8 Tahun yang Lalu

"Nee … Naru-chan, tahukah kamu arti di setiap daun tanaman ini?"

"Tidak. Memangnya itu apa, Kaa-chan?"

Naruto kecil yang sedang di pangkuan Kushina mulai memiringkan kepalanya, bertanya dengan polos pada sang ibu.

"Ini dinamakan semanggi. Kamu lihat 'kan di sini ada tiga daun?" Kushina menunjuknya secara bergantian. "Kepercayaan, harapan, dan cinta. Kamu bisa mengingatnya?"

"Kepercayaan … harapan … dan cinta …?"

"Benar sekali~ Naru-chan memang anak pintar~"

Naruto kecil tersenyum senang kala mendapat elusan di kepalanya. Ia selalu bisa merasa tenang ketika mendapat perlakuan itu dari ibunya.

"Tapi, tapi! Ada juga loh semanggi berdaun empat, dan itu sangat langka! Dikatakan bahwa siapapun yang menemukannya, ia akan diselimuti oleh kebahagiaan di hidupnya!" Kushina mengatakannya dengan semangat.

Naruto kecil memancarkan kilauan tertarik di kedua mata safirnya. "Benarkah itu, Kaa-chan?!"

"Tentu saja."

Wanita dewasa itu dengan gemas kembali mengelus surai Naruto—warna rambutnya begitu mirip dengan milik sang Ayah, Minato. Tingkah kepolosan anaknya memang tidak pernah membuatnya merasa bosan.

"Etto, etto … apa ada juga arti di daun terakhirnya itu, Kaa-chan?"

"Yup! Bisa kamu tebak?"

Naruto kecil menutup kedua matanya, tercipta kerutan pada alisnya. Ekspresi di wajahnya menunjukkan bahwa ia tengah berpikir cukup keras. Sekitar dua menit ia hanya terdiam.

Merasa bahwa tak akan mendapat apapun, Naruto kecil pun memilih untuk bertanya saja pada sang Ibu.

"Aku menyerah …!" teriaknya sambil mengangkat kedua tangan. Sangat lucu.

Kushina tertawa renyah melihatnya. "Baiklah, akan kuberitahu. Daun terakhirnya itu memiliki arti … keberuntungan."

"Keberun … tungan …?"

.

.

.

10/Oktober/2022

Semanggi Berdaun Empat—

By: Abidin Ren

Helai keempat pada daun semanggi memiliki makna keberuntungan—setidaknya, begitulah yang pernah dikatakan ibunya. Setelah beranjak dewasa, Naruto bukan lagi seseorang yang memiliki kepercayaan dengan hal semacam itu, terlebih lagi … kata "kesialan" itu sendiri seolah sudah menjadi bagian dari hidupnya. Apakah filosofi mengenai keberuntungan benar-benar ada?

.

Disclaimer: [Naruto] © Masashi Kishimoto & [Highschool DxD] © Ichie Ishibumi.

This Story Created by Me!

.

[U. Naruto & Ravel P.] U. Kushina

Slice of Life, Hurt/Comfort, Romance(?), Comedy

Teen+

Alternate Universe! ONESHOOT! Etc.

.

.

.

Fanfiction, Dedicated for Uzumaki Naruto's Birthday! (October 10th, 2022)

.

.

Enjoy this story~

.

.

.

Uzumaki Naruto memasuki ruang kelasnya setelah membuka pintunya cukup keras. Ternyata baru beberapa murid yang datang. Mau bagaimana lagi, ini masih cukup pagi.

Naruto berjalan menuju mejanya sambil memasang senyum lima jari andalannya. Ada satu murid berambut klimis yang melihat kedatangannya.

"Pagi, Naruto-kun! Mari tetap semangat untuk hari ini!"

"Tentu saja, Alis Tebal!" Dia menanggapi semangat masa muda Rock Lee dengan acungan jempolnya.

"Kau berisik sekali seperti biasa, Naruto."

"Yo, Shika! Kau ini tidur mulu kerjaannya. Hah~" Naruto menggeleng berulang kali.

Sebuah kepala dengan rambut bermodelkan daun nanas menyembul. Ia menguap lebar. Dia terbangun karena mendengar Naruto membuka pintu kelas. Padahal dia baru meletakkan kepalanya di atas meja sekitar lima menit yang lalu, tetapi remaja itu sudah molor? Kata pemalas memang cocok untuk orang bernama Nara Shikamaru tersebut.

"Hn."

"Apanya yang 'Hn', dasar Pantat Ayam?! Setidaknya katakan sesuatu kalau mau menyapa orang lain! Dasar," balas Naruto kesal sambil menunjuk-nunjuk kurang ajar ke wajah temannya itu.

Uchiha Sasuke tetap memasang wajah andalannya. Benar, datar seperti tembok. Naruto menghela napas pasrah, kemudian tersenyum kecil.

Biarlah, dia sudah cukup mengenal dan tahu seluk-beluk sifat teman Uchiha-nya ini. Memang percuma berdebat dengan Sasuke.

Naruto sampai di mejanya yang ada di pojok belakang dekat jendela. Tasnya itu ia taruh di gantungan samping meja.

Ia menopang dagunya, menatap kerumunan siswa-siswi yang berlalu-lalang di gerbang sekolahnya. Naruto hanya diam sampai akhirnya jam pelajaran pertama dimulai.

Tak ada kejadian menarik. Remaja berambut kuning itu mendengarkan penjelasan gurunya, melanjutkan membaca waktu disuruh, dan menjawab ketika diberi pertanyaan.

Suatu hari yang normal, 'kan? Tapi, bagi orang tertentu, tentu saja mereka merasa janggal.

"Nee, Sakura-san, tidak kah kamu merasa ada yang aneh dengannya hari ini?"

—Saat itu sudah memasuki jam istirahat. Orang yang barusan bersuara tidak melepaskan pandangannya dari Naruto yang berjalan keluar kelas.

Merasa diajak bicara, Sakura sesegera mungkin menatap teman sekelasnya yang duduk di kursi depannya. Dia memakai seragam SMA Kuoh pada umumnya, rambutnya yang berwarna pirang cerah itu ditata seolah mirip bor. Khas sekali dengan gaya rambut Ojou-sama.

Sakura mengenalnya, nama gadis itu adalah Ravel Phenex.

"Lihatlah, 'dia' bahkan buru-buru keluar kelas tanpa mengajak gerombolan genk-nya. Itu aneh," lanjut Ravel. Ia bisa melihat teman laki-laki Naruto masih berada di kelas dengan kegiatan mereka masing-masing. Biasanya waktu istirahat begini, pasti mereka itu keluar bersama-sama. Ravel tidak mengerti sama sekali.

"Aneh …? Kenapa kau berpikir begitu?" Dia malah balik bertanya. Sakura tahu betul jika yang dimaksud Ravel pastilah Naruto.

Ravel menghela satu napas panjang. "Belajar dengan tenang adalah sesuatu yang mustahil bagi 'dia'. Kamu pernah bilang 'kan, jika kamu teman masa kecilnya? Kamu pasti lebih paham mengenai sifatnya," katanya. Maklum mereka masih kelas 1, jadi belum ada genap setahun sejak Ravel mengenal Naruto.

Tidak ada keributan, tak ada bantahan ke guru; Naruto mana mungkin bisa melewatkan segala itu dalam sehari. Setidaknya, begitulah cara Ravel menilai sisi Uzumaki Naruto. Melihat pemuda itu yang hanya diam saja terasa membosankan bagi Ravel.

"Kau khawatir?"

Pertanyaan itu lekas mengundang semburat merah tercipta di kedua pipi Ravel. "A-A-Apa yang ka-mu katakan?! Aku mana mungkin mengkhawatirkan si Bo-Bodoh itu!"

"Iya, iya," balas Sakura, mengibaskan tangannya seolah main-main. Ravel bahkan bisa melihat senyum mengejek itu ditujukan padanya.

Dia makin malu karena sadar bahwa Sakura sedang menggodanya. Ravel memalingkan wajahnya ke samping, membuat Sakura menahan tawa geli.

Sebenarnya, Sakura cukup menyadari bahwa Ravel tertarik pada Naruto. Akhir-akhir ini, ia menangkap basah gadis Phenex itu yang sedang mengamati segala apapun yang berhubungan dengan Naruto. Tapi, Ravel terus saja menyangkal setiap kali Sakura berkata demikian.

"Ehm, seingatku …"

Sebelah matanya terbuka, melirik temannya yang memasang pose berpikir. Ravel memberi sedikit minat kala si Pinky itu mulai berbicara.

"… ini tanggal 10 Oktober, 'kan? Ketika hari ini tiba, Naruto selalu begitu di setiap tahunnya. Jadi, kau gak perlu khawatir, Ravel."

"Maksudmu, dia jadi remaja baik hanya di hari ini saja, begitu?"

"Nah, itu! Benar seperti itu!"

"Aneh," cibirnya. Dia mengerucutkan bibirnya.

Kenapa pula begitu? Menurut Ravel, Naruto yang tidak berbuat onar bukanlah Uzumaki Naruto. Itu seolah Ravel sedang melihat sosok yang lain saja.

Sakura diam sejenak. Sejujurnya, ia merasa tidak enak pada Naruto kalau membicarakan hal ini. Tapi jika dia pikir-pikir lagi, Naruto juga tak akan mengatakan apa-apa meski Ravel nantinya bertanya. 'Kurasa gak masalah menceritakannya?'

"Sakura-san …?"

"Ah, maafkan aku karena melamun. Ehehe~"

Ravel mengangguk singkat. "Tidak perlu dipikirkan. Jadi …?"

Sakura berdehem untuk membersihkan tenggorokannya. "10 Oktober adalah hari ulang tahun Naruto."

"Eh, kok kamu tidak memberitahuku sejak kemarin, Sakura-san?!"

Ravel baru tahu jika hari ini merupakan tanggal kelahiran Naruto. Dia mana sempat menyiapkan hadiah!

Mendapati pelototan Ravel, yang bisa dilakukan Sakura hanyalah mengatupkan kedua telapak tangannya. Itu adalah isyarat bahwa dirinya sungguh minta maaf. Ravel ingin melanjutkan mengomeli teman perempuannya itu, namun ia mengurungkan niatnya karena kini ekspresi Sakura berubah serius.

Sepertinya, perkataannya tadi belumlah selesai.

"Sekaligus …"

Kedua mata biru gelap itu melebar. Ravel menutup mulutnya kala mendengar lanjutan perkataan Sakura. Apa yang dikatakan Sakura sungguh membuat Ravel terkejut,

"… ini juga merupakan hari, ketika Ayahnya meninggal."

.

.

Semanggi Berdaun Empat—

.

.

Naruto saat ini sedang di atap sekolah, menikmati setiap gigitan roti yakisoba di tangannya tanpa ingin terburu-buru. Tatapan kedua safir itu mengarah ke bawah, pada gerombolan siswa yang sedang bertanding bola basket. Di antara mereka, Naruto bisa melihat Sasuke ikut bermain. Lelaki tampan itu mendapat sorakan dari banyak siswi, tidak sedikit pula dari mereka yang berteriak gaje.

"Kelihatannya menyenangkan," ujarnya entah pada siapa, sementara jari-jarinya menyentuh kawat pembatas. Naruto ingin sekali ikut, tetapi mengingat hari ini … ia tidak bisa melakukannya. Dia tak ingin merusak permainan mereka jika dirinya turun ke bawah sana.

Cklek.

"Oh, ada kamu di sini, Uzumaki-san."

Naruto berbalik kala mendengar sebuah suara. Di pintu atap sekolah yang sedang terbuka, ia bisa melihat sesosok gadis berambut pirang panjang. Seragam Kuoh yang dikenakannya itu menunjukkan cukup jelas bahwa ia merupakan seorang murid.

"Phenex-san, kah? Apa yang kau lakukan di sini?"

"Memakan bentō-ku, memangnya tidak boleh?"

"Ohhh. Gak ada yang ngelarang, sih …."

Setelah menutup pintunya, Ravel segera berjalan menuju kursi panjang tidak jauh dari tempat berdirinya Naruto.

Biasanya memang ada beberapa murid yang datang ke atap waktu istirahat, entah itu untuk mengerjakan tugas, memakan bekal bersama, dan lain sebagainya. Di sini juga disediakan satu kursi panjang yang muat digunakan sampai empat orang sekaligus, kursi yang mirip seperti di halte bus.

Ravel duduk di situ, membuka kotak bekalnya. Itu adalah bentō buatan rumah, isinya pun bermacam-macam; ada telur gulung, bakso goreng, sosis, sayur segar, dan beberapa lauk lainnya yang kelihatannya lezat.

Tap, tap, tap ….

"Kamu mau kemana?" Ravel menatap bingung punggung Naruto.

Naruto tetap berjalan menuju pintu. "Makan siangku sudah habis, jadi aku mau kembali ke kelas."

"Cepat sekali!" kata Ravel terkejut. Padahal dia tadi melihat jika yakisoba Naruto masih ada setengahnya.

"Tu-Tunggu sebentar!"

Langkahnya terhenti. Dia menoleh ke belakang, dan bertanya, "Apa …?"

"Kamu tega meninggalkanku sendirian di sini?" Dengan wajah memerah dan mata mengerling ke samping, Ravel menepuk-nepuk kursi sebelahnya. Sebuah isyarat!

"Setidaknya, kamu bisa me-menemaniku sebentar 'kan, Uzumaki-san?"

Naruto terdiam cukup lama. Apa dia tidak salah dengar? Ravel yang—dalam sudut pandang Naruto—memiliki penilaian tinggi mengenai pertemanan, meminta berandalan sekolah sepertinya untuk makan siang bersama?!

"Errr, kau tidak salah makan saat sarapan tadi pagi 'kan, Phenex-san?" tanya Naruto. Ia masih ragu untuk menuruti permintaan Ravel. Jarang sekali gadis itu bersikap baik padanya, yang ada setiap harinya Naruto malah kena marah melulu dengan alasan tidak jelas.

"Sudahlah cepat ke sini!" teriaknya, rona merah belum juga hilang dari pipi Ravel.

Naruto menatap kotak minuman kecil di tangannya. "Baiklah, baiklah. Tapi setelah jusku habis, aku akan langsung pergi."

Ravel menyanggupi perkataan Naruto.

Setelah berkata "Permisi~", Naruto pun duduk di samping Ravel dengan menjaga sedikit jarak. Dia menusukkan sedotan itu, dan mulai meminum jus kotak yang sebelumnya ia beli bersama roti yakisoba.

"Ittadakimasu," ujar Ravel singkat. Dia mengambil telur gulung di kotak bekalnya menggunakan sumpit. Rasa lezat segera memenuhi mulutnya. Sedikit demi sedikit, nasi di situ juga mulai berkurang.

Keduanya cuma diam tanpa ada niatan memulai pembicaraan. Semilir angin sejuk menerpa kulit mereka, rasanya sungguh nyaman sekali.

Sluuurp!

Suara itu menghentikan kegiatan Ravel. Tentu saja ia terkejut. Belum juga ada dua menit, tetapi Naruto sudah menghabiskan minumannya. Ravel bahkan belum memakan setengah dari bentō-nya!

Ravel menoleh cepat kala Naruto sudah berdiri.

Set!

Naruto tidak jadi melangkah karena merasakan pakaiannya seperti ditarik. Dia menatap bingung Ravel yang memegangi ujung blazer hitamnya. "Apa lagi?"

"Kamu sengaja?"

"Lah, tadi kan sudah kubilang, aku akan kembali ke kelas setelah jusku habis."

"Bukan itu, Bego!"

Kedua pasang mata berwarna biru itu saling bertemu; di satu sisi memancarkan keseriusan, sementara yang lain terlihat kebingungan.

Ravel melanjutkan perkataannya, "Maksudku, kamu sengaja menghindariku, 'kan?"

"Huh?"

Naruto belum mengerti kemana arah pembicaraan ini.

Ravel melepaskan ujung blazer pemuda di depannya. Dia menyuruh Naruto untuk kembali duduk, dan karena merasa ia tak punya alasan untuk menolak, Naruto hanya bisa menurutinya.

Ravel mengambil sesuatu yang sedari tadi ia sembunyikan, lalu menyerahkannya ke Naruto.

"Nih untukmu, Uzumaki-san."

—Sesuatu yang dia berikan adalah semacam kain merah berbentuk segi lima panjang, di ujung atasnya ada ikatan benang. Itu mirip sekali dengan jimat-jimat yang biasanya orang dapatkan ketika mengunjungi kuil.

"Hadiah ulang tahunmu … dariku," Karena Naruto tidak kunjung bersuara, Ravel memutuskan untuk menjelaskan alasan dia memberikan itu. Sedikit memalukan ketika mengatakan itu.

"Ah … benar. Terima kasih, Phenex-san."

Ravel tersenyum. Ia senang jika Naruto menyukai jimat pemberiannya.

"Sudah? Ini saja keperluanmu denganku? Kalau begitu, aku akan kembali ke kelas."

Ravel lagi-lagi menarik ujung blazer-nya, membawanya agar duduk di sampingnya seperti sebelumnya. "Kenapa buru-buru sekali, sih?"

Naruto menghela napasnya. Ketika melihat jimat pemberian Ravel, ia baru menyadari bahwa ada sesuatu yang menghiasi jimat di tangan kanannya. "Ini semanggi?"

Iya juga. Ada dua semanggi yang dilekatkan di tengah jimat menggunakan selotip. Terlebih lagi, keduanya memiliki empat helai daun, loh!

Ravel membusungkan dadanya, aura kebanggaan darinya dapat dirasakan Naruto. "Akhirnya kamu menyadarinya. Benar, kebetulan secara gak sengaja aku kemarin menemukannya."

"Heeee~" Nadanya bahkan terkesan tidak tertarik.

"Apa-apaan ekspresimu itu …?! Hmph!" Ravel menggembungkan pipinya cemberut, terlihat imut.

"Asal tahu saja, semanggi berdaun empat itu susah didapatkan, loh. Dikatakan bahwa siapapun yang memilikinya, kebahagiaan akan selalu ada di dekatnya!"

"Itu legenda lama. Kau sekarang terdengar seperti nenek-nenek saja, Phenex-san."

Rona merah muncul di kedua pipi Ravel. "Hmph, tidak sopan sekali. Memangnya kamu tidak percaya?"

"Entahlah. Mungkin umurku saat ini sudah tidak membiarkanku untuk percaya dengan yang seperti itu," jawabnya ngawur.

Ravel mengerucutkan bibirnya. Ia ngedumel tidak jelas karena perkataan Naruto tadi.

"Kamu mungkin tidak memahaminya, jadi akan kuberitahu. Setiap daun semanggi ini memiliki arti—"

"Kepercayaan, harapan, cinta, dan keberuntungan."

Naruto sengaja memotong perkataan Ravel. Pemuda itu tersenyum kemenangan kala menyadari delikan kesal dari arah sampingnya. "Tentu saja aku tahu. Jangan meremehkanku, Phenex-san."

Naruto tertawa lepas melihat gadis di sampingnya yang masih kesal. Ravel memang tidak begitu suka ketika ada yang menyela penjelasannya. Dia memalingkan wajahnya sambil bersedekap dada.

"Berisik tahu," kritik Ravel karena Naruto tidak menghentikan tawanya.

Namun bukannya berhenti, Naruto justru semakin keras tertawa. Sungguh, ekspresi marah Ravel malah terlihat lucu di mata Naruto.

Ravel melirik ke samping, dan seulas senyuman kecil pun tercipta di wajahnya. 'Akhirnya dia kembali seperti dirinya yang biasanya,' batinnya.

Memang Naruto yang bersikap diam dan sok cool malah terlihat membosankan bagi Ravel. Justru sebaliknya, sifatnya yang selalu berisik karena ingin diperhatikan orang di sekitarnya itulah, yang membuat Ravel jadi tertarik untuk mengamatinya setiap saat.

Setelahnya, tak ada pembicaraan lagi yang mereka lakukan. Keduanya terdiam selama hampir lima menit. Naruto malah asyik sendiri menatap lekat-lekat dua semanggi di depannya.

Kedua mata Ravel tidak lepas memandang isi kotak bentō-nya yang masih tersisa banyak.

"Aku sudah mendengar semuanya dari Sakura-san, mengenai hari ini," katanya tiba-tiba.

Ah, jadi itu mengapa Ravel menjadi lebih lembut hari ini ketimbang biasanya? Memang awalnya terasa aneh, tetapi sekarang Naruto mulai paham kenapa Ravel bersikap begini padanya.

"Begitu, ya." Naruto hanya membalasnya singkat. Ia berubah merenung.

Jika Sakura sudah menceritakannya, berarti Naruto tidak perlu lagi untuk berkata apapun, 'kan?

"Hari ulang tahun seharusnya menjadi hari yang membahagiakan semua orang. Bukankah aneh jika kamu malah menyendiri dan menghindari teman-temanmu?"

Naruto melirik sekilas Ravel, kemudian mendongak. Langit hari ini begitu cerah. "Mau bagaimana lagi? Jika hari ini aku dekat dengan mereka, mungkin mereka akan mendapat kesialan karena aku."

10 Oktober adalah hari kelahirannya ke dunia ini. Entah kenapa, setiap hari itu tiba … Naruto selalu merasa pasti ada satu kejadian buruk yang terjadi, dan itu berhubungan dengannya.

Ketika merayakan hari ulang tahunnya yang ke-8, kue ulang tahunnya malah jatuh ke lantai hingga berantakan. Lalu pada umurnya yang ke-10, Ayahnya yaitu Minato, meninggal setelah menyelamatkannya yang hampir tertabrak mobil ketika dirinya berlarian di jalanan. Ada juga waktu dirinya berumur 13 tahun, Naruto saat itu baru pulang dari sekolah. Dia melihat seekor kucing yang terjebak di atas pohon cukup tinggi, jadi ia berniat untuk menolong menurunkannya. Memang kucing tadi selamat tanpa luka, namun fakta bahwa kakinya yang patah dikarenakan jatuh dari ketinggian itu, Naruto harus bisa menerimanya. Pada akhirnya, ia dirawat di rumah sakit selama lebih dari 1 minggu.

Selain tiga kejadian itu, sebenarnya masih ada kejadian buruk lagi di setiap tahunnya, dan itu selalu bertepatan di hari ulang tahunnya ini.

Setelahnya, Naruto memutuskan jika dia tidak boleh mendekati temannya khusus di hari ulang tahunnya, atau nanti mereka akan mendapat kesialan. Ketika ada yang mengajaknya keluar pun, ia menolaknya secara halus. Seperti tadi juga, ia ingin cepat-cepat menjauhi Ravel agar gadis Phenex itu tidak mengalami hal aneh nantinya.

"Mungkin saja, ada yang mengutukku. Ahaha~"

—Suatu kebiasaan dari sifat Naruto yang tidak ingin membuat teman-temannya khawatir, karena itulah ia selalu bersikap ceria di depan mereka.

Tapi, meski Naruto terlihat tertawa lepas begitu, Ravel entah kenapa bisa melihat kesedihan jauh di dalam hati pemuda itu. Dia sebenarnya kesepian, namun tetap menyembunyikannya dari orang-orang di sekitarnya. Menyadari hal itu, rasanya cukup menyesakkan dada Ravel.

"Kemarikan wajahmu." Jari telunjuk Ravel bergerak maju-mundur berulang kali.

Naruto memandangnya bingung, namun tetap melakukan apa yang diperintahkan gadis di sampingnya. Dia tak punya pilihan untuk menolaknya karena melihat ekspresi Ravel cukup serius.

Dia mencondongkan tubuhnya ke samping. Wajahnya berhenti setelah tersisa dua jengkal di depan wajah Ravel. "Lalu apa?"

"Tutup matamu."

Naruto lqgi-lagi mengikuti arahannya.

"Hmm, kau tidak akan mengerjaiku—"

Ctak!

"Ittai!"

Merasakan sakit di dahinya, tentu saja secara refleks Naruto menarik mundur kepalanya. Sepasang safir itu menatap tajam Ravel yang kini menjulurkan lidahnya, seolah mengejeknya.

"Ba~ka. Kamu 'kan tidak percaya dengan keberuntungan yang diberikan semanggi, jadi untuk apa kamu percaya dengan yang namanya kutukan?"

"Eh …?"

Mengabaikan dahinya yang masih memerah akibat mendapat sentilan Ravel, Naruto kini tertegun dengan mulut terbuka. Kata-kata gadis itu terngiang-ngiang di kepala kuningnya.

'Dipikir-pikir, dia benar juga. Kenapa pula aku malah percaya dengan sesuatu yang tak kasat mata?' batin Naruto pada dirinya sendiri. Lamunannya buyar tatkala mendengar suara dari sampingnya yang sedang menahan tawa.

"Pfft! Ahaha~ wajahmu lucu sekali, Uzumaki-san!" Jarang-jarang Ravel melihat ekspresi polos Naruto. Ia tidak tahan untuk tidak tertawa.

Ravel mengusap air mata yang menumpuk di pelupuk matanya karena kebanyakan tertawa. Dengan suara yang begitu lembut, ia berujar, "Terserahlah. Tidak apa-apa jika kamu percaya dengan kutukan atau semacamnya, itu berarti jimat yang kuberikan padamu tidak akan sia-sia."

Seperti yang diketahui sebelumnya, Ravel sudah mendengar semua masalah Naruto dari Sakura. Itulah mengapa, ia memutuskan memberinya hadiah ulang tahun berupa jimat dengan semanggi berdaun empat; harapannya agar Naruto bisa menjadi lebih tenteram ketika menjalani hari-harinya. Dia tidak tahan jika harus terus melihat tawa palsu yang dibuat Naruto, seperti di hari ini … sejak pagi tadi.

"Maaf jika terkesan sederhana. Aku tadi membuatnya sedikit terburu-buru setelah meminjam peralatan dari klub kesenian."

"Padahal kau gak perlu repot-repot melakukannya," balas Naruto. Ia merasa tidak enak karena menyusahkan Ravel sampai-sampai menyiapkan hadiah untuknya.

Naruto sudah sering mengatakannya pada teman dekatnya, seperti Sakura maupun Sasuke. Jika mereka berniat memberinya hadiah ulang tahun, pastikan mereka memberinya di hari berikutnya saja.

"Tidak perlu dipikirkan. Jika demi kamu …" suaranya semakin mengecil ketika menuju akhir perkataannya, "… aku tidak akan merasa direpotkan, kok."

"Souka? Tapi rasanya jadi aneh."

Naruto sepertinya tidak begitu memahami arti perkataan Ravel.

Rona merah muda kembali menjalar ke seluruh wajahnya. Ravel jadi malu karena mengingat perkataannya sendiri. 'Memangnya aneh berusaha membuat bahagia orang yang kusuka? Baka.'

Sebelah alisnya terangkat, ia bingung kenapa wajah gadis itu semakin memerah. "Hei, kau kenapa, Phenex-san?! Apa kau demam?"

Mungkin karena udara panas matahari? Bagaimana pun, mereka berdua sudah terlalu lama berada di atap sekolah. Begitulah yang disimpulkan Naruto.

Jantungnya berdetak lebih kencang ketika tangan Naruto menyentuh dahinya. "Uhm, a-aku baik-baik saja."

"Benarkah …?"

"Iya!"

Dia menatap takut-takut ke arah Ravel. "Aku 'kan bertanya … baik-baik. Tidak perlu berteriak juga kali."

"Hmph!"

Naruto memang tidak peka! Ingin sekali Ravel menghujam kepala duren itu karena kekesalannya terus dibuat naik sejak tadi.

Mereka tiba-tiba dikagetkan dengan suara bel sekolah. Waktu istirahat ternyata sudah selesai.

"Ahh …."

Ravel teringat jika makan siangnya belum habis. Jika ia membuangnya, bukankah itu akan mubazir sekali?

"Uzumaki-san, bantu aku menghabiskan ini!"

"Kenapa aku? Kau bisa membawanya pulang."

"Kalau nanti sore sudah keburu basi. Mubazir tahu."

Helaan napas ia lakukan. Naruto cukup keberatan dengan saran Ravel. "Lagipula cuma ada sepasang sumpit, 'kan?" Dia masih berusaha untuk menolaknya.

Ravel tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk seolah sudah menemukan jawaban atas pertanyaan Naruto. "Akan kusuapi."

Ravel tidak ragu sedikitpun kala mengatakannya, membuat Naruto sangat terkejut. Ia memegang sumpit itu di tangan kanannya, dan mengambil sepotong sosis. Dia mengarahkannya ke mulut Naruto.

"Tunggu-tunggu-tunggu!" Dia menghentikan tangan Ravel, ekspresinya tidak berubah. 'Bukankah ini bisa dianggap ci-ciuman tidak langsung?!' batin Naruto panik sekali.

"Sudahlah, jangan banyak alasan! Nanti keburu Sensei masuk ke kelas!"

Pada akhirnya, sayang sekali usahanya gagal. Ravel tetap memaksa memasukkan makanan itu ke mulutnya, hingga Naruto tersedak karena perbuatan gadis itu sedikit kasar.

Karena tidak mungkin dirinya memuntahkan apapun makanan yang sudah di dalam mulutnya, Naruto pun menelannya. Kedua matanya melebar tidak percaya. "Aku pikir kau tidak ingin menghabiskannya karena rasanya aneh, tapi … ini berbeda. Aku terkejut makanannya sangat lezat."

Ravel tampak tersinggung. "Memangnya aku tadi terlihat ingin muntah setelah makan bentō ini?"

Mengabaikan keadaan Ravel, Naruto malah bertanya dengan semangat, "Di toko mana kau membelinya? Aku mungkin akan coba membelinya juga."

"Ini buatanku sendiri, Uzumaki-san. Aku jarang beli makanan di luar."

"Eeeeh? Kau bisa memasak …?"

"Hmph! Dasar tidak sopan!"

Ravel kembali menyuapi Naruto dengan kasar. Jangan salahkan dia, salahkan saja Naruto karena tidak bisa membaca suasana hati seorang perempuan!

Dia terbatuk-batuk. "Uhuk, uhuk! Tidak bisakah kau pelan-pelan melakukannya?" protesnya.

"Biarin~" Lidah Ravel sedikit menjulur keluar untuk mengejek pemuda itu.

Selesai adu mulut sebentar, mereka berdua pun mulai memakan bentō-nya bersama-sama.

Sudah lama sekali sejak Naruto merasa sesenang ini di hari ulang tahunnya. Ia tidak pernah membayangkan akan berbincang sedekat ini dengan Ravel, karena bagaimana pun … sejak awal pertemuan mereka di hari pembukaan SMA Kuoh sampai pada hari kemarin, keduanya tidak pernah terlihat akur. Yang ada, ketika dirinya mencoba dekat dengan Ravel, Naruto selalu kena cercaan darinya.

"Nani …? Kamu pasti baru saja berpikiran mesum."

"Bukaaaaan!" teriak Naruto gelagapan. "Aku tidak seperti si Issei! Kalau kau mengungkit masalah waktu pembukaan sekolah saat itu, sudah kubilang kejadian itu tidak disengaja."

Ketika mendebatkan itu, Naruto dan Ravel sudah di koridor dalam perjalanan menuju kelas mereka.

Ravel masih tidak percaya. "Heee~ lalu kenapa kamu tadi senyum-senyum begitu?"

Naruto terdiam, bingung harus berkata bagaimana. Jari telunjuknya menggaruk-garuk pipinya, ia bersikap sangat canggung. "Aku hanya berpikir, cukup menyenangkan berada di dekatmu, Phenex-san. Kuharap kita bisa terus berteman seperti ini."

Ravel tertegun, bibir ranumnya sedikit terbuka. Apakah dia sudah membuat sedikit kemajuan dengan pemuda ini? "E-Ehem! Baiklah, kalau ka-kamu memaksa, aku tidak keberatan untuk menjadi temanmu," katanya, kemudian mengibaskan rambut bergelombangnya itu menggunakan sebelah tangan.

"Serius?!" Naruto padahal tadi hanya ingin bergurau, ia tak menyangka jika Ravel akan menyetujuinya.

"Kalau begitu, mungkin kita bisa memulainya dengan memanggil satu sama lain dengan nama depan kita masing-masing, bagaimana?" Ravel-lah yang mengusulkan itu. Dia ingin lebih mengenal sosok Naruto dan dekat dengannya, meski jika itu hanya sedikit … di setiap harinya.

Naruto mengangguk. "Kalau begitu …, Ravel-san?"

Ravel membalasnya dengan senyuman senang. "Uhm! Untuk ke depannya, mohon kerja samanya, Naruto …-san?"

Dia awalnya bingung untuk memakai suffiks apa, tetapi akhirnya memutuskan seperti sebelumnya saja.

Itu hanya awal dari perubahan yang akan terjadi di kehidupan mereka berdua. Banyak lagi masalah yang kemungkinan menanti mereka berdua, siapa yang tahu 'kan?

Naruto menggenggam erat jimat pemberian Ravel di tangan kanannya. Ia teringat dengan perkataan ibunya ketika dirinya masih kecil. 'Kaa-san benar, sepertinya aku terlalu meremehkan kekuatan semanggi berdaun empat, yah?'

Tamat!

(Lagu Penutup: Menunggu Kamu — Anji)

.

.

.

[A/N]:

HAPPY BIRTHDAY MY BEST MC, Uzumaki Naruto!

Aku baru sadar kalau tahun 2021 kemaren aku gak nulis cerita sebagai peringatan ulang tahunnya dia. Haah~

Yah, aku akan anggap saja Fic ini sebagai cerita masa lalu dari Fic-ku sebelumnya yang berjudul "Forever, with You".

Oh ya, kalau gak salah kemaren tanggal 3 Oktober adalah perayaan 20 tahun perilisan anime-nya pertama kali, jadi bisa kita anggap kalau umur Naruto 20 tahun juga kah? (Tapi faktanya dia dah punya anak dua. WKWKWK.)

Maaf jika terlalu amburadul ceritanya. Aku tutup aja sampai sini, dan … sekian. Jaa ne!

Tertanda, [Abidin Ren]. (10/Oktober/2022).