Previous chap:

Tubuh Alucard berhenti. Semua sel sarafnya terasa mati. Hanya ada degup jantung yang kencang dan rasa sakit yang menusuk di dadanya secara bersamaan.

Ia menyadari sesuatu.

Bahwa Kimmy menyukai Gusion.


All Heroes in MLBB Moonton

Warn!

YAOI, LEMON, OOC yang keterlaluan, BOYSXBOYS, AU, mengandung unsur-unsur Jepang biar suasana yaoi-nya ngena, hehe. /slap!

Terakhir, fic ini ditujukan untuk kaum fujoshi/danshi. Jadi kalo gak suka jangan baca, OK?


"Gusion,"

Mereka semua menoleh ketika suara rendah dan lirih itu memanggil nama pemuda dengan bola mata emerald.

"Apa?" sahut Gusion.

"Ayo," ajak Alucard. Wajahnya tersirat rasa tidak nyaman oleh suasana di antara mereka.

Gusion mengernyitkan keningnya. Dia merasa aneh dengan sikap acuh Alucard pada keluarganya, dan bahkan tidak ada sedikitpun basa-basi yang terucap dari ujung bibir surai pirang itu.

Kala Alucard menghindari kontak mata dengan mereka bertiga, Natalia hanya diam memandang anak laki-laki satu-satunya dengan wajah datar. Sebagai seorang ibu, memiliki ketegasan dalam kelembutan mereka, adalah kombinasi seimbang untuk mendisiplinkan anak. Alucard contohnya.

"Kalau boleh tau, apa ada sesuatu terjadi pada kalian berdua?" tanya Natalia yang langsung menohok Gusion.

Gusion teringat kata ibunya kalau radar kepekaan perempuan sangat kuat, sebuah kesalahan besar kalau menganggap remeh pada pikiran perempuan yang selalu didasari perasaan.

Mengerikan.

Alucard mendelik tajam pada ibunya. Ia segera sadar kalau sikapnya akan membuat ibunya mati penasaran. Mengingat ibunya selalu muncul tiba-tiba setiap ia merahasiakan sesuatu.

Ah, ia tak ingin mengingat kenangan menyeramkan itu lagi.

Jika saja di dunia ini ada kekuatan telepati, pasti mereka berdua sudah bertukar pikiran untuk menghindari situasi ini.

"Ano... sebenarnya aku minta Alucard menemaniku ke dokter," Gusion terpaksa berbohong.

Mendengar jawaban itu, Natalia segera mengarahkan pandangannya pada Alucard. Memastikan apakah itu benar berdasarkan raut wajah anak lajangnya.

Alucard mengangguk, menyembunyikan kegugupannya dengan wajah datar.

"Ara ara~ kupikir kalian diam-diam bertengkar atau apa," Natalia tertawa kecil.

Gusion dan Alucard menghembuskan nafas lega dengan pelan. Misi berhasil.

"Sayang sekali, tapi apa boleh buat. Hati-hati di jalan," lalu Natalia tersenyum lembut. Gusion mengangguk.

Sesaat Gusion mau beranjak, tangannya tertahan sesuatu. Dia merendahkan pandangan, melihat Ruby sedang meremas tangannya dengan kuat.

"Sion-nii... apa kau akan datang lagi?" mata bundar Ruby mengkilap. Jelas sekali kalau pelupuk mata itu menahan rembesan airmata.

Gusion mengusap kepala Ruby.

"Apa yang kau mau kubawa nanti kalau aku datang?" seketika pertanyaan Gusion membuat Ruby tersenyum cerah.

"Aku mau sweater yang sama seperti Sion-nii!" pinta Ruby.

"Baiklah, pasti kubawa." Gusion mengulurkan jari kelingkingnya.

Ruby senang hati mengaitkan kelingking mungilnya dengan Gusion. Sebuah janji terikrar, dan harus ditepati.

Kimmy merona dalam diamnya. Ia semakin jatuh hati pada Gusion. Sedikit demi sedikit, tekatnya untuk mendapatkan hati Gusion mulai membesar.

"Kau harus jaga jarak," titah Alucard.

"Selama ini aku sudah jaga jarak darimu," tukas Gusion.

JLEB!

Sebilah pisau menancap dalam ke hati Alucard. Sakit, tapi tak berdarah.

"Bu-bukan aku maksudku," Alucard memegang dadanya, seolah darah mengucur deras dari tempat itu.

'Ya Kami-sama, seandainya aku ini kucing, aku sudah memakai sembilan nyawaku dan ini yang terakhir.' batinnya menangis pilu.

"Jadi siapa? Bicara yang jelas!" Gusion memutar bola matanya.

Alucard bergeming. Kalau ia terus terang tentang apa yang dicemaskannya, Gusion akan menentangnya. Lagipula, siapa dia bagi Gusion?

Cuma teman.

Persis sebuah istilah yang sedang marak dikalangan muda-mudi sekarang, 'friendzone'.

Darahpun kembali mengalir di sudut bibirnya.


Disinilah mereka sekarang. Di sebuah jalan pusat kota yang dipadati orang-orang berlalu-lalang. Gusion menikmati perjalanan mereka walaupun dia belum tau kemana mereka akan pergi. Dia menikmati setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

Alucard berniat membawanya ke bioskop. Ada sebuah film yang sangat dinanti-nantikan pemuda itu. Anggap saja mereka sedang kencan. Hitung-hitung untuk mengobati derita cinta tak terbalas Alucard.

Mereka berdua memilih naik kereta api ke Osaka. Kota Maizuru merupakan kota kecil dan minim fasilitas, tidak seperti kota-kota besar. Kalau di kota besar kalian banyak menemukan karyawan perusahaan, di Maizuru kalian akan melihat banyak nelayan atau para pekerja industri rumahan. Osaka juga tempat mereka akan bertemu nantinya.

Tidak butuh waktu lama sampai di Osaka, sekitar satu jam lebih. Alucard sedikit mual karena mabuk perjalanan. Tak biasa perjalanan jauh.

Setelah kereta api itu berhenti di stasiun, mereka bergegas pergi. Berganti angkutan umum.

Perjalanan mereka disambung dengan bus kota. Alucard dan Gusion duduk bersebelahan. Gusion tipe orang suka jalan-jalan, lain halnya dengan Alucard yang setengah mati mempertahankan image-nya karena mabuk jalan.

Dalam 30 menit, mereka tiba di Osaka Grand Mall. Mereka berdiri di depan pintu kaca otomatis. Dari awal perjalanan hingga mereka sampai tujuan, Alucard masih murung. Gusion sebenarnya tidak mau ambil pusing, tapi kalau dibiarkan terus...

"Hah..." dia menghela napas berat.

'Berpikirlah, Gusion. Anggap saja kau pelihara anak ayam. Ya, anak ayam. Apa yang disukai anak ayam?' Gusion menyerap energi alam ke dalam raganya. Berusaha menurunkan ego setinggi angkasa.

"Alucard, apa yang akan kita lakukan disini?" Gusion meraih tangannya. Mengulas senyum paksa.

Alucard terhenyak memandang tangan besarnya digenggam oleh Gusion. Pipinya bersemu merah. Ia mengangkat kepalanya dengan percaya diri yang telah kembali.

"Bioskop!" serunya riang.

Gusion tak keberatan kalau mereka akan menonton jenis film laga atau misteri. Pertama kalinya setelah sekian lama, Alucard melakukan hal yang dia suka.

Namun realita selalu tak sesuai ekspetasi, Gusion harus mencabut perkataannya tadi.

Gusion menggenggam tiket dengan tatapan kosong begitu melihat judul film yang akan mereka tonton. Memang sih, Alucard yang menanggung semua biaya jalan-jalan mereka, termasuk transportasi. Alucard melarangnya untuk mengeluarkan kompensasi.

Dan inilah akibatnya kalau terlalu cepat mengambil keputusan yang menggiurkan.

"Harith... in Yaoiland?" Gusion bergumam, mengeja judul film tertera di tiket.

"Yap! Aku suka aktornya!" Alucard menyeruput sodanya.

"Ugh... perasaanku tidak enak," Gusion menggerutu.

"Santai saja, ini film komedi, kok!" kemudian Alucard mengunyah popcorn dengan lahap.

"Kau bahkan tidak bertanya padaku apa yang aku inginkan. Kau memaksaku masuk ke studionya yang mana film-nya diputar sepuluh menit lagi!" Gusion menunjuk pada layar bioskop yang menampilkan macam-macam sponsor.

Alucard terlalu antusias dan tidak menyadari kalau hanya ada mereka berdua dalam studio itu.

"Aku ingin melihat kau tertawa," kalimat Alucard membekukan Gusion.

Gusion jadi salah tingkah. Dia langsung duduk tenang. Matanya menatap lurus ke layar kaca.

'Apa ini? Hatiku tidak mau diam.' batinnya ikut gelisah.

Butuh banyak kesabaran bagi Gusion menunggu film itu diputar. Sedangkan Alucard sudah senyum-senyum sendiri sebelum film dimulai. Studio mulai ramai didatangi penonton yang sebagian besar perempuan.

Sepuluh menit berlalu. Gusion sedikit lega karena tersisa 95 menit lagi waktunya bersabar hingga film-nya habis.

Film itu diawali kisah seorang pria yang akan menikah dengan gadis yang tidak dicintainya dan muncul seekor kelinci yang membawanya ke dunia lain, Yaoiland, melewati suatu celah di pohon.

Gusion memperhatikan pemeran utama dalam film itu, Harith. Dia mengulang perkataan Alucard dalam pikirannya kalau ia menyukai aktor ini.

Dia mulai menilai sang aktor. Mata besar. Bibir tipis. Hidung mancung. Wajah bulat. Tubuh mungil. Keimutan sempurna yang bisa membuat wanita maupun pria terpikat. Pantas saja Alucard juga menyukainya.

Gusion melirik Alucard dan aktor secara bergantian.

Perasaan tak suka muncul dalam hatinya. Lihatlah, Alucard senyam-senyum sendiri bahkan tertawa. Gusion berasumsi jika Alucard seperti itu bukan karena film-nya, tapi sang aktor.

"Kalau dia ada di hadapanmu, apa kau memperlakukannya seperti kau lakukan padaku?" kata itu muncul tiba-tiba, bahkan Gusion sendiri terkejut.

"Apa? Maaf aku tidak dengar," Alucard meletakkan tangan dikupingnya, maksudnya untuk menyuruh Gusion membisikkan ucapannya barusan.

"Lupakan." Gusion kembali fokus pada tontonan mereka.

'Awas saja kalau film ini tidak memuaskan. Akan kutuntut kau.' gerutunya dalam hati.


"HAHAHA! Yang tadi itu lucu juga, ya!" Gusion tertawa terpingkal-pingkal usai keluar dari studio.

"Benar kan, kau akan menyukainya." Alucard menyising rambutnya dengan rasa bangga.

Gusion tersadar, tidak seharusnya dia berkata begitu.

"Tidak juga. Aku hanya... hanya menghargai usahamu," katanya sembari menyilangkan tangan.

"Pembo-"

Soneul deureo nan Freeze

Armor Down

Nananana

Nal chagapge naechyeodo gwaenchanha

Tteonal su eopseo Chained up

Chained up~

Nada dering Gusion sontak membuat orang-orang di sekitar menoleh ke arahnya. Tatapan 'disini ada fanboy akut' sukses membuat Gusion kikuk.

"Ah... haha... ha... maaf..." Gusion tertawa gugup dan membungkuk sebelum berlari dengan wajah merah padam.

'Laylaaa! Akan kubalas kau!' Gusion menggertakan gigi. Tidak salah lagi, ini ulah adiknya, sang pemuja Oppa-Oppa Korea.

"Gusion! Tunggu aku! Kau mau kemana?!" Alucard berlari menyusulnya. Orang-orang memandang mereka keheranan.

"Ku ingin hilang ditelan bumi," Gusion tak menghentikan larinya.

Alucard mengerang tertahan dan berlari dengan kecepatan penuh. Jarak antara mereka menipis sampai Alucard meraih tangannya dan menariknya ke dada bidangnya.

"Demi Dewa Jashin, Gusion. Hah... hah... kenapa kau tidak bilang... hah... kalau kau punya... prospek yang berbeda... aku menerimamu apa adanya..." nafas Alucard tersenggal-senggal.

Kening Gusion berkedut.

"Bukan aku yang melakukannya, tapi Layla! Harusnya aku tidak mempercayainya saat dia bilang meminjam HP-ku untuk tugasnya!" Gusion mendorong Alucard. Tindakannya membuat pemuda bermata biru cerah sedikit kecewa. Jarang-jarang ia bisa mengambil kesempatan dalam kesempitan seperti ini.

"Oke, oke. Ayo kita bicara di tempat lain," Alucard menarik tangannya.

"Lepaskan! Dasar shotacon!" Gusion menghempaskan tangan Alucard ke udara.

"Shotacon? Huh?" kebingungan yang dirasa Alucard tampak jelas dari wajahnya. Gusion menunduk menatap ubin-ubin di bawah kakinya.

Dia tak bisa mengakui kalau dia agak cemburu pada Harith, aktor itu.

Alucard merogoh saku celananya sesaat HP-nya bergetar. Ia membaca nama pemanggil sebelum mengangkat. Begitu ia tau siapa yang meneleponnya, Alucard menerima panggilan.

"Ne, ne, Alucard-kun~ kenapa lama sekali angkatnya~?" kata seseorang di seberang sana. Mata Alucard berotasi mendengar suara kemayu nan narsis yang sangat dikenalnya.

"Ada masalah, Lance-niisan?" tanya Alucard dengan penekanan.

"Apa Sion-chan jadi ikut~? Kenapa dia tidak mengangkat teleponku~? Apa dia sudah membenciku sekarang~?" nada bicara Lancelot sangat khas. Sangat khas untuk memancing kesabaran orang-orang.

Tentu saja, itu bukan gaya bicara sesungguhnya.

"Gusion dia... dia... dia lupa mematikan mode silent HP-nya." Alucard melirik Gusion yang meratapi nasib sejenak, "Tolong hentikan cara bicaramu itu, menyebalkan tau." katanya lagi.

Terdengar Lancelot berdehem beberapa kali sebelum melanjutkan omongannya.

"Baiklah. Begini lebih baik?" tanyanya.

"Wah, itu baru Niisan-ku!" Alucard terkekeh.

"Jadi, kalian sudah di Osaka? Aku dan Odette dalam perjalanan ke tujuan kita," Lancelot memperhatikan nyala lampu merah di rambu lalu lintas.

"Sudah, kami baru saja nonton," jawab Alucard intens.

"Mau kujemput?" kebetulan Lancelot mengendarai mobil sport miliknya. Tipikal kesultanan tujuh turunan.

"Tidak usah. Kita jumpa disana. Aku dan Gusion naik bus kota," Alucard menolak halus. Ia tak ingin melepas tanggung jawabnya sebagai lelaki sejati terhadap Gusion.

"Begitu? Baiklah. Sepertinya sudah mau lampu hijau. Kalian berhati-hatilah. Sampai jumpa disana."

"Yosh! Nii-san juga hati-hati. Sampai jumpa!" kemudian Alucard menutup panggilan.

Sementara Gusion masih termenung di hadapannya.

"Sudahlah, Gusion. Kau tidak perlu begitu. Tidak ada yang aneh dengan nada dering begitu, siapa peduli kalau kau memang fanboy?" Alucard berusaha menyemangati Gusion.

"Tapi, aku bukan fanboy, berengsek." Gusion bergumam.

"Kau tau, ada es krim alpokat di sekitar sini. Kau mau? Aku yang bayar!" Alucard mengalihkan pembicaraan. Ia tau Gusion sulit menolak hal-hal yang berbau traktiran.

Gusion menyipitkan matanya, menatap kekonyolan (ketulusan) pada wajah Alucard.

"Aku mau yang tripple cone," Gusion tak akan sungkan-sungkan kalau dia sudah ditawari. Sekali tembak, satu dua burung kena. Itu prinsipnya.

"Setuju!" Alucard mengacungkan jempol.


.Kalau tadi Alucard banyak diam sepanjang jalan, sekarang giliran Gusion. Rupanya luka dikhianati adiknya belum sembuh, meski Alucard telah menghiburnya dengan es krim tripple cone dengan rasa bervariasi.

Gusion memangku dagunya, memandang keramaian sisi kota Osaka. Sedikit rasa kantuk dan udara sejuk dari pendingin ruangan, Gusion bersandar pada kaca kereta. Pikirannya melayang jauh.

Dia berpikir tentang kejadian semalam, betapa mudahnya dia membiarkan Alucard menyentuh tubuhnya. Untuk seorang Cherry sepertinya, Gusion belum memiliki kemampuan sebanding Alucard di ranjang. Itu sebabnya dia dapat peran perempuan. Begitu pikirnya.

Tapi kalau Gusion pikir-pikir lagi, kenapa dia hanya pasrah ketika Alucard melampiaskan nafsu birahi padanya. Bukannya dia itu laki-laki? Sebagai laki-laki, harga dirinya runtuh. Disentuh sesama laki-laki bukan hal yang bisa dikenang dalam hidupnya.

Jadi, apa penyebab sebenarnya tak ada perlawanan darinya? Gusion bertanya-tanya.

"Aku ingin bertanya padamu," Gusion mengalihkan pandangan ke Alucard. Wajahnya berubah serius.

"Apa itu?" Alucard membalas tatapan pujaan hatinya selembut sutra.

"Kenapa kau ingin... melakukan seks denganku? Apa perempuan tidak cukup memuaskanmu?" Gusion bertanya dengan mantap.

Alucard terhenyak. Matanya terbelalak, tapi Gusion tak menyadari itu. Dia terfokus pada jawaban yang ingin didengarnya.

Alucard memalingkan muka, memandang kursi penumpang di depannya.

"Jawabannya lebih sekedar tak cukup memuaskan," ia tak ingin mengatakan yang sebenarnya kalau ia mencintai Gusion, teman dari kecilnya. Jika ia berkata terus terang, Alucard belum siap ditolak mentah-mentah oleh Gusion.

Ia masih ingin menjaga perasaan itu, sampai tiba waktunya ia mengungkapkan rasa cintanya.

"Kau harus beritahu aku alasanmu, kalau tidak aku tak mau berteman denganmu lagi." Gusion mendengus kesal, menghempaskan punggungnya ke kursi.

"Kau sungguh-sungguh ingin tau? Kau tidak akan menyesal?" Alucard mendekatkan wajahnya ke Gusion, sedikit berbisik ke telinganya.

"Tidak." jawab Gusion tanpa memandang Alucard.

"Baiklah, akan kujawab. Tapi, kau masih punya hutang padaku," Alucard tersenyum licik, menarik dagu Gusion agar pemuda itu menatap wajahnya.

"Hutang? Hutang apa maksudmu? Kalau kau membahas tentang semua traktiranmu, tenang saja pasti kuganti!" suasana hati Gusion makin buruk. Tak paham apa yang dimaksud Alucard.

"Aku bicara soal tadi malam," ibujari Alucard mengusap bibir Gusion yang merah merekah. Rasanya ia ingin sekali menggigit bibir itu lalu mengisapnya.

Gusion menganga. Tak menyangka Alucard menghitung yang terjadi semalam sebagai hutang yang harus dibayarnya.

"Aku tak ingat kalau aku meminjam tubuhmu," Gusion berdecih pelan.

"Tapi bukankah kau yang berkata 'iya' saat kuminta. Hm, Gusion?" Alucard meniup tengkuknya.

"Hentikan, Alucard. Kita ada di tempat umum." Gusion menjauhkan wajah Alucard darinya, jika lebih lama lagi, sesuatu di bawah sana akan terbangun dari tidur.

"Jadi kau lebih suka di tempat yang lebih pribadi, ya?" Alucard tertawa puas melihat reaksi Gusion. Ah... seandainya Gusion tau, kedutan di selangkangannya mulai terasa.

'Aku harus cari tau alasannya. Aku tidak mau dia menggunakan tubuhku sebagai bahan pemuas nafsu.' Gusion menggeram.

Beberapa saat kemudian, tibalah mereka di Osaka Amusement Park.

"Hei! Alu-kun! Sion-chan! Disini!" seorang wanita cantik dengan mata sayu melambaikan tangan ke mereka.

Gusion dan Alucard mencari-cari orang yang memanggil mereka dalam keramaian. Gusion mendapati dua orang yang dikenalnya tak jauh dari mereka.

"Ah! Itu mereka! Ode-nee! Lance-nii!" Gusion menghampiri mereka, tanpa sadar dia menarik tangan Alucard.

"Sudah lama ya, Sion-chan, Alu-kun. Kalian mulai dewasa," Odette mencubit pipi mereka satu persatu, gemas.

"Ya, mereka terlihat sudah berumur 30 tahun bagiku," gurau Lancelot.

"Apa-apaan? Wajahku ini tampan dan mempesona," Alucard membuka cela antara jari telunjuk dan ibujari, meletakkan dagu di antara keduanya.

"Huh, selalu dengan candaan renyah," Gusion menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. Alucard menahan kecewa sewaktu Gusion melepaskan tangannya.

"Sudahlah, kalian. Ayo, kita bersenang-senang. Dan juga, ada yang mau kami katakan dengan kalian!" Odette menarik tangan Alucard dan Gusion, setengah berlari membawa mereka meninggalkan Lancelot sendirian.

"Odette! Kekasihmu ada disini! Odette, teganya dirimu padaku!" dengan bayangan alunan musik ironi, Lancelot menyusul mereka dengan hati yang sedih.

Satu-satu wahana permainan mereka coba. Meski Odette orang yang sangat lembut, ia sangat menyukai roller coaster, wahana pemacu andrenalin. Jangan bayangkan Lancelot teriak histeris karena rambut halus kesayangannya terhembus angin dengan liar, apalagi wajahnya jadi pucat pasi diiringi airmata yang mengalir ketakutan.

Alucard maupun Gusion menikmati wahana ini. Lelaki jantan, katanya. Ya... walaupun kita sudah tau Alucard mabuk jalan. Tak usah pikirkan wajahnya membiru menahan mual.

Berikutnya mereka ke photo box. Antrian begitu panjang. Jika bukan karena keinginan Odette, mereka bertiga pasti sudah menyerah bertahan di barisan.

Dilanjuti dengan Carousel Ride, Gusion memilih duduk di atas kuda. Sejak kecil dia selalu bermimpi menjadi ksatria berkuda yang gagah. Odette duduk di belakangnya. Dari luar wahana, Lancelot dan Alucard terdiam memandang Gusion yang terbawa suasana seperti anak kecil yang polos.

Tak lupa mereka mengambil foto bersama di berbagai kesempatan. Badut rakun lucu seketika berubah jadi tumbal mereka sebagai fotografer. Sekali jepretan, dua kali, sampai puluhan kali. Lancelot selalu memuji wajah indahnya... dan juga Odette.

Hari sudah petang, langit berwarna oranye tua melapisi bumi. Gusion terperangkap duduk berhadapan dalam suasana canggung antara dia dan Alucard dalam Ferris Wheel. Tak sedetikpun dia bisa menatap balik Alucard yang menguncinya dengan pandangan ambigu.

Mereka berdua beda kabin dengan Lancelot dan Odette. Tentu kalian sudah tau kan, ide terkutuk siapa itu? Yap, Alucard.

"Berhenti memandangku atau kutusuk matamu," ancam Gusion, matanya tak lepas dari pantulan sinar mentari yang terbenam.

"Benarkah? Kalau begitu lakukanlah, aku tak akan berpaling." Alucard mencodongkan badannya ke depan.

Gusion merapatkan tubuhnya ke dinding kabin. Situasi ini juga terjadi padanya semalam.

Dadanya berdegup kencang. Berbanding balik dengan Ferris Wheel yang berputar lamban.

"Ja-jangan main-main padaku, aku bukan seperti perempuan yang pernah kau tangani," Gusion menyembunyikan semburat merah di pipinya.

"Jelas, kau bukan perempuan." Alucard turun dari duduknya, menekuk kakinya berlutut di depan Gusion.

"Apa yang kau lakukan?" Gusion terperanjat. Badannya menegang.

Alucard mengulurkan tangan, meraba setiap inci muka Gusion dengan segenap perasaan. Senyum lembut dan mata yang dalam menjinakkan Gusion.

"Jika kau ingin tau alasanku... aku akan mengatakannya saat aku siap. Tapi, apa kau yakin?" Alucard memperkecil jarak pandangan mereka.

"Kenapa tidak yakin? Apa itu mengenai sikapmu sekarang?" Gusion mempertahankan akal sehatnya. Tak ingin dikendalikan oleh aura Alucard yang mendominasi.

Alucard mendengus geli mendengar pertanyaan Gusion, "Bisa dikatakan begitu." ucapnya.

Gusion tak bisa berkata apa-apa. Kalah telak pada bibir Alucard yang mengecupnya duluan. Dia mematung. Alucard mewujudkan ambisinya, mengisap bibir bawah Gusion brutal. Lidahnya merosok beringas menggoda sang empu terlena.

Gusion menutup mata. Lagi-lagi, Alucard memenangkan kesempatan. Gusion mencengkram lengan Alucard sekuat tenaga. Tidak tau apakah itu tanda ingin dilepaskan, atau meminta lebih. Alucard yakin pilihan kedua jawabannya.

Alucard melepaskan cengkraman Gusion, menukar posisi ke lehernya tanpa melepas ciumannya. Gusion merengap kekurangan oksigen. Alucard masih tak mau lepas, malahan ia menekan dalam lidah Gusion.

"Nggh..." Gusion meleguh, dahinya mengernyit. Dia ingin berhenti, tapi nalurinya sebagai laki-laki tetap bertahan. Tangannya meremas punggung Alucard.

Alucard menjeda kecupan panasnya, Gusion merasa lega sekaligus kecewa. Seutas benang saliva menggantung diantara mereka terputus. Alucard memperhatikan Gusion tersengal-sengal.

Ia menyeka keringat bercucuran di dahi pujaan hati.

Sekiranya Gusion sudah cukup menghirup udara, ia kembali menghujami Gusion dengan ciuman ganas.

"Mmh... berhen- mmmhh..." bahkan tak memberinya kesempatan bicara.

Entah kenapa Alucard gusar sendiri, sebab tak mampu menenangkan nafsu buas dalam dirinya.

"Ahh-nnn!" Gusion tersentak saat ujung bibirnya dijepit deretan gigi Alucard.

Alucard baru merasa puas begitu darah mengalir dari sudut bibir Gusion. Ia menjilat darah Gusion yang mengalir lalu menyesapnya setakat darah itu benar-benar berhenti.

"Uwah, lama juga mereka turun. Aku sudah lapar," komentar Lancelot yang lebih dulu turun dari kabin.

"Ah, kurasa itu kabin mereka," Odette menunjuk ke kabin ungu.

Dugaan Odette benar. Muncul dua sejoli dari kabin yang ditunjuknya. Senyum lebar Odette mendadak berubah rasa heran.

"Yo, kalian lama sekali! Aku sudah lapar, ayo kita makan yakiniku!" Lancelot melaung keras.

"Ya, ya. Kami datang, kami datang." Alucard memasukkan tangan dalam kantung celananya kemudian menghampiri Lancelot dan Odette. Sekilas melongok pada Gusion yang menunduk di belakangnya. Ia tersenyum tipis.

'Got ya.' ia membatin kegirangan.

Selagi Lancelot dan Alucard berjalan beriringan di depan sambil bicara ringan, Odette memilih untuk berdampingan dengan Gusion di belakang mereka. Gusion hanya termangu. Pikirannya tertancap pada apa yang terjadi barusan.

"Kelihatannya Alu-kun sangat menyukaimu, Sion-chan," Odette membelakangi tangan rampingnya ke pinggang.

Gusion tertegun.

"Hu-huh? Te-tentu saja, kami ini kan teman!" kegugupan Gusion tampak jelas di mata Odette.

"Hm... bukan itu maksudku," Odette mengetuk-ngetuk ujung bibirnya sendiri, memberi isyarat ke Gusion kalau ia bisa melihat luka di bibirnya sangat jelas.

Gusion terkejut. Dia lupa kalau bibirnya terluka. Segera dia menutup seluruh bibirnya dengan telapak tangan yang bergetar.

Gusion berpikir keras untuk menyanggah opini Odette. Bagaimanapun juga, luka itu belum ada saat mereka bertemu dan baru ada setelah mereka membiarkan dia berduaan dengan srigala lapar.

Gusion bimbang.

"Fufu, kau tidak perlu menyembunyikannya dariku, Sion-chan. Aku mengerti," sisi pengertian Odette paling disukai banyak orang, termasuk Gusion.

"Ta-tapi... ini tak seperti kelihatannya. Dia tiba-tiba menciumku," kata Gusion dengan suara rendah.

"Hm? Kalian tidak pacaran?" Odette mengangkat alisnya, bingung.

"HAAH?" Gusion menjerit kaget bukan main pada Odette. Dia melenggokkan kepala, memastikan bahwa dua orang di depan mereka tak terusik dengan keterkejutannya. Untungnya, dua orang itu tak menyadari.

"Pacaran? Kanapa Ode-neesan berpikir begitu?" Gusion berbisik. Mencoba menepis pernyataan sepihak itu.

Odette perempuan cerdas, ia langsung paham situasi antara Alucard dan Gusion sekarang dan apa yang terjadi pada dua pemuda itu. Ia mangut-mangut sendiri.

"Errr... Ode-neesan?" Gusion jadi sangsi.

"Sion-chan, kau tidak tau? Itu artinya Alucard mencintaimu," tutur Odette memaparkan kenyataan yang belum disadari Gusion.

Gusion terkesiap. Tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Mencintaiku? Hahaha, mana mungkin, Nee-san. Kami ini laki-laki. Lagipula, dia itu pemain wanita. Masa iya, dia tertarik padaku," Gusion tetap menyangkal, kendati yang dituturkan Odette benar adanya.

"Dulu aku juga mengatakan hal yang sama sebelum Lancelot mengungkapkan perasaan padaku," Odette mengadahkan kepala, memandang langit yang mulai gelap.

Gusion menatap kakinya yang menapak di tanah.

"Neesan... bagaimanapun, kami ini sesama laki-laki," lalu matanya tertuju pada Alucard.

"Kau benar, tapi bagaimana perasaanmu padanya? Kau juga tidak mungkin membiarkan Alu-kun seenaknya tanpa alasan, kan?" Odette menoleh padanya.

Gusion terdiam meresapi kata-kata wanita lima tahun diatasnya. Kali ini dia tak menyangkal.

Jauh dalam lubuk hatinya, dia juga ingin tau apa alasan itu.

Setelah taman hiburan, mereka singgah ke sebuah kedai yakiniku tak jauh dari tujuan sebelumnya.

"Pesan apa yang kalian mau, aku yang bayar." Lancelot membusungkan dada dengan angkuh. Dasar orang kaya.

Gusion beruntung hari ini, uang simpanannya tak berkurang sepeser pun.

"Sebaiknya kau tidak menyesali perkataanmu tadi, Lance-nii. Aku pesan yang mahal," Alucard membaca daftar menu yang tersedia.

"Ya, untuk hal ini aku setuju dengan Alucard," imbuh Gusion dengan semangat. Matanya meneliti harga-harga makanan.

"Hoho, tidak masalah. Karena hari ini aku akan membagikan kabar bahagia," Lancelot dan Odette saling berpandangan.

"Ah, hampir lupa. Ngomong-ngomong, apa kabar bahagia itu, Niisan?" Gusion sekilas menatap Lancelot.

"Hm... hm... pesan saja dulu makanannya," Lancelot tersenyum selebarnya hingga matanya menyipit melengkung ke atas.

Tak lama kemudian, mereka memutuskan pesanan. Seorang pelayan menulis permintaan mereka pada nota kecil ditangannya. Setelah itu, si pelayan beranjak pergi untuk menyediakan pesanan.

"Duh, aku tidak bisa menunggu lagi. Katakan saja apa kabar bahagia itu," Alucard berdecak tak sabar. Menatap sengit pada Lancelot yang masih enggan terus terang.

"Kita bilang saja, Lancelot. Kau membuat mereka penasaran," Odette menyentuh bahu Lancelot.

"Oke. Baiklah. Dengar baik-baik, kalian berdua. Aku dan Odette segera menikah," Lancelot mengulas seringai picik. Sengaja dibuatnya agar dua orang di depannya iri.

"Benar? Sungguh? Waaa... akhirnya kalian menikah," Gusion menautkan kedua tangannya dengan mata berbinar-binar.

"Uh-hum. Sungguh. Pastikan kalian semua datang, ya. Awas kalau tidak." Lancelot menyilangkan tangannya ke leher, membuat gerakan seolah-olah akan memenggal kepala mereka.

"Oke. Tapi, kapan pernikahannya?" tanya Alucard. Ia hanya butuh tanggal jadinya, itu saja.

"Dua bulan dari sekarang. Kami sudah mempersiapkan segalanya. Tapi berhubung keluarga kami sibuk bisnis, kami masih berunding masalah tanggalnya," pertanyaan Alucard dijawab cepat oleh Odette.

"Semangat Neesan, Niisan. Semoga urusan kalian dipermudah." Gusion mengepalkan tinjunya ke udara.

Mereka mengobrol seru. Tak sadar, waktu berlalu dan pesanan tiba. Potongan daging mentah yang diiris tipis tertata di atas meja makan. Alucard menghidupkan panggangan. Karena haus terlalu banyak bicara, Gusion menyeruput fruit punch segar yang dipesan. Sensasi dingin buah-buahan dan soda menyudahi dahaganya. Dan sedikit... pahit.

Mereka berempat makan penuh selera. Sampai-sampai tak menyisakan sepotong daging pun di atas nampan.

Namun tiba-tiba, Gusion merasa bumi berputar cepat hingga setiap objek yang dilihatnya terpisah menjadi lapisan bayangan. Kepalanya pusing tanpa dia tau sebabnya.

"Gusion, kau kenapa?" keprihatinan Alucard menimbulkan efek sakit kepala Gusion menjadi.

"Ah... Alucard, kenapa kau jadi tampan sekali?" Gusion memiringkan kepala, memandang Alucard tengah menahan nafas begitu dia puji.

'Kendalikan dirimu, Alucard. Dia memang terlihat enak kalau dimangsa sekarang. Tapi sabar, kendalikan nafsumu. Kendalikan.' inner Alucard bertapa dalam jiwanya. Sebisa mungkin ia tak jatuh dalam godaan Gusion.

Lancelot merasa ada yang tak beres. Ia meraih buku menu yang masih ada di dekat mereka guna mencari tau penyebab Gusion bertingkah aneh.

Lancelot memincingkan mata begitu menemukan apa saja yang ditelan siswa SMA itu.

"Oh, astaga..." dia terperangah tak percaya.

"Ada apa, Lancelot?" Odette dan Alucard melemparkan pandangan yang sama, penasaran.

"Si ceroboh ini benar-benar memesan sesuatu dari harganya, ya. Dia bahkan tidak tau kalau minuman yang dia teguk ada alkoholnya." Lancelot meletakkan kembali buku menu lalu memijit dahinya.

Hembusan nafas berat melesat dari ketiganya.

"Kupikir kami harus pulang sekarang, mumpung kereta api masih ada." Alucard merangkul Gusion yang mulai mengoceh hal-hal di luar semesta ini.

"Tidak, kau akan kerepotan. Lebih baik kalian bermalam disini dulu. Bukannya orangtua Gusion sedang di desa?" usul Lancelot.

"Kebetulan sekali, besok hari libur, kan. Masalah ibumu, serahkan padaku." Odette mendukung usulan Lancelot.

Alucard mempertimbangkan keputusannya. Lancelot tak salah kalau ia akan kerepotan. Ia belum pernah mengurus orang mabuk sebelumnya.

"Baiklah, kalau begitu. Kami akan menginap. Neesan, tentang ibuku biar aku saja yang menghadapi." Alucard memantapkan keputusannya.

"Ya sudah, kalian kubawa ke rumahku. Ayo, kita harus cepat." mereka bangkit dari duduk dan bergegas pergi dari sana.

Lancelot mengutamakan mengantar Odette lebih dulu pulang ke rumahnya sebelum ia membawa satu orang dibawah umur sedang mabuk bersamaan dengan orang yang memanggul.

Lancelot hanya bisa menghela nafas.

"Kalian berdua tidur disini. Di dalam lemari itu ada beberapa setel piyama. Pakai saja jika kalian mau," Lancelot memperlihatkan isi kamar tamunya pada Alucard.

"Terimakasih, Lance-nii. Kami merepotkanmu seperti biasa," Alucard membungkuk hormat sedalam-dalamnya sampai-sampai badan Gusion ikut membungkuk.

Lancelot mengulas senyum.

"Biasa saja. Kalian sudah kuanggap adik. Nah, masuklah. Kalau ada apa-apa, panggil aku, ya." Lancelot menutup pintu ketika mereka sudah di dalam.

Pintu itu tertutup rapat. Alucard tertatih-tatih membopong Gusion yang bergeming.

BRUK!

Alucard membuka matanya lebar-lebar, menatap skeptis kepada Gusion yang membanting kasar badannya ke atas kasur ukuran king size itu.

"Gusion, apa yang kau lakukan?" Alucard tak sadar kalau Gusion sepenuhnya dibawah pengaruh alkohol.

Gusion menatapnya dengan sayu, dia merangkak di atas Alucard yang masih terpaku pada keadaan.

"Panas... tubuhku panas," deru nafas Gusion terpacu menyapu kulit wajah Alucard. Alucard hanya memandang wajahnya tanpa berkedip.

Setetes saliva jatuh membasahi permukaan bibir si surai pirang.

"Ah, maaf. Aku tak bermaksud meludahimu," Gusion menyambar bibirnya menggunakan lidah merah mudanya. Dia menjilat saliva sendiri.

Bibir Alucard mengkilap akibat tersapu lidah Gusion yang menggeliat manja. Sejurus kemudian, Gusion menghentikan perbuatannya. Mengamati kilapan bibir Alucard dibawah dagunya.

"Kau punya bibir yang bagus, Alucard... aku menyukainya," Gusion menyorong kepalanya, menabrakkan bibir mereka. Talunan nafas berat bersuara dari penciuman Gusion. Untuk pertama kali, dia tak menutup matanya.

Dia mengamati sepasang bola mata saphire Alucard yang menawan. Gusion memisahkan jarak mereka, menekukkan leher memandang Alucard dengan hasrat membara.

"Alucard... lakukan sesuatu. Tubuhku panas," Gusion merengek.

Secara kontan naluri laki-laki Alucard bangkit. Ia tidak akan menahan lagi. Dalam sedetik, ia dengan mudah membalikkan posisi mereka. Gusion terbaring di antara kedua apitan tangannya.

Gusion tak sampai disitu saja, dia merengkuh Alucard kembali menciumnya. Alucard mengikuti alur permainan Gusion. Membebaskan Gusion melakukan kehendaknya malam ini.

Gusion yang biasa bergeming tatkala mereka berciuman, beralih binal. Dia menautkan lidahnya, menggigit kecil pada ujung lidah Alucard. Juga sesekali menghisap bibir surai pirang.

Gusion mencecap lisan Alucard bertubi-tubi. Tubuhnya menggeliat erotis seiring waktu, dada bidangnya naik-turun mengundang Alucard agar menggagahinya.

Alucard menaikkan ujung sweater Gusion sampai ke leher, menampakan puting kemerahan yang mungil di depannya. Ia menjulurkan lidah, membelai puting Gusion dengan ujung lidah.

"Nnghh... nnghh..." desahan tertahan Gusion menyulut kejengkelan Alucard.

"Oohh! Aahh... aahhh..." Gusion melejit hebat terjerat sensasi geli Alucard menggigit putingnya.

Gusion menghentakkan kepalanya ke segala arah, meremas tempat tidur hingga kainnya kusut.

"Mmmhh... mmhh... ahh..." erangan nikmat Gusion menjadi-jadi ketika Alucard saling menggesekkan tonjolan keras di tengah selangkangan mereka.

Ia menekan-nekan tonjolan miliknya pada Gusion. Lidahnya menggerayangi payudara datar Gusion yang menggugah birahi. Tangan Alucard mengurut dada satunya selagi ia mengulum sebelahnya.

Gusion tak tinggal diam. Dia membuka paksa baju Alucard, pastinya pemuda pirang itu sukarela untuk ditelanjangi. Alucard membuka kancing celana Gusion dan juga dirinya, menghempas jauh-jauh penghalang nikmat duniawi.

Gusion mengendus aroma tubuh Alucard dari baju bekas pakai Alucard. Kakinya terbuka lebar, mempersilakan Alucard untuk menggerayangi sekujur tubuhnya.

Alucard tidak mau tergesa-gesa. Ia membalur tengkuk Gusion dengan air liur. Rasa dingin bercampur geli membuat bulu roma Gusion berdiri.

Sepintas ia menatap Gusion yang terbawa nafsu. Mata Alucard mendelik sesuatu yang menegak sempurna di sana. Alucard tak langsung beralih pada penis Gusion yang mengeras. Pertama, ia membuat jejak saliva dari pangkal leher Gusion, turun perlahan-lahan menuju benda favoritnya.

Alucard terhenti pada pusarnya dan mengecup pela. Ia memutar-mutar lidahnya di atas perut Gusion hingga pemuda di bawahnya mengejang. Gusion yang mabuk berat mengerang tak sabar untuk dicumbu.

Tangan Alucard mengenggam kejantanan Gusion. Ia menggerakan tangannya naik-turun dengan lambat memainkan hasrat Gusion yang tak terbendung lagi. Mimik kekesalan tersirat di wajah Gusion, dia tak suka dipermainkan seperti ini.

"Mmh... mmmhh... cepat lakukan saja... mmmhh... jangan menggodaku terus..." Gusion kesulitan mengatur nafasnya. Alih-alih badannya sudah diluar kendali sang empu.

Alucard menyeringai, "Menggoda, huh... lihat siapa yang bicara."

Ujung kemaluan Gusion berada di depan matanya. Sedikit cairan precum mengalir dari kejantanan Gusion, membuat Alucard makin kesetanan.

"AAAHH! Ahh! Aahhhh! Aahh!" Gusion meronta-ronta kala Alucard menghisap penisnya kuat-kuat.

Kulit yang membungkus batang penisnya ikut naik-turun mengikuti irama blowjob yang Alucard berikan cuma-cuma. Alucard menggerakkan kepalanya, mencecap setiap rasa asin yang keluar dari lubang penis Gusion.

"Uunnghh... ungh... uunngghh... lagi... Alu... lagi..." Gusion menjenggut helaian rambut Alucard dalam telapak tangannya. Dia mengangkat kakinya ke atas. Memperkenankan Alucard mencokot kepala penisnya yang membengkak.

Alucard melirik testis Gusion. Ia beralih pada kantung sperma yang menggantung di bawah kejantanan Gusion. Alucard menggemam bagian paling sensitif laki-laki itu. Ia mengulum buah zakar yang lentur itu dengan cekatan.

Gusion tak berdaya, rintihan legit turut andil dalam nikmat buana. Badannya bergetar dahsyat tergiring birahi. Tak cukup disitu, Alucard melintangkan pangkal paha Gusion selebar mungkin hingga tampaklah liang senggama tersembunyi di bawah buah zakar Gusion.

Alucard menjilat ujung bibirnya. Tanduk iblisnya tak terhitung lagi jumlahnya. Penisnya juga sudah menegang dari tadi.

Ia menjulurkan lidah, menyeluk ke dalam anus Gusion.

"Aaahhhh! Ahhhh! Ya... yaaa... mmhh... begitu... aahhh! Ahhh!" Gusion mendongakkan kepala, badannya membusung ke atas. Derau nikmat bagai diktum yang orisinal dalam kama sutra.

Alucard melakukan hal yang sama seperti yang sudah-sudah, namun kali ini dibubuhi gairah yang merajalela.

Gusion merasa tenggorokkannya hampir kering.

"Alu... kumohon... lakukan saja, jangan membuatku... menderita lebih lama," Gusion meraih tangan Alucard yang menahan kakiknya.

Alucard menengok wajah Gusion dibanjiri peluh disertai nafas yang terputus-putus. Mukanya semerah kepiting rebus, dan matanya memendar keinginan yang lebih.

"Baik, kalau begitu. Kau punya satu pekerjaan untukku," Alucard bangkit menukar posisi.

Ia memalang Gusion di antara pahanya dan menimpa kedua tangan Gusion dengan lutut. Gusion meringis kesakitan. Matanya tergemap pada kemaluan Alucard yang berdiri kokoh di atas mulutnya.

"Apa yang kau lihat? Lakukan." Alucard mengayunkan penisnya sembari menepuk-nepuk halus ujung bibir Gusion.

Gusion yang dikuasai nafsu langsung menurut begitu diperintah Alucard. Dia membuka mulutnya lebar-lebar dan mengulum kejantanan Alucard.

Penisnya yang besar sulit untuk memadai rongga mulut Gusion. Hanya setengah dari penisnya yang bisa masuk. Gusion mencoba melakukan hal yang sama persis seperti Alucard, namun dia kerap kali melakukan kecerobohan tak sengaja.

Alucard spontan merintih sakit ketika gigi Gusion menyentuh batang kemaluannya.

"Tsk. Bukan seperti itu, akan kutunjukkan padamu," Alucard mengimpitkan kepala Gusion menggunakan tangannya dengan kasar.

Ia sedikit memajukan badannya mengambil ancang-ancang.

"HMPH-" dengan sekali hentakkan keras, penis Alucard masuk sepenuhnya ke dalam mulut Gusion.

Dengan gerakan vertikal, Alucard melakukan penetrasi di mulut Gusion. Ia menghunuskan penisnya sedalam mungkin hingga terasa seperti tembus ke kerongkongan.

Gusion menendang-nendang kasur. Matanya seakan ingin menangis, namun tertahan oleh linu di bagian dalam mulutnya, seolah-olah ingin memuntahkan semua isi perut.

"Uh... ini nikmat," Alucard tertawa keji. Ia benar-benar kehilangan akal sehat. Matanya berkilat tajam dengan seringai yang lebar.

Alucard terus memacu kecepatan ketika hampir klimaks. Ia menyergah pinggulnya energik. Semakin kejantanannya berdenyut, semakin dia menambah kecepatan.

Gusion tak bisa menahan airmatanya lagi. Nikmat tiada tara dia rasakan pada tubuhnya yang rapuh.

Splurt! Splurt! Splurt!

Alucard membenamkan juniornya dalam-dalam ketika cairan kental putih menyembur keluar, memaksa Gusion untuk menelan cairan spermanya.

"Uhuk-uhmm-huek-" Gusion tersedak meminum sperma milik Alucard.

Begitu Alucard rasa ia sudah mengeluarkan semua selnya, ia mencabut penisnya dari mulut Gusion. Gusion sontak terbatuk-batuk.

"Uh..." Gusion melenguh. Kesadarannya belum juga pulih. Malahan dia memelas menatap Alucard. Menuntut haknya.

"Bagaimana denganku?" Gusion memegang penisnya sendiri.

"Kau ingin aku menyentuhmu, kan?"

Gusion mengangguk cemberut, kesal karena nafsunya yang tak diutamakan.

"Karena aku sempat klimaks jadi... penisku kelelahan. Setidaknya kau tunjukkan padaku apa yang bisa kau lakukan untuk membangun gairahku," Alucard mencengkram pipi Gusion.

"Kalau kau berhasil, kita akan bercinta hingga kau puas." Alucard menambahkan.

Gusion mengangguk setuju. Dia merebahkan diri di kasur. Alucard berdiri bersandar dinding sambil melipat tangannya ke dada mengamatinya

Gusion yang terpengaruh alkohol mulai membayangan adegan masturbasi yang pernah dia lihat. Badannya bergerak sesuai naluri beringas.

Dia mulai memilin-milin putingnya. Gusion meniru bintang porno perempuan yang ada di video dewasa, melakukan onani ketika tidak ada partner seks-nya.

Gusion mencubit putingnya dengan kuat, matanya terpejam menghayati setiap sentuhan dirinya. Batang penis Gusion masih kokoh berdiri. Sebelah tangan terangkat menuju mulutnya. Gusion melumat dua jari ke mulutnya, seakan-akan dia mengulum kejantanan Alucard.

Dia melumasi jarinya dengan saliva dan sperma Alucard yang menjadi satu dalam mulut Gusion. Dia menjilat jarinya, dari atas ke bawah dengan khidmat.

Setelah jari itu sangat basah, Gusion memindahkan jarinya ke selagkangannya. Digantungnyalah kakinya di udara, sementara tangannya berhenti memilin putingnya untuk membuka lubang anusnya.

Gusion merintih sewaktu dia memaksa jarinya masuk ke anus. Pelan tapi pasti, jarinya mulai muat. Gusion menjerit pelan begitu seluruh jarinya masuk.

"Mmh..." dia tau kalau rasanya tak seenak Alucard menyentuhnya. Tapi Alucard tak mau menyentuhnya jika dia melolak.

Gusion menggerakkan tangannya maju mundur. Sementara tangan yang satu lagi men-service penisnya yang minta dipuasi.

"Oh.. ooohh... Alu, sentuh... sentuh aku... mmhhmm..." Gusion hanyut dalam fantasi. Bibirnya terus memanggil Alucard.

Batang penis Alucard kembali tegak. Bohong kalau ia tak bergairah memandangi Gusion dilucuti hawa nafsu. Bahkan kalau Gusion diam saja, birahinya memuncak.

Tanpa pikir panjang, Alucard menerjang Gusion. Ia membalik tubuh Gusion membelakanginya. Menarik pinggulnya ke atas berhadapan dengan selangkangannya. Dia mengelus-elus kepala penisnya pada anus Gusion.

Dan..

SLEP!

"Aaagghh! Ahhhm... hmmm... hhhmmm..." Gusion meredam rintihannya ke bantal.

Alucard menghujami Gusion dengan tusukan memabukkan dalam lubang senggamanya. Gusion membuatnya gila. Orang yang dicumbunya ini tidak tau berapa lama dia mengimpikan ini terjadi.

Sekarang mumpung ada kesempatan, ia merealisasikan mimpi basahnya setiap malam. Alucard mengulas senyum bahagia. Ia tak tau apa komentar Gusion saat dia sadar nanti. Alucard yakin ia akan babak belur setelah Gusion mengetahui ini.

Toh, tak usah pikirkan. Ia akan tanggung jawab.

"Ahhh... aaahhh... Alu... lebih cepat... lebih... dalam..." pinta Gusion.

Sesuai keinginan, Alucard menambah tempo permainannya. Ia merangkul pinggul Gusion dan menghantam sekuat-kuatnya.

Slap! Slap! Slap! Slap!

"Mmhh... yah... yah... ahh... ahh... enak

... ini enak... oohh..."

Suara decakan kulit yang bertabrakan menggelagar dalam ruangan. Alucard mencium tengkuk Gusion dari belakang memperdalam keintiman mereka.

Slap! Slap! Slap! Slap!

Serta alunan tempo cepat yang dimainkan Alucard menjadi satu dalam deru nafas berkecamuk.

Slap! Slap! Slap! Slap!

"Alu... aahh... kurasa aku... mau keluar... ooohhh..."

Alucard juga merasakan hal yang sama. Birahi yang berdesir antara dua anak manusia itu berakhir dengan klimaks-nya mereka berdua.

Alucard menyemburkan benihnya dalam anus Gusion, sedangkan Gusion menyemburkan di atas perutnya sendiri. Untung saja tidak bercecer di kasur milik tuan rumah. Bisa-bisa mereka akan dapat masalah besar kalau Lancelot tau.

Gusion dan Alucard bermandikan keringat. Mereka berusaha mengatur nafas kembali normal. Gusion tiba-tiba saja dempet ke dada bidang Alucard.

"Hm... kau harum sekali." katanya dengan mata yang tertutup.

Alucard membetulkan selimut yang membungkus mereka berdua. Rasanya kejadian ini dejà vu.

"Tidurlah. Kau akan merasa amat sangat lelah besok." ujar Alucard lalu memeluk Gusion dalam tidurnya.

Tanpa mereka sadari, di luar kamar, seseorang berdiri mematung di ambang pintu.

Tangan kanannya bergetar memegang knop pintu yang tak jadi dia putar begitu mendengar desahan dari dalam.

Lancelot terpaku sambil menggenggam erat dompet Gusion yang dipungutnya. Kecewa melingkup dalam sanubari.


TBC


A/N: *keringetan* Semoga kalian gak bosan baca chap ini sampe abis. Gak sadar kalok ngetik ini chap sampe 6rb karakter, gak termasuk sama imbuhan previous chap, warning sama A/N.

Saya sampe bingung mau bikin TBC-nya dimana. Tiba-tiba rasa semangat ini menggebu-gebu berkat kalian yang udah mau sempetin ngebaca, nge-review fict saya ini. Karena kalian, penyemangat saya buat ngelanjutin cerita nista ini \(O)/

Sankyuu~

Silakan kritik dan sarannya!