4. Hari Paling Buruk
"Kau kata, aku mem- bully orang yang salah, hm?"
Solar baru saja tiba di undakan tangga paling dasar saat suara Ejo Jo mampir dan menyapa gendang telinga. Kali ini dia tidak sendirian, ada dua orang kawannya yang menemani. Dari atribut yang ada, mereka tampaknya berasal dari kelas yang berbeda-beda. Yang satu bernama Gaga Naz dan satu lagi bernama Yoyo Oo.
"Hm ... mungkin ada benarnya. Biasanya anak-anak macam kau itu, walaupun pintar, mereka itu lemah dan mudah ditindas. Tapi, kau memang lain."
Manik sewarna emas itu bergulir, mendelik bosan. Apa, lah ... Mau si Ejo Jo ini. "Memang, lah." Laki-laki penyuka warna putih dan abu-abu itu berniat untuk melengos pergi sebelum kemudian alunan kalimat Ejo Jo selanjutnya kembali menahan pergerakan.
"Benar, aku memang tak bisa menindasmu. Tapi, kau punya enam saudara kembar. Kurasa, mem- bully salah satu dari mereka akan sama saja rasanya. Kira-kira, siapa yang bisa kami bully?"
Mendengar hal itu, Solar refleks mengepalkan tangan kuat-kuat. Selagi tatap setajam lightsaber tersorot penuh ke arah Ejo Jo, ia berseru penuh penekanan, "Jangan ganggu saudara-saudaraku!" kecamnya.
"Duri. Benar, Boboiboy Duri. Kudengar dia yang paling bodoh dan idiot di antara kalian. Kurasa ak—"
"Kubilang, jangan ganggu saudara-saudaraku!" Solar berteriak kesal. Atas nama semua kembarannya yang tak wajar, Solar heran kenapa Ejo Jo bersikap seperti saat ini. Solar merasa ia tiada punya urusan apa pun dengan si kakak kelas sebelumnya. Jika diingat kembali, ia pun tidak pernah berbuat salah kepada laki-laki itu. Jika Ejo Jo melakukan hal ini kepadanya hanya sebab alasan senioritas, atau lantaran tuntutan penulis untuk menambah konflik cerita, Solar rasa itu sangatlah keterlaluan. Apa lagi, jika harus melibatkan saudaranya yang lain.
"Kalau kau tak ingin melibatkan kembaranmu yang lain, cobalah rendahkan hatimu, Solar. Bersikaplah sebagaimana adik kelas mestinya. Dan ... apa pun yang aku lakukan kepadamu, jangan pernah berpikir untuk melawan."
"Sebenarnya, apa inginmu? Kenapa kau bersikap seperti ini kepadaku?" tanya Solar tak sabar.
"Aku hanya tidak menyukaimu, kurasa itu cukup menjadi alasan. Kau pintar, tapi sombong. Orang-orang mungkin tidak menyukai orang sepertimu juga." Ejo Jo menyeringai licik. Setelah dipermalukan tadi pagi di depan kelas, tidak mungkin ia melepaskan Solar begitu saja.
Solar tak lalu merespons. Kata-kata Ejo Jo membuat Solar merasa suaranya menghilang dan meninggalkannya. Kemudian, kilas balik kejadian semalam, pun hari-hari ke belakang, perihal saudara-saudaranya yang kerap mengatainya sombong, serasa menampar sadis sadar Solar.
Benar, mereka juga mungkin tak menyukaiku. Hati Solar tertohok keras oleh kenyataan.
"Pegangi dia!" Ejo Jo memberi perintah kepada kedua kawannya.
Solar tersadar ketika kedua lengannya terkunci. Tanpa sempat melakukan perlawanan, sebuah tinju melayang mengenai perutnya, sasaran yang sama dengan tendangan yang didapatnya tadi pagi.
"Aku masih berbaik hati tak memukul wajahmu. Lain kali, kalau kau berani melawanku lagi, wajahmu yang sok kecakepan ini aku pastikan tak akan serupa lagi dengan kembaranmu yang lain. Dan juga, sekali lagi kau bersikap belagu, jangan salahkan aku jika salah satu saudaramu aku libatkan juga."
Solar meringis. Mendadak kakinya melemas seperti jelly. Ia jatuh berlutut di bawah kaki Ejo Jo saat Gaga Naz dan Yoyo Oo melepaskan cengkeraman di kedua tangannya. Lantas, sebelum benar-benar pergi, sepatu Kumal Ejo Jo menendang keras bahu kanannya hingga tubuh Solar terjengkang ke belakang.
Solar mengerang tertahan. Berusaha menahan cairan bening yang mendadak berkumpul di pelupuk mata agar tak tumpah. Walau bagaimana pun juga, saudara-saudaranya tidak boleh tahu ia mengalami hal buruk ini. Bukan hal baik jika ia pulang dengan mata sembab. Mereka hanya akan berpikir macam-macam tentangnya.
...
Saat pulang, rumah minimalis itu tampak lenggang. Hanya ada Ice di ruang tengah, menunggu Blaze siap-siap untuk pergi ke Kokotiam, hari ini giliran mereka berjaga. Yang lain, entah ke mana. Mungkin sibuk di kamar masing-masing. Samar, Solar bisa mendengar suara Taufan bernyanyi-nyanyi di kamarnya, sementara Gempa dan Halilintar menyuruhnya berhenti.
"Kau baru pulang?" Ice bertanya selagi membiarkan keripik pisang lenyap dalam mulutnya.
"Iya, aku mampir ke perpustakaan dulu tadi," bohong Solar. Ice mengangguk, percaya begitu saja. Lantas, tiada ingin terlibat percakapan lebih jauh, Solar melangkah meninggalkan Ice. Berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Saat menaiki tangga, rasa sakit di bagian perutnya turut menemani. Solar berusaha dengan sangat keras menahan ringisan agak tak lolos dari mulutnya.
Kepala Solar terasa berdenyut, pusing. Ia berniat untuk beristirahat penuh dan merebahkan diri begitu sampai kamar. Namun, keberadaan Duri di depan meja belajarnya membuat Solar mendadak panik. Pasalnya, Duri tengah membuka-buka buku catatan di mana ia menuliskan Mission Before Die-nya. Tergesa, ia berjalan menghampiri Duri dan dalam satu jurus merebut buku bersampul oranye itu dari kuasa Duri.
"Kau kenapa suka sekali mengintip barang-barangku, sih?" tanya Solar sengit. Perasaannya sedang tak baik, sehingga tak sadar ia menaikkan nada suaranya karena marah.
"So-solar? Maaf, aku ... aku hanya sedang mencoba mencari sesuatu." Duri bangkit tergesa dari kursi belajar Solar. Karena terlalu tergesa, tak sadar lengannya menyenggol sebuah benda bulat seukuran bola sepak di pinggir meja. Benda berwarna kuning dan hitam itu jatuh ke lantai. Bunyi suaranya yang keras, mengundang seluruh perhatian seluruh penghuni rumah.
Amarah Solar merangkak menuju ubun-ubun. Ia mengambil robot rakitannya yang belum selesai itu dengan tangan bergetar. Melihat retak di beberapa bagian benda bulat itu, Solar refleks menatap Duri sengit.
"DURI! KAU MEMANG BODOH!" Tepat saat Solar meneriakkan umpatan kasar itu, semua saudaranya sudah berdiri di ambang pintu, termasuk Blaze dan Ice yang tampaknya belum sempat pergi. Mereka menyaksikan adegan di hadapannya dengan bingung dan kaget.
"Solar, Maaf. A-aku tidak ber—"
"Dasar idiot!"
"SOLAR!" Jika itu Halilintar, Solar mungkin tidak akan begitu terkejut saat sebuah tamparan melayang di pipinya. Namun, begitu tahu itu tangan Gempa, dunia Solar terasa runtuh, dan ia tertimpa puing-puingnya hingga tiada bisa bergerak, bahkan bernapas.
Jangankan Solar, Halilintar dan yang lain pun tampaknya terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Gempa yang biasanya lembut dan bijaksana, terlihat begitu marah saat ini.
Duri menatap Solar dengan sedih dan kecewa. Tak sangka Solar akan mengatakan hal semenyakitkan itu tentang dirinya. Walaupun ia ceroboh, dan sering melakukan kesalahan, tetapi dibilang idiot, itu sungguh melukai hati dan harga dirinya.
"Maaf, aku ini memang idiot. Tidak berguna. Pengacau. Bodoh. Aku memang ..." Duri terisak, tak sanggup mengatakan kalimatnya lebih panjang. Si nomor lima berlari cepat keluar kamar.
Sekilas, Ice melempar tatap kecewa ke arah si Bungsu. Selepasnya ia turut berlari ke luar ruangan guna menyusul Duri. Blaze melakukan hal yang sama, menyerahkan urusan Solar kepada ketiga tertua.
"Aku ... Tidak pernah mempermasalahkan seberapa banyak kau berbangga atas dirimu sendiri, Solar. Tapi, jika kau sampai merendahkan orang lain, terlebih itu kakakmu sendiri, aku enggak bisa mentolerir itu." Walaupun merasa begitu bersalah sebab refleks main tangan, tetapi urung bagi Gempa mengungkap maaf atas salahnya. Ia pikir, sebelum Solar sadar akan kesalahannya terhadap Duri, Gempa pun tidak akan meminta maaf untuk kesalahannya.
"Karena kecerdasan kau di atas rata-rata, merasa wajar kau berkata sekasar itu kepada Duri, hm?" Halilintar menatap Solar dengan tak kalah kecewa. "Padahal, Duri berusaha membangun kepercayaan dirinya sebab kau loncat kelas. Kami juga demikian. Mungkin sejak awal di mata kau, kami semua itu memang idiot?"
Ada begitu banyak hal yang ingin Solar katakan. Namun, kepalanya makin berdenyut hebat. Ia hanya menatap Gempa dan kedua kakaknya yang lain dengan suram. Tubuhnya lemas, dan ia terduduk begitu saja di atas tempat tidur. Mendekap si hitam-kuning di dadanya dengan erat. Kini, sakit dan perih itu tak hanya merajam tiap senti tubuhnya, tetapi hati dan perasaannya pun demikian. Rasanya bahkan jauh lebih parah.
"Tolong, tinggalkan aku sendiri," pinta Solar lirih.
"Ayo, biarkan dia memikirkan kesalahannya." Halilintar menarik tangan Gempa. Menarik si nomor tiga keluar kamar.
Taufan tak lalu meninggalkan tempatnya begitu Halilintar dan Gempa menghilang dari pandangan. Ia menilik Solar lebih rinci. Walaupun kecewa dengan sikap adik terkecilnya itu, tetapi sorot redup penuh beban di mata Solar terlalu eksplisit untuk Taufan lewatkan.
Taufan ingin bertanya, tetapi kembali mengulum seluruh kata yang hendak terpapar, tatkala ekspresi sedih dan kecewa saudara-saudaranya yang lain beberapa saat yang lalu kembali berkelebat. Benar, Solar perlu merenungkan kesalahannya. Sebab itu, Taufan pun turut mundur, meninggalkan Solar dalam sepi.
Air mata Solar tumpah banyak. Tidak ada hari paling buruk yang pernah Solar lalui sebelumnya. Bahkan hari di mana ia dijatuhi vonis penyakit mematikan pun tak seburuk hari ini.
Dirundung kakak kelas, ditampar Gempa, dibenci kakak-kakaknya, dan juga robot rakitan yang ia kerjakan nyaris hampir tiap malam rusak begitu saja. Namun, yang membuat Solar begitu sedih adalah dirinya sendiri. Solar merasa ia adalah yang terburuk dari yang paling buruk.
Bersambung
Planet bumi, 28 Maret 2022
...
Hallo, tinggalkan sesuatu di kolom review yaaa ...
Review dari kalian barangkali bisa sedikit menghibur Solar.
Makasih, yang sudah nyempetin baca.
Maaf kalau banyak typo yang bertebaran. Saya tak sempat baca dan edit ulang.
Salam hangat.
