Disclaimer:
Naruto: Masashi Kishimoto
Kanojo, Okarishimasu: Reiji Miyajima
.
.
.
Pairing: Naruto x Chizuru
Rating: M (karena ada pembunuhan dan sebagainya)
Genre: romance, crime, action, hurt/comfort, tragedy, fantasy
Setting: Alternate Universe (AU)
.
.
.
The Ninja in the Shadows
By Hikasya
.
.
.
Chapter 5. Menolak
.
.
.
"Aku akan mengundang pacarku untuk makan malam hari ini. Apa Kakek mengizinkannya?" tanya Chizuru usai mengunyah makanan. Kedua tangannya memegang garpu dan pisau.
Tuan Tatsuhito terdiam sejenak, menatap Chizuru penuh selidik. "Siapa nama pacarmu?"
"Akasuna Sasori."
"Apa orang tuanya memiliki pekerjaan?"
"Punya. Ayah dan ibunya, pemilik sebuah restoran Jepang yang terkenal di Korea."
"Apa nama restorannya?"
"Apa, ya? Aku kurang tahu."
"Kalau begitu, Kakek tidak setuju kau berhubungan dengannya. Putuskan dia hari ini juga."
"Apa? Tapi, Kakek..."
"Kakek mau berangkat ke kantor. Naruto, jaga Chizuru. Pastikan dia putus dengan pacarnya hari ini."
"Baik, Tuan." Aku yang duduk di samping Chizuru, mengangguk patuh. Melirik Chizuru. Chizuru menunduk, menyembunyikan ekspresi wajahnya yang sebenarnya.
Tuan Tatsuhito pergi meninggalkan ruang makan. Menyisakan separuh roti bakar berselai blueberry di piringnya. Sepertinya Tuan Tatsuhito tidak bernafsu makan lagi karena tidak suka Chizuru yang memiliki pacar.
"Kenapa kakek selalu saja menolak semua pacarku yang ingin kubawa ke rumah ini? Dia seakan menilai seseorang dari kekayaan," tutur Chizuru menghentakkan garpu dan pisau ke meja, sehingga menimbulkan bunyi yang cukup berisik.
"Kakekmu tidak mau kau berhubungan dengan laki-laki yang tidak jelas, Chi-sama. Ingat, apa yang kukatakan kemarin itu, kau tidak boleh percaya pada orang lain, meskipun kau sudah mengenalnya sangat lama," sahutku memasukkan potongan roti bakar ke mulutku.
"Aku sudah mengenalmu sejak kecil, apa itu berarti aku tidak mempercayaimu lagi?"
"Maksudnya, kau tidak terlalu akrab dengan orang itu, meskipun telah mengenal lama. Jika kau sudah sangat akrab dengan orang itu, tentu kau sangat mempercayainya. Seperti aku yang sangat mempercayaimu karena kita sudah berteman sejak kecil."
"Kalau kau yang menjadi pacarku, pasti Kakek akan mengizinkannya."
"Ukh! A-apa?"
Aku hampir menelan bulat-bulat makanan yang belum kukunyah halus. Mataku membulat sempurna. Tercengang. Bertepatan tanganku digenggam kuat oleh Chizuru. Chizuru menatapku lekat-lekat.
"Apa yang kau katakan, Chi-sama? Aku cuma butler dan pengawalmu. Tuan Tatsuhito tidak akan mengizinkanmu mencintai pelayanmu sendiri," ujarku dengan muka sedikit memerah. Merasakan jantung berdegub kencang. Entah apa yang terjadi padaku.
"Semalam itu, Kakek memang menyuruhku untuk tidak terlalu dekat denganmu. Dia melarangku jatuh cinta padamu. Tapi, larangannya itu sudah terlambat. Aku ... sudah menyimpan perasaan ini sejak kecil. Aku ... mencintaimu, Naruto," tukas Chizuru. Suaranya terdengar lembut sekali. Matanya memburam, kehilangan cahaya.
"Kau sudah memiliki Sasori. Jangan berniat menikungnya."
"Asal kau tahu, Naruto. Selama ini, aku mencoba berpacaran dengan laki-laki lain, hanya untuk menghapus perasaanku padamu. Tapi, entah mengapa perasaanku semakin kuat sejak kau menjadi pengawalku."
"Maaf, aku tidak bisa membalas perasaanmu, Chi-sama. Karena aku hanya menganggapmu sebagai teman saja."
Aku perlahan menyingkirkan kedua tangan Chizuru dari tanganku. Bangkit dari kursi, lalu meraih tas yang terletak di kursi lain. Mengayunkan kaki menuju pintu yang terbuka lebar. Terdengar suara Chizuru yang melengking, memekakkan telingaku.
"Naruto, tunggu!" Chizuru mengejarku.
Aku berjalan cepat, tidak berani menoleh ke arahnya. "Jangan bicara soal perasaan lagi. Aku pengawalmu. Lupakan perasaanmu mulai detik ini."
"Aku tidak bisa melupakan perasaan ini."
"Jangan bebal!"
"Aku akan menuruti perkataan Kakek dan perkataanmu. Aku akan memutuskan Sasori hari ini!"
Chizuru merentangkan kedua tangannya. Menghadangku dengan ekspresi serius. Aku nyaris menabraknya, untung aku cepat mengerem langkahku. Lalu aku melewatinya, lalu Chizuru mendekapku dari belakang. Membuat mataku membulat sempurna.
"Aku mencintaimu, Naruto. Aku tidak bisa menahan perasaan ini lagi." Terdengar isakan halus dari Chizuru.
Aku terdiam, membiarkan Chizuru menangis dan menyembunyikan wajahnya ke punggungku. Kurasakan pakaianku sedikit basah karena terkena air mata Chizuru. Kesunyian yang hadir di antara kami, turut sedih karena merasakan apa yang dirasakan Chizuru.
Untung, tidak ada orang yang melihat aku dan Chizuru seperti ini. Jika ada yang melihat, aku takut akan menimbulkan masalah besar. Ingin rasanya aku berteleportasi sekarang untuk menghindari Chizuru, tetapi hal itu tidak bisa kulakukan sebab terikat tugas.
"Chi-sama, sebaiknya kita pergi ke kampus," kataku untuk mengalihkan perhatian, "kau harus membuktikan apa yang kau katakan. Putuskan Sasori dan..."
"Aku mau memutuskan Sasori, asal kau menerima cintaku," potong Chizuru melepaskan aku.
"Aku tidak bisa menerima cintamu, Chi-sama."
"Kalau begitu, aku tidak akan memutuskan Sasori!"
Chizuru berlari meninggalkan aku. Aku terperanjat, mengejarnya. Memanggilnya bersusah payah.
"Hei, Chi-sama!" Suaraku menggema keras di koridor itu.
Chizuru tidak menggubris teriakanku. Dia terus berlari hingga keluar dari mansion. Aku membelalakkan mata saat dia telah naik mobil dan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi di jalanan.
"Chi-sama, dia nekad sekali!" seruku menghilang dari pintu mansion. Berpindah tempat ke atap mobil milik Chizuru.
Aku tiarap dan menancapkan dua kunai ke atap mobil. Berpegangan pada kunai-kunai itu agar aku tidak terjatuh dari mobil. Deru angin yang sangat kencang karena pergerakan mobil, membuat rambut dan pakaianku berkibar cepat.
Jalanan yang semula sepi, berangsur menjadi ramai. Banyak kendaraan yang mondar-mandir. Bunyi keras dari klakson-klakson mengganggu konsentrasi, karena para pengemudi jengkel dengan Chizuru yang mengebutkan mobil tanpa memerhatikan rambu-rambu lalu lintas.
"Chi-sama, hentikan kegilaanmu! Tindakanmu ini bisa membahayakan nyawamu!" Aku menggeram kesal. Apa yang harus kulakukan sekarang?
Aku terpaksa menghentikan Chizuru terang-terangan. Berusaha mentransferkan cakra ke seluruh tubuhku. Sehingga aku bisa menempel pada mobil ini. Merangkak dan melongokkan kepala ke jendela di dekat Chizuru mengemudi. Rambutku menurun mengikuti hukum gravitasi.
"Chi-sama, hentikan mobil ini!" Kepalaku menghadap bawah. Kemunculanku ini mengejutkan Chizuru.
Chizuru berteriak dan membanting stir ke kiri. Mobil berhenti mendadak di pinggir jalanan, nyaris menabrak tiang listrik. Chizuru membulatkan mata sempurna. Syok.
"Na-Naruto, kenapa kau bisa muncul di atas mobilku?" tanya Chizuru. Badannya sedikit bergetar.
Aku melompat dari atap mobil dan sedikit menunduk, menatap wajah Chizuru yang terhalang kaca jendela mobil. "Aku tidak bisa menjawabnya. Tapi, yang penting, kau selamat, Chi-sama."
Mata Chizuru berkaca-kaca. Sepertinya dia ingin menangis lagi. Aku merasa kasihan padanya, lalu bergegas masuk ke sisi kiri mobil. Duduk di samping Chizuru. Memegang bahu Chizuru pelan.
"Naruto, aku mencintaimu." Chizuru mendekap pinggangku erat sekali. "Aku ingin kau juga mencintaiku. Biarpun Kakek tidak suka jika aku mencintaimu, tetapi aku akan berusaha membujuk Kakek agar Kakek menerimamu sebagai pacarku. Kalau perlu, aku ingin kau menjadi calon suamiku."
"Begini, Chi-sama. Keluargaku sudah lama mengabdi pada keluargamu sejak zaman Heian. Keluarga Uzumaki telah menjadi pelayan setia yang selalu melindungi keluargamu." Aku terpaksa berterus terang tanpa menyebut keluargaku adalah ninja. "Ada sebuah perjanjian lama antara kakek moyang kita, perjanjian yang menyebutkan, keturunan Uzumaki tidak boleh menikah dengan keturunan Ichinose karena akan memutuskan hubungan kedua belah pihak dan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."
"Kau bohong!"
"Aku tidak bohong. Kau bisa menanyakan itu pada kakekmu."
Chizuru melonggarkan pelukannya, mendongak ke mukaku. Pandangannya sungguh menyedihkan. Seolah membiusku dengan injeksi cairan kasih sayangnya yang memang tulus padaku. Namun, aku memang tidak bisa meraih cintanya, sebab sumpahku sendiri.
.
.
.
Semula aku tinggal bersama ibuku, Uzumaki Kushina, tepatnya di sebuah desa yang sangat jauh dari kota Konoha. Ayahku, Namikaze Minato, tinggal di kediaman keluarga Ichinose, menjalani tugas menjaga keluarga Ichinose. Dia bisa pulang mengunjungiku dan Ibu, saat liburan sekolah tiba.
Selama ditinggal Ayah, Ibu yang melatihku untuk menjadi ninja, dimulai dari latihan dasar sejak usia tiga tahun. Jika Ayah ada di rumah, tentu dia yang melatihku tentang jurus-jurus ninja hingga membuat perangkap-perangkap untuk musuh.
Keluarga Ichinose selalu pergi ke rumahku saat liburan panjang tiba karena Ayah yang mengajak mereka sekaligus bisa menjaga mereka. Karena itu, aku mengenal baik seluruh keluarga Ichinose dan berteman dengan Chizuru. Namun, Chizuru sendiri yang tidak mengetahui latar belakang keluargaku adalah ninja.
Hari itu, Ayah tiba-tiba datang lewat berteleportasi. Dia berbicara dengan Ibu di ruang tengah. Aku mendengar percakapan mereka di balik pintu - rumahku bergaya arsitektur Jepang kuno.
"Aku kewalahan menghadapi mereka," ucap Ayah duduk bersimpuh berhadapan dengan Ibu, dibatasi meja berkaki rendah, "karena kecerobohanku, nyawa istri Tuan Tatsuhito menjadi taruhannya."
"Siapa yang telah membunuh istri Tuan Tatsuhito?" tanya Ibu mengerutkan kening.
"Aku tidak tahu. Tapi, dia menyusup langsung ke kamar Tuan Tatsuhito. Aku sendiri tidak menyadari keberadaannya."
"Satu nyawa melayang, itu berarti nyawamu menjadi bayarannya."
"Ya. Karena itu, aku datang untuk mengunjungimu dan Naruto untuk terakhir kalinya."
"Jangan katakan itu. Aku tidak mau kehilanganmu, Minato."
"Tapi, aku harus siap berkorban demi keselamatan keluarga Ichinose, itulah sumpahku sendiri."
"Kalau begitu, aku juga akan bersumpah, akan terus bersamamu sampai mati."
Aku mendengar itu, membulatkan mata sempurna. Sempat mengintip juga dari celah pintu yang berlubang kecil, langsung menggeser pintu ke samping. Masuk, melangkah cepat menghampiri orang tuaku.
"Ayah, Ibu, kenapa kalian bersumpah seperti itu?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca.
"Naruto," jawab Ayah membulatkan mata sempurna, lalu meredupkan matanya, "Ayah gagal melindungi istri Tuan Tatsuhito, karena itu, Ayah akan tinggal selamanya di kediaman Tuan Tatsuhito. Ayah harus membereskan para ninja yang telah membunuh istri Tuan Tatsuhito."
"Benar, Naruto. Ibu akan pergi membantu Ayahmu. Kau tinggal di sini. Jangan ikut dengan kami. Ada teman-teman baik kami yang akan menemanimu selama kepergian kami," ungkap Ibu dengan muka muram.
"Tapi, Ayah, Ibu..."
"Naruto, pegang pedang ini. Cepat!" Ayah mengeluarkan pedang katana miliknya dari punggungnya, dan menyerahkan pedang itu padaku.
Aku memegang pedang itu. Menatap lebih dalam mata biru Ayah yang sangat mirip dengan mataku. Ayah bertampang serius. Suara tegasnya membuat bulu kudukku merinding.
"Kau harus berjanji, akan menggantikan posisi Ayah menjadi ninja pelindung keluarga Ichinose jika Ayah telah meninggal dan kau harus tinggal bersama keluarga Ichinose. Pedang ini menjadi saksi perjanjian kita. Jika kau melanggar perjanjian ini, itu artinya kau durhaka pada Ayah dan kau harus menusuk dirimu dengan pedang ini untuk menebus kesalahanmu," tutur Ayah menyipitkan matanya.
Aku terpaku, lantas mengangguk. "Aku berjanji."
"Tepati janjimu itu."
"Baik."
"Anak yang baik. Ayah bangga memiliki putra sepertimu."
Ayah menarikku ke pelukannya. Kudengar suara rintihannya yang sangat menyayat hati. Ibu juga memeluk kami. Dia juga menangis, seolah akan pergi jauh dan tidak akan pernah kembali ke rumah ini.
Aku hanyut dalam suasana haru membiru. Mengundang air mata juga berjatuhan dari netraku. Merasakan Ayah dan Ibu membelai rambutku pelan untuk terakhir kalinya.
.
.
.
Sejak aku dan Ayah melakukan perjanjian, Tuan Tatsuhito dan Chizuru datang ke rumahku untuk bersembunyi dari kejaran musuh. Aku menyambut kedatangan Tuan Tatsuhito dan Chizuru dengan tangan terbuka. Ayah yang sempat mengantarkan mereka ke sini.
Saat malam tiba, aku duduk bersimpuh, menghadap Tuan Tatsuhito di kamarnya karena Tuan Tatsuhito yang memanggilku. Tuan Tatsuhito sendiri, duduk bersimpuh di atas kasurnya. Bermuka sedih.
"Tadi, aku mendapat kabar dari orang kepercayaanku. Orang tua Chizuru meninggal karena mobil mereka diledakkan dengan bom. Ayahmu juga menjadi korban peledakan itu. Lalu Ibumu sudah berhasil membunuh para pelaku yang telah membom mereka. Tapi, Ibumu langsung bunuh diri di dekat mobil yang terbakar itu," ungkap Tuan Tatsuhito dengan suara serak, "maafkan aku, karena keluargaku yang melibatkan keluargamu dalam permasalahan sulit ini."
"Anda tidak salah, Tuan Tatsuhito. Aku paham. Kejadian ini sudah menjadi takdir tertulis dari Tuhan. Keluarga Namikaze memang selalu menjadi pelindung keluarga Ichinose. Tradisi itu tidak akan pernah berhenti sampai kapanpun," sahutku menahan air mata mati-matian, "aku juga sudah berjanji pada Ayahku. Aku akan menjadi penggantinya untuk menjaga anda dan Chi-sama."
"Umurmu masih sangat muda, Naruto. Aku takut kau tidak bisa mengemban tugas berat ini."
"Aku sudah terlatih baik oleh orang tuaku. Anda tidak usah meragukan kemampuanku."
"Jika itu maumu, aku akan menerimamu menjadi penerus pelindung keluargaku. Untuk tugas pertama, kau harus melindungi cucuku, Chizuru."
"Baiklah, Tuan. Aku bersumpah, akan selalu mengabdi pada keluargamu dan tidak akan pernah jatuh cinta pada keturunanmu."
Aku menunduk hormat pada Tuan Tatsuhito. Tiba-tiba, ucapan Tuan Tatsuhito mengejutkan aku. Mataku membulat sempurna.
"Kenapa kau bersumpah begitu? Padahal aku berniat akan menjodohkanmu dengan cucuku." Suara Tuan Tatsuhito sedikit meninggi.
Aku mendongak, tersenyum lembut. "Aku tidak pantas dijodohkan dengan cucu anda. Karena aku pelindung keluargamu. Chi-sama hanya pantas bersanding dengan laki-laki yang setara dengannya. Aku juga sudah bersumpah dan sudah terikat perjanjian dengan Ayah. Ayah menginginkanku untuk mengabdi pada keluarga anda dan tinggal bersama anda. Jadi, aku tidak bisa menarik kembali sumpah dan perjanjian itu."
"Kau memang anak yang baik, Naruto. Kau berprinsip sangat kuat. Aku bangga padamu. Tapi, tentu tidak selamanya, kau mengabdi pada keluargaku, tentu kau punya kehidupan sendiri. Kau harus menikah dan memiliki keturunan nantinya."
"Aku tahu itu. Tapi..."
"Begini saja, kau bisa berhenti menjadi pelindung jika Chizuru mendapatkan calon suami yang juga seorang ninja. Tapi, tidak mudah mendapatkan ninja sebaik dirimu, Naruto."
"Kalau begitu, aku akan membantu anda untuk menemukan ninja yang baik dan pantas untuk menjadi calon suami serta pelindung Chi-sama."
"Itu lebih baik. Terima kasih, Naruto."
"Ya, sama-sama, Tuan."
Aku dan Tuan Tatsuhito tersenyum. Kami memulai membangun hubungan baru menjadi majikan dan bawahan. Saling percaya dan merahasiakan apa yang terjadi di antara kami dari Chizuru.
.
.
.
Aku seolah terbawa ke masa lalu, tetapi lamunanku buyar seketika karena Chizuru menyentuh pipi kiriku. Chizuru memerhatikan wajahku teliti. Mukanya tampak cemas.
"Naruto, pipi kirimu kenapa?" tanya Chizuru membelai plester yang menutupi pipi kiriku.
"Oh, ini, karena terkena tusukan ranting di belakang kampus saat aku mencarimu kemarin."
"Hah? Kau mencariku sampai ke sana?"
"Ya. Kupikir kau bersembunyi di sana seperti kelinci."
"Dasar, jangan samakan aku dengan kelinci!"
"Aduh, sakit! Jangan cubit di luka itu!"
Chizuru menarik pipiku dengan kuat. Sehingga hidung kami bersentuhan. Mataku membulat sempurna disertai semburat merah yang muncul malu di dua pipiku. Chizuru sempat mencium pipi kiriku hanya beberapa saat.
"Semoga kau cepat sembuh," kata Chizuru bersuara lembut ke telingaku. Menggetarkan jantungku dan membuat seluruh tubuhku seakan menggigil kedinginan.
Tiba-tiba, terdengar suara ponsel yang mengganggu suasana romantika di antara aku dan Chizuru. Suara itu berasal dari kantong jaket Chizuru. Chizuru mengambil ponsel, dan mendengar suara seseorang di telinganya saat ponsel menempel di telinganya.
"Halo." Chizuru membelalakkan mata. "Apa? Kau masuk rumah sakit?"
Aku tidak tahu siapa yang menelepon Chizuru. Namun, sepertinya Chizuru mengkhawatirkan orang yang meneleponnya tadi. Chizuru langsung meletakkan gawainya ke laci dashboard, menghidupkan mobil. Tancap gas lagi, mengebutkan mobil seperti pembalap mobil profesional.
"Memangnya siapa yang meneleponmu?" tanyaku penasaran. Keningku mengerut.
"Sasori. Dia ditusuk seseorang kemarin itu, makanya langsung dibawa ke rumah sakit," jawab Chizuru bermuka panik.
"Ditusuk?"
"Kita akan mendengar cerita lengkapnya nanti di rumah sakit."
Aku mengangguk, memilih membisu. Memerhatikan keadaan jalan yang semakin ramai. Tidak mau mengingat lagi apa yang dilakukan Chizuru padaku - Chizuru yang mencium pipiku.
.
.
.
Bersambung
.
.
.
A/N:
Word chapter kali ini panjang. Semoga kalian puas membacanya. Terima kasih banyak.
Tertanda, Hikasya.
Rabu, 31 Maret 2021
