun mengetuk-ngetukkan ujung jemarinya pelan di atas keyboard laptopnya, memutar berulang-ulang dalam kepala penjelasan yang baru saja diberikan Junmyeon. Mata tertuju pada kursor yang diam tak bergerak di layar, sebelum kembali menengok sang pemilik tempat di mana Baekhyun kini tengkurap di atas kasur dengan seenak hati.
"Aku.. tidak.. mengerti?"
Di tempatnya Junmyeon seperti sudah menduga respon itu. "Begini. Karena kau tidak memasukkan pembatasan soal nature dan nurtured pada penjelasan tentang orientasi seksual di bab satu, dua, dan tiga, maka panduan yang harus kau buat harus sedikit lebih luas." Junmyeon menjelaskan dengan mudah, berkebalikan dengan usaha Baekhyun memahaminya yang tidak ada mudah-mudahnya.
"Selain soal pola asuh dan pergaulan, cari tahu dari segi faktor herediternya," tambah Junmyeon tepat sasaran. Sebab dengan itu Baekhyun segera memahami.
"Ah, seperti gay gene dan straight gene?" sahut Baekhyun yang segera diangguki Junmyeon. Ia lantas segera memberi catatan baru pada rancangan panduan pengambilan data yang tengah disusunnya. "Tapi bukankah teori-teori itu sudah dibantah?"
Lagi Junmyeon mengangguk. "Benar. Maka dari itu gunakan sebagai contoh saja. Masih banyak penjelasan hereditas lain. Itu mungkin tidak menyumbang terlalu banyak pada topik utamamu soal pengungkapan diri, tetapi substansinya bisa melengkapi data dan rasionalisasimu nantinya."
Baekhyun mengangguk-angguk. Beberapa hal kecil yang tak terpikir olehnya jadi poin-poin yang Junmyeon papar dan sarankan sejak tadi.
"Kau cukup berani mengambil topik ini," komentar Junmyeon. Masih ia betah pada posisi duduk santai bersilang kakinya di sofa samping tempat tidur yang kini dikuasai Baekhyun. "Maksudku, Profesor Ji tidak akan membiarkan topik seperti ini tidak dibahas secara mendalam."
Baekhyun tertawa. Ia tahu itu tidak salah. "Kau sudah mengatakan kalimat pertama lebih dari dua kali."
Junmyeon meneleng kepala, "Benarkah?"
Sembari terus mengetik Baekhyun geleng-geleng. Satu dari sedikit kekurangan yang dimiliki Junmyeon mungkin adalah pelupa. Ini tidak sopan tapi, Baekhyun akui Junmyeon itu sedikit pikun untuk urusan tertentu. Mungkin faktor usia.
Baekhyun geleng-geleng lagi. Fokusnya tidak boleh terbagi begini.
Menuju jam sembilan malam ia baru bertolak ke apartemennya sendiri. Berkat kunjungannya tadi, ia tak perlu tidur larut malam ini karena sebagian besar pekerjaan terkait skripsinya sudah selesai. Perutnya juga sudah terisi penuh berkat Junmyeon yang tidak pernah membiarkan tamu datang tanpa jamuan—meski secara teknis, alih-alih sebagai tamu, Baekhyun datang dengan segunung pertanyaan yang bikin pria itu repot. Repot kuadrat ditambah menumpang makan.
Tempat tinggal Baekhyun yang serba tanggung itu—yang terlalu payah untuk ukuran 'apartemen' tetapi masih cukup layak untuk tidak disetarakan dengan goshiwon—sudah kelihatan dari tempat Baekhyun berdiri dan melangkah. Tangga sewarna abu dengan cat mengelupas untuk para penghuni mencapai tempat tinggalnya sudah pula tampak.
Uh.. tunggu. Melihat seseorang yang baru saja muncul dari persimpangan tangga, Baekhyun melambatkan langkahnya. Kemudian sempurna berhenti. Tak jauh dari tangga itu.
Bukankah itu Park Chanyoung?
Baekhyun menelengkan kepala melihat pemandangan itu. Adalah hal normal bagi seorang pria dewasa memiliki kekasih. Tapi Baekhyun tak dapat menampik rasa penasarannya melihat bagaimana wanita yang berjalan beriringan dengan pria itu, harus susah payah menuruni tangga dengan menggunakan kruk.
Park Chanyoung tampak luar biasa khawatir di setiap langkahnya, terlihat dari cara pria itu nyaris tak sekali pun melepas mata dari kedua kaki wanita di sisinya. Memperhatikan langkah, ataupun memastikan ujung-ujung dua tangkai kruk yang digunakannya menapak dengan sempurna di setiap anak tangga.
Kali ini Baekhyun merasakan sindrom yang biasa diderita para tetangga; ia sangat penasaran dan sangat ingin tahu.
.
tbc
.
.
...Akhirnya mood bikin ff saya balik.
Sejak rampungin skripsi pertengahan desember lalu saya udah berapi-api pengen nulis ff, eh mood-nya raib /cryy/. Sampe akhirnya saya coba buka file ff ini dan nyoba ngetik satu-dua kalimat. Ternyata bisa! (hore!) Walopun kentang begini hasilnya, nggak apa2 lah ya huhu.
Terima kasih buat semua yang mampir baca ini. Special mention for KlyJC (semoga segera nyusul skripsian /loflof/)
Feedback sangat amat saya nantikan. Kadang saya ragu sendiri soal apa yang mesti saya perbaiki dari tulisan2 saya karna minim feedback. Bgitu deh. Anw see you next chap!
