3: Prince 'S'
"Aku masih tidak menyangka Solar menyetujui tawaran loncat kelas itu."
"Walaupun ucapannya benar kalau ia memiliki potensi sukses lebih besar dari kita, tetap saja aku sedikit kecewa dengan keputusannya."
Solar menghentikan langkahnya di ujung tangga sebelum berbelok menuju dapur. Kemarau melanda tenggorokan di sela kegiatannya, dan laki-laki penyuka warna putih itu hendak mengambil air minum saat percakapan itu menepi hingga gendang telinga. Semua saudaranya minus Gempa tampak sedang berkumpul di ruang depan.
"Aku ingin mendukung apa pun keputusan Solar, tapi… tetap saja, dengan begini aku semakin merasa berjuta-juta di bawah adikku sendiri."
Itu suara Duri. Susunan kalimatnya membuat Solar kontan menipiskan bibir. Demi lezatnya hot chocolate Kokotiam, Solar mengambil tawaran loncat kelas itu tidak bermaksud membuat seseorang merasa melampaui atau dilampaui.
"Jangan bilang begitu, Duri. Setiap manusia kan punya kemampuan masing-masing. Hanya saja kemampuan Solar memang lebih istimewa. Yang penting seberapa hebat pun kemampuan kita, tetaplah menjadi rendah hati." Tepuk ringan Taufan mendarat di punggung Duri. Pemaparannya mendapat anggukan setuju dari Ice dan Halilintar.
"Benar, janganlah macam Prince 'S'-nya kita," celetuk Blaze.
"Prince 'S'? Maksudmu aku?"Ice menunjuk dirinya sendiri.
"Bukan. 'S' untuk Si Sombong Solar, si Songong Solar, dan si Sempurna Solar."
Sebelumnya Solar tidak pernah merasa keberatan jika seseorang mengatainya, apa pun itu. Ia hanya akan menganggap itu sebagai pujian untuk dirinya. Namun, belakangan ini ia sedikit lebih sensitif, sehingga perkataan Blaze yang disusul tawa saudaranya yang lain membuat perasaan Solar tercubit. Ia merasa … hm … tersinggung.
"Solar? Kau sedang apa?" Gempa, dengan satu piring puding di tangan, tahu-tahu berdiri di hadapan Solar. "Ayo, bergabung bersama. Aku baru saja membuat puding pelangi," ajaknya kemudian.
"Aku sedang tidak ingin makan yang manis-manis." Lantas setelah berujar demikian, Solar berlalu. Kembali ke lantai atas dan melupakan air minum yang hendak dibawanya. Tiba-tiba saja ia merasa perlu menyendiri lebih lama.
Sadar dengan keberadaan Solar dan Gempa di ujung tangga sana, mereka yang tengah berkumpul mendadak menoleh.
"Apa Solar mendengar apa yang kita bicarakan?" Duri bertanya, merasa tak enak hati. Sementara itu Gempa mendudukkan diri di sampingnya, selepas menyimpan puding di atas meja.
"Memangnya apa yang kalian bicarakan?" Tanya gempa terlempar. Menyapu pandang ke arah seluruh saudaranya, menuntut jawab.
"Sudahlah, kita hanya membahas hal yang tidak perlu sebenarnya. Walau bagaimana pun, seperti apa pun Solar, dia tetap adik kita. Sudah sepatutnya sebagai yang lebih tua darinya, kita mendukung apa pun yang jadi keputusan adik kita, lebih-lebih itu hal yang positif seperti ini," papar Halilintar. Ia mengambil satu potong puding buatan Gempa dan mencicipinya.
Yang lain menyusul. Manis dan lezatnya puding berwarn-warni itu membuat mereka melupakan pembicaraan sebelumnya dan sibuk menikmati hidangan yang ada.
"Aku akan menyisakan sedikit untuk Solar." Gempa tiba-tiba menarik satu potong bagian yang tersisa.
Ice kontan melontar tatap kecewa begitu Gempa mengambil piring dan membawanya ke dapur untuk disimpan ke dalam kulkas. Padahal potongan terakhir tadi terlihat sangat lezat. Duri terkikik melihat ekspresi Ice, sementara Taufan menepuk-nepuk kepala Ice dengan gemas.
"Semenyebalkan apa pun, tetaplah … kita tak boleh melupakan saudara kita," tutur Blaze, mengingatkan.
…
Solar menatap buku catatannya dengan mata dalam yang suram. Sembilan poin Mission Before Die yang ia rencanakan, baru selesai ditulis. Masih ada beberapa poin yang hendak ia tulis saat mendadak tangannya tak bergerak sesuai perintah otaknya. Otaknya memerintahkan tangannya untuk menulis, tetapi koordinasi otak dengan gerak tubuhnya mendadak tak selaras.
Berusaha untuk tidak panik, Solar memejam. Ia tahu kalau kehilangan kendali akan pergerakan tubuhnya adalah salah satu gejala penyakitnya, seperti yang dokter jelaskan. Tetapi tetap saja Solar terlalu takut saat mengalaminya sendiri.
"Solar, kau belum tidur, hm?"
Solar membuka mata. Duri dengan mata setengah terpejam menatapnya. "Aku akan pergi tidur sekarang." Menutup buku di atas meja, Solar lalu bangkit. Beringsut menaiki tempat tidur. Tak ingin terlibat percakapan yang lebih jauh, pun guna menyembunyikan kesedihan yang mendadak terbit dalam dadanya, Solar memposisikan diri memunggungi Duri.
"Solar, kau marah?" tanya Duri. Ia mengangkat tubuhnya, duduk di atas tempat tidur dan menatap punggung Solar dengan sendu.
"Marah untuk apa lah kau ini?" Solar menyahut, menarik selimut hingga menutupi nyaris seluruh tubuhnya.
"Pembicaraan tadi …."
"Memangnya kenapa? Aku … memang seperti itu, kan? Sangat sempurna, tapi sombong, songong, seenaknya, semaunya. Prince 'S', kurasa itu tak terlalu buruk." Walau sebenarnya, Solar merasa sedikit terluka mengakui hal itu. Seolah memang di balik kecerdasannya, segala sifat buruk berkumpul dalam dirinya.
"Solar … aku minta maaf."
Solar terhenyak. Entah sejak kapan Duri turun dari tempat tidur dan mengambil posisi di belakangnya, memeluk tubuhnya dengan erat.
"Benar kata Kak Hali. Sebagai kakakmu, sudah sepatutnya aku mendukung segala keputusanmu. Maafkan aku, Solar. Aku harap di kelas tiga nanti kau dapat teman yang baik."
"Sudahlah …." Solar mendengkus. Walau sedikit risih dengan pelukan Duri, tetapi ia tidak ada niat untuk melepaskan dekapan itu. "Besok hari pertama kita sekolah. Sebaiknya kita tidur sekarang atau nanti bangun terlambat."
"Kau memaafkanku?"
"Kenapa aku harus memaafkanmu? Memangnya kau yang mengataiku Prince 'S'?"
"Kalau begitu, atas nama Kak Blaze aku minta maaf."
"Sudahlah, jika kau ingin membahas hal itu lagi, sana kembali ke tempat tidurmu." Solar melepas paksa pelukan Duri. Mendorong pelan tubuh kembarannya itu agar menjauh darinya.
"Baiklah aku tak akan membahas hal itu lagi…" Duri mengeratkan pelukannya. "Tapi, biarlah aku tidur bersamamu malam ini."
"Ish, kau ini!"
"Selamat malam Solar."
…
Sejak masih di tingkat awal SMA Pulau Rintis, Solar memang sudah dikenal banyak orang sebab kejeniusan yang dimilikinya. Tak heran kalau kabar Solar loncat kelas langsung menyebar di hari pertama masuk sekolah. Terlebih di kalangan anak-anak pintar yang lainnya. Desas-desus kakak kelas pun tak luput terdengar. Sebagian ada yang memuji kehebatan si Bungsu Boboiboy, tetapi ada pula yang mencibir dengan pandangan iri dan tak suka.
"Belajar baik-baik ya, Kakak Senior!" Taufan menepuk puncak kepala Solar sebelum melangkah ke arah kelasnya yang sudah diumumkan oleh kepala sekolah di sesi upacara beberapa saat yang lalu.
Gempa, Blaze, dan Taufan, masuk IPS. Kelasnya ada di lantai dua bagian barat. Sementara Ice, Duri, dan Halilintar masuk IPA. Kelasnya berada di lantai dua bagian timur. Kelas Solar sendiri ada di lantai paling atas bagian timur. Ia harus naik tangga yang cukup panjang untuk sampai di kelasnya.
"Jangan pernah menyesali keputusan apa pun yang kau ambil. Aku selalu bangga padamu." Sebelum ditarik oleh Taufan, Gempa berujar demikian. Tak lupa, senyum tulusnya yang tersemat rapi, membuat perasaan Solar sedikit lebih hangat dan ringan.
Solar tersenyum tipis. Melangkah menaiki tangga. Ia ingin mengeluh dengan banyaknya undakan tangga yang mesti dilaluinya, tetapi sadar bahwasanya keluhan tiada akan mengubah keadaan, Solar urungkan hal itu. Walaupun tak terlalu suka mengeluarkan tenaga yang banyak untuk berkeringat, Solar tetap harus bersemangat di hari pertama sekolahnya.
"Wah, sangat mengejutkan bisa sekelas dengan salah satu si kembar tujuh yang fenomenal ini."
Langkah Solar terhenti di ambang pintu kelas tatkla tubuh seseorang menghalangi jalannya. Ejo Jo. Nama itu terpampang di name tag yang menempel di seragam si kakak kelas. Tatap intimidasi yang dilayangkan Ejo Jo, Solar balas dengan tatap datar.
Kembar tujuh itu sesuatu yang sangat langka. Makanya, saat pertama kali masuk ke sekolah yang sama, mereka semua langsung dikenal satu sekolah. Terlebih Solar yang punya otak bertingkat-tingkat di atas saudaranya yang lain. Tak heran jika siswa di hadapan Solar kali ini berucap demikian.
Solar tersenyum enggan. Lantas berjalan melewati Ejo Jo. Seluruh siswa mengawasi setiap pergerakannya, dan itu membuat Solar bingung. Niat untuk menyapa pun Solar urungkan sebab salah tingkah.
"Manusia normalnya melahirkan anak kembar itu hanya dua atau tiga. Kalau tujuh … jangan-jangan ibumu jelemaan kucing kah?"
Solar yang hendak berjalan menuju meja nomor dua di barisan paling ujung, kembali mengentikan langkah. Memutar tubuh, wajah Ejo Jo sudah sangat dekat dengannya. Ia merasa sangat marah lebih-lebih cibiran Ejo Jo menyinggung perihal ibunya yang sudah tiada, pun mengundang perhatian teman sekelasnya yang lain. "Apa lah mau kau?" tanya Solar geram. Ia tahu kalau sedari awal Ejo Jo memang berniat mengintimidasinya.
Sorry saja, Solar bukan anak yang bisa semudah itu dirundung. Ejo Jo kira karena dia kakak kelas, dia bisa seenaknya menindas Solar? Lupakan!
"Apa lagi? Mengganggu anak pintar semacam kau lah."
Decak kecil lolos dari mulut Solar. "Aku dan saudara-saudaraku yang lain itu septuplets, kami itu tumbuh dari zigot super tangguh yang mampu membelah menjadi lebih dari tiga embrio. Dan ibu kami adalah wanita paling hebat yang sudah berjuang melahirkan kami hingga kami bisa tumbuh menjadi seperti sekarang. Setiap ibu, seburuk apa pun itu, dia tetap harus dihormati. Kau tak bisa mengatai seorang ibu seperti itu. Terlebih itu adalah ibuku," jelas Solar menggebu-gebu.
"Satu lagi, kalau kau berpikir untuk mengganggu dan mem- bully seseorang, kau salah target!" Sambung Solar selagi menajamkan tatapannya ke arah Ejo Jo. Walau sebenarnya gentar, tetapi Solar pikir dengan menunjukkan ketakutan dan kelemahannya, itu sama saja dengan membuat Ejo Jo makin merasa kuat dan berani menindasnya.
"Berani pula kau menantangku?! Mau main-main denganku, hah?!"
Solar mendelik malas. "Siapa bilang aku ingin bermain-main? Aku ke sini hendak belajar, lah."
Gemuruh tawa satu kelas terdengar kemudian. Tawa itu terlontar jelas untuk Ejo Jo yang kalah telak adu mulut dengannya. Namun, hal itu pula yang membuat amarah Ejo Jo makin meningkat sehingga dalam satu jurus saja laki-laki bertubuh tinggi itu melayangkan tendangnya ke arah Solar.
Solar yang tak siap menerima serangan jatuh bedebum di atas lantai ruangan yang dingin. Meringis kontan tatkala nyeri menghujam ulu hatinya. Baru saja Ejo Jo menendang perutnya dengan kuat. Sehingga tak hanya meninggalkan bekas jejak sepatu di seragam putihnya, pun meninggalkan sesak yang perlahan merangkak hingga dada.
Sial! Gerutu Solar dalam hati. Jerit beberapa siswa perempuan berdenging di telinga Solar. Ia bangkit perlahan, hendak memberi balasan saat salam Mama Zila terdengar sayup di antara riuh rendah suara para siswa yang sempat terkejut dengan aksi barusan.
"Dengar, kita lanjutkan urusan kita selepas sekolah nanti!" bisik Ejo Jo sebelum kembali ke tempat duduknya.
Solar memejam. Tiada pernah ia berpikir kehidupan sekolahnya akan menjadi sekacau ini.
Bersambung ….
Planet Bumi, 09 Maret 2022
…
Alhamdulillah bisa muncul lagi di sini setelah sekian lama tenggelam dalam kesibukan duniawi. Apa kabar kalian semua? Mudah-mudah selalu berada dalam kondisi sehat, ya…
Btw, adakah yang nunggu cerita ini? Semoga enggak pada lupa sama si bungsu solar di sini.
Saya harap ke depannya bisa lebih rajin update lagi.
Oya, seperti biasa. tinggalkan sesuatu di kolom review yaaa. Review apa pun yang kalian tulis itu selalu bikin saya senang.
Makasih.
