Disclaimer: Tokoh Detektif Conan adalah milik Aoyama Gosho. Aku hanya meminjam sekadar untuk bersenang-senang semata.
Warning: OOC yang mengarah ke mary-sue, plot cerita yang tidak jelas, mungkin mengandung topik yang mengganggu, mohon diperhatikan agar menghindari membaca cerita ini.
"Kak Amuro, aku suka padamu!" seruku. "Jadilah pacarku!" Aku menyodorkan sebuah kartu valentine untuk pemuda itu walau saat itu sebenarnya bukan hari valentine. Kartu valentine kan kartu untuk menyatakan cinta jadi kenapa tidak digunakan saja?
"Eh?" Amuro sampai bengong mendengar deklarasi cinta dariku yang berwujud seorang gadis kecil berusia 12 tahun dengan rambut dikepang dua semacam kaya gadis desa.
Dia masih tak bisa berkata-kata saking kagetnya. Apalagi aku sengaja mengatakannya keras-keras siang hari itu di Kafe Poirot tempat dia bekerja. Untungnya hari itu sepi pengunjung.
Melihat tampang pria itu kebingungan membuatku ingin tertawa jahat karena mengerjainya seperti ini. Ya, aku sebenarnya benar-benar suka dengan dia. Tapi mengingat perbedaan usia diantara kami, aku tahu romansa tidak mungkin terjadi.
Siapa tahu jika aku menyatakan rasa suka-ku dan meminta dia menungguku sampai aku tumbuh dewasa lagi, aku bisa memiliki pria idamanku nanti kelak.
Ah, aku tahu mana mungkin itu terjadi. Tapi aku ingin mengerjainya sedikit. Aku memang jahat. Dalam hati, aku bisa mendengarkan suara tawaku yang terbahak-bahak.
Azusa, Ran, Kogoro, Conan dan Mama-ku menjadi saksi mata dari pernyataan cintaku yang blak-blakan. Mereka semua sangat terkejut dan mungkin saja bertanya-tanya apakah aku sudah kehilangan kewarasanku.
Iya, aku memang tidak waras. Apalagi aku sebenarnya seorang dewasa terperangkap dalam tubuh anak kecil. Akan tetapi, situasiku berbeda dengan Shinichi yang diracuni sehingga kembali ke tubuhnya semasa kecil. Aku tahu perihal Shinichi karena aku membaca manga Detektif Conan saat aku masih di dunia nyata. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa mendarat di dunia manga DC.
777
Iya, sebenarnya aku mungkin tahu bagaimana aku bisa mendarat disini. Ugh, tapi ogah untuk menceritakan hal tersebut soalnya memalukan sekali...tapi baiklah, aku akan menceritakannya.
Seperti layaknya self-insert fanfiction dimana seorang penggemar suatu manga/anime/tv series meninggal dan mendapati diri mereka lahir di dunia karakter favorit mereka, aku pun mengalami hal yang sama. Bedanya, aku tidak terbangun dan lahir kembali sebagai bayi. Ugh, jika itu yang terjadi aku bisa stres. Dan juga aku tidak memiliki koneksi apapun dengan karakter-karakter dari manga DC tersebut, kebanyakan fanfiction yang kubaca, OC-nya menjadi saudara salah satu karakter dalam manga. Aku sepertinya telah mengambil alih tubuh anak kecil yang bernama sama denganku, Eva. Sepengetahuanku, Eva dan keluarga tidak ada kaitan sama sekali dengan Conan dan lain-lain.
Aku tidak begitu mengingat bagaimana awalnya...aku hanya merasa aku harus terburu-buru mengejar waktu untuk ke suatu tempat dan aku pun berlari kencang menyusuri jalanan. Lalu tiba-tiba aku jatuh tersungkur...gara-gara ada kulit pisang ditengah jalan. Aku jatuh terpelanting, kepalaku pun berdenyut-denyut sakit dan sebelum aku bisa bangun kembali, sebuah truk muncul didepanku dengan cepat...dan aku pun terlindas.
Iya, mungkin kalian yang suka membaca manhwa yang tentang isekai akan tahu bahwa kebanyakan kisah mereka yang mendapatkan diri mereka berada dalam buku novel/manga kesukaan mereka dimulai dari menjadi korban kecelakaan karena pihak mobil truk. Kasihan juga sopir truk-nya yah? Apakah mereka tidak stres setelah menyebabkan kematian seseorang? Dalam hal ini, entah siapa yang bisa disalahkan? Apakah si sopir truk atau diriku yang tidak berhati-hati dijalan?
Aku terbangun dengan rasa nyeri sakit yang luar biasa. Saat aku membuka mataku, aku melihat seorang wanita dan pria didekatku memandangiku dengan wajah penuh kekhawatiran dan bola mata yang diliputi air mata. Aku, entah kenapa, langsung menjerit, "Mama, sakit, Mama..." Lalu aku menangis keras.
Mama langsung berusaha menghibur aku dan memanggil Dokter untuk memeriksaku. Entah kenapa, aku mengenali bahwa wanitu itu adalah Mama padahal jelas-jelas dia bukan Mama kandung-ku. Seperti aku juga tahu bahwa pria itu adalah Papa walau jelasnya dia bukan Papaku.
Rupa-rupanya 'aku' baru terbangun dari koma selama 6 bulan setelah mengalami kecelakaan yang ironisnya disebabkan pihak mobil truk juga. Kurang jelas kejadiannya bagaimana sehingga anak kecil ini bisa sampai ketabrak truk. Moga-moga bukan karena kulit pisang juga sepertiku. Sungguh memalukan. Benar-benar deh, kulit pisang itu tidak tahu datang dari mana, tahu-tahu muncul didepanku dan aku sama sekali tidak sempet menghindari.
Dokter datang dan memeriksa keadaanku. Dokter bilang aku masih harus dimonitor keadaannya jadi aku belum boleh pulang dulu.
Aku melihat kedua orangtuaku menangis gembira ketika Dokter menyatakan aku baik-baik saja. Papa dan Mama memelukku dengan hangat dan entah kenapa aku merasakan kenyamanan dengan mereka. Dadaku terasa hangat saat bersama mereka.
Aku sungguh terkejut mendapati diriku dalam tubuh anak kecil yang kebetulan bernama sama denganku.
Tetapi yang membuatku lebih terkejut lagi adalah aku bisa melihat nama dan tanggal kematian diatas kepala semua orang. Tentu saja awalnya aku tidak mengerti bahwa tanggal tersebut adalah tanggal kematian sampai seorang kakek pasien dirumah sakit yang sama denganku meninggal sesuai tanggal yang tercantum diatas kepalanya.
Aku pun shock. Awalnya aku tidak tahu bahwa aku ada di dunia manga DC. Malah dengan adanya keanehan pada diriku ini yang sepertinya memiliki mata dewa kematian, aku mengira aku berada didunia manga semacam Death Note atau Memento Mori. Aku tidak begitu ingat Memento Mori karena manga itu baru keluar beberapa chapter saja sedangkan Death Note, aku lumayan ingat.
Jadi aku langsung pinjam smartphone Mama untuk menggoogle apakah ada isu soal Kira. Tidak ada. Bahkan saat aku mengetik pencarian untuk kedua manga tersebut tidak ada hasilnya sama sekali.
Aku memandang cermin yang menampilkan sosok baruku sebagai anak kecil. Aku menyadari aku tidak bisa melihat nama dan tanggal kematianku sendiri. Aku bisa melihat orang lain punya tetapi tidak bisa melihat diriku sendiri. Aku bersyukur untuk itu karena aku tidak tahu bagaimana reaksiku jika aku tahu tanggal kematianku. Akankah aku bisa bersikap elegan menerima dan mrempersiapkan diriku untuk itu? Ataukah aku akan kehilangan kewarasanku karena rasa paranoid dan takut?
Aku memandangi Papa, Mama, Dokter dan Suster yang berada di kamar, memandangi nama dan tanggal kematian mereka.
Aku merasakan kelegaan yang luar biasa mengetahui Papa dan Mama masih aman dari tanggal kematian mereka. Tetapi saat Mama mengajakku jalan-jalan dikursi roda karena jalanku masih agak oleng, aku mengamati serius saat melewati pasien-pasien rumah sakit.
Papa, Mama, Dokter dan Suster tadi warna nama dan tanggalnya hijau. Tapi saat melewati para pasien, sebagian warna mereka adalah biru atau merah. Aku tidak mengerti artinya.
Kakek yang menjadi pasien satu kamar denganku yang akhirnya meninggal itu berwarna biru. Orang-orang disekitar yang bukan pasien pun memiliki warna berbeda-beda antara hijau, biru, merah dan kuning.
Aku untungnya dahulu banyak baca manga dan nonton film supernatural jadi aku tidak bodoh untuk membeberkan bahwa aku melihat nama dan tanggal diatas kepala orang. Bisa-bisa aku dikira tidak waras donk.
Akan tetapi aku sendiri mempertanyakan kewarasanku. Dimanakah aku? Jepang. Yang ini jelas mengingat semua orang berbahasa jepang, termasuk diriku, padahal aku sebenarnya tidak bisa bahasa jepang. Makanya aku bisa mengira aku berada di dalam manga Death Note atau Memento Mori.
Aku baru menyadari bahwa aku di dunia manga DC ketika berita di TV memberitakan soal Kaito Kid. Mulutku terperangah mendengarnya. Aku segera menggoogle Shinichi Kudo dan benar saja ada beberapa artikel tentang detektif muda itu. Aku juga mencari soal Kogori Mouri yang terkenal sebagai Detektif Tidur dan banyak artikel tentang pria itu.
Aku kebingungan. Jadi, aku benaran ada didalam dunia manga?
Saat itu ada pasien gawat darurat datang ke rumah sakit, aku melihat sekilas orang bersimbah luka yang digotong dan warna nama dan tanggalnya berwarna kuning.
Aku ingin mengikuti orang itu tetapi Mama tidak kasih dan memaksa untuk kembali dikamar. Saat hendak kembali ke kamar itulah, aku melihat mereka.
Ada Conan, Shuichi dan Jodie didepan sebuah mesin jual otomatis disalah satu koridor. Aku sungguh terperanjat sampai hampir jatuh dari kursi rodaku.
Aku berfokus pada Shuichi. Shuichi Akai adalah salah satu karakter favoritku dalam manga DC. Dia, dan Rei Furuya atau Tooru Amuro. Cool guys, gitu lho! Hormonku jika aku masih wanita dewasa pasti jejeritan.
Aku yang sekarang hanya bisa memandang terpesona, aku terpesona. Jantungku pun dibuat berdebar-debar.
Malam itu aku tidak bisa tidur memikirkan karakter manga DC. Tidak bisa dipungkiri, aku sangat senang dapat melihat mereka. Ini bagaikan mimpi jadi kenyataan bukan?
Aku memandang Mama yang menemaniku menginap dirumah sakit sementara Papa pulang karena besok harus bekerja. Mama tertidur pulas diranjang kosong bekas Kakek yang meninggal. Aku pun memutuskan menyelinap keluar kamar.
Entah apa yang dipikiranku, aku merasa harus keluar. Setelah jalan beberapa saat, aku melihat seorang pria sedang dikepung oleh segerombolan orang.
Aku jadi teringat ini bukannya kasus tentang si Rena yang pura-pura koma di rumah sakit dan pria itu yang aku tidak ingat namanya adalah anggota organisasi hitam yang menyamar jadi pasien untuk menyelidiki apakah FBI menyembunyikan Rena disini.
Semua orang disana kaget melihatku ada disana.
Pria itu menyeringai saat melihatku dan aku menyadari kebodohanku karena aku menempatkan diriku sebagai potensial sandera untuknya.
Dengan gerakan cepat, dia berhasil menangkapku dalam cengkramannya dan berteriak akan membunuhku jika mereka tidak membiarkannya lolos.
Aku benar-benar shock dan membeku, tidak berani berkata apa-apa.
Pria itu dengan kasar menarikku dan menggunakanku sebagai tameng. Orang-orang yang mengepungnya tadi terlihat kesal dan khawatir terhadapku.
Saat sudah keluar dari gedung, aku mengira riwayatku akan tamat karena pria ini pasti akan membunuhku. Saat itulah aku baru membaca nama pria itu dan bahwa tanggal kematiannya adalah hari ini dan warnanya merah.
Aku ingat memang pria ini akan bunuh diri untuk menghindari kejaran dari Shuichi dan Conan.
Lalu bagaimana denganku sekarang?
Tidak kusangka, Shuichi muncul dan menyelamatkanku dari cengkraman orang jahat itu. Dia menyerang dengan cepat sehingga orang itu pun mau tak mau melepaskanku.
Pria itu terkejut melihat Shuichi dan segera kabur dengan mobilnya.
Shuichi menoleh padaku dan berkata, "Gadis kecil, kembalilah ke Mama-mu." Lalu dia melesat pergi untuk mengejar dengan mobilnya sendiri yang dikendarai Conan.
Aku terperangah menatap kepergian mobil mereka yang mengacu dengan keras meninggalkan asap tebal.
Jodie dan agen FBI lainnya muncul dan segera mengerubungiku menanyakan apakah aku baik-baik saja.
Aku pun hanya bisa bilang aku ingin segera kembali ke Mama. Jodie mengantarkanku kembali ke kamar. Mama masih tertidur dan aku meminta kepada wanita itu untuk tidak membangunkan Mama karena dia kecapekan, harus istirahat. Aku segera mengucapkan terima kasih kepadanya sebelum dia menolak dan segera naik ke tempat tidur setengah gemetaran. Aku menarik selimut dan menutupi sekujur tubuhku dari atas sampai bawah.
777
Aku sedang menikmati makan pagi sambil menonton film kartun di TV saat Jodie datang. Dia ingin berbicara padaku dan beralasan sesuatu pada Mama sehingga Mama mengizinkan dia berbicara denganku berdua saja. Sepertinya wanita itu menyadari bahwa aku tidak ingin Mama tahu soal apa yang terjadi semalam.
Jodie sekali lagi memperkenalkan dirinya, bersikap sangat ramah. Dia ingin menanyakan apakah pria yang menyanderaku semalam ada mengatakan sesuatu padaku. Aku jawab tidak ada.
"Bolehkah aku bertemu dengan orang yang menolongku semalam?" Tanyaku.
Jodie terkejut mendengar permintaanku.
"Tidak boleh?" Aku memasang tampang memelas. "Aku hanya ingin berterima kasih karena telah menolongku."
Jodie mengulum senyum. "Kau tidak perlu berterima kasih. Itu sudah tugas dia."
"Kalau begitu..." Aku menyodorkan puding di nampanku. "Berikan saja ini untuk dia yah?" Ujarku dengan nada sepolos mungkin. Aku tidak tahu apakah Shuichi suka puding apa tidak tapi aku harus memberi dia sesuatu sebagai tanda terima kasihku. Dipikir-pikir tingkahku lucu juga, ternyata aku pandai juga berakting sebagai anak-anak.
Jodie terlihat terharu kepadaku. "Kau anak yang manis sekali, Eva-chan. Baiklah aku pasti akan memberikan ini pada Shu."
"Namanya Shu?" Tanyaku dengan tampang senang.
Jodie tersenyum padaku dan mengelus lembut kepalaku sebelum pergi.
777
Papa akhirnya membawakan smartphone milikku dan aku melihat banyak chat dari beberapa orang yang kata Mama adalah temanku, Nanno dan Yuka. Aku tidak tahu siapa mereka. Untunglah banyak foto selfie bertiga antara Eva yang asli dengan keduanya di smartphone tersebut.
Papa dan Mama bilang kata Dokter amnesia-ku itu bisa dibilang normal mengingat trauma dikepalaku saat kecelakaan tersebut. Mereka bilang aku tidak perlu khawatir, nanti sendirinya ingatanku perlahan-lahan akan kembali.
Aku masih belum boleh pulang dari rumah sakit. Mama yang menemaniku disana, beliau membawa laptop untuk mengerjakan pekerjaan kantornya.
Aku sangat bosan jadi aku coba iseng saja membalas pesan dari Nanno dan Yuka di grup chat kami. Mereka kedengarannya baik dan friendly, sangat mengkhawatirkan aku.
Saat Mama lagi serius bekerja, aku diam-diam keluar kamar dengan bantuan tongkat penyangga. Aku membawa note kecil dan pen ditangan. Aku mengamati orang yang lalu lalang dirumah sakit tersebut.
Aku mencatat warna-warna mereka. Aku begitu serius ingin mempelajari warna-warna tersebut.
Hijau = garis hidup normal. Hidup masih lama. Mungkin?
Biru = akhir hidup, perlu informasi lanjut. Kakek. Orang sakit?
Merah = akhir hidup, perlu informasi lanjut. Orang yang terluka berat. Bunuh diri?
Kuning = limbo antara hidup dan mati, perlu informasi lanjut.
Aku mencatat kuning sebagai limbo karena teringat pasien gawat darurat yang kemarin-kemarin, aku berhasil menemukan orang tersebut lagi dan ternyata warnanya sudah berubah lagi jadi hijau setelah operasi.
Aku mengangguk sendiri saat mempelajari ulang yang ku tulis dengan serius.
Tiba-tiba ada yang menyambar note itu dari tanganku. Aku kaget dan bersiap untuk marah. Aku terperangah melihat Shuichi.
Shuichi membaca note milikku itu. "Apaan ini?"
"Hey, kembalikan!" Seruku kesal sambil berusaha menjinjit sedikit untuk meraih note itu darinya.
Shuichi sengaja menjauhkan note itu dariku. "Aku sudah menerima pudingnya."
Aku terkejut mendengarnya. Apa dia sengaja datang mencariku karena puding itu? Aku kira Jodie hanya asal bicara saja dan mana mungkin menyerahkan puding itu pada Shuichi, ternyata aku salah.
Shuichi mengelus kasar rambutku sampai berantakan. "Thanks, little girl."
"Namaku Eva." Kataku dengan agak kesal sambil menepis tangannya dari atas kepalaku dengan gemas.
Shuichi memandangku dengan geli. Dia menunjuk note-ku. "Ini apa?"
Aku memanyunkan mulutku. "Bukan urusanmu. Tapi jika kau ingin tahu sekali..." Aku menarik nafas. "Aku ingin menulis cerita." Aku berbohong padanya. Mana mungkin aku memberitahukan yang sebenarnya tentang mata shinigami-ku.
"Oh? Cerita tentang apa?"
Tanpa sadar aku mengikuti Shuichi yang berjalan ke mesin jual otomatis terdekat.
"Itu baru ide saja. Tentang melihat aura kehidupan seseorang." Jelasku.
Shuichi menaikkan alis seakan tidak percaya. Dia memasukkan 2 koin dan memilih sekaleng kopi dan sekaleng jus. Dia memberikanku yang kaleng jus.
"Terima kasih." Aku dengan gembira meminum jus yang diberikan. Aku langsung menyerocos dengan penjelasan soal warna-warna yang kucatat.
Aku senang sekali bisa mengobrol dengan Shuichi walau saat ini aku berwujud anak kecil yang berarti romansa tidak mungkin ada diantara kami. Lagipula jika aku berwujud wanita dewasa, aku tidak yakin bisa berbicara dengan pria ini dengan normal. Aku yang asli adalah orang yang canggung dan tidak menarik.
Sebagai anak kecil, aku merasa lebih bebas berbicara. Dan hormonku tidak ada jejeritan ya. Aku mengagumi Shuichi saja saat ini.
Shuichi dengan cermat mendengarkan penjelasanku akan plotline cerita yang ingin ku buat.
"Berapa umurmu?"
"38." Jawabku sarkastik. "12. Kenapa memangnya?"
"Tidakkah kau terlalu muda untuk memikirkan soal kematian?"
Aku mengangkat bahu dengan malas. "Aku umur 12 dan aku hampir mati ditabrak truk, kenapa aku tidak boleh memikirkan soal kematian? Lagipula, ini kan baru sebuah ide saja. Semoga saja aku bisa menuliskannya sebagai cerita."
Shuichi tersenyum kecil. "Apakah cita-citamu ingin jadi penulis?"
"Aku tidak tahu. Aku kan masih kecil. Tahu apa aku soal kedepannya ingin jadi apa?" Cetusku sewot.
Shuichi terlihat geli dengan jawaban aku.
"Eva!"
Aku mendengar Mama memanggilku dan aku segera menjawabnya. Aku menoleh kepada Shuichi. "Bye bye, Shu."
Dia terlihat terkejut mendengarku memanggilnya dengan nama pendeknya yang biasanya hanya Jodie yang memanggilnya demikian.
Aku tidak menunggu jawabannya dan langsung melesat pergi. Aku langsung merangkul Mama begitu melihatnya. Aku tidak tahu kenapa melihat Papa dan Mama, aku jadi manja seperti layaknya anak kecil.
Aku merasa esensi Eva yang asli ada pada diriku yang membuatku berhasil bertingkah seperti anak kecil.
Aku tidak pernah melihat Shuichi lagi setelah itu. Aku yakin dia sedang dalam perjalanan menjadi Subaru Okiya.
777
Akhirnya aku sudah boleh pulang dari rumah sakit. Untuk merayakannya, Papa dan Mama mengajak aku untuk makan siang di luar. Aku mengajukan untuk pergi makan di kafe Poirot. Mereka agak bingung tapi menurutiku untuk pergi kesana.
Dalam perjalanan naik mobil, aku memandangi orang-orang di jalanan. Aku tidak bisa melihat nama dan tanggal pengemudi motor yang memakai helm. Aku bisa melihat yang pada naik mobil tapi kurang jelas.
Aku menghela nafas saat aku mengeluarkan dan memandangi note aku lagi. Informasi mengenai warna masih kurang jelas.
Saat tiba di Poirot, aku mengenali Azusa, pelayan cantik dari kafe tersebut. Amuro masih belum ada disini. Tapi biarlah, aku ingin coba saja makanan disini. Di dalam manga, kelihatannya Poirot termasuk tempat yang ramai pengunjung.
Aku segera menemukan menu yang aku suka dan segera memesannya dengan lantang. Papa dan Mama mengulum senyum melihatku begitu gembira.
Kami mengobrol sambil makan, menikmati rasa bersama kekeluargaan. Tiba-tiba saja aku jadi sedih teringat keluarga asli-ku. Tiba di dunia manga DC ini masih terasa bagaikan mimpi semata. Tapi sebenarnya bagaimana aku bisa masuk ke tubuh ini? Bagaimanakah dengan tubuh asliku?
Aku meringis mengingat kejadian yang menimpaku. Pasti tubuh asliku pun terluka parah ditabrak truk seperti itu. Tubuh anak kecil yang saat ini aku rasuki saja tidak berhasil sembuh dengan baik. Kakiku sedikit cacat sehingga sulit berjalan cepat tetapi aku tidak perlu memakai tongkat penyangga lagi.
Aku merasa tubuh asliku pasti akan lebih parah lukanya mengingat aku kelindas truk. Ugh, membayangkannya saja sudah membuatku merinding.
777
Ternyata aku juga sekolah di SD Teitan, sekolah yang sama dimana Conan dan Ai berada. Tetapi kami beda kelas karena aku lebih tua dari mereka. Kalau tidak salah, bukankah mereka dikatakan sebagai anak berusia sekitar 7-8 tahun?
Aku jarang melihat mereka. Kadang sekilas saja melihat mereka saat jam istirahat atau jam olahraga. Aku tidak menghampiri mereka untuk kenalan. Aku merasa agak terintimidasi oleh mereka seakan ada aura disekitar mereka yang seakan mengatakan 'jangan dekat-dekat tanpa permisi'.
Aku sangat bosan dengan pelajaran sekolah SD. Aku paling benci pelajaran matematika dari dulu. Setidaknya pelajaran math SD masih lumayan gampang. Aku benci harus menguras otak untuk yang susah-susah.
Aku sudah bertemu dengan Nanno dan Yuka. Aku sangat menyukai mereka begitu bertemu. Aku rasa ini karena esensi Eva asli yang menyayangi teman-temannya itu.
Hari itu Papa berjanji akan menjemputku dari sekolah. Katanya hari itu dia bisa pulang pagian dari kantor jadi dia ingin mengajakku main.
Aku tersenyum gembira saat melihat Papa. Aku melambaikan tangan dengan gembira lalu menghambur ke pelukan Papa.
Papa tertawa dan memelukku dengan hangat.
Aku menoleh pada Nanno dan Yuka dan mengucapkan sampai jumpa besok pada mereka. Aku langsung menggandeng tangan Papa dan mulai berceloteh riang menceritakan kejadian lucu dikelas hari itu.
Papa mengajakku ke toko es krim dan kami makan es krim bersama dengan riang gembira.
Saat memandang Papa, aku jadi teringat Papa asli-ku di dunia nyata dan hati ini terasa terenyuh mendadak.
Papa kandung-ku tidak hangat seperti Papa yang ini tetapi dia menyayangiku. Dia memang sering mencemooh kekuranganku sehingga membuatku sedih tetapi aku tetap sayang padanya. Aku teringat wajah keriput Papa dan merasa sesak saat memikirkan bahwa aku meninggalkan keluarga asli-ku begitu saja sebelum aku bisa berbakti sebagai anak kepada mereka.
Aku pun meneteskan airmata tanpa terkontrol membuat Papa kaget dan panik. Aku berusaha tersenyum sembari menghapus airmataku.
"Gigiku ngilu, Papa, es-nya sungguh dingin." Ucapku dengan nada sepolos mungkin.
Papa terlihat masih khawatir dan dia membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang.
Saat kami dalam perjalanan pulang dengan jalan kaki di tepi jalan, aku melihat sebuah bus lewat. Walau hanya sekilas, aku melihat bahwa kebanyakan warna orang-orang didalam bus adalah merah dan kuning. Aku tidak melihat jelas nama dan tanggalnya hanya warnanya saja. Apakah bus itu akan mengalami kecelakaan?
Papa mengalihkan perhatianku saat dia menunjukkan sebuah toko kue didekat sana dan mengajakku untuk mampir. Kami mau membeli kue buat Mama juga.
Aku langsung dengan semangat memilih kue untuk Mama. Rasa coklat semua orang pasti suka kan? Tergantung coklat macam apa juga sih.
Setelah membayar, aku dan Papa pun berjalan pulang. Saat itulah kami melihat dari kejauhan ada suara siren mobil polisi atau ambulan. Dari gosip orang-orang di jalan, aku mengetahui bahwa ada kecelakaan di jalanan. Sebuah bus tabrakan dengan kendaraan lain.
Mau tidak mau aku jadi kepikiran apakah perkiraan aku tadi jadi benar? Apa seharusnya aku berusaha menghentikan bus tadi? Tapi aku kan hanya anak kecil, aku bisa apa? Aku jadi teringat Conan, dia bertubuh anak kecil, tapi bisa melakukan banyak hal. Dia pun aslinya hanya anak remaja. Sedangkan aku dalam diriku ada esensi seorang dewasa. Tapi aku hanya bisa berdiam saja.
Ah, tapi mana bisa menyamakan diriku dengan tokoh manga? Conan kan memiliki plot armor karena dia tokoh utama. Jadi hal buruk apapun yang bisa terjadi pada dia, tetap saja bisa dipastikan dia akan selamat. Dibandingkan dengan dia, aku ini siapa?
Tapi, ini sungguh kacau. Kenapa aku bisa memiliki mata shinigami ini? Apakah Eva yang asli sudah dari dulu memiliki mata jenis ini? Ataukah mata ini jadi ada setelah aku mengambil alih tubuhnya? Aaagh, aku bingung!
Jelas-jelas hal semacam ini hanya akan terjadi dalam novel/manga/film/fanfiction, tapi kenapa ini bisa terjadi padaku?
Jujur saja, dari dulu semenjak remaja, aku suka berkhayal hal-hal semacam ini. Saat dewasa pun aku masih suka melakukannya. Hanya saja aku yang dewasa bisa sedikit lebih realistis tidak membayangkan diriku sebagai super Mary-sue.
Dulu aku suka berimajinasi masuk ke dunia manga/film favoritku dengan memiliki sedikitnya kealihan yang menarik agar bisa menempuh petualangan dengan tokoh utama.
Entah kenapa, saat berimajinasi itu, aku inginnya selalu memiliki kekuatan supernatural daripada memiliki kemampuan analisa super supaya bisa dibilang jenius. Mungkin karena aku tahu realitasnya aku hanya orang yang biasa, tidak pintar. Tapi mengharapkan kekuatan supernatural juga tidak realistis sih. Ah, tapi namanya juga imajinasi. Boleh donk agak konyol-konyol.
Aku menghela nafas. Beginilah orang yang terlalu suka konsumsi bahan bacaan yang bergenre fantasy.
Tapi, nyatanya sekarang aku berada di dunia manga DC dengan sebuah kekuatan supernatural. Bukankah ini berarti Tuhan entah kenapa mengabulkan permintaanku?
Tiba-tiba jadi ingat kutipan film superheroes. With great power comes great responsibility.
Ah, tapi aku bisa apa? Eva, jangan berpikir yang tidak-tidak! Jangan konyol! Jangan bodoh! Aku menepuk kasar kedua pipiku dan mencubit juga sampai merah. Papa sampai bingung melihat tingkahku.
777
Saat di kelas, aku menguap keras, mengantuk sekali. Semalaman aku terganggu oleh pemikiran akan kewajiban moral yang mungkin aku miliki sebagai pemilik kekuatan supernatural. Akhirnya aku memutuskan untuk bersikap normal saja sambil mempelajari lebih lanjut penglihatan mata shinigami ini.
Saat jam istirahat, aku ada melihat Conan dan Ai lagi sedang bersama grup detektif cilik. Aku tersenyum memandangi mereka yang sedang bercakap-cakap. Ah, bagaimana jadinya jika aku seusia dengan mereka dan satu kelas? Bisakah aku bergabung dengan grup mereka?
Yuka memanggilku dan aku segera berlari menghampiri dia. Kami pun mengobrol dengan satu sama lain.
Saat pulang siang itu, aku melihat seorang gadis kecil dari kelas sebelah sedang berjalan pulang dengan senyum riang diwajahnya. Yang menarik dari dia adalah warna miliknya kuning. Aku melihat sekilas bahwa namanya adalah Midori. Aku merinding melihat tanggal kematiannya yang ternyata adalah hari esok.
Aku menatap gadis itu dengan penuh kekhawatiran. Apa yang mungkin terjadi pada gadis itu? Dia terlalu muda dan kelihatan sehat, jadi tidak mungkin dia meninggal karena sakit. Jadi mungkin kecelakaan? Aku hendak memanggil gadis itu ketika Nanno dan Yuka tiba-tiba muncul, memukul bahuku dengan gemas.
Keduanya mengajakku berbicara soal PR hari itu. Nanno mengajakku untuk bermain sambil belajar di rumahnya.
Aku menoleh mencari gadis tadi tapi dia sudah menghilang.
"Eva, kau kenapa?" Tanya Nanno.
"Nanno, gadis tadi...Midori yang dari kelas sebelah, apakah kau tahu rumah dia?" Tanyaku.
"Midori? Aku tidak tahu." Jawab Nanno. "Memang kenapa?"
Cepat sekali Midori jalannya, dia sudah tak ada. Aku harus bagaimana? Ah, aku bingung. Haruskah aku melibatkan Conan? Dia pasti lebih efisien bisa membantu Midori lebih baik dariku. Aduh, aku bingung! Ternyata aku tidak bisa bersikap budiman. Kalau orang baik, pastinya akan langsung bertindak menyelamatkan orang kanan kiri kan? Apalagi jika orang tersebut memiliki penglihatan seperti milikku? Iya...kan?
777
Keesokan harinya disekolah, dengan gugup aku mendatangi kelas sebelah. Tetapi Midori tidak ada. Aku menanyakan anak-anak disana soal dia tapi tak ada yang tahu. Saat melewati ruang guru, aku mendengar mereka berdiskusi tentang Midori. Rupanya Midori hilang! Dia tidak pulang ke rumah kemarin. Apakah yang terjadi pada anak itu?
Tubuhku menegang diliputi rasa bersalah dan khawatir. Bagaimana sekarang? Ternyata soal menghilangnya Midori sudah masuk berita di TV. Pantas saja tadi pagi Papa dan Mama terlihat agak gugup dan mematikan TV saat aku hendak makan pagi. Pantas saja mereka bilang salah satu dari mereka akan menjemputku sepulang sekolah nanti.
Apa yang terjadi pada Midori? Kalau menurut tanggal kematiannya, hari ini dia akan mati. Tapi, warna Midori kuning bukan? Ah, aku bingung soal semua warna ini! Kalau menurut contoh peristiwa warna kuning, pasien yang gawat darurat harus dioperasi itu warnanya berubah jadi hijau lagi setelah operasi yang berarti nyawanya diselamatkan dan kecelakaan bus kemarin dimana sebagian penumpangnya selamat kemungkinan yang berwarna kuning. Jadi, apakah Midori sebenarnya memiliki 50-50 persentasi untuk bisa selamat? Atau aku salah memahami semua ini?
Siangnya, aku melihat Mama sudah menungguku di gerbang sekolah. Aku ada mendengar Conan saat berpapasan denganku dan dia sedang mewanti-wanti Ayumi, Genta dan Mitsuhiko untuk berhati-hati jika melihat orang yang mencurigakan.
Aku tersenyum lemah pada Mama, membuat dia khawatir apakah aku tidak enak badan. Aku dengan lesu menggandeng tangan Mama dan bilang ingin segera pulang saja. Mungkin Mama khawatir dan ingin membuatku ceria dan menawarkan apakah aku ingin ke Poirot untuk makan siang disana.
Aku menolak dan bilang ingin pulang saja. Aku beralasan bahwa aku banyak PR.
Malam itu, aku memuntahkan isi perutku setelah mencuri dengar berita di TV yang menyatakan mereka menemukan mayat Midori di suatu tempat. Midori dibunuh. Tubuhku menegang dan kepalaku pusing. Aku menangis di kamarku dengan pilu. Aku membenamkan wajahku pada bantal supaya tangisanku tidak didengar Papa dan Mama. Entah kapan, akhirnya aku tertidur juga.
777
"Wah, dibanding yang lain, kau agak lemah juga yah. Mungkin itu salahku karena memasukkanmu ke tubuh anak kecil. Tapi, kau lumayan cepat mengerti soal warna-warna itu."
Aku terbangun mendengar suara seseorang. Orang itu duduk disudut ranjangku. Aku mengerjapkan mata berusaha memfokuskan penglihatanku. Ada seseorang berjubah hitam sedang memandangiku.
Aku langsung kaget dan menjerit tetapi suaraku tidak keluar.
Si jubah hitam terlihat geli melihat ekspresi wajahku yang ketakutan.
"Kau...kau siapa?" tanyaku dengan takut-takut.
"Menurutmu, aku siapa?" Dia malah bertanya balik dengan nada sedikit mengejek.
Aku memperhatikan sosok orang itu. Dia seorang gadis berambut panjang dan berperawakan cantik tetapi sekujur tubuhnya digeluti jubah hitam. Penampilannya mengingatkanku akan...dewa kematian? Shinigami? Dulu, aku pernah membaca manga dimana kebanyakan shinigami digambarkan berjubah hitam. Masa sih? Aku jadi bergidik saat menyadari bahwa gadis itu mungkin benar-benar seorang dewa kematian.
Dia tersenyum seakan-akan dia bisa membaca pikiranku dan menertawakan rasa takutku padanya.
"Kau...shinigami?"
"Ding, ding, ding! Ten points for Eva!" Dia tertawa riang sambil membaringkan dirinya diranjangku.
Aku menatapnya dengan waswas. Tanganku menggenggam erat tepian selimutku.
Dia tersenyum dan merangkak mendekatiku. "Perkenalkan, aku Reina." sapanya riang.
Aku hanya bisa bengong menatap dirinya. Lalu, aku teringat yang dikatakannya tadi. "Tadi kau bilang kau yang memasukkan aku ke tubuh ini?"
"Benar."
"Kenapa?"
Reina meringis, tampangnya kelihatan bersalah. "Kau tidak seharusnya mati...tapi karena kesalahanku..."
"Apa?" pekikku kaget. Aku menyambar kedua lengan gadis itu. "Apa maksudmu?"
Reina menatapku dengan wajah sepolos mungkin. "Habis...kau kepeleset kulit pisang yang ku lempar..."
Aku terperangah mendengar jawabannya. Jadi, benaran kulit pisang itu muncul entah dari mana...dan ternyata pelakunya adalah...dia? Aku sungguh geram mendengarnya. "Gara-gara kau aku kelindas truk!" Aku berteriak kepadanya. "Buang sampah pada tempatnya donk! Bagaimana sih? Aku sampai mati gara-gara kecerobohanmu..."
"Iya, iya, maaf, aku salah. Makanya, aku memberimu kesempatan kedua. Aku bahkan mengabulkan keinginanmu untuk hidup disalah satu manga favorit-mu bukan?" ujarnya.
Aku tidak tahu harus membalas apa. "Bagaimana dengan roh asli tubuh ini? Eva yang asli bagaimana?"
Reina mengangkat bahu. "Ya, dia sudah ke surga donk."
Aku mengeryitkan dahi, merasa terganggu akan informasi bahwa Eva yang asli benar sudah tiada. "Aku tidak mengerti. Bagaimana bisa kau melakukan ini?"
"Hello, aku ini dewa kematian, garis bawahi kata dewa ya..." jawabnya dengan agak sombong.
Aku jadi gondok lagi. "Kenapa tidak mengembalikan aku ke tubuh asli-ku?"
Reina pura-pura berpikir. "Bisa sih sebenarnya tapi aku rasa kau tidak bakal mau bukan kembali ke tubuh yang cacat? Jika kau kembali ke tubuh aslimu, kau harus hidup dengan cacat diwajah dan tidak bisa jalan lagi. Apa kau mau begitu?"
Aku tertegun mendengarnya. Aku cacat? Jika aku berada ditubuh asliku, aku harus hidup dengan kecacatan semacam itu? Aku bakal jadi beban untuk keluarga donk. "Katamu, kau dewa! Apa kau tidak bisa menyembuhkan cacat tubuhku?"
Reina membentuk tanda silang dengan kedua lengannya. "Tidak bisa." tuturnya. "Makanya, aku segera menarik jiwa-mu sebelum kau diseret ke limbo. Kematian dengan warna kuning itu agak sulit lho. Jiwa-mu bakal harus menunggu antrian panjang untuk diurus biro intervensi surgawi. Dan, jujur saja, dengan poin karma-mu, kamu bakal lahir sebagai binatang...mungkin anjing atau kucing atau babi...tergantung hasil investigasi mereka."
Wajahku memucat mendengarnya. "T-terus kenapa aku bisa jadi di dunia manga? Ini bukan dunia asli bukan?"
"Tentu saja ini dunia asli donk. Setiap cerita yang dibuat orang-orang, semakin banyak disukai, akan membentuk dunianya sendiri. Aku terpaksa menyelinap masuk ke dunia ini demi kau, demi mengabulkan keinginanmu." ujar Reina.
"Jadi, kamu benar-benar seorang dewa kematian?! Malaikat maut?! Shinigami?! Angelo della morte?!" cerocosku. "Kalian benar-benar ada?"
Reina mengangguk membenarkan.
"Tunggu, koq nama-mu bahasa jepang? Aku kan tidak tinggal di jepang sebelumnya?"
"Ah, begitu saja dipusingkan. Reina adalah nama aliasku donk. Kan aku ikut kamu minggat ke jepang. Harus beradaptasi juga donk."
"Oh, begitu." Tunggu, tadi dia bilang aku warna kuning? "Reina, bisakah kau menjelaskan maksud warna kuning?"
Reina tersenyum. "Ya, seperti pengertianmu, kuning adalah warna orang yang mungkin akan mati. Bergantung pada situasi, intervensi dari malaikat atau dewa kematian sepertiku, bisa mengubah warna seseorang. Seperti...pasien gawat darurat itu...seorang malaikat dapat 'membisiki' atau 'membimbing' manusia lain untuk menolong seseorang yang berwarna kuning, dalam hal ini, malaikat itu membimbing tangan Dokter yang mengoperasi pasien itu."
Aku menganggukkan kepala tanda mengerti. Aku menatap Reina dengan penasaran. "Tapi, kenapa kau memberiku penglihatan mata shinigami?"
"Iya, sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud melakukan itu, sepertinya esensiku ada menempel ke dirimu saat aku membawa jiwamu ke dunia ini." ujar Reina. "Anggaplah itu...efek samping?"
"Jadi, hal ini tidak disengaja?"
"Yup."
"Lalu, bagaimana? Apakah kau bisa menghilangkan kemampuan ini?"
"Kamu ingin menghilangkan kekuatan supernatural-mu?"
Aku menatap Reina dengan curiga. Apa Reina ini bisa membaca isi pikiranku? Koq, dia bisa tahu juga soal pemikiran kekuatan supernatural?
"Iya, tentu saja aku bisa. Kalau tidak, bagaimana aku bisa memutuskan membawamu ke spesifik dunia manga Detective Conan?" Reina menjawab pertanyaan dalam pikiranku. "Dan, aku memang mengawasimu semenjak kau bangun pertama kali di dunia ini. Bagaimanapun, I have a duty of care ." Dia tersenyum lebar saat mengutip kalimat dari seri film Doctor Who yang merupakan salah satu film favorit-ku.
Aku tidak terlalu fokus akan kalimat itu, terlalu sibuk memikirkan Midori. "Jadi, dengan kemampuan ini, apakah aku boleh mengintervensi jalan hidup seseorang?" tanyaku.
"Ya, boleh saja kalau kau mau dan bisa. Tapi, ingat, jangan mengusik warna lain selain kuning." ujarnya. "Dan, sebaiknya kau juga berhati-hati. Pasalnya, kau ini jiwa yang masuk dengan tidak legal ke dunia ini. Jika shinigami yang asli dari dunia ini menyadari kehadiranmu, kau bisa diseret ke biro kejiwaan mereka. Kau bisa dipenjara. Aku pun bisa dalam bahaya. Jadi, kau harus super hati-hati."
Wajahku memucat mendengarnya. Yang benar saja, kenapa situasiku jadi makin konyol?
"Tunggu, soal Midori, dia kan berwarna kuning, kenapa tidak ada yang menyelamatkan dia?"
Reina mengangkat bahu. "Mungkin shinigami yang bertanggung jawab malas menyelamatkannya." ujarnya asal.
Aku geram mendengarnya. "Malas?!"
"Hei, jangan marah terhadapku donk. Anak itu bukan tanggung jawabku juga. Aku bukan shinigami asli dunia ini." gerutu Reina tidak senang dengan nada suaraku yang tinggi. "Kamu mesti mengerti juga donk. Jiwa yang ada didunia ini kan sungguh banyak, pastilah ada sepuluh atau seratus jiwa yang keselip dari pengawasan para shinigami. Lagipula, jika kau sangat ingin menyelamatkan anak itu, seharusnya kau yang melakukan sesuatu kan? Jika saja saat itu kau memanggilnya, mungkin saja interaksi kalian yang cuma beberapa menit saja bisa mengubah takdir anak itu. Dan anak lain yang akan jadi korban." sergahnya dengan tidak sensitif. "Lagipula, anak itu masuk surga jadi dia tidak apa-apa sekarang. Warna kuning itu agak complicated."
Aku terhenyak mendengarnya. Aku merasa sungguh bersalah sekarang terhadap Midori. "Jadi, aku sungguh boleh menolong seseorang dengan ini?" tanyaku.
"Yaaa, kalau kamu mau jadi pahlawan, silahkan saja. Tapi, apa kamu yakin ingin membebankan dirimu melakukan hal yang heroik seperti itu? Sebenarnya manusia yang memiliki mata shinigami itu nasibnya tidak begitu bagus." Matanya menerawang jauh, seakan-akan mengingat kejadian di masa lalu. Dia menggelengkan kepala seakan ingin mengusir memori itu. Dia memandangku dengan kasihan. "Aku minta maaf karena menjematkan nasib sejelek itu padamu."
"Apa sebelum aku, ada juga orang yang memiliki mata shinigami?" Entah kenapa, aku jadi ingat manga Death Note. Kudengar ada novel khusus tentang L yang sedang mengejar pelaku pembunuhan yang dirumorkan memiliki mata shinigami, akan tetapi aku tidak tahu jelas karena aku tidak membaca novel tersebut. Aku jadi waswas mendengar perkataan Reina soal nasib jelekku karena memiliki mata shinigami.
Memang dipikir-pikir, manusia yang memiliki kemampuan ini memang pastinya akan menderita bukan? Aku bergidik memikirkan bagaimana jika suatu hari aku melihat warna hijau Papa dan Mama berubah menjadi warna lain. Bagaimana jika warnanya merah yang berarti tidak boleh diubah? Kalau menurut penjelasan Reina, hanya warna kuning yang nasibnya kemungkinan bisa diubah. Benar-benar nasib lebih buruk dari kematian. Aku jadi merasa sedih sekali jika memikirkan hal itu yang pasti akan terjadi kedepannya karena kematian pasti menghampiri semua orang.
Reina tidak menjawab sesaat sepertinya sedang memikirkan jawaban pertanyaanku. "Mungkin. Jiwa yang tersesat sepertimu ada banyak. Aku yakin bukan hanya aku saja yang melakukan kesalahan mencabut nyawa seseorang sebelum waktunya. Mungkin saja untuk menghindari hukuman, mereka mengirimkan jiwa tersebut ke dunia lain seperti kejadian denganmu." ujarnya sambil mengangkat bahu lagi seakan hal itu bukan masalah besar.
Aku mengerutkan dahi mendengar penjelasannya. "Sepertinya...shinigami itu...kurang bisa diandalkan ya...dan sepertinya agak tidak bertanggung jawab."
"Hei!" Reina kelihatan tersinggung.
"Apa aku boleh tahu perbedaan warna biru dan merah? Apakah jenis kematian yang berdasarkan kedua warna itu?" tanyaku.
"Cari tahu saja sendiri!" seru Reina sambil memanyunkan bibirnya menunjukkan kekesalannya padaku.
"Iya, aku minta maaf telah membuatmu tersinggung. Kau beda dengan shinigami lain. Kau muncul dihadapanku dan memberiku penjelasan untuk semua pertanyaanku. Reina is the best!" seruku berakting kekanak-kanakan didepannya supaya dia tidak lagi marah padaku dan memuji-muji dirinya.
Reina menatapku dengan mata berbinar-binar dan langsung menghambur memelukku erat-erat sambil mengatakan bahwa Eva sungguh imut.
Pelukannya benar-benar khas malaikat maut.
777
Aku terbangun pagi harinya dan menguap lebar. Aku memandang sekeliling kamar. Tidak ada Reina. Apa semalam itu hanya mimpi belaka? Tapi aku juga tidak ingat kapan aku tidur setelah Reina muncul.
Aku mendengar Mama memanggilku dari bawah untuk segera bersiap-siap ke sekolah. Aku memaksakan diri untuk bangun dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Aku berangkat sekolah dengan hati sedikit lebih lapang. Setelah berbicara dengan Reina dan sedikit banyak sudah mendapat instruksi soal mata shinigami, aku merasa sedikit lega. Tapi, aku tidak tahu apa yang akan hendak aku lakukan kedepannya jika dihadapkan pada warna kuning. Haruskah aku mengintervensi?
Tetapi Reina bilang seharusnya akan ada shinigami yang akan memutuskan nasib warna kuning? Dan dia juga bilang aku harus berhati-hati terhadap shinigami yang dari dunia ini? Tapi bagaimana aku bisa tahu shinigami dunia ini seperti apa rupanya? Jika aku tidak tahu soal mereka, bagaimana aku bisa menghindari mereka?
Aku harus segera menanyakan perihal itu kepada Reina.
"Reina? Kamu ada disini?"
Tidak ada jawaban.
Aku menghela nafas.
777
Reina muncul dihadapanku saat pelajaran math dikelas hari itu. Tetapi, cuma aku saja yang bisa melihat dia. Dia menyindirku karena aku melakukan kesalahan dalam soal math yang aku kerjakan.
Aku menggeretakkan gigi berusaha menyabarkan diri. Jangan sampai aku meledak kesal kepada dia dan membuatku terlihat aneh karena marah kepada seseorang yang tidak ada.
Saat istirahat, aku bilang ke Nanno dan Yuka bahwa aku ingin ke toilet tetapi aku tidak kesana. Aku ke halaman belakang sekolah yang sedang tidak ada orang dan langsung berbicara pada Reina.
"Reina, bagaimana caraku mengetahui keberadaan shinigami di dunia ini?" Tanyaku blak-blakan. Aku harus tahu supaya aku bisa tahu jika mencoba menolong warna kuning harus sambil mengamankan diri sendiri. Aku tak ingin sampai ditangkap dan dipenjara. Hiiih!
Reina menaikkan alis dengan elegan. "Jadi, kau sudah memutuskan untuk menjadi seorang pahlawan?" Tanyanya dengan nada yang merendahkan.
Aku kesal mendengarnya. "Tidak." Kilahku. "Kau sendiri yang bilang agar jangan sampai ketahuan oleh mereka."
"Ah, benar juga. Sebenarnya sih gampang koq cara mengenali mereka." Ujar Reina sambil mengulum senyum manis. "Kau tak bisa melihat nama dan tanggal kematianku bukan?"
Aku terbelalak. Kenapa baru menyadari hal itu? Ya, aku kira hal itu wajar karena Reina adalah shinigami. Jadi, berarti orang yang tidak bisa kulihat nama dan tanggalnya adalah shinigami?
"Lalu, bagaimana jika pada skenario terburuk, salah satu dari mereka melihatku? Apakah dia akan merasakan kejanggalan terhadap diriku?"
"Ya, tentu saja, mereka mungkin akan langsung menyadari bahwa jiwa-mu bukan berasal dari dunia ini." Ujar Reina. Dia mengeluarkan sebuah kalung dengan bandul uang logam kuno. "Pakailah ini. Semacam jimat. Jika seperti katamu salah satu dari mereka melihat jiwa-mu, jimat itu semacam perception filter, membuatmu tidak kelihatan mencolok saat mereka melihatmu. Makanya, jangan bertindak drastis yang membuat mereka menyadari kejanggalan pada dirimu. Mengerti?"
Aku memandang kalung jimat itu dengan terkagum-kagum. Perception filter, aku jadi ingat seri Doctor Who. Aku kecewa sekali banyak buku/film/lagu kesukaanku yang tidak ada didunia ini termasuk Doctor Who itu.
"Terima kasih, Reina." Aku tersenyum padanya setelah dia membantuku memakai kalung itu.
"Ah, Eva, kau sungguh imut!"
Lagi-lagi dia memelukku erat-erat.
777
Setelah kejadian Midori, untunglah aku tidak menemui kejadian dimana aku benar-benar harus bertindak. Sebenarnya aku masih ragu-ragu apakah aku berniat untuk menggunakan kemampuanku untuk mengubah nasib kuning. Aku takut tak bisa menolong siapapun. Aku takut hanya memperburuk keadaan.
Tapi, jika teringat Midori, rasa bersalahku melonjak tinggi dan aku jadi terpuruk. Ah, aku ini bukan orang yang berani dan bijaksana ya. Aku pengecut.
"Jangan berpikir buruk begitu. Tidak ada yang berekspektasi kepadamu untuk menjadi pahlawan. Jalani saja kehidupan normal. Kau bukan tokoh utama dalam manga, Eva. Dan lagi saat ini, kau hanyalah anak kecil." Ujar Reina mendadak muncul.
777
Akhirnya aku bertemu Amuro saat aku dan Mama makan siang di Poirot. Aku terperangah saat melihat pria itu. Mama menggodaku mengatakan bahwa aku sepertinya terpesona pada pelayan berwajah tampan itu.
"Mama sudah punya Papa. Mama tidak boleh suka pada dia." Sergahku.
Mama tersenyum geli mendengar ucapanku yang seakan-akan hendak memonopoli seorang Amuro.
Mama membuka laptopnya untuk mengerjakan pekerjaannya. Aku juga membuat PR-ku disana.
Papa dan Mama sama-sama pekerja yang sibuk. Mereka tidak sempat untuk memasak makanya aku selalu saja diajak makan diluar kebanyakan.
Ugh, aku benar-benar benci matematika. Aku menarik kembali ucapanku bahwa matematika SD gampang. Sepertinya pendidikan di jepang ini lebih berat. Aku hampir mencak-mencak sendiri saat mengerjakan PR.
Aku tidak mengira Amuro memperhatikanku. Dia lalu menunjukkan kesalahan yang aku buat dalam PR. Aku terperangah menatap pria itu.
Mama tersenyum melihatku. Dia meminta Amuro jika tidak terlalu sibuk untuk mengajariku. Aku melototi Mama. Dia malah tersenyum. "Maaf, Eva, Mama-mu ini juga paling lemah dalam pelajaran math."
Aku mengeryitkan hidungku ke arah Mama dan memanyunkan bibirku.
Amuro tersenyum melihat kami berdua. "Jika tidak keberatan, aku bisa mengajarimu."
Mama menyuruhku memperkenalkan diri kepada Amuro.
Kebetulan saat itu Poirot sedang sepi jadi Amuro duduk dihadapanku dan dengan kesabaran yang luar biasa mengajariku setiap soal math di PR hari itu.
Ah, kepalaku terasa berat. Aku tak bisa konsentrasi berdekatan dengan orang ini. Tapi, dia seorang guru yang baik dan dia berniat sekali untuk membantu orang yang kesusahan. Aku pernah baca manga yang berfokus pada tokoh Amuro. Dia digambarkan sangat serius akan tokoh yang diperankannya, dia melakukan segalanya lebih dari yang dibutuhkan.
Benar-benar orang ini adalah tipe idaman semua wanita. Sayangnya, dalam manga, sepertinya dia tidak ada love interest. Belakangan sepertinya fanfiction ada menyertakan Azusa sebagai love interest-nya. Ah, aku tidak rela jika mereka jadi pasangan canon disini.
Aduh, aku ini mikir apa sih? Aku dan dia...tak akan terjadi. Aku anak kecil. Aku masih kecil. Aku sepertinya tetap naksir pada orang ini. Ah, tapi aku juga naksir pada Shuichi juga.
Shuichi dalam manga memiliki love interest. Aku nge-ship dia dengan Shiho atau Jodie. Belakangan ada gosip yang mengatakan bahwa Shiho ada hubungan kekeluargaan dengan keluarga Akai. Kandaslah impianku untuk melihat mereka jadian. Hanya bisa memuaskan hal itu via fanfiction saja. Tetapi, masih ada Jodie dan aku cukup menyukai Jodie. Aku tentu ingin juga Jodie bisa mendapatkan Shuichi.
Hanya saja, keberadaanku di dunia ini membuatku ngeyel, mengharapkan yang tidak mungkin. Aku ingin cepat dewasa dan berharap saat itu, mereka, atau salah satu dari mereka, bisa mengungkapkan ketertarikan denganku.
Aku jadi ingat lagu oldies 'don't cry joni' yang mengisahkan seorang gadis yang jatuh cinta pada pria yang usianya jauh diatas dia. Gadis itu berharap pria itu bersedia menunggu bertahun-tahun untuk dirinya mencapai usia legal. Tetapi lagu itu berakhir agak sedih.
Sebenarnya, rasa sukaku pada kedua orang tersebut masih bisa dibilang dangkal karena aku menyukai penampilan mereka yang cool dan ketrampilan mereka yang membuat mereka tambah keren. Aku tidak tahu apa-apa soal mereka.
Aku jadi mencak-mencak sendiri. Aku menjabak rambutku dengan gemas.
Amuro menarik tanganku dari kegiatan menjambak rambut dan dengan penuh perhatian menanyakan apa ada yang tidak kumengerti. Dia juga bilang aku tidak boleh menyakiti diri sendiri sebingung apapun diriku saat itu.
Ah, orang ini...aku tidak bisa deh...
Mama menahan senyum geli melihat tingkahku.
Catatan penulis: Jika suka dengan cerita ini, mohon kesediaannya untuk menuliskan supporting comment/review ya. Terima kasih.
