Previous chap:
Tanpa mereka sadari, di luar kamar, seseorang berdiri mematung di ambang pintu.
Tangan kanannya bergetar memegang knop pintu yang tak jadi dia putar begitu mendengar desahan dari dalam.
Lancelot terpaku sambil menggenggam erat dompet Gusion yang dipungutnya. Kecewa melingkup dalam sanubari.
All Heroes in MLBB (c) Moonton
Warn!
YAOI, LEMON, OOC yang keterlaluan, BOYSXBOYS, AU, mengandung unsur-unsur Jepang biar suasana yaoi-nya ngena, hehe. /slap!
Terakhir, fic ini ditujukan untuk kaum fujoshi/danshi. Jadi kalo gak suka jangan baca, OK?
Lancelot tak bisa tidur sedetik pun. Hingga matahari mulai terbit. Ia duduk di kursi empuk beroda yang biasa ia gunakan mengerjakan tugas di kamar. Termenung sendiri tak habis pikir dengan segala yang didengarnya tadi malam. Bayangan diri Lancelot terpantul jendela kaca ikut serta menampilkan raut kekecewaan. Sembari memangku bingkai wajahnya, dengan tegukan anggur merah menemani ia semalam suntuk. Bukan bermaksud mencampuri urusan, Lancelot justru khawatir. Ia juga sayang Gusion dan Alucard. Seperti yang ia bilang, Lancelot menganggap mereka sudah layaknya adik sendiri.
Lancelot sempat tinggal bersama kakek saat tiga belas tahun. Lima tahun lebih tua dari Gusion. Kakek Lancelot mengenalkannya pada bocah-bocah itu. Kakeknya bilang, mereka sering datang ketika orangtua mereka tidak ada di rumah. Pada awalnya Lancelot tidak suka anak-anak, berakhir luluh oleh keluguan mereka berdua. Lancelot menidurkan mereka di waktu siang. Menyuapi mereka makan. Mandi bersama. Tidur satu tatami. Bagian mana yang telah ia lewatkan selama ini? Bagaimana kalau orangtua mereka segera menyadari penyimpangan orientasi seksual keduanya? Tak terbayangkan lagi. Lancelot harus ambil tindakan.
Sementara Gusion mencoba menggerakkan badan, seperti tertimpa sesuatu yang hangat dan berat. Dia membuka mata perlahan. Gusion memutar bola mata mengerjap kebingungan pada sekitarnya. Seingatnya dia sedang di kedai makan semalam, bagaimana dia bisa ada di kamar kerajaan. Tapi, kasur lembut nan nyaman seakan menyihirnya kembali terlelap. Baru saja Gusion kembali menutup mata, bulu kuduknya berdiri terhembus suara dengkuran yang menyebalkan.
Dia merasa sebuah tangan kekar melingkari pinggulnya dalam selimut. Pantas saja berat. Tunggu, selimut? Iris matanya beralih pada selimut tebal di atasnya. Dengan gerakan patah-patah, Gusion mengangkat ujung selimut itu. Tak butuh waktu lama nyawanya terkumpul menjadi kesadaran yang haqiqi. Belum lagi sesuatu yang lembek terasa melekat di bokongnya semakin membuat kepalanya mendidih.
'Aku diperkosa! Aku diperkosa!'
DUAK!
Bagai dihujami gemuruh badai, Gusion menendang Alucard sekuat-kuatnya hingga terpelanting ke lantai. Alucard tidak begitu terkejut dibangunkan dengan cara ini. Ia sudah menyiapkan mental sebelumnya.
"Hei, kau memang selalu bangun dengan suasana hati yang buruk, ya." Alucard bangkit berdiri, menahan sakit luar biasa di bagian punggung. Muka Gusion memerah tak sengaja melihat sesuatu menggantung di selangkangan Alucard bergerak bebas.
"Kau! Kau berengsek! Kenapa kau lakukan ini lagi?!" urat otot Gusion timbul. Geram badannya dipermainkan pemuda tampan itu.
"Aku pasti tanggung jawab meski kau yang minta," Alucard masih bersikap santai. Ia mengambil selembar handuk yang dilipat dalam lemari.
"Aku yang minta-?" Gusion tercekat. Terasa entitas cair meleleh dari bawah sana. Tambah lagi rasa sakit menyengat di bagiang belakang. Dia tak mau mengingat kejadian semalam.
"Mau ikut mandi?" Alucard menatap Gusion tertunduk lesu. Tangannya sudah siap untuk memutar kusen pintu kamar mandi.
Gusion menggertakkan gigi. Mengambil bantal di dekatnya lalu melemparnya tepat mengenai wajah Alucard.
"PERGI SANA!"
Setelah menyiapkan sarapan pagi, Lancelot bergerak mendatangi kamar Alucard dan Gusion. Tujuannya membangunkan dua orang itu. Sesaat ia berdiri untuk mengetuk pintu, suara gaduh terdengar dari dalam. Sejenak ia terdiam menyimak kebisingan disana, rupanya yang terdengar hanya umpatan-umpatan Gusion. Tidak begitu penting. Namun kegugupannya sirna.
Tok, tok.
Suara ketukan halus mengunci mulut Gusion. Dia tau, itu pasti Lancelot. Jelas saja, hanya mereka bertiga dalam rumah itu.
"Ohayou, Lance-nii!" Gusion menyapa usai membuka pintu. Alucard yang berdiri agak jauh mengangguk padanya.
Lancelot menyunggingkan senyum tipis memperhatikan mereka yang mengenakan bajunya. Alucard terlihat pas memakai kaus berkerah miliknya. Sedangkan sedikit longgar di tubuh Gusion.
"Ayo, sarapan."
Mereka bertiga sarapan dengan hidangan ala-ala barat. Lancelot sejatinya keturunan Eropa, dari sang ayah. Ibunya seorang wanita Jepang tulen. Blaster-an istilahnya. Ayah Lancelot sering berbisnis dalam maupun luar negeri ditemani sang istri. Itulah kenapa Lancelot tinggal sendirian di rumah mewah. Ia tak kesepian selama ada Odette. Lancelot sengaja menghabiskan makanannya lebih dulu. Ia menanti Gusion dan Alucard selesai makan. Begitu piring mereka bersih, Lancelot mendapat kesempatan.
"Gusion, kau sudah siap?" tanya pada Gusion yang mengelus-elus perut.
"Hum, sudah, Nii-san!" anggukan secepat kilat menyertai jawaban Gusion. Namun sedikit aneh mendengar Lancelot melafalkan namanya lurus. Gusion merasa ada yang tidak beres.
"Kalau begitu, boleh kah aku minta waktu berdua dengan Alucard sebentar?" permintaan Lancelot menyakinkan kata hati Gusion kalau dia benar.
Tanpa melihat ke arah Alucard yang memandangnya, Gusion menyetujui dan meninggalkan mereka berdua. Dia tidak benar-benar pergi. Gusion berbelok bersembunyi di balik tembok pembatas ruang. Dia memasang telinganya baik-baik. Semoga saja bukan tentang hal buruk.
"Aku sudah curiga pada luka di sudut bibir Gusion kemarin," Lancelot membuka pembicaraan. Matanya tajam memecah kedok Alucard, "Tidak ku kira kau yang melakukannya."
Gusion terbelalak. Ternyata memang tentang hal buruk.
"Kau bahkan menyetubuhinya tadi malam, jangan pikir aku tidak tau, Alucard. Walaupun tidak sepenuhnya kau bersalah, tapi kau satu-satunya orang yang sadar di antara kalian!" - BRAK! Lancelot menggebrak meja. Bibirnya bergetar menahan emosi-kecewa bersamaan.
Gusion gemetaran. Hancurlah sudah ikatan antara mereka.
Lancelot menarik rambut ikalnya ke belakang. "Ini juga salahku tak menghentikan kalian langsung. Aku cuma bisa terdiam." matanya menjurus ke arah Alucard. Dingin.
"Hentikan kelakuanmu itu. Mempermainkannya bisa merusak segalanya. Pikirkan orangtua dan masa depan kalian! Kalian masih muda, mungkin belum paham benar membedakan yang salah," satu kalimat merajam hati, berharap orang yang dimaksud mengerti.
Sebaliknya, Alucard mengepalkan tangan. Mengangkat kepalanya konstan. Sedari tadi ia tunduk mengacuhkan lektur afeksi yang diberikan Lancelot. Alucard menolak celotehan perkara perasaannya. Netra kebiruan itu membidik lancang terhadap orang lebih tua di depannya. Lebih dingin dibanding iris aquamarine itu.
"Sudah siap ceramahnya?" rahang Alucard mengeras. "Asal kau tau, aku mencintainya. Apa masalahmu? Kau orang asing, tak berhak mengecamku."
Bibir Alucard bisa saja pecah detik itu juga jikalau Lancelot tak bisa membendung murka. Tapi tidak, tidak ada gunanya menggunakan kekerasan dalam hal ini. Cukuplah ia menangkupkan kuku-kukunya dalam telapak tangan daripada melukai orang. Terlebih orang itu merupakan seseorang yang dianggap keluarga. Alucard menggeser kursi dan berdiri. Badan yang sama tinggi dengan Lancelot itu melangkah serong, menjauhi surai ikal panjang dari posisi. Alucard membalikkan badan. Menyusun kata perpisahan.
"Kuharap kau tidak mengganggu kami di kemudian hari."
Tetesan darah dari tancapan kuku-kuku itu membasahi keramik putih. Seandainya mata ibarat sebilah pedang, pastilah menembus punggung lebar itu hingga ulu hati. Lancelot mengantar kepergian Alucard dengan tatapan berang.
Sadar kalau Alucard beranjak dari sana, Gusion sigap melangkah jauh ke kamar mereka. Pikirannya berkecamuk. Dua hal permasalahan yang mengganggu benaknya. Pertama, Alucard mencintainya diam-diam. Kedua, Alucard memutus jalinan persaudaraan mereka. Marah, sedih, juga kecewa beradu. Lidahnya kelu. Tidak tau harus berkata apa. Gusion pura-pura membereskan kamar begitu mendengar derap langkah kaki yang berat. Sengaja dia membuka pintu kamar supaya Alucard tidak membantingnya.
"Gusion," intonasi lemah lembut namun menuntut itu akhirnya terdengar.
"Ya?" Gusion berusaha menutupi kegugupannya sembari melipat selimut. Berat hatinya memandang iris shappire yang mengamatinya dari belakang.
"Kita harus bergegas cepat. Lagipula, kita sudah banyak merepotkan Nii-san," kepura-puraan Gusion berhasil menyembunyikan kegelisahan. Alucard turut mengemas barang-barang mereka.
Tak ada sahutan lagi dari Gusion. Sekarang dia fokus mencari jalan keluar perselisihan antara Alucard dan Lancelot. Tidak akan dia biarkan benang merah itu kusut. Selagi Gusion sibuk dalam dunianya, Alucard menemukan tas berbahan kanvas di sela-sela lemari. Kebetulan ia butuh sesuatu untuk menampung baju kotor mereka. Alucard tampak ragu-ragu. Namun, tak ada pilihan lain. Tidak mungkin juga memapah baju mereka begitu saja sepanjang jalan. Ya, apa boleh buat.
Siap berkemas, Gusion hendak pamit. Tapi, Lancelot duluan muncul ke hadapan mereka.
"Ambil ini. Kemarin dompetmu jatuh di teras," Lancelot mengulurkan dompet Gusion, "Perlu ku antar ke stasiun?" ia tersenyum simpul.
Gusion menerima dompetnya kembali, lalu melirik Alucard yang membuang muka.
"Terima kasih, Lance-nii. Ah, tidak usah repot. Kami bisa sendiri, kok!" Gusion menampakkan deretan giginya.
"Baiklah, kalau begitu. Hati-hati, ya."
"Nii-san, nanti bajunya ku kembalikan,"
Lancelot terdiam beberapa saat. "Tidak perlu. Anggap saja kenang-kenangan," matanya mengarah ke Alucard. Usai mengucapkan kata, Lancelot meninggalkan mereka.
"Tunggu apa lagi? Ayo, pulang." Alucard menyeret Gusion yang bergeming.
Lancelot mengambil HP-nya di atas meja tugas. Membuka kontak nama menelusuri nama Odette. Ia menekan opsi memanggil. Nada panggilan tersambung berbunyi. Tinggal menunggu jawaban. Lancelot menarik napas sesaat Odette mengangkat.
"Odette, temui aku di tempat biasa."
Rok tutu Odette berkibar mengikuti gerak-gerik kakinya. Sanggulan back style indahnya dihias hairpin payet warna-warni sehingga memberi kesan kebangsawanan. Sedikit peluh memercik keningnya karena tergesa-gesa. Lancelot sudah menunggunya di café biasa mereka berkencan. Odette agak terlambat. Secepat mungkin matanya menuju sosok dicintainya. Odette tersenyum dari jauh lalu menghampiri Lancelot yang berwajah muram.
"Maaf, aku agak lama. Ada urusan sebentar." Odette mengambil kursi di samping Lancelot.
"Kau mau pesan apa?" Lancelot bertanya dengan nada rendah.
"Hm... kau tidak memanggilku untuk sekedar makan siang, kan?" Odette menerka. Ia bisa tau dari gelagat Lancelot yang tak biasanya.
"Kau benar. Ada perkara yang mencemaskanku," mereka bertatapan. Odette menemukan kegundahan dalam mata Lancelot. Suasana berubah serius.
"Ada apa, Lancelot?" nada selembut sutra mengalun. Odette menggenggam tangan Lancelot.
"Kau tau, tadi malam... bagaimana cara menjelaskannya... semalam aku mendengar... Alucard dan Gusion mereka..."
"Mereka?"
"Iya, mereka... mereka saling... saling menyentuh."
"Saling menyentuh? Maksudmu..." Odette membuat tanda kutip menggunakan jarinya. Lancelot membenarkan. Wanita cantik layaknya puteri kerajaan itu terperangah.
"Tadi pagi, aku bicara pada Alucard tentang itu. Kau bisa bayangkan apa katanya? Dia bilang aku ini orang asing dan tak berhak mengecamnya. Orang asing, Odette! Orang asing!" Lancelot menekan kata-katanya.
Odette berpikir sebentar. Mencari jawaban yang tepat. Salah sedikit, bisa memicu ledakan emosi.
"Lancelot, dengar. Mereka sudah mulai dewasa, biarkan mereka menentukan pilihan mereka sendiri." bukannya jadi tenang, Lancelot malah makin sentimen. Matanya menyalang.
"Kau sadar apa yang kau ucapkan? Pilihan apa yang kau maksud? Pilihan yang menyesatkan? Jangan bodoh, Odette. Mereka itu laki-laki!" tanpa sadar Lancelot membentak. Hati wanita itu sedikit tergores, namun masih tetap kokoh menahan retak. Tidak ada wanita yang suka dibentak, sekalipun memang salah.
"Apa kau lupa tentang ayahmu mengasingkan dirimu ke rumah kakek karena kau menentangnya habis-habisan? Orang-orang tak harus hidup dengan mengikuti perkataan orang lain. Mereka punya jalan hidup sendiri, begitupun aku dan kau." Odette menegaskan. Tak mau kalah argumen. Sifat pengalah memang perlu untuk mempertahankan hubungan. Sekali ini, Odette mengabaikan komitmen itu.
"Aku dan mereka itu lain cerita. Dulu aku masih anak-anak, belum mengerti apa-apa. Mereka bukan anak-anak lagi, Odette! Aku bicara demi kebaikan mereka!"
"Demi kebaikan yang bagaimana?" Odette menyela, "Itu artinya kau mengatur hidup seseorang seperti yang kau mau."
Lancelot menyentak genggaman Odette. Kepalanya tambah pusing.
"Aku tak habis pikir kau berkata begitu. Kukira mengajakmu bertemu akan menenangkanku. Kau sama saja seperti Alucard. Jangan-jangan kau juga menganggapku orang asing?" sarkasme Lancelot seakan menikam. Odette mamandangnya tak percaya, belum pernah dilihatnya Lancelot seperti ini.
"Jernihkan pikiranmu, Lancelot." Odette mencoba tidak terbawa suasana. Nalarnya masih berkerja, setidaknya untuk saat ini.
"Kau yakin bukan kau yang harus berpikir jernih?"
Seringai Lancelot pudar seketika tepukan keras mendarat di pipinya. Sangat kuat sampai tangan ramping itu memerah dan berjejak. Odette merasakan telapaknya kebas dan berdenyut. Lancelot meraba bekas tamparan pedas di wajahnya. Keadaan semakin sunyi. Pandangan heran dari orang-orang di sekitar mereka seolah membuat lingkaran belenggu. Tak tahan lagi, Odette berlari mengakhiri perjumpaan. Ia menahan derai airmata. Mungkin Lancelot akan membatalkan pernikahan mereka dan memutus hubungan setelah ini. Jika benar terjadi, Odette menerima konsekuensinya.
Alucard lagi-lagi menahan mual. Perjalanan panjang benar-benar membunuhnya. Roll on beraroma mint terus diusapnya ke hidung. Gusion berpikir, mungkin berat berada berada di situasi Alucard sekarang. Selain membawa masalah sebagai oleh-oleh, ia juga harus diuji secara jasmani layak atau tidaknya ia menjalani hidup. Bahkan Dewi Fortuna pun sungkan memihak padanya. Ah, masa bodoh-andaikan pikiran itu bisa terbesit lagi dalam benak Gusion. Namun dia tidak bisa tak mau tau terhadap Alucard detik ini. Misi dan visi bertujuan mendamaikan dua orang berharga di hidupnya harus dilaksanakan. Dimulai dari Alucard.
"Alucard? Kau baik-baik saja?" Gusion menggait lengan Alucard.
"Sedikit." Alucard menghirup roll on-nya.
"Kau mau m-m-mampir ke rumahku?" Gusion susah payah melontarkan pertanyaan itu. Bola matanya memandang lekat-lekat pada Alucard. Mengharap reaksi kesenangan seperti biasa.
"Aku langsung pulang." jawab Alucard tanpa mengalihkan pandangan.
Gusion kecewa. Biasanya Alucard suka mampir ke rumahnya tanpa diminta. Mungkin itu juga yang terbaik. Alucard meliriknya lalu terkekeh. Ia mengerjai Gusion untuk melihat tanggapan si surai coklat.
"Yaaa, kalau kau ingin aku ke rumahmu seburuk itu, maka baiklah." Alucard menjepitkan jarinya ke hidung Gusion kemudian menariknya.
"Gaahh, itu sakit, berengsek!" Gusion berusaha menjauhkan hidungnya dari siksaan. Malahan Alucard mengencangkan jepitannya.
Ting, ting, ting, ting...
Melodi pengumuman kereta api berbunyi.
Setelah lima belas menit, kita akan tiba di Stasiun Higashi-Maizuru. Arrival track nomor XX. Pintu keluar sebelah kanan akan segera dibuka. Tolong periksa dengan saksama barang-barang Anda sebelum meninggalkan tempat. Terimakasih dan sampai jumpa kembali.
"Ugh, akhirnya nyawaku terselamatkan..." Alucard melepas tangannya, menyandarkan badan ke kursi dengan tenang. Sementara itu Gusion mengelus-elus ujung hidungnya yang memerah. Dongkol, tentu saja.
Kurung waktu lima belas menit, kereta api listrik itu berhenti sempurna. Para penumpang dengan tertib berbaris keluar kereta. Alucard menenteng tas kanvas berisi baju kotor mereka. Tangannya satu lagi mencoba meraih tangan Gusion.
"Hentikan tanganmu atau kuremukkan." ancam Gusion. Alucard cemberut.
Hiruk-pikuk stasiun kereta api Maizuru membuat Gusion melangkah hati-hati. Sudah beberapa kali dia tersenggol orang-orang. Atau dia yang menyenggol. Entahlah. Terlalu banyak orang memadati stasiun. Gusion berjalan di depan Alucard. Sengaja dilakukannya atau dia tak akan bisa melihat jalan karena tertutup tubuh Alucard.
BRUK!
Yang namanya nasib tidak bisa diterka manusia. Sekalipun kita mencoba menghindar dari nasib buruk, bisa saja terjadi di saat itu juga. Siapa yang tau? Ambillah Gusion sebagai contoh. Dia merintih kala tulang belikatnya terbentur sesuatu. Sesuatu itu adalah orang.
"Hei, jalan itu pakai mata!" orang itu memprotes saat merasakan nyeri di tempat yang sama, namun berlawanan.
Mulut tajam Gusion jadi gatal, "Itu kau sendiri yang tidak tau cara pakai mata dengan benar!" dia melotot marah.
"Hei-"
Orang itu dan Gusion melongo bersamaan ketika pandangan mereka bertemu. Gusion meneliti orang di depannya. Jaket sukajan hitam berbulu di pundak mengekspos kaus v-neck merah mudanya bersablon 'Go Ballistic'. Model rambut pirang spike mohawk. Ditambah choker hitam berduri melilit lehernya. Penampilannya jelas menggambarkan sosok yankee. Orang ini tampak familiar...
Lalu mereka saling menunjuk.
"Ah-kau!" seru mereka serempak.
Alucard yang mengenali orang itu sejak awal menghempas napas bosan. Oh, sial. Satu lagi pengganggu.
TBC
A/N: Gak tau kenapa pas nulis bagian Odette sama Lancelot berantem, pas banget lagi dengerin lagu Speechless - Naomi Scott. Apalagi pas tiba reff. Berasa lagi nonton drama dalam imajinasi.
Chap ini lebih pendek, ya. Perasaan kayaknya udah panjang banget. Mungkin karena saya bikinnya ngebut satu malam, dapet ide terus ngebet buat bikin. Sekarang jam 06.05 pagi. Time to sleep~ bye-byee~
Silakan kritik dan sarannya!
