"Halilintar ... mulai besok, kamu nggak perlu ke sini lagi."

Si pemilik nama tertunduk di seberang meja. "Aku minta maaf, Paman ..."

Paman Kumar menghela napas, lalu menggeleng sekali lagi. "Maafmu tidak bisa mengembalikan apa yang sudah terjadi." Pria berkulit cokelat itu meletakkan sebuah amplop putih di atas meja. "Ini gajimu yang terakhir. Pulanglah."

Halilintar mengangguk lesu, menerima amplop itu, lalu keluar dari ruangan. Ada Gopal yang berdiri dengan gelisah di balik pintu itu dan menyaksikan kekecewaan berat di wajah kawannya.

"Appa memecatmu?" tanya pemuda India itu pelan-pelan, yang tidak dijawab oleh Halilintar yang berjalan terus, keluar dari restoran itu.

"Hei, Hali!" Gopal bergegas mengejarnya, takut akan ada ledakan susulan setelah kejadian sejam yang lalu. Salah satu staf tetap di restoran itu tak sengaja menumpahkan minuman ke lantai yang sudah dipel oleh Halilintar, membuat pemuda itu meledak marah dan membentaknya. Staf bersangkutan, yang meski masih muda tapi ternyata punya gangguan kesehatan jantung, begitu terguncang sampai pingsan. Untungnya, setelah dibawa ke rumah sakit, keadaannya membaik. Tentu saja Paman Kumar selaku pemilik restoran tak akan mau hal yang sama terulang lagi, meskipun staf paruh waktu yang satu ini adalah teman sekelas anaknya di sekolah.

Gopal mengeluarkan ponsel dan merepet dalam tulisan,

"Fang ... bantu aku!"

.

.

.

.

.

BoBoiBoy © Monsta

Paenitentia © Roux Marlet

An alternate universe with grown-up characters.

Rating: T

Genre: Slice of Life, Friendship, Angst

-the author gained no material profit from this work of fiction-

[Written for World Mental Health Day - October 10, 2022]

.

.

.

.

.

***...***...***...***

***PAENITENTIA***

***...***...***...***

.

.

.

.

.

Halilintar memacu langkahnya menuju sepetak tanah kosong dekat bangunan tak terpakai dan berteriak keras-keras. Pemuda itu berjongkok di tanah dan meninju-ninju ke bawah, melampiaskan amarah yang entah seharusnya kepada siapa.

Lagi-lagi, sifatnya yang gampang marah membuatnya dipecat dari pekerjaan. Bulan lalu, dengan kebaikan hati kawannya yang lain, Fang, Halilintar bisa sedikit menabung dari bekerja paruh waktu di kios binatu milik abang Fang. Kejadiannya hampir sama: salah satu staf di sana tak sengaja mengotori tumpukan baju kering yang sudah disetrika Halilintar dan dia meledak marah. Kaizo langsung memecatnya detik itu juga.

Wajah Halilintar terasa panas selagi mengingat kembali apa yang mendorongnya—memaksanya—untuk mencari kerja. Dia tak sadar telah memukul tanah yang tak bersalah begitu keras sampai tangannya mulai berdarah. Barulah saat ada tangan lain yang menahannya, Halilintar mendongak.

"APA?!" salaknya galak. Matanya bertemu pandang dengan sepasang netra merah di balik kacamata.

"Tanganmu berdarah," balas Fang singkat. Gopal berdiri agak jauh di belakangnya, mengamati dengan takut-takut.

"Lepaskan aku!" bentak Halilintar sambil meronta, tapi cengkeraman Fang di pergelangan tangannya begitu kuat.

"Kamu sudah makan?" tanya Fang datar. Halilintar terdiam mendengar pertanyaan retoris itu. "Aku masih ada beberapa potong donat wortel. Ayo, makan dulu."

Gopal tahu, makanan bisa menjinakkan Halilintar yang tengah mengamuk. Namun, donat wortel yang dibawa Fang ternyata kurang banyak.

"Aku, 'kan, memang nggak nawarin kamu, Gopaaaaal!" Fang menjitak dahi pemuda gempal itu.

"Lihat Hali makan, aku juga ikut lapar, Faaaang," sahut Gopal sambil memelas.

Halilintar sudah menghabiskan lima potong donat dan Gopal dua potong. Pemuda yang disebut pertama mengunyah makanannya cepat-cepat dengan raut merengut, meski sudah mengucap terima kasih pada Fang yang beberapa minggu terakhir memang sering memberinya donasi makanan. Gopal pun terkadang memberi Halilintar sisa makanan dari restoran ayahnya yang masih layak dimakan.

"Jadi ... apa yang terjadi?" Fang membuka percakapan. Baik Halilintar maupun Gopal sudah selesai makan dan sama-sama terdiam sejenak.

"Halilintar dipecat Appa," gumam Gopal pada akhirnya, nyaris berbisik.

Fang tidak akan bertanya alasannya karena dia sudah bisa menebak. Dia menanyakan hal lain,

"Hali, kamu masih tinggal di rumah itu?"

"Aku nggak punya tempat tinggal lain," dengus yang ditanya.

Gopal angkat bicara, "Tiga bulan lagi ujian kenaikan kelas. Kamu harus pindah tempat biar bisa fokus belajar."

"Ngomong gampang, Gopal. Aku niat mau nabung buat ngekos aja, nggak ada terus rezekinya."

"Paksa Mama kamu kasih warisan, lalu kamu pindah rumah aja," usul Gopal setengah hati.

"Sembarangan! Mamaku belum mati, ya!" bentak Halilintar.

"Hei, Gopal cuma bercanda. Iya, 'kan, Gopal?" Fang menyikut si gempal.

"Ouch! I-iya, Hali, maaf." Gopal meringis, mengusap rusuknya yang kena sikutan. "Tapi ... bulan depan, kamu bakal berumur delapan belas." Gopal menyambung, lalu bertukar pandang muram dengan Fang.

"Ya. Sebelum itu, aku harus sudah dapat tempat kos," Halilintar mendeterminasi.

.

.

.

.

.

***...***...***...***

***PAENITENTIA***

***...***...***...***

.

.

.

.

.

Gopal ingat ketika pertama kali bertemu Halilintar di awal tahun ajaran baru kelas satu sekolah menengah. Pemuda India itu sudah setengah memaksa Fang untuk ikut mendaftar Klub Memasak di sekolah yang terancam ditutup kalau anggotanya tidak mencapai tiga orang. Fang, yang sudah menjadi kawannya sejak sekolah dasar, setuju ikut dengan imbalan selusin donat wortel. Gopal hanya perlu tambahan satu orang lagi, tapi sulit sekali mencarinya. Suatu ketika, pada jam kegiatan klub, terlihat Halilintar yang duduk seorang diri di pojokan kantin. Semua klub kecuali Klub Memasak telah memulai kegiatannya di hari itu, dan dengan sendirinya Halilintar menunjukkan bahwa dia belum mengikuti klub apa pun. Gopal, yang sangat bersemangat karena menemukan calon anggota terakhir, menarik Fang untuk mengajak Halilintar bergabung.

"Halo," ucap Gopal riang, lalu mendadak surut semangatnya melihat raut wajah Halilintar yang angker. Dahi pemuda itu berkerut dalam dan mulutnya merengut, sorot matanya yang beriris merah memancarkan kekesalan. Sungguh wajah yang sangat tidak bersahabat.

"Mau apa kalian?" balas Halilintar, nada suaranya sama tak ramahnya dengan raut mukanya. Di tangannya ada sebungkus roti yang Gopal tahu harganya paling murah di kantin.

"K-k-kami ... Klub Memasak ..." Gopal terbata-bata, menyesali keputusannya. Orang ini sungguh menakutkan!

Halilintar menyahut dingin, "Aku nggak ikut klub."

"Bukannya tiap siswa harus ikut minimal satu klub?" sela Fang dengan suara pelan, mengutuk Gopal dan sifat penakutnya yang berlebihan. Siapa yang lagi butuh anggota, sih?

Halilintar masih mengunyah suapan terakhir rotinya, lalu meremas bungkus plastik itu kuat-kuat sambil bangkit berdiri.

"Mamaku pelacur. Puas kalian?!"

Kedua pemuda lawan bicara Halilintar terhenyak kaget. Halilintar melemparkan sampahnya ke dalam tong yang terbuka dan sudah mau angkat kaki, tapi Gopal menahannya dengan tangan yang berkeringat dingin.

"Ng-nggak masalah. Yang ikut klub, 'kan, kamu. B-bukan Mamamu."

Halilintar tertegun dan menoleh, menatap Gopal yang gemetar ketakutan tapi mencoba tersenyum.

"Dengan ikut klub memasak, kamu bisa dapat makanan gratis," imbuh Fang, yang menduga hal itu sangat penting untuk si pemuda, menilik pakaian seragamnya yang juga lusuh. "Tapi dengan catatan, masakanmu layak dimakan, lho, ya."

"Tenang saja, Gopal anak lelaki Kumaran ada di sini! Semua makanan, pasti jadi enak!" Si empunya nama membusungkan dada, terlihat lebih percaya diri saat menyebutkan keahliannya.

"Namaku Fang, aku temannya Gopal yang sering dia utangin karena lupa bawa uang jajan. Siapa namamu?"

"Oi, Fang!" protes Gopal.

Sudut bibir Halilintar berkedut, seolah menahan tawa. Tubuhnya yang kurus berguncang sedikit saat ia akhirnya terkekeh pelan dan Fang baru melihat bahwa ada luka memar di pelipis kirinya.

"Aku Halilintar."

Gopal segera mengulurkan tangan antusias.

"Selamat datang di Klub Memasak, Halilintar!"

.

.

.

.

.

***...***...***...***

***PAENITENTIA***

***...***...***...***

.

.

.

.

.

Gopal dan Fang dengan cepat mendapati bahwa Halilintar sebetulnya pemuda yang baik, tapi stigma dan diskriminasi yang dialaminya membuatnya jadi seperti itu.

"Ketiduran di kelas lagi?"

"Memangnya kalau malam dia ngapain, coba, sampai nggak tidur?"

"Yaa … tahu sendiri, dia, 'kan, anaknya … ehem."

Beberapa cibiran sadis kerap terlontar kalau Halilintar dihukum oleh guru karena tertidur saat kelas berlangsung. Sering Halilintar terlibat perkelahian karena siswa lain mengejeknya di luar jam pelajaran. Hanya segelintir orang yang tahu, bahwa skill berantemnya Halilintar itu juga dipakainya untuk mengusir siswa berandal dari sekolah lain yang suka mengusik para siswi.

Lagipula, kesulitan yang dihadapi Halilintar bukan hanya dari orang-orang di sekolah ...

"Gilaaaaaa! Aku bisa gilaaa kalau begini terus!" Halilintar melemparkan kantung-kantung terigu dengan gusar.

"Kenapa, Hali?" tanya Gopal, sementara Fang bergegas mengecek terigunya apakah bocor atau tidak. Perlu dicatat, kantung terigu itu bukan main besarnya, dan Halilintar kuat membanting benda itu barusan?!

"Hali, berhenti, jangan banting-banting bahan makanan," gerutu Fang yang cukup lega tidak menemukan butiran tepung di lantai.

Halilintar tidak menyahut, hanya mendengus gusar sambil bertopang dagu.

"Hali, kalau ada masalah, kamu bisa cerita pada kami," bujuk Gopal sambil mendekat pelan-pelan, yang juga tidak mau ruangan klub memasak berubah jadi kapal pecah.

"Mulai hari ini, Mamaku nggak ngasih aku makan dan uang saku lagi," sahut Halilintar dengan suara serak. "Dia bilang, kalau aku mau uang, aku harus kerja seperti dia."

Mata Gopal segera berkaca-kaca. Fang ikut mendekat tapi juga hanya bisa diam. Halilintar kemudian meledak di ruangan itu, untungnya hari sudah sore dan tidak ada lagi benda di sekitarnya yang bisa dibanting.

"KALAU NGGAK NIAT MEMBESARKAN ANAK, NGAPAIN PUNYA ANAK, COBA?!" raung pemuda itu, murka pada seseorang yang tidak berada di sana. "MENDING AKU MATI DARIPADA KERJA BEGITUAN!"

Gopal dan Fang tak bisa berkata apa pun untuk menghibur Halilintar. Mereka hanya mendengarkan umpatan yang tak kunjung putus sampai pemuda itu kehabisan tenaga untuk marah-marah lagi. Hari sudah menjelang malam ketika Fang melontarkan usul,

"Hali, kamu coba kerja paruh waktu saja. Itu, kios fotokopi depan sekolah, mereka pernah bilang kekurangan pegawai."

.

.

.

.

.

***...***...***...***

***PAENITENTIA***

***...***...***...***

.

.

.

.

.

Sejak mencoba kerja part time di kios fotokopi setengah tahun yang lalu, Halilintar sudah tujuh kali dipecat dari tujuh tempat kerja yang berbeda. Kios binatu Kaizo adalah yang keenam dan restoran Paman Kumar yang ketujuh.

Gopal masih punya ide lain, "Aku tahu! Hali jadi driver ojek online aja! 'Kan, itu bekerja sendiri, nggak bekerja dengan staf lain?"

"Sama aja. Kalau penumpang nanti telat, Hali marah lagi? Masa, mau mendamprat penumpang?" balas Fang skeptis.

Halilintar menunduk dan mengacak rambutnya dengan tangan yang sudah diperban oleh Fang. Mereka kini duduk di bagian depan restoran ayah Gopal, di area makan terbuka yang sedang tidak ada pengunjung.

"Sifat pemarahmu itulah yang bikin kamu nggak bisa lama-lama di tempat kerja," tutur Fang apa adanya.

"Aku tahu!" gerutu Halilintar. "Kalian sendiri juga tahu apa sebabnya aku suka marah-marah."

Gopal tiba-tiba bergidik ketika ingat salah satu cerita Halilintar sejak dia masih kecil. Dia terpaksa belajar malam-malam, mengganjal pintu kamarnya dengan kursi dan banyak benda lain, menyumpal telinganya dengan kain lapuk, karena sang Mama mengundang pelanggannya ke kamar sebelah. Halilintar takut kalau dirinya sampai ketiduran, lalu akan ada orang yang masuk ke kamarnya dan melakukan entah apa terhadapnya. Betapa susahnya menjalani masa sekolah yang seperti itu, tak heran Halilintar pernah tinggal kelas dan umurnya saat ini dua tahun lebih tua dari Fang dan Gopal meski mereka satu kelas.

"Suka marah-marah membuatmu cepat tua, tahu," tegur Fang.

"Biar saja. Aku bakal senang kalau aku cepat mati."

"Hali," gumam Gopal dengan nada serius, "Appa pernah bilang, ucapan adalah doa. Hati-hati dengan ucapanmu."

"Apa kalau aku bilang 'aku punya uang' maka itu bisa terjadi?" Halilintar melontarkan pertanyaan itu masih dengan nada sinis. Dia menggeram lagi. "Payah. Kalau aku sampai nggak punya uang lagi buat bayar sekolah dan makan, apa aku jual ginjal saja, ya? Itu masih lebih baik daripada jual diri." Halilintar mengerang frustrasi sambil membenamkan wajahnya di antara kedua tangan di atas meja.

"Jual ginjal? Badan kurang gizi sepertimu, ginjalnya mana laku—ukh," sengal Gopal ketika lagi-lagi disikut oleh Fang.

"Hah? Bilang apa barusan?" Halilintar mendongak karena kurang mendengar dengan jelas.

"Nggak, bukan apa-apa," dengus Fang, sekali lagi melotot ke arah Gopal yang bicaranya suka seenaknya. Mau memicu bom meledak, ya? "Hei, Gopal, kayaknya ada yang mencarimu."

Terdengar suara, "Gopaaaal. Di situ kamu rupanya!"

"Eh?" Gopal menoleh ke pintu restoran yang terbuka lalu melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. "Haiii, Duri! Lama nggak kelihatan!"

Pemuda yang dipanggil Duri itu berlari mendekat dengan lincah. "Ehe, iya, kah? Kamu yang jarang datang ke sini, Gopal. Aku ke sini hampir tiap hari, memasok sayur untuk Paman Kumar."

Gopal menggaruk kepalanya, salah tingkah. Akhir-akhir ini, dia memang jarang mendatangi restoran sang ayah karena sering belajar bersama Fang dan Halilintar sampai menginap, sekalian memfasilitasi kawannya yang butuh tempat tinggal alternatif dan asupan makanan itu. Halilintar tidak mau sering menumpang sebagai benalu, makanya dia minta bekerja di tempat usaha keluarga Fang dan Gopal. Meski berakhir dengan malapetaka seperti hari ini.

"Ooh, apa karena kalian sudah mau ujian, ya?" celetuk Duri sambil memandangi Fang dan Halilintar.

"Iya, benar," sahut Gopal.

"Masa sekolah, masa paling indah, heheehe," kekeh Duri bijaksana.

"Lho, Duri memangnya sudah umur berapa?" Gopal keheranan, mengira orang ini seumuran dengan dirinya.

"Coba tebak!"

Gopal melirik Halilintar sekilas, lalu menjawab, "Umm. Delapan belas?"

Duri terkikik senang. "Wah, aku seawet muda itu, ya?" Pemuda itu menahan senyumnya. "Betul, delapan belas ... tapi dikali dua, hehehe."

"Alamak," gumam Gopal dan Fang bersamaan. Halilintar juga mengernyit heran.

"Sayur dan buah adalah kunci awet muda!" ucap Duri, promosi dengan antusias.

"Hehehe. Benar juga, sih." Gopal mengamini. "Bagaimana kabar rumah pohonmu?"

Senyum Duri melebar. "Ah, pas sekali kamu tanyakan, Gopal. Kabarnya baik, tapi ... sebentar lagi aku bakal butuh pegawai, nih."

Telinga Halilintar menegak mendengarnya.

"Oh, apa Nut resign?" tanya Gopal.

"Iya, dia mau melanjutkan kuliah di luar kota. Siapa yang akan mengurus rumah pohonku nanti …?"

"Kamu butuh orang untuk mengurus rumah pohon?" ujar Halilintar, tiba-tiba nimbrung pembicaraan. Fang mengernyit menatapnya, agak tak setuju karena kurang sopan karena dari tadi Duri bicara dengan Gopal, tapi menimbang-nimbang bahwa itu ide yang bagus. Bekerja di rumah pohon tidak melibatkan hubungan dengan staf lain, kecuali ...

"Hiiiiiiiiiiy. Jangan, Hali, jangan! No, no, BIG NO!" Gopal merepet sambil menyilangkan tangannya di depan dada. "Habislah nanti Duri kamu bentak-bentak. Kasihan dia yang hati dan tampangnya Hello Kitty ini."

… ya, tidak ada interaksi dengan staf lain kecuali dengan pemilik kerjanya sendiri.

"Lho, aku nggak bisa ngebentak orang yang jauh lebih tua dariku," bantah Halilintar sambil merengut.

"Menurutmu, Duri terlihat jauh lebih tua darimu, nggak?" balas Gopal.

Halilintar menatap Duri, yang menatapnya balik dengan sorot pandang ingin tahu.

"Nggak," jawab Halilintar lugas. "Kalau tadi kalian nggak bahas umur, aku kira dia masih anak kuliahan."

"Nah, itu dia! Jadi, masih ada kemungkinan Duri bakal kena sambaran amuk Halilintar!" Gopal menuding kawannya yang pemarah.

Halilintar menepis jari telunjuk gemuk itu. "Tapi, aku butuh kerjaan yang masuk akal, Gopal!"

"Jangan kerja ke Duri juga, kali! Cari yang lain!" Gopal masih mengelak.

Duri angkat bicara, "Umm … aku kurang paham apa masalah kalian, tapi aku memang perlu satu orang untuk menjaga rumah pohonku selama aku pergi ke Jerman … mulai lusa."

.

.

.

.

.

***...***...***...***

***PAENITENTIA***

***...***...***...***

.

.

.

.

.

"Nggak mau, Mama, nggak mau, aku masih kecil."

"Tapi, kamu itu manis dan ganteng, Halilintar, anak Mama."

"Aku banyak pe-er ..."

"Pe-er bisa dikerjakan nanti."

Halilintar kecil menangis putus asa saat ditarik sang ibu menuju ke kamar besar. Dia menyentakkan tangannya, kabur, lalu meringkuk ketakutan di bawah lemari baju. Ibunya, yang tidak bisa meraihnya untuk keluar, akhirnya menyerah.

"Halilintar memang masih kecil ... Mama akan tunggu kamu jadi besar, Sayang."

Seiring waktu, badan Halilintar tak lagi cukup untuk dibawa sembunyi di kolong lemari. Lagipula, beberapa tahun kemudian, ibunya menjual lemari itu. Halilintar hanya bisa sembunyi di kamarnya sendiri, yang biliknya terasa semakin kecil dan sesak karena tubuhnya terus bertumbuh besar. Saat Halilintar berusia remaja, ancaman semakin kerap datang. Kalau malam, ibunya sering menggedor pintunya yang hanya berupa kayu dan berteriak-teriak. Lalu, karena Halilintar tidak mau keluar kamar, dia tidak diberi makan. Halilintar baru keluar kalau hari sudah pagi dan dia perlu berangkat ke sekolah—dengan dihadiahi tamparan dari sang ibu terlebih dahulu. Kalau keadaan sudah lebih memburuk, Halilintar akan pergi dari rumah itu untuk beberapa hari dan memilih bermalam di sekolah setelah memohon sambil memelas pada penjaga sekolah. Saat SMA, barulah Halilintar punya teman—Gopal dan Fang. Mereka bisa menampungnya untuk sementara, tapi itu tak bisa lama-lama.

Hari ini, Gopal mengingatkannya bahwa sebentar lagi Halilintar akan menjadi orang dewasa. Betapa mengerikannya menjadi dewasa kalau itu artinya ibunya tidak akan segan-segan lagi memaksanya ikut mencebur dalam lumpur.

"Sebelum itu, aku harus sudah dapat tempat kos."

Masalahnya, baru kerja sebentar saja dia sudah dipecat karena gampang marah. Halilintar mengutuk dirinya sendiri yang kesulitan menahan amarah, tapi itu, 'kan, bukan salahnya. Seumur hidupnya dia sudah marah dan dia merasa berhak untuk marah atas hidupnya yang seperti ini.

.

.

.

.

.

***...***...***...***

***PAENITENTIA***

***...***...***...***

.

.

.

.

.

"Gimana, Hali? Sudah jelas? Perlu kuulangi lagi, nggak?"

"Jadi, aku cukup menyirami mereka jam delapan pagi dan jam lima sore, lalu menyemprot daun-daunnya tiap dua hari, 'kan?"

"Betul!" Duri mengangguk senang.

Halilintar memandang ke sekeliling. Rumah pohon yang dimaksud Duri betul-betul sebuah pondok yang dibuat di sekeliling sebuah pohon besar dengan berbagai jenis tanaman dalam pot bertebaran di dalamnya. Duri bilang itulah rumahnya, tapi Halilintar hanya melihat satu ruangan dengan pintu tertutup di dalamnya. Ada satu sudut yang menyerupai dapur kecil di dekat jendela, dengan kompor listrik dan beberapa perkakas masak.

"Kalau kamu perlu masak, pakai saja itu, ya."

Rupanya memang tidak sia-sia Halilintar ikut Klub Memasak.

"Ah, kamar mandi dan tempat mencucinya ada di bawah, ada bangunan terpisah. Agak repot membuat saluran air dan pembuangannya di atas sini, hehehe."

Halilintar melongok dari jendela dan mendapati bangunan kecil itu berdiri di samping sebuah sumur, persis di sebelah kebun sayur. "Kebun yang di bawah, harus diapakan?"

"Ini musim hujan. Jadi, kebunnya nggak usah diapa-apakan. Hali cukup merawat tanaman yang di atas sini saja."

Halilintar mengedarkan pandangan sekali lagi. Menyiram dan menyemprot tanaman. Tugasnya terbilang mudah, kalau saja jumlah potnya bukan ratusan. Beberapa pot itu bahkan punya label harga yang angkanya membuat Halilintar pusing. Tapi, dia sangat butuh pekerjaan ini dan berjanji dalam hati untuk menahan amarahnya apa pun yang terjadi. Sejauh ini, bisa dilihatnya kenapa Gopal sangat menentang Halilintar bekerja pada Duri. Pemuda yang jauh lebih tua itu begitu baik dan manis sikapnya, tapi Halilintar merasa mereka sebaya dan dengan demikian masih mungkin mendamprat Duri kalau ada yang tidak menyenangkan hatinya. Tapi, hei, Duri toh besok sudah akan pergi, jadi Halilintar cukup mengurusi pot-pot itu sendirian.

"Oke," ujar Halilintar akhirnya.

Duri tersenyum senang. "Yuk, kita makan dulu! Aku tadi beli nasi lemak, terlalu banyak kalau kuhabiskan sendiri."

Wajah Halilintar jadi tampak berbinar, meski tak ada senyum di sana. Duri mengajaknya duduk di lantai kayu di tengah tebaran pot itu dan makan bersama. Sambil makan, Duri menjelaskan rencana kepergiannya.

"Besok, aku akan ke bandara jam sepuluh pagi. Kamu bisa datang ke sini jam enam untuk siap-siap."

Halilintar mengerjap. "Duri, kalau boleh, aku mau menginap di sini mulai hari ini."

"Oh?" Duri tampak bingung, menatap tas lusuh lawan bicaranya yang tergeletak dekat kaki pemiliknya. "Tapi, kamu cuma bawa ransel sekolah? Kukira kamu perlu mengepak barang dulu di rumah."

"Aku nggak punya banyak barang. Dan," Halilintar meragu sejenak, "… aku nggak punya rumah."

Duri mengerjapkan mata lagi beberapa kali, tampak ingin bertanya namun urung. Mungkin Gopal belum cerita apa-apa pada orang ini.

"Umm, oke. Hali boleh pakai kamarku mulai besok. Tapi, malam ini … kamu terpaksa tidur di sini dulu, ya. Soalnya, kamar tidurnya cuma satu."

"Nggak apa-apa. Aku punya sleeping bag."

"Oh, baiklah."

"Terima kasih," ucap Halilintar tulus, teringat kesepakatan mengenai gajinya sebelum ikut ke sini. Duri mau membayarnya dengan harga yang agak kelewat besar untuk sekadar merawat tanaman selama satu minggu. Meski, setelah melihat jumlah potnya, Halilintar setuju itu harga yang cukup pantas. Dia jadi penasaran pada Duri yang sebaik malaikat. Bagaimana bisa ada orang yang begitu sopan dan murah hati?

"Jadi, Duri besok perginya ke Jerman?" ujar Halilintar.

"Iya, tepatnya ke Berlin. Saudari iparku akan melahirkan sebentar lagi."

Ada kilatan sedih di netra merah Halilintar, tapi dengan cepat ditutupinya dengan berujar, "Selamat, kalau begitu. Semoga persalinannya lancar."

"Terima kasih."

Entah kenapa, ekspresi Duri juga tampak agak mendung setelahnya. Mereka sudah selesai makan dan Duri menghampiri sebuah pot yang tergantung di dinding kayu, yang letaknya paling dekat dengan kamarnya.

"Bunga apa itu?" Halilintar bertanya, ikut melihat dari dekat. Duri menatap bunga putih itu lekat-lekat, dengan pancaran kasih sayang yang sulit dijelaskan.

"Anggrek putih," jawab Duri, suaranya tiba-tiba jadi parau. "Ini bunga kesayanganku."

"Pantas saja ditaruh paling dekat kamar?" gumam Halilintar yang mengira hati lembut Duri membuatnya jadi begitu mudah terharu hanya dengan membicarakan bunga kesayangan.

Duri mengangguk pelan, lalu tiba-tiba sesenggukan. "Halilintar ... kamu tahu bahasa bunga?"

Yang ditanya menggeleng, kaget karena Duri masih bisa bertanya dengan jelas meski sambil menangis. Duri menunjuk bunga kesayangannya itu.

"Anggrek putih adalah permintaan maaf yang tulus, a sincere apology."

Halilintar terhenyak. Apa yang pernah terjadi di masa lalu lawan bicaranya ini? Air mata Duri membanjir, tapi dia meneruskan sambil terisak,

"Saudari iparku kehilangan suaminya beberapa bulan lalu. Solar, dia adikku, dan kami sering bertengkar sejak kecil karena hal sepele. Kami berdua yatim-piatu dan kami selalu tinggal bersama-sama. Solar itu suka sekali belajar dan dia memang pintar, selain ambisius. Saking ambisiusnya, dia berhasil dapat beasiswa kuliah sekaligus ikatan dinas kerja di Jerman dan aku menentangnya karena nggak mau kami berpisah. Itu sudah lama sekali, belasan tahun lamanya …. Aku ngambek dan nggak pernah mau membalas suratnya maupun menjawab teleponnya. Beberapa tahun yang lalu, dia mengirimiku bunga anggrek putih ini untuk minta maaf dan berharap aku bisa menerima dia menetap di Jerman. Lalu, ada kabar bahwa dia menikah dengan seorang gadis di sana. Aku tetap nggak mau datang ke pernikahannya … dan, kemudian," Duri menjeda dan mengambil napas panjang, "Solar kecelakaan lalu lintas, dia meninggal. Padahal, aku belum ketemu dia lagi sejak kami lulus sekolah menengah."

Duri mengakhiri ceritanya dengan tangisan yang begitu menyayat hati. Halilintar mendengarkan, setetes air matanya ikut mengalir di pipi.

"Orang bilang, penyesalan selalu datang terlambat, 'kan?" lanjut Duri lagi ketika sudah mulai tenang. "Penyesalan datang beserta permintaan maaf. Solar sudah minta maaf padaku sejak lama, tapi aku nggak mau memaafkannya ... dan sekarang, aku sangat menyesal tapi nggak bisa lagi minta maaf kepadanya."

Duri menyeka air mata di wajahnya dengan terburu-buru, lalu tersenyum salah tingkah. "Maaf, Hali jadi harus melihat kecengenganku yang memalukan."

Halilintar menggeleng. "Kadang, kita perlu orang untuk mendengarkan kesedihan kita."

"Terima kasih." Duri mengusap kelopak mata yang membengkak karena tangis. "Iparku akan menghadapi persalinan seorang diri, karena orang tuanya juga sudah meninggal. Paling nggak, aku harus bisa menemaninya untuk menyambut buah hati Solar …."

Halilintar mengulurkan tangannya dan dengan kikuk menepuk-nepuk punggung Duri yang lebih pendek darinya. Pemuda yang lebih tua tampak terhibur dan berterima kasih sekali lagi.

"Sudah cukup, kamu sudah banyak banget bilang 'terima kasih' padaku hari ini," komentar Halilintar gerah.

"Tapi, itu satu dari tiga kata ajaib yang bisa membuatmu awet muda!" balas Duri, kembali riang.

"Tiga kata ajaib?" Halilintar keheranan.

"Iya, ada tiga: 'Terima kasih,' 'Tolong,' dan satu lagi … 'Maaf' …."

.

.

.

.

.

***...***...***...***

***PAENITENTIA***

***...***...***...***

.

.

.

.

.

Duri mestinya sudah lepas landas, terbang ke benua Eropa. Halilintar mengusap keringat yang mengalir deras di wajahnya. Ini sudah hampir siang dan dia baru selesai menyirami semua tanaman bunga dalam pot itu. Dia tadi iseng menghitung tapi kehilangan hitungannya di pot keseratus dua belas dan rasanya itu baru separuh. Halilintar meregangkan punggung dan mendesah kelelahan. Habis ini dia mau makan dulu, lalu mengerjakan pe-er.

Rumah pohon Duri sangat menyenangkan. Tidak ada suara-suara menjijikkan, tidak ada orang lain yang menyebalkan, hanya ada tumbuh-tumbuhan yang menyegarkan mata dan cericip burung yang sesekali hinggap di dahan pohon besar itu. Sinar mentari menyelinap masuk lewat celah-celah di atap yang memang dibuat tidak terlalu rapat. Halilintar akan mencoba minta pada Duri untuk jadi pegawai tetapnya setelah pemuda itu kembali dari Berlin.

Halilintar tidak punya ponsel dan dia tidak memberi tahu ibunya di mana dia tinggal sekarang. Akhir-akhir ini, dia memang jarang pulang dan kalau pulang pun didapatinya sang ibu masih tergolek malas di ranjang yang berantakan.

Enam hari yang tenang berlalu dan Halilintar cukup menyukai pekerjaannya yang satu ini. Dia bahkan jadi tahu beberapa nama bunga yang indah dari label nama dan harganya. Itu daffodil, itu peony, itu begonia. Kenapa tidak dari dulu Halilintar mencoba bekerja dengan tanaman saja? Mereka tidak akan menghinanya dan tidak akan berbuat hal yang menjengkelkan terhadapnya. Lagipula, Duri si pemilik tanaman sangat baik padanya. Tapi, itu mungkin saja karena Duri belum tahu siapa ibu Halilintar.

Tidak, tidak. Halilintar membantah sendiri pemikirannya. Duri orang yang amat sangat baik. Halilintar bahkan tidak menyangka akan mendapat teman sebaik Gopal dan Fang yang menerima latar belakangnya apa adanya, dan Duri bahkan lebih baik lagi daripada mereka. Bukan membanding-bandingkan, sih. Fang dan Gopal punya keluarga mereka sendiri-sendiri dan itu yang agak membuat rumit karena Halilintar bermasalah dalam berhubungan dengan orang lain. Sebaliknya, Duri di sini tinggal sendirian. Halilintar tidak akan bertanya kenapa pemuda itu belum menikah. Selain tak sopan, Halilintar sendiri tidak suka membayangkan ada orang yang seenaknya kawin tanpa memikirkan konsekuensi melahirkan dan membesarkan anak ….

Halilintar menegakkan tubuh dengan gusar ketika teringat ibunya. Dia baru selesai mengepel kamar Duri yang dipakainya seminggu terakhir. Diregangkannya kedua lengan dan pundak yang terasa pegal. Huh, seandainya dia benar-benar bisa tinggal di sini selamanya ….

PRAKKK!

Halilintar melotot mendengar bunyi tanah liat pecah. Ayunan tangannya barusan terlalu kuat dan dia menabrak pot anggrek kesayangan Duri.

Tanaman berbunga putih nan cantik itu terserak layu di lantai kayu.

"ALAMAAAAAK!"

.

.

.

.

.

***...***...***...***

***PAENITENTIA***

***...***...***...***

.

.

.

.

.

"Aku pulaaaaang!"

Suara riang Duri menggema di dalam rumah pohon bahkan sebelum pemiliknya sampai di anak tangga teratas.

"Hali, aku pulang!" ulang Duri lebih keras. Belum ada suara yang menyahut, mungkin Halilintar sedang tidur. Bunga-bunga bermekaran cerah, seolah turut senang menyambut pemiliknya pulang. Pandangan Duri otomatis tertambat pada pot yang terdekat dari pintu kamar dan melongo ketika pot itu tak lagi ada di sana. Tergesa, Duri setengah berlari hati-hati ke arah situ dan terkejut lagi melihat Halilintar duduk di lantai di dekat sebuah pot anthurium besar.

"Duri, maaf …." Wajah Halilintar demikian pucat, matanya berkantung seperti tidak tidur semalaman. "Aku nggak sengaja merusak anggrek kesayanganmu."

Tanaman berbunga putih itu kisut dan layu dengan tanah dan akarnya tertumpuk di sudut. Halilintar tidak tahu caranya memindahkannya ke pot lain dan sekarang sudah terlambat untuk menyelamatkannya. Tanaman itu sudah mati. Duri terpekur di depan si anggrek malang, lalu jatuh berlutut di lantai.

"Maafkan aku. Aku nggak sengaja, aku kurang hati-hati. Aku … aku … Duri boleh hukum aku apa saja, terserah kamu, apa pun akan kuterima. Tapi, tolong, jangan pecat aku. Kumohon …." Halilintar sampai menangis saking ketakutannya. Dia tahu benar bunga itu sangat berharga bagi Duri, peninggalan terakhir dari saudaranya yang telah tiada. "Aku sudah nggak punya apa-apa lagi. Tolong, Duri. Kalau kamu mau pukul aku sampai puas, itu juga boleh."

Duri masih duduk bersimpuh di lantai sambil menatap sisa bunga anggreknya tanpa berkata-kata.

Seumur hidupnya, Halilintar selalu merasa marah dan merasa dirinya berhak untuk marah. Kini, untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasa takut kena marah dari orang lain. Apalagi, orang ini sudah begitu baik kepadanya. Halilintar merasa permintaan maafnya sangat tidak pantas …. Dia juga teringat perkataan Duri, bahwa penyesalan selalu datang belakangan. Halilintar menyesal karena dirinya sering marah-marah. Barangkali inilah karma untuknya. Duri pasti marah besar terhadapnya, Halilintar pasti langsung dipecat, dan pemuda itu tak punya pilihan lagi selain jual ginjal demi dapat uang ….

"Halilintar," panggil Duri perlahan, masih menatap kosong pada sisa-sisa kesayangannya.

"Ya, Duri?" jawab Halilintar ragu-ragu.

"Kamu tahu, iparku ternyata hamil anak kembar."

"Wah, anak kembar?"

"Iya. Tapi, yang bertahan hidup hanya satu. Kembarannya nggak berkembang di dalam rahim …."

Halilintar kehilangan kata-kata. Rupanya Duri sudah mendapat kabar duka di Berlin. Sekarang, Halilintar malah menambahi garam pada lukanya dengan menghancurkan anggrek putih kesayangannya.

"Kelahiran itu sesuatu yang ajaib, ya?" seloroh Duri lagi. Air matanya menetes. "Kita nggak pernah tahu apa yang terjadi sebelum kita lahir. Tapi, yang jelas, kita lahir ke dunia itu bukan untuk marah-marah."

Halilintar merasa tertampar dengan perkataan itu. Duri menoleh dan menatap iris delima Halilintar sambil tersenyum sendu. "Gopal sudah cerita padaku tentangmu. Jangan marah padanya, karena aku yang minta."

Gopal cerita tentang dirinya? Kalau begitu ….

"Kamu boleh terus bekerja dan tinggal di sini, tenang saja."

Duri sudah tahu latar belakang keluarganya dan tetap mau menerimanya. Itu sudah diduga Halilintar. Tapi ….

"Anggrekmu, Duri ...," gumam Halilintar lemah.

"Hali, kamu dengar ucapanku tadi, 'kan? Kita lahir ke dunia, bukan untuk marah." Duri tersenyum penuh makna. "Solar mengirimiku anggrek itu, bukan untuk marah. Anggrek dan semua bunga di dunia, diciptakan Tuhan bukan untuk membuat orang marah. Kenapa aku harus marah padamu?"

.

.

.

.

.

***...***...***...***

***PAENITENTIA***

***...***...***...***

.

.

.

.

.

"Paman Duriiiiii!"

Seorang bocah laki-laki berlari kencang melintasi kebun sayur.

"Heeeei, Cahaya! Kesayangannya Paman! Sini, sini!"

Duri merentangkan tangan dan tertawa menyambut bocah yang menghambur ke pelukannya. "Kamu sudah besar, ya!"

"Aku sudah bisa sikat gigi sendiri!" ucap anak bernama Cahaya itu dengan bangga. Bahasa Melayunya masih terpatah-patah, tapi Duri terharu bahwa Solar pernah mengajari sang istri bahasa tanah airnya. "Aku juga bisa berhitung sampai empat puluh dalam bahasa Paman!"

"Waaah, hebatnya! Kamu bisa hitung umurnya Paman, dong!"

"Paman umur berapa?"

"Empat puluh! Ditambah satu! Hehe!"

"Em … empat puluh satu?" gumam Cahaya ragu. "Sama dengan umurnya Ayah?"

"Iya, benar! Paman dan Ayah lahir di hari yang sama!"

Mata kelabu Cahaya melebar. "Apa Paman dan Ayah juga anak kembar?"

Duri mengangguk, menurunkan bocah berusia lima tahun itu dari gendongan. Dilihatnya seorang wanita berpakaian merah muda berjalan menyusul menuju kebunnya.

"Hanna!" panggilnya tak kalah riang. "Aku kangen masakanmu, huweeee!"

Hanna, iparnya, terkekeh geli dan balas melambaikan tangan.

"Eeh, Paman nggak bisa masak?" Cahaya terkejut. "Terus Paman makan apa, dong?"

"Hehehe. Biasanya, aku beli makan di luar. Tapi, lima tahun terakhir ini, aku punya seorang kawan baik, dia juru masak yang andal!"

"Ibu, kenapa aku baru tahu kalau Paman dan Ayah juga anak kembar?" protes Cahaya saat Hanna sudah sampai di depan mereka.

"Nanti kamu sedih kalau Ibu yang cerita. Lebih baik, Paman yang cerita saat kamu sudah cukup besar," sahut Hanna lembut.

Cahaya kemudian menggenggam tangan Duri, mukanya memerah menahan tangis.

"Paman, jadi kita sama-sama kehilangan kembaran, ya."

Duri tersenyum sedih dan mengusap rambut keponakannya dengan tangan yang tidak digandeng. Wajah anak itu persis Solar sewaktu masih kecil, dan dengan kata lain juga mirip dengannya sendiri. Bedanya, sih, hanya hidungnya yang lebih mancung karena separuh Kaukasoid ….

"Paman Duri dan Cahaya masih hidup tanpa saudara kembar masing-masing, pasti ada maknanya," ujar Hanna terharu. "Cahaya adalah hadiah paling indah di hidup Ibu … dan Paman Duri juga banyak membantu Ibu sejak Ayah tiada …."

Cahaya gantian memeluk ibunya erat-erat, sebelah tangannya masih menggenggam tangan Duri.

"Cahaya … ayah dan adik kembarmu pasti sedang makan enak di surga saat ini," seloroh Duri. "Di sana ada juru masak andal yang sampai bulan lalu masih memasak untuk Paman Duri ..."

.

.

.

.

.

***...***...***...***

***PAENITENTIA***

***...***...***...***

.

.

.

.

.

=== Section warning: gross stuff ===

.

.

.

Halilintar sudah selesai merenovasi rumah pohon Duri di berbagai titik. Salah satunya, menambahkan saluran air dan membangun kamar mandi di atas situ.

"Aku pernah kerja bikin begini. Yah, memang nggak lama," ujarnya singkat. "Daripada kalau sedang hujan deras dan kamu kebelet pup, masa harus hujan-hujanan turun ke bawah?"

Duri terbahak-bahak, tak mengira Halilintar yang rautnya selalu serius itu punya selera humor yang menyenangkan. Ternyata, meski punya tampang garang, hati Halilintar juga mirip Hello Kitty. Bedanya, dia begitu perhatian tapi tak mau mengaku kalau perhatian.

"Masakan Hali juga enak banget. Nggak salah, deh, memintamu tinggal di sini. Hehehe."

"Tapi, aku paling sebal disuruh makan sayur mentah olehmu …." Halilintar menggerutu. "Mending aku tumis dulu sayurnya, biar ada rasanya sedikit."

"Sayur mentah itu kaya antioksidan! Lebih bagus untuk daya tahan tubuh daripada sayuran yang dimasak!" Duri membalas, sementara Halilintar memutar mata, bosan dengan kuliah botani dari pemuda itu. Hei, Halilintar memang sudah lulus sekolah menengah, tapi dia tidak melanjutkan kuliah. Tak perlulah menjejalinya dengan ilmu tiap hari bagaikan dosen. "Apalagi, buat kondisi Hali …."

Halilintar menunduk sayu, menatap kedua tangannya yang berkeropeng.

"Sariawanmu sudah sembuh?" tanya Duri.

"Belum, malah tambah banyak," sahut Halilintar muram, mulutnya bergerak tak nyaman karena banyak luka di dalamnya. Dia menelan ludah ketika teringat kunjungannya beberapa minggu lalu, ke rumahnya yang lama, setelah tiga tahun kabur tanpa kabar.

Sang Mama terbujur lemah di kasur. Rupanya sudah lama wanita itu tak lagi menerima pelanggan. Halilintar sangat terkejut melihat sosok yang seolah tinggal tulang dan kulit itu. Tubuhnya dipenuhi luka keropeng yang sebagian masih bernanah. Wajah yang dulunya amat cantik itu kini hancur ditelan sifilis. Si pemuda bergegas mengambil kain dan membasahinya dengan air, mengabaikan bau busuk yang menyengat, lalu mulai menyeka nanah di tubuh ibunya.

"Halilintar …." Wanita itu memanggilnya, suaranya serak dan amat lemah, seolah tiap tarikan napas adalah satu langkah lebih dekat kepada kematian. Matanya hanya terbuka sedikit. "Maaf …."

Tangan wanita itu menunjuk ke laci kecil di samping tempat tidur. Tak lama setelah itu, ibu Halilintar mengembuskan napas terakhirnya. Pemuda itu menangis dalam diam. Seburuk apa pun, wanita ini adalah orang yang telah melahirkannya dan membesarkannya. Halilintar meraih laci itu dengan tangan gemetar dan menemukan selembar kertas terlipat. Di dalamnya ada coretan yang agak kabur karena banyak bekas tetesan air serta beberapa helai uang.

"Halilintar, Mama minta maaf. Mama harap kamu sempat pulang sebelum Mama meninggal. Kalau doaku dikabulkan, dan aku bisa menyampaikan tulisan ini padamu, semoga itu artinya Tuhan mau mengampuni dosaku terhadapmu. Kalau tidak … biarlah itu menjadi hukumanku.

Mama minta maaf untuk segalanya.

Mama mengidap HIV. Sudah lama, sejak kamu belum lahir. Mama baru tahu ada obat untuk itu. Kamu periksakanlah dirimu, jangan-jangan kamu juga sakit seperti Mama. Jangan sampai terlambat berobat.

Mama nggak menyesal telah melahirkanmu, Halilintar … tapi, Mama menyesal karena nggak bisa memberimu kehidupan yang baik."

Hari itu juga, setelah menyelesaikan pemakaman untuk Mama, Halilintar minta pada Duri untuk diantar periksa ke dokter terdekat. Hasil tes darah menyatakan Halilintar juga positif HIV.

"Umurmu sekarang …?"

"Dua puluh, hampir dua puluh satu," jawab Halilintar.

"Ibumu baru saja meninggal dan dia positif HIV?"

"Ya." Halilintar ragu sejenak. "Dia bilang dia sudah mengidapnya sebelum saya lahir."

Dokter berambut putih itu menatap Halilintar dengan simpati, pindah sebentar pada Duri yang gelisah di sebelahnya, lalu kembali ke Halilintar. "Mulai hari ini, kamu harus minum obat antivirus setiap hari. Kalau ada keluhan, segera periksakan lagi dirimu."

Halilintar mengangguk. Dia baru sadar mengapa di tangannya mulai timbul benjolan-benjolan melepuh dalam beberapa minggu terakhir. Mungkinkah itu gejala AIDS, stadium terakhir dari infeksi HIV? Kalau benar dirinya sudah di tahap AIDS … obat-obatan mungkin tak banyak membantu. Begitu informasi yang didapat berdasarkan data dari seluruh dunia.

"Satu lagi, Halilintar." Sang dokter menjeda sejenak. "Kalau kamu sedang punya pasangan, atau sedang berhubungan seksual secara aktif, pastikan pasanganmu juga memeriksakan diri."

Berpacaran adalah hal terakhir yang bisa terpikirkan oleh Halilintar dan dia begitu terkejut atas nasihat itu sampai tak segera menanggapi.

Duri terkekeh pelan di sampingnya. "Tenang saja, Dokter. Teman saya ini jomblo, kok. Hehehe."

.

.

.

End of section warning: gross stuff

.

.

.

.

.

***...***...***...***

***PAENITENTIA***

***...***...***...***

.

.

.

.

.

"Ini … juga kawanmu itu, Halilintar, yang membuatkan semua pajangan pot ini?"

Hanna terheran-heran menyaksikan isi rumah pohon milik Duri, yang jauh berbeda dengan yang pernah dilihatnya di foto dahulu. Tak ada lagi pot yang berserakan di lantai kayu. Semuanya tersusun rapi dan cantik di beberapa rangkaian pajangan dari besi, mulai dari yang terbesar ada di sebelah bawah dan yang terkecil ada di atas.

"Iya. Halilintar orang yang baik. Dia jago masak dan jago nukang, keren, ya! Argh …." Duri mengerang saat sekali lagi menurunkan Cahaya dari gendongannya. "Aduuh. Kok, aku mulai encok, ya …. Tanda-tanda penuaan ini, hehehe."

"Sini, aku pijati!" sorak Cahaya riang, lalu tiba-tiba perhatiannya teralih. "Eh, bunga yang ini cantik banget! Ibu, fotokan aku di bawahnya!"

Hanna ikut tersenyum melihat sang anak yang berumur lima tahun berpose di bawah sebuah pot anggrek berwarna putih, satu-satunya pot yang menempel ke dinding kayu.

"Apa ini bunga dari Solar …? Eh, bukan, ya, Duri?" gumam Hanna sambil mengambil foto sang anak dengan kamera ponselnya. "Kamu pernah cerita, pot anggreknya pecah dan tanamannya mati."

Duri tersenyum dan menggeleng. Diusapnya kepala Cahaya, sambil tangan yang satu mengelus helaian putih tanaman kesayangan itu. Duri kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh bagian dalam pondok. Rumah pohonnya kini menjadi rapi dan modern, berkat tangan ulet seorang pemuda penderita AIDS yang, di saat terakhirnya di dunia, di depan ketiga sahabatnya, masih bisa bercanda miris,

"Sekarang aku tahu, Gopal … kamu nggak bohong. Uhuk, uhuk." Kalimat Halilintar terjeda oleh batuk yang sampai membuat napasnya berdecit. "Kamu pernah bilang … uhuk… ucapan adalah doa. Dan, aku memang pernah minta untuk mati lebih cepat. Ternyata, Tuhan berkenan mengabulkan doa konyolku."

Fang dan Gopal turut menghadiri pemakaman Halilintar meski keduanya tengah menempuh pendidikan tinggi di luar kota. Fang masuk fakultas kedokteran sedangkan Gopal mengambil jurusan kuliner. Meski hanya tiga orang, ketiganya adalah teman terbaik Halilintar di hidupnya yang tidak panjang.

Duri merasakan air matanya membayang di pelupuk saat bicara lagi pada Hanna,

"Bunga ini adalah permintaan maaf Halilintar kepada hidupnya yang selalu dia kutuk."

.

.

.

.

.

***...***...***...***

***PAENITENTIA***

***...***...***...***

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Author's Note:

Perjalanan penyakit AIDS sejak virus HIV masuk ke tubuh memakan waktu belasan tahun, hingga sampai ke stadium terakhir ini. Sebetulnya, infeksi HIV bisa dikendalikan dengan rutin minum antivirus. Kalau orang dengan HIV/AIDS (ODHA) nggak minum antivirus, daya tahan tubuh akan terus turun sampai ke tahap akan banyak infeksi virus lain, bakteri, bahkan jamur. Di tahap ini, antivirus tetap perlu diberikan, selain pengobatan antibakteri dan antijamur yang diperlukan.

Banyak kematian pada ODHA adalah akibat komplikasi berbagai infeksi itu :")

Pekerja pelacuran sangat berisiko terinfeksi HIV. Orang-orang seperti ini, mau seburuk apa pun latar belakangnya, tetaplah manusia, yang sayangnya sering mendapat stigma dan diskriminasi. Salah satu cara penularan adalah dari ibu yang positif HIV ke bayi yang dikandungnya :") kalau dipikir, bayinya salah apa, coba?

Padahal, Roux mengutip dari World Health Organization alias WHO, kesehatan itu ada tiga aspek: sehat fisik, sehat mental, dan sehat sosial. Terganggunya kesehatan fisik saja mungkin sudah merupakan beban mental, apalagi ditambah stigma dan diskriminasi yang jelas mengganggu kesehatan sosial. Halilintar di sini sama sekali nggak sehat dalam ketiganya :")

Cerita ini terinspirasi dari pesan terusan dari grup WA tentang anggrek dan yang paling mengena adalah kalimat seperti disebutkan Duri di sini, "Kita lahir ke dunia bukan untuk marah." Pikiran Roux langsung nyambung ke elemental Boboiboy yang karakternya pemarah, Halilintar. Lawan dari amarah adalah kesabaran dan pengampunan, dan Roux juga ingat Duri adalah elemental yang cocok untuk itu dari salah satu video promosi BBBGM2 di bagian Duri mau mengajak "musuh" untuk nonton bareng karena katanya, "Siapa tahu bisa berbaikan."

Inspirasi cerita kadang datang lewat cara tak terduga :"D sudah lama Roux pengin nulis cerita seperti ini, dan akhirnya kesampaian.

Buat chara kesayangan, Solar: maaf ya, di sini kamu kubuat sudah almarhum :") tapi justru dari kamulah, Duri juga belajar tentang memaafkan selagi masih ada waktu.

Roux selama ini mengira 'angkara' itu sinonim dari 'murka', karena pernah tahu istilah 'angkara murka', eh ternyata artinya lebih ke 'bengis' atau 'kejam' setelah cek KBBI daring XD

Daripada pasang judul tentang amarah, akhirnya Roux pilih kata ini dalam bahasa Latin: paenitentia, artinya penyesalan.

Akhir kata, terima kasih sudah membaca, termasuk author's note yang superpanjang ini. Kritik dan saran sangat diterima ^^

[10.10.2022]