Drama, Dark, Romance, Tragedy, Violence


Fragmen 3


Pernahkah kau merasa iba pada seseorang yang tidak seharusnya?

Baekhyun adalah orang asing. Dia tidak memiliki identitas. Bahkan asal usulnya saja tidak jelas. Dan ada kemungkinan dia terlibat dengan kasus besar yang tengah kuselidiki. Tak tanggung-tanggung, kasusnya sendiri menyangkut keamanan negara, dan melibatkan beberapa petinggi di parlemen, termasuk kelompok mafia besar yang markasnya kami gerebek seminggu lalu.

Ini tidak akan berakhir dengan baik seandainya Baekhyun terbukti ada sangkut pautnya dengan mereka. Tapi bisa jadi dia hanya tawanan para mafia. Entah menjadi jalangnya atau seorang penyelundup yang akan dijual sebagai budak di pasar gelap.

Sayangnya semua kekhawatiran itu harus bisa kusimpan terlebih dahulu sampai proses hipnoterapi selesai.

Aku melihat sorot ketakutan dari matanya saat kami tiba di ruangan Minseok. Sempat terlintas dalam benakku untuk membatalkan sesi hipnoterapi hari ini, tapi sialnya aku tidak memiliki wewenang.

Ya, memang betul aku adalah Kapten Tim Alpha di NIS. Tapi aku juga masih mempunyai atasan. Dan sudah seminggu ini laporan yang sedang tim kami kerjakan berhenti di tengah jalan karena sedikitnya informasi tentang Baekhyun.

Meski merasa iba sekalipun, aku harus tetap membuatnya buka mulut.

Saat Minseok memintanya berbaring, Baekhyun langsung gelisah di sofa bed yang ditidurinya. Matanya terpejam erat, kedua alisnya merengut, tangan mungilnya mengepal, dan tubuhnya bergetar hebat. Padahal Minseok belum memulai apa-apa.

"Aku ingin berkenalan denganmu. Kita belum sempat melakukannya bukan? Bisakah kau sebutkan namamu?"

"Baek-hyun."

"Baiklah, Baekhyun. Relaks saja. Aku hanya ingin mengobrol denganmu."

Minseok memulainya dengan cara yang halus dan profesional. Tidak terlihat paksaan sedikit pun, meski Baekhyun masih saja ketakutan. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya menggigil seperti itu.

Dari sesi pertama yang dilakukan, informasi yang kami dapat adalah Baekhyun tinggal di ruang bawah tanah untuk waktu yang cukup lama, tidak tahu kapan tepatnya, karena Minseok belum mau menggalinya terlalu jauh. Baekhyun akan diberi makan satu kali dalam sehari. Tidak ada pakaian, hanya ada selimut dan sepasang kaos kaki yang akan melindunginya dari udara dingin. Dan dalam dua hari sekali, seseorang akan membawanya melihat matahari.

Minseok bilang itu adalah ingatan terbarunya.

"Masih kurang, aku butuh informasi mengapa dia bisa ada di sana."

Sesi kedua berlanjut setelah Baekhyun menghabiskan setengah gelas susu vanila yang diberikan Minseok sebagai hadiah.

Kali ini hasilnya masih sama. Baekhyun mengulang cerita seperti sebelumnya. Tentang dirinya yang tinggal di ruang bawah tanah, makan satu kali sehari, dan melihat matahari dua hari sekali.

"Boleh aku tahu kenapa? Pasti ada alasan mengapa kau harus tinggal di sana. Kau bisa membaginya denganku, Baekhyun. Tidak akan ada yang mengganggumu. Karena orang-orang di markas itu sudah lenyap."

Aku menanti jawabannya dengan tidak sabaran. Tapi begitu mendengarnya, aku menyesal.

"A-ku dipukul. Ditutup ka-in hitam. A-ku disuntik. Ja-rumnya menembus k-kulitku. Lalu... dia... me-ma-kaikan helm a-neh. Kepala-ku s-sakit. Hiks, ber-henti."

Aku dan Minseok saling berpandangan. Bagian helm aneh itu membuat kami teringat pada kejadian penyiksaan yang melibatkan sengatan listrik. Salah satu anggota kami di masa lalu pernah merasakannya saat disekap pihak musuh.

"Chanyeol, kurasa seseorang berusaha mencuci otaknya."

Aku mengangguk paham. "Tolong gali sedikit lagi."

"Baekhyun, aku akan menghentikannya. Kau tidak akan mengingat lagi rasa sakitnya. Tapi tolong beritahu aku, bagaimana kehidupanmu sebelum ini? Sebelum seseorang melukaimu dengan helm aneh itu."

"T-tidak a-da. A-ku Baek-hyun, tinggal di ru-ang bawah ta-nah. Makan se-kali. Melihat matahari de-ngan pen-jaga. Dia... me-megang... tubuh-ku."

"STOP!" Aku berteriak dan membuat Minseok berjengit kaget. Nafasku memburu, mataku juga berkilat penuh emosi. Kedua tanganku sudah mengepal dengan erat, ingin sekali memukul sesuatu saat mendengar sendiri pelecehan yang diterima oleh Baekhyun. "Katakan padanya, aku akan membawa dia melihat matahari."

"Baekhyun, terima kasih sudah menceritakannya padaku. Sekarang berhentilah menangis. Seseorang akan membawamu melihat matahari...-"

"Kapten," ujarku menyela kalimat Minseok. "Katakan Kapten yang akan membawanya. Bukan para penjaga itu."

Minseok mengangguki ucapanku begitu saja seolah dia pun sudah paham mengapa aku memintanya demikian.

"Kalau kau berhenti menangis, Kapten akan membawamu keluar untuk melihat matahari."

Lalu secara ajaib, tangis Baekhyun berhenti. Tubuhnya pun tidak lagi menggigil. Saat dua kelopak matanya terbuka, ia kembali menjadi dirinya sendiri.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku hati-hati.

Baekhyun mengangguk sekali. Seperti biasa, enggan berbicara. Tapi hanya dengan itu saja sudah membuatku bisa kembali bernafas lega.

"Mau melihat matahari bersamaku?"

Baekhyun tidak langsung menjawab. Ia malah menatap ke arah meja, tepatnya pada segelas susu vanila yang masih tersisa setengah.

"Kau boleh menghabiskannya. Minseok bilang itu hadiah untukmu karena kau sudah mau diajak bermain ke ruangannya."

Tangan kurus Baekhyun langsung terulur begitu mendengar ucapanku. Dia meneguk susunya perlahan-lahan sampai habis, bahkan mengangkat gelas itu tinggi-tinggi agar tiap tetes susunya bisa ia telan. Lidahnya menjulur keluar dan mendesah sedih saat tetesan susunya telah habis tak bersisa.

Minseok tersenyum miris melihatnya. Sedang aku sibuk menahan denyutan di dada yang tidak kupahami apa sebabnya.

Setelah berpamitan, aku membawa Baekhyun keluar dari ruangan Minseok, lalu mengajaknya menuju taman kecil di sekitar markas. Wajahnya tersenyum cerah, sungguh berbeda dengan ekspresi ketakutannya beberapa saat yang lalu. Sinar mentari yang menyengat tidak ia hiraukan. Kakinya masih saja melangkah menyusuri jalan setapak di taman. Pelan dan hati-hati, langkah pendeknya kuikuti sampai dia berhenti di depan semak berbunga.

Kukira Baekhyun akan memetiknya, tapi ia hanya menatap bunga-bunga liar itu tanpa kata. Tatapan kosongnya kembali muncul sampai tubuhnya ikut mematung, tak bergerak barang sedikit pun.

Lagi-lagi aku merasa iba entah karena apa.

Kuguncang bahunya seperti saat menemukannya pertama kali, lalu kutawari bunga liar itu padanya.

"Kau mau aku memetik bunga itu untukmu?"

Baekhyun menoleh padaku, tapi tatapan matanya masih belum berubah. Kosong dan tak bernyawa.

"Baekhyun?" Kupanggil namanya sekali lagi, bersama guncangan kecil di bahunya. Barulah kedua matanya mengerjap pelan. Aku tanya sekali lagi padanya. "Kau mau aku memetik bunganya untukmu?"

Kepala itu mengangguk pelan. Dan mulutnya terbuka, siap mengatakan sesuatu.

"Ma-u."

.

.

.

Lcourage

041220