2. Kesombongan

"Hari ini tidak terlalu banyak pelanggan." Solar mengelap meja terakhir dan menaikkan kursi ke atasnya. Karena hujan lumayan deras sejak siang tadi, Kokotiam jadi sepi. Padahal biasanya, setiap gilirannya berjaga, Kokotiam selalu lebih ramai. Terlebih oleh gadis-gadis muda yang selalu menjadikan kesempatan untuk melihat wajah rupawannya.

"Tak apalah … kan, bagus. Kita tidak terlalu penat untuk hari ini," sahut Tok Aba di balik meja kasir sana. Sibuk menghitung cash yang masuk. Walaupun tidak sebanyak biasanya, tetapi pria tua itu tak terlihat mengeluhkannya.

"Padahal pesonaku belum sepenuhnya menghilang," celetuk Solar selagi melirik pantulan wajahnya di balik jendela kafe yang dikawani bekas rintik hujan.

"Apalah, hubungan pelanggan dan pesona kau itu?"

"Ish, Tok Aba ini. Bukankah Kokotiam selalu lebih ramai setiap kali aku berjaga? Itu Karena pesonaku tak main-main. Berbeda dengan saudara-saudaraku yang lain."

"Berbeda apanya? Wajah kalian, kan, sama?" Mengambil beberap lembar terakhir uang dari laci kasir, Tok Aba segera menyambar kunci yang menggantung bersama kunci lainnya di balik dinding. Lantas segera mengayunkan langkah ke arah Solar yang sudah bersiap untuk pulang seusai menyimpan alat-alat kebersihan di pojok ruangan.

"Walaupun wajah kami serupa, tapi pesona kami jelas-jelas berbeda." Sama-sama mereka berjalan meninggalkan kafe. Langit sudah gelap saat Solar mengarahkan pandangannya ke arah horizon sana. Solar tidak terlalu suka dengan malam. Selain gelap dan heningnya yang sering kali menarik kesepian yang dahsyat, dinginnya pun membuat perasaaan Solar selalu terasa lebih sendu.

Solar sangat suka dengan siang hari. Matahari yang gagah bersinar, selalu menyimbolkan kehidupan yang cerah ceria, penuh asa, cita, dan cinta. Namun, beberapa terakhir selepas vonis itu dijatuhkan padanya, siang harinya pun terasa begitu gelap dan dingin.

Hening. Lama.

"Solar, sampai kapan kau akan menyembunyikan semua ini dari kakak-kakakmu?" tanya Tok Aba, memecah hening yang beberpa saat tercipta.

Bola mata sewarna emas milik Solar berotasi ke arah pria yang lebih tua darinya. Kendati terlihat baik-baik saja dan bersikap biasa-biasa saja, Solar tahu, Tok Aba pun kini tengah berdiri dan menari-nari di atas kekhawatiran yang maha. Solar belum tahu alasan apa yang membuatnya menahan rahasia itu lebih lama dari saudara-saudaranya. Entah sebab ia takut keadaan menjadi berubah, ia takut kesedihan membelenggu seluruh perasaan yang ada, atau karena ia enggan dikasihani siapa pun.

"Entahlah, Tok …." Bahu Solar terangkat. "Aku akan memberi tahu mereka, tapi enggak sekarang."

"Biar Atok saja yang memberi tahu mereka."

"Jangan, Tok. Apa yang akan mereka pikirkan jika tidak tahu langsung dariku?"

"Atok beri tahu Ayah kau, lah. Bagaimana pun juga dia perlu mengetahui ini, kan?"

"Apa … Atok merasa keberatan menyimpan masalah ini seorang diri?" tanya Solar. Suaranya merendah. "Harusnya Atok pun tak tahu masalah ini. Sekarang, aku merasa sangat bersalah."

"Bicara apa, lah, kau ini. Atok tak merasa keberatan sama sekali. Bahkan jika harus menanggung sakit yang kau rasa pun, Atok tak apa-apa. Atok hanya …." Kalimat Tok Aba mengambang. Sedikit menyesal melihat mendung yang mendadak menggantung di balik wajah cucu bungsunya itu. Padahal, setelah beberapa hari tampak tak terlalu bersemangat, baru kali ini Solar kembali mendapatkan gairahnya hingga bersedia membantunya di Kokotiam. "… Atok merasa telah mengkhianati kakak-kakak kau karena menyembunyikan rahasia ini dari mereka."

Hening. Solar tak lagi menanggapi sebab kini langkah mereka sudah sampai di depan pintu rumah. Maaf, Tok. Aku hanya takut ada yang berubah seandainya mereka tahu kondisiku sekarang.

"Duri bilang, kau menyetujui tawaran loncat kelas itu?" Pagi-pagi sekali, saat Solar turun dari kamarnya dan hendak menyantap sarapan bersama, Taufan tiba-tiba melontar tanya.

Kursi makan tampak belum dalam formasi lengkap. Hanya ada Blaze dan Taufan. Halilinitar bertugas membuat sarapan, sementara Gempa masih sibuk dengan jemurannya di halaman belakang. Duri berpapasan dengannya di tangga, hendak menyuruh Ice segera turun untuk sarapan.

"Duri pasti melihat-lihat mejaku lagi," keluh Solar menebak. Selagi membiarkan salah satu kursi di sana menarik tubuhnya untuk duduk.

"Kau benar-benar menandatangani surat penawaran itu?"

Tak lalu memberi respons, Solar biarkan paru-parunya menghimpun banyak udara sebelum menyemburkannya dalam sekali hela. "Aku hanya ingin menyelesaikan sekolahku lebih cepat."

Gempa sudah masuk ke dalam rumah tepat saat Halilintar menghidangkan masakan di atas meja. Duri dan Ice pun sudah hadir. Sementara Ice melengos ke kamar mandi untuk mencuci muka, Duri mengambil posisi tepat di samping si bungsu.

"Kenapa kau harus melakukannya? Kita, kan, bisa lulus sama-sama nanti." Protesan Taufan terlempar. Agak tak suka mendengar alasan si Bungsu.

Solar tahu, seluruh emosi negatif mendadak berkumpul dalam lymbic system di hypothalamus-nya kala pemaparan Blaze berlabuh hingga indra pendengar. Sejujurnya, ia pun ingin berlaku demikian, tetapi pada kenyataannya … akh, sudahlah! Solar menggeleng tipis. Ia sudah bertekad untuk tidak terlalu memikirkan perihal kondisinya saat ini. Esok adalah hari pertama sekolah, dan Solar tengah memantapkan segalanya, baik fisik dan psikisnya. Lagi, Solar sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk hidup sebagaimana biasanya, seolah-olah tak pernah mendengar vonis itu. Ia tidak ingin dikasihani orang lain, dan ia tidak perlu mengasihani diri sendiri.

"Tawaran ini adalah bukti kalau aku lebih unggul dari kalian. Jadi, kenapa kitu harus lulus bersama kalau aku bisa selangkah lebih maju dari kalian?" Solar tesenyum miring.

"Cih, sombongnyaaa …." Blaze memutar bola mata bosan.

Ketiga tertua, Halilintar, Gempa, dan Taufan saling melempar pandang. Apa yang Solar katakan jelas 'Solar banget'. Setelah perubahan si yang terkecil beberapa waktu silam, melihat Solar kembali seperti biasanya membuat mereka merasa lega.

"Ini bukan sombong, tapi kenyataan memang berkata demikian. Bagaimana pun juga, aku punya potensi sukses lebih tinggi dari kalian."

"Halah … jangan sombong! Kau tahu? Dalam film horor, orang sombong dan belagu selalu mati lebih dulu. Jadi—"

"Blaze …." Tok Aba menegur tatkala mata yang dibingkai kacamata minimalis itu melihat perubahan ekspresi Solar. "Sebaiknya kita makan saja. Simpanlah, dulu percakapan ini."

Solar menunduk, seraya gumam rendah mengudara dari bibir pucatnya. "Tapi, kita tidak sedang membuat cerita horor."

Faktanya, apa yang Blaze ucapkan, terus terngiang-ngiang. Seperti rekaman yang sengaja diputar berulang-ulang dalam kepalanya. Berdengung, dan entah kenapa terasa menyesakkan dada.

Solar jadi berpikir bahwasannya penyakit yang kini bersarang dalam tubuhnya adalah teguran dan hukuman sebab selama ini ia terlalu sombong dan terlalu berbangga diri dengan semua kesempurnaan yang dimilikinya. Padahal, segala kemampuan dan kelebihan yang ada pada dirinya semata-mata adalah titipan Sang Kuasa. Namun, dengan bangganya ia menyombongkan diri, bersikap pongah dan merendahkan yang lain.

Ah, padahal takabur adalah salah satu penyakit hati yang paling Allah benci. Bahkan Allah menegaskan dalam firmannya kalau manusia yang dalam hatinya menyimpan secuil saja rasa sombong, maka orang itu bahkan tidak akan bisa mencium baunya surga, lebih-lebih memasukinya.

Solar beristigfar. Bersamaan dengan itu rasa nyeri tanpa aba-aba menghantam bagian terdalam kepalanya, membuat Solar semakin merasa tertampar. Ada tekad kuat dalam hatinya kalau ia akan bertobat, dan berubah ke arah yang lebih baik.

Setelah sakit di kepalanya mulai mereda, Solar meraih salah satu buku catatan beserta penanya di atas meja belajar. Lantas ia menuliskan sesuatu di salah satu halamannya.

Mission Before Die.

Bersambung .

Planet Bumi, 13 November 2021

Terima kasih yang sudah mampir.

Keep Review!