Sudah hampir dua minggu, dua minggu yang terasa panjang dan amat sangat membuatku tegang setengah jiwa. Polisi tak berhasil menemukan jejak keberadaan Tatsuo. Polisi masih ditugaskan untuk melindungi diriku dan keluarga namun sepertinya sudah dikurangi petugasnya. Pak Takagi ditugaskan untuk mengawalku kemanapun aku pergi bahkan saat aku sekolah dan les di rumah keluarga Kudo. Aku jadi tak bisa menemui Caleb dan Lizzie yang tak ingin keberadaan mereka didekatku diketahui siapapun.

Dalam dua minggu itu, aku menjalani hari-hariku senormal mungkin tetapi perubahan besar terjadi akibat kejadian yang menimpa Miyuki. Sesuai perjanjian, Kaito telah mengirimkan bukti pelecehan terhadap Miyuki kepada pihak polisi dan komisi perlindungan anak. Akibatnya Ayah Miyuki ditangkap dan Ibu Miyuki diperiksa untuk mengetahui apakah wanita itu tahu soal pelecehan terhadap anaknya dan memilih menutup mata. Tergantung hasil penyelidikan, Miyuki kemungkinan bisa kehilangan kedua orangtuanya jika pengadilan menganggap ibu Miyuki tidak pantas untuk menjadi pelindung dan orangtua tunggal bagi anak itu.

Selama penyelidikan berlangsung, Miyuki tinggal bersama Nenek dari pihak Ibunya untuk sementara waktu. Anak itu jadi jarang masuk sekolah. Apalagi ternyata penyelidikan itu bocor dan membuat kejadian yang menimpa Miyuki masuk berita walau status anak itu sebisa mungkin dirahasiakan. Aku berusaha mengontak Miyuki via chat tetapi anak itu tidak membalas pesan dariku membuatku khawatir bahwa anak itu mencurigaiku sebagai penyebab retaknya keluarganya. Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa aku melakukan hal yang benar dalam perihal Miyuki tetapi tetap saja sebersit rasa bersalah menggerogoti batinku.

Kejadian yang menimpa Miyuki itu sungguh menyedihkan. Ayahnya sendiri pelakunya! Keterlaluan sekali, bukan? Memang benar ternyata keluarga sendiri pun bisa toxic terhadap satu sama lain. Aku paling tidak suka memikirkan bahwa keluarga sendiri membawa ke-toxic-an dalam hidup. Karena seharusnya keluarga adalah naungan perlindungan kita dalam hidup.

Aku jadi teringat akan keluarga asliku di dunia nyata. We are far from perfect. Dalam kekeluargaan secara besar, keluargaku bisa dibilang agak kacau dibanding keluarga sanak saudara lainnya.

Sekeluarga bisa dibilang kondisi mentalnya tidak ada yang stabil. Dan kedua saudaraku mengidentifikasi bahwa keluarga kami itu toxic terhadap satu sama lain baik sengaja ataupun tidak. Maka itu mereka tak sabar ingin keluar dari cengkraman keluarga sementara diriku hanya ingin kami semua tetap bersama.

Tentu saja aku tahu bahwa jika seseorang memang merasakan keberadaan orang yang toxic sudah seharusnya mereka memutuskan hubungan tersebut. Tetapi aku merasa hanya diriku sendiri yang berat hati dalam soal ini. Apakah itu berarti diriku toxic juga? Diriku memaksakan ingin mempertahankan keluarga yang seperti itu terhadap semuanya. Itu sungguh menakutkan tetapi sepertinya kebenaran.

Kurasa suatu kelegaan bagi mereka mungkin bahwa diriku tak ada lagi didunia itu dan tak lagi memanipulasi mereka dengan kelemahanku. Walau aku merasa aku memang sebenarnya tak bisa menahan perubahan yang akan terjadi. Sebenarnya aku tak memiliki pengaruh apapun dalam keputusan mereka untuk menjalani hidup mereka sendiri. I should be happy for them. Dan aku memaksakan diriku untuk mengerti. Tetapi aku tak bisa menangguhkan rasa kesepian dalam batinku walau sebenarnya hubungan kekeluargaan kami semenjak awal memang rapuh. Abandonment issues, someone said.

Aku mendesah galau. Aku hanya bisa berdoa dan berharap bahwa kekuranganku di kehidupan nyata tidak terbawa ke dalam kehidupan kedua ini. Namun mengingat bahwa aku saat ini kehilangan teman-temanku perlahan-lahan membuatku khawatir juga. Aku cemas akan kejadian buruk yang akan terjadi kedepannya.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku berusaha mengusir kepedihan dalam hatiku. Aku masih memiliki Miyuki, dia pasti akan kembali, aku harap. Dan aku juga masih memiliki Papa dan Mama, juga tokoh-tokoh manga DC, bukan? I am not alone in this. I will be fine. I hope.

Bicara soal tokoh manga DC, saat ini aku sebenarnya agak terbebani oleh keberadaan Conan yang tentunya mengetahui soal kasusku dengan Tatsuo yang saat ini sedang buron. Aku merasa anak itu jadi makin mengawasiku, niatnya mungkin ingin melindungiku juga. Herannya dia tidak mendekatiku dan menanyakan soal kebenaran yang kujanjikan kepadanya. Apa mungkin dia belum siap untuk menerima 'kebenaran' dariku yang kurasa dia juga sudah mencurigainya keluar dari logika?

Sebenarnya aku ingin bertanya kepadanya soal apa yang dikatakannya kepada Ai dahulu bahwa dia menyaksikan percakapanku dengan Yohan walau saat itu seharusnya waktu sedang dihentikan oleh shinigami itu. Tetapi aku rasa aku sendiri juga belum siap batin juga untuk memberitahukan kebenaran yang kujanjikan kepada anak itu karena aku merasa agak lega anak itu tidak menekanku untuk memberitahunya. Mungkin anak itu merasa kasihan pada diriku saat ini yang kemungkinan tengah diincar kembali oleh Tatsuo.

Conan pernah menghampiriku sekali untuk memperingatiku agar jangan lupa memakai bros pemberian dirinya dahulu agar jika terjadi sesuatu padaku, aku bisa mengontaknya. Aku memang masih memakainya dibalik kerah bajuku. Conan terlihat tenang saat mengetahuinya dan dia pun mengajariku cara menggunakannya sebagai alat transmitter. Aku menatap anak itu merasa agak terharu atas perhatiannya kepadaku.

Ugh, pikiranku jadi mumet. Aku mendesah pasrah sambil berusaha fokus pada pelajaran disekolah hari itu. Aku memandang keluar jendela dan malah pikiranku jadi menerawang jauh soal macam-macam.

Sepulang sekolah hari itu, aku akhirnya mampir ke Poirot dan aku mengundang Pak Takagi untuk makan siang denganku. Awalnya pria itu menolakku namun aku memaksa orang itu. Akhirnya dia memesan secangkir kopi tetapi aku menambahkan sandwich Amuro yang merupakan menu popular di kafe tersebut.

Amuro menyambut kedatanganku dengan senyum cemerlangnya, membuat jantungku agak berdebar-debar. Aku memang sudah lama tak bertemu orang itu. Terakhir, aku hanya berbicara ditelepon saat aku masih di rumah sakit dan setelah itu, aku tak sempat mampir ke Poirot. Mungkin juga sebenarnya aku agak takut bertemu dengannya karena diriku sendiri juga belum siap batin untuk kemungkinan interogasi darinya mengenai keterlibatanku dengan Shuichi Akai dan Tatsuo Sugiyama. Tetapi aku rasa dia tidak mungkin mempertanyakan soal itu sekarang kepadaku dengan adanya Pak Takagi di sisiku.

Amuro tersenyum ramah kepadaku, menanyakan keadaanku. Aku pun menjawab bahwa aku baik-baik saja.

Azusa mempertanyakan soal keberadaan Pak Takagi disisiku.

"Pak Takagi adalah ksatria pelindungku saat ini." seruku dengan senyum sepolos mungkin membuat ketiga orang dewasa disisiku tersenyum-senyum.

Amuro pastinya juga mengetahui soal Tatsuo yang buron dan dia memang terlihat agak khawatir padaku.

Karena saat itu Poirot sedang sepi, Amuro dan Azusa pun jadi mengobrol denganku dan Pak Takagi, lebih kepada Pak Takagi.

Aku mengamati mereka beberapa saat sebelum mengalihkan pandanganku keluar jendela dan tenggelam dalam lamunanku. Tanpa sadar aku mendesah membuat ketiga orang dewasa didekatku jadi memfokuskan perhatian mereka kepadaku.

Pak Takagi terlihat prihatin kepadaku. Kemungkinan mengasihaniku yang tak bisa merasa aman dengan masih buronnya penjahat satu itu. Sebenarnya aku bisa menyelsaikan semua itu jika saja aku dapat memberanikan diri untuk menggunakan Death Note. Aduh, aku ini plin plan tidak ketolongan.

Aku sudah mencoba untuk menuliskannya namun tanganku sungguh gemetaran saat berusaha menuliskan nama orang itu sambil memandang foto wajah buronan tersebut sesuai peraturan Death Note. Namun akhirnya aku tak sanggup melakukannya. Aku memang payah. Sebenarnya buat apa aku ragu-ragu terus? Orang itu pantas mati, bukan?

Tiba-tiba smartphone Pak Takagi berdering dan dia menerima panggilan tersebut tetapi wajahnya jadi menegang saat mendengarkan percakapan dari telepon itu.

Aku dan Amuro menatap Pak Takagi dengan rasa penasaran namun pria itu tak mengatakan apapun. Entah kenapa aku jadi merasakan firasat buruk saat melihat Amuro pun mengeluarkan smartphonenya sepertinya menerima pesan masuk yang membuatnya terlihat serius juga. Entah keduanya berhubungan apa tidak atau kebetulan semata. Aku khawatir ini melibatkan soal Tatsuo. Namun aku tak akan mendapat jawaban dari keduanya. Jadi aku pun mengirim pesan kepada Subaru dan Caleb untuk menyelidikinya.

777

Aku tercekat saat mengetahui apa yang terjadi. Tatsuo telah beraksi kembali, dia membunuh seseorang dan dia meninggalkan sepotong kue yang menjadi signature dia. Seperti biasa, dia menyiksa korbannya. Kali ini dia meninggalkan pesan lain yang aku yakin 100% ditujukan untukku.

Dia mencabut bola mata korbannya kali ini dan meletakkannya di meja diatas kartu tarot berlambang Death yang jelas merujuk pada mata shinigami.

Barulah aku menyesali diriku yang pengecut karena sok bermoralitas perihal Tatsuo sehingga kini malah jatuh korban lagi.

Setelah mendengar semuanya dari Subaru saat les di rumah Kudo keesokan harinya, aku merasa hampa. Aku merasa sulit bernafas. Aku menyadari agak telat bahwa aku mengalami serangan panik lagi. Subaru dengan cepat berusaha menenangkan diriku.

Korban yang meninggal lokasinya berada diluar kota Beika sehingga polisi pun menggerakkan tim mereka menuju kota dimana TKP berada untuk bekerja sama dengan polisi disana melakukan pemburuan kepada Tatsuo. Tetapi mereka masih menetapkan Pak Takagi untuk melindungiku.

Subaru tiba-tiba menyodorkan sebuah jepitan rambut bunga matahari kepadaku. Didalam bunganya ada alat pelacak jejak. Dia menginstruksikan kepadaku untuk selalu memakainya kemanapun aku pergi. Aku terhenyak sebelum mendesah sembari tersenyum kecil. Aku pun berterima kasih kepada orang itu. Aku langsung memakai jepitan rambut itu.

777

Aku menatap buku Death Note dihadapanku dengan tegang. Tenggorokanku terasa tercekat. Seharusnya sangat mudah untuk menuliskan nama orang itu dan membiarkannya mati dengan penyebab kematian paling natural dalam Death Note namun...jika teringat penyiksaan yang dilakukannya terhadap korban-korbannya selama ini, rasanya serangan jantung terlalu bagus untuknya. Tetapi aku terlalu takut untuk memutuskan kematian macam apa yang cocok untuknya jadinya.

Tentu saja masih ada permasalahan apakah Death Note ini akan berfungsi kepada jiwa ilegal yang berada pada raga yang tidak seharusnya.

Aku menjambak sejumput rambutku dengan geram. Aku tahu aku tak boleh ragu lagi. Aku harus melakukan ini.

Mama memanggilku turun, mengatakan ada tamu yang datang mencariku. Aku menutup buku Death Note dan memasukkan ke dalam laci. Aku pun beranjak turun dengan derap langkah sekeras mungkin. Aku terhenyak saat melihat Amuro dan hampir saja jatuh terjerembap. Dia membawakan bingkisan makanan yang diserahkannya kepada Mama. Ketika dia melihatku, dia tersenyum lembut kepadaku membuat jantungku hampir berhenti berdetak sesaat.

Dibelakangnya, Mama memandangiku sambil tersenyum-senyum dengan alis mata jelalatan seakan ingin menggodaku. Aku sungguh tidak yakin apa Mama benar mendukungku atau hanya ingin menggodaku. Aku sungguh berharap Mama memberitahuku bahwa tamuku adalah Amuro sehingga aku bisa sedikit merapikan diriku yang agak kumal saat ini.

"Kenapa Kak Amuro ada disini?" tanyaku heran.

"Kebetulan lewat saja. Kudengar Eva sedang tidak enak badan hari ini jadi saya membawakan sedikit makanan untuk keluargamu dan juga untuk Pak Takagi." jawabnya.

Aku tak tahu harus bagaimana mendengarnya. Dia sepertinya memang mengawasiku sampai tahu bahwa hari ini aku tidak masuk sekolah. Aku jadi merasa kikuk dihadapannya karena dirinya dan adanya Mama didekat kami. Selain itu aku merasa ini bukan saat yang tepat baginya untuk datang kepadaku. Tetapi mungkin dia datang karena mengkhawatirkan diriku juga. Bisa-bisanya diriku saat ini merasakan kegirangan saat melihatnya disini mengingat krisis yang sedang kualami barusan. Aku hanya bisa mendesah pasrah akan prioritas diriku ini.

Tiba-tiba Mama meninggalkan kami dengan tergopoh-gopoh lalu tak lama kembali sambil melambai-lambaikan empat buah lembar tiket. Dia menyodorkan dua dari empat tiket tersebut pada Amuro dan memintanya agar dia yang menemaniku hari Sabtu nanti ke sebuah taman satwa. Aku heran akan keberadaan tiket tersebut. Mama menjelaskan tadinya dia dan Papa akan membawaku kesana untuk menghiburku. Satu tiket untuk Pak Takagi yang pastinya harus mengawalku juga. Jadi sekarang ada sisa satu tiket yang tersia-siakan.

Tiba-tiba aku jadi teringat akan Miyuki yang masih saja sulit untuk dikontak. Seperti Yuka. Apakah aku akan kehilangan dia juga? Tanpa sadar aku mendesah lagi.

Amuro dan Mama bertukar pandang sebelum memandangiku dengan prihatin.

Amuro menyetujui permintaan Mama untuk menemaniku ke taman satwa tersebut. "Jika Eva bersedia ditemani oleh saya?"

Aku terperanjat sebelum berusaha untuk fokus kepadanya. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyetujuinya.

Mama tertawa geli melihatku membuatku mendelik kepadanya saat Amuro berpamitan kepada kami. Ya, semestinya aku berterima kasih kepada Mama yang telah membuat kesempatan acara bersama Amuro. Terbersit dipikiranku untuk menggunakan sisa tiket satu lagi untuk mengundang Subaru bersama kami. Jangan main-main deh, Eva.

Aku dan Mama mengundang Pak Takagi untuk menikmati hidangan yang dibawakan oleh Amuro tadi. Seusai makan, aku dan Mama menonton TV bersama sambil menunggu Papa. Ketika Papa pulang, Mama menggoda Papa dan diriku dengan mengatakan bahwa aku memiliki acara kencan dengan pria idamanku.

Walau terlihat agak lelah, Papa langsung protes kiri kanan atas bawah saat mendengarnya. "Seharusnya Eva pergi bersama Papa dan Mama, kenapa jadi bersama dia?" tukasnya dengan tidak rela membuat Mama menertawakannya.

"Jangan begitu, Papa, Eva pasti lebih bisa menikmatinya jika bersama dengan Kak Amuro-nya itu. Lagipula...Amuro itu kan detektif, dia pasti akan melindungi anak kita dengan baik." hibur Mama.

Aku mendesah melihat keduanya sebelum tersenyum-senyum. Aku langsung memeluk keduanya tanpa pikir panjang lagi, seakan reflek saja. Kukatakan bahwa aku menyayangi mereka dan saat aku mengatakan hal itu, tidak terasa aneh atau canggung. Beda dengan kehidupan di dunia nyata, sangat sulit bagiku untuk menyatakan secara blak-blakan bahwa aku menyayangi keluargaku. Yang ada aku hanya akan diejek lebay.

Papa dan Mama berpandangan sembari tersenyum sebelum merangkulku dalam pelukan mereka.

777

Aku merasa jantungku berdebur keras dan perasaanku tidak enak. Aku juga merasa mual setengah mati. Aku merasa sungguh sesak nafas. Aku pun meminta izin kepada Bu Guru untuk izin ke UKS. Pak Takagi yang menungguiku didepan kelas terlihat khawatir melihat wajahku yang pucat dan menanyakan apakah aku ingin izin pulang. Setelah mempertimbangkannya aku pun meminta izin untuk pulang saja kepada Bu guru. Pihak sekolah yang mengetahui situasiku memberikan keringanan kepadaku sehingga aku diizinkan untuk pulang.

Sesampainya dirumah, aku menyuruh Pak Takagi untuk masuk saja kedalam rumah daripada menunggu diluar setelah dia memeriksa keamanan dalam rumah, juga karena saat itu Papa dan Mama juga belum berada dirumah. Aku menyuguhkan makanan ringan dan minuman untuknya sebelum naik ke atas untuk tidur.

Saat aku selesai berganti baju, aku meminum obat aspirin sebelum beranjak ke tempat tidur namun tiba-tiba ada yang menyergapku. Orang itu membungkam mulutku sebelum aku bisa menjerit dan semua berubah menjadi gelap.

777

Aku tahu bahwa aku dalam bahaya saat aku terbangun lagi-lagi ditempat yang sangat asing bagiku. Aku terbangun di lantai yang dingin dan agak kotor namun kaki tanganku tidak terikat. Ruangan agak redup dengan lampu yang kurang terang dan tidak adanya satupun lubang ventilasi cahaya disekitar.

Aku dikejutkan oleh putaran lagu dari sebuah speaker berukuran sedang diujung ruangan. Aku mengenali lagu tersebut sebagai lagu hide and seek dari film ready or not. Betapa ironisnya aku menyukai lagu ini dahulu walau konteks lagu tersebut dalam film tidak menyenangkan bagi tokoh utamanya dan bagi diriku dalam situasiku saat ini.

Apakah Tatsuo hendak bermain-main dulu terhadapku sebelum membunuhku?

Aku menggapai jepitan rambut pada poniku dan merasa sungguh lega bahwa jepitan itu masih ada terjemat pada rambutku. Aku pun segera menekan bunga matahari pada jepitan tersebut dengan harapan benda itu akan mengirimkan sinyal kepada Subaru. Kecuali jika lokasi dimana Tatsuo menyekapku jauh dari jangkauan sinyal?

Aku mengutuk diriku sendiri karena melepas baju seragamku sehingga bros pemberian Conan tertinggal terjemat disana. Aku tak bisa mengontak anak itu walau situasi sinyal masih berlaku juga sama dengan jepitan rambut. Apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku yakin Tatsuo yang menangkapku namun aku tak tahu bagaimana dia berhasil menyelinap masuk ke rumahku yang seharusnya sudah aman menurut pemeriksaan Pak Takagi. Orang itu pasti sedang panik saat menyadari aku menghilang.

Aku merasakan ketegangan yang luar biasa sampai seluruh tubuhku terasa kesemutan bahkan wajahku seakan sedetik lagi aku akan mengalami stroke usia dini. Lututku serasa lemas dan tidak bisa diajak bekerja sama untuk berdiri. Aku tahu aku harus membuka pintu satu-satunya yang ada diruangan ini.

Berdasarkan lagu yang diputar secara berulang tersebut, aku menyadari bahwa Tatsuo ingin bermain petak umpet denganku.

Aku mengumpulkan keberanianku dan melangkah menuju pintu. Telapak tanganku sudah berkeringatan saking tegangnya. Aku memutar kenop pintu dan terpekik kecil saat telapak tanganku terasa sakit dan berdarah. Sepertinya kenop pintu itu dipasangi semacam jarum atau pisau yang akan keluar saat diputar. Yang benar saja! Pintu memang berhasil kubuka dan aku dengan ragu-ragu melangkah keluar sambil menekan telapak tanganku yang terluka pada pergelangan tangan kiriku.

Jika pintu ini saja memiliki perangkap, jangan-jangan diluar sana banyak perangkap juga. Mengingat orang itu suka menyiksa korbannya, aku khawatir perangkap macam apa yang disiapkannya untukku. Aku takut. Pikiran pria itu sungguh sinting. Dia menyukai gore, bagaimana jika dia menyiapkan perangkap semacam film Saw? Aku trauma akan film pertamanya dan tak berani menonton sekuelnya sama sekali.

Aku mencubit diriku dengan agak geram yang masih saja bisa memikirkan film disaat seperti ini. Walau dalam film horor macam Scream, mereka banyak menceritakan bumbu yang membuat sebuah film horor, horor. Lihatlah, lagi-lagi aku memikirkan film! Ugh!

Aku menggeleng-gelengkan kepala keras-keras berusaha fokus. Aku sungguh berharap sinyal pada jepitan rambut ini mencapai Subaru. Jika tidak, habislah aku.

Aku benci ketegangan ini. Aku lebih memilih dia segera mengakhiri semua ini jika aku tak memiliki harapan untuk bebas. Tetapi mengingat MO dia, aku sungguh sial bahwa aku pun kemungkinan besar akan mengalami penyiksaan darinya dulu.

Sekarang waktu yang bagus untuk kehilangan nyawa dadakan akibat kehabisan waktu karena tak menyambung nyawa. Setidaknya lebih baik daripada disiksa olehnya. Dan aku tak ingin membiarkan orang brengsek satu ini mendapatkan esensi shinigami-ku.

Sempat terlintas padaku untuk menemukan tempat bersembunyi saja supaya tidak jatuh dalam perangkap apapun namun saat aku mendengar derap langkah pelan diiringi suara nyanyian pria itu yang meledekku sebagai domba malang, aku tahu aku harus kabur.

Aku ingin menjerit namun aku tak yakin akan ada yang mendengarkanku.

Tempat ini, dimanapun ini, sangat luas dengan berbagai macam ruangan. Salah satunya juga ada ruang pemanggangan yang bagai ruang pejagalan. Benar-benar tempat ini bagai mimpi buruk yang horor.

Saat sedang berpetak umpet menjauhi Tatsuo, aku beberapa kali jatuh dalam perangkapnya. Karena aku bertelanjang kaki, aku terluka saat memasuki ruangan yang dipenuhi pecahan kaca di lantai dan di setiap dinding dalam ruangan dalam keterburuanku untuk menghindari Tatsuo.

Aku tak tahu sampai kapan dia akan bermain-main seperti ini sebelum dia menangkap dan menyiksaku. Aku takut dia akan mencungkil mataku seperti korban terakhirnya.

Sialnya kakiku yang terluka meninggalkan jejak berdarah kemanapun aku pergi dan tidak seperti di film-film, merobek baju sendiri untuk dijadikan perban tidak mudah.

Aku ingin menangis. Aku ingin menjerit. Namun aku tak bisa melakukan keduanya. Aku mulai berpikir aku tak akan bisa lolos kali ini, bahwa keberuntunganku sudah habis. Apakah aku harus pasrah saja menerima kematianku?

Aku teringat pemikiranku dahulu bahwa kepesimisanku membuatku merasa tak berhak untuk berjuang demi hidup. Kisah cerita itu dimana wanita-wanita pesimis itu tak menjerit meminta tolong saat ditangkap pembunuh serial. Apakah aku demikian? Saat ini...detik ini...

Kepalaku terasa berkunang-kunang. Aku berpikir apakah ini efek dari ragaku yang mulai gagal ataukah efek dari situasi buruk saat ini?

Aku merasa kegelapan menyelimutiku sesaat. Aku tak tahu jelas apa yang terjadi selanjutnya saat kesadaranku menghilang yang sepertinya hanya sesaat saja tahu-tahu aku melihat Tatsuo sudah jatuh terkapar di tanah. Apakah aku yang mendorongnya? Aku tak ingat.

Aku merasa leherku agak sakit seakan aku habis dicekik dan pipi dan sudut bibirku sakit seperti habis dipukul keras. Kepalaku juga masih berdenyut keras. Telapak tanganku juga tersayat parah, berdarah, terasa perih sekali. Seluruh tubuhku sakit seperti habis dibanting.

Aku berusaha fokus pada pria itu.

Tubuh pria itu terluka oleh lempengan tiang besi yang menembus dadanya saat dia jatuh, membuatnya menjerit kesakitan dan mengutukku. Aku melihat salah satu kakinya terluka. Sebuah kilasan balik saat aku bersmbunyi dibalik tangga dan menikam salah satu betis kakinya dengan pecahan gelas.

Suatu benda yang jatuh didekat pria itu menarik perhatianku. Aku melangkah turun perlahan-lahan mendekati pria itu. Aku memungut kunci besi hitam yang kukenali. Kunci itu sama persis dengan yang kudapatkan dari mimpi akan anak kecil misterius yang memintaku untuk membunuh Tatsuo. Apakah ini kunci yang sama?

Aku menoleh menatap pria itu. "Darimana kau mendapatkan kunci ini?"

Pria itu awalnya tidak mau menjawabku. Aku dengan geram memungut pisau yang jatuh didekatnya dan mengancamnya tetapi dia malah menertawakan diriku.

"Kau tak akan berani melakukan apapun kepadaku. Kau bisa melakukannya selama ini namun kau tak mau melakukannya. Bahkan saat kau memiliki kunci yang sama dengan itu." ejeknya.

"Kau pikir detik ini aku tak akan melakukannya?" tukasku.

Dia hanya tersenyum merendahkanku.

"Apakah kau tidak merasa aneh bagaimana aku bisa mengalahkanmu saat ini?" tanyaku kepadanya. "Aku tak yakin akan berhasil...tetapi sepertinya aku berhasil memutar balikkan keadaan, bukan?"

Dia mendengus seakan tidak mempercayai klaim-ku.

Aku merabah ke arah pergelangan tanganku dimana gelang lentur berisi secarik kertas Death Note berada. Aku menarik kertas tersebut dan menjatuhkannya ke tangan pria itu.

Pria itu terlihat heran namun dia memungut kertas tersebut.

Tercantum tanggal dan jam hari itu pada kertas diikuti nama orang itu.

Pria itu membelalakan matanya saat dia membaca kalimat dalam kertas.

Tatsuo Sugiyama. Mati akibat kebanyakan kehilangan darah setelah korban terakhirnya berhasil memutar balikkan keadaan kepadanya.

"Apa-apaan ini? Omong kosong apaan itu?" serunya berulang-ulang sebelum melemparkan kertas tersebut kepadaku.

"Jadi aku tak memberitahumu soal Death Note sebelumnya. Dan melihat reaksimu, kau tidak tahu menahu apapun soal Death Note." ujarku pelan. Aku menjelaskan sedikit soal fungsi Death Note kepadanya. "Aku ingin tahu apakah akan berhasil jika menuliskan namamu berdasarkan raga keduamu ini. Sepertinya berhasil."

"Aku sengaja memilih tanggal hari ini dan jam secara random. Aku berpikir ingin mengakhiri pemburuanmu. Aku ingin tahu apakah akan berhasil. Aku tak mengira saat menuliskan korban terakhir pada Death Note bahwa diriku yang akan menjadi sasaranmu. Kukira kau masih akan membunuh orang lain mengingat bahwa kau tidak berada di Beika dan aku ingin memberi kesempatan pada orang itu, siapapun dia, untuk mengalahkanmu." jelasku pelan.

Lututku melemas dan aku membiarkan diriku duduk di lantai didekatnya. Aku merangkul diriku sendiri yang gemetaran.

Tatsuo mendadak tertawa terkekeh-kekeh sebelum terbatuk-batuk berdarah. "Kau memiliki Death Note itu sejak lama dan baru menggunakannya sekarang?"

"Sebenarnya aku tak ingin menggunakannya sama sekali, kau yang memaksaku melakukannya..."

"Jadi sekarang bagaimana? Kau akan menungguku untuk mati? Bagaimana jika aku tak mati? Apakah kau akan mengotori kedua tangan kecilmu itu untuk mengakhiriku?" tanyanya.

"Darimana kau mendapatkan kunci ini?" tanyaku. "Apakah yang memberikanmu benda ini seorang anak kecil?"

"Anak kecil? Aku tak tahu. Yang memberiku kunci itu orang dewasa." jawabnya.

"Siapa?" tanyaku dengan agak sengit.

Pria itu menatapku sesaat lalu tertawa lagi. "Hah, seharusnya aku langsung membunuhmu daripada bermain dengan nyawamu dulu... Jadi aku akan mati ya sekarang? Apa yang akan terjadi padaku?"

"Kau akan pergi ke tempat itu..." tukasku.

"Tempat itu...?"

"Tempat yang buruk..."

"Neraka? Aku tak percaya soal surga ataupun neraka."

"Bukan neraka, tempat itu...khusus untuk jiwa ilegal seperti kita..."

"Kau tahu banyak ya..."

"Tidak juga. Aku tak tahu soal kunci ini."

"Kunci itu membuka lubang kunci pintu manapun dan akan membawamu kemanapun kau mau." jelasnya.

Aku menatap kunci yang dimaksud, menyadari berkat benda inilah, dia berhasil menculikku. Kunci ajaib yang bagaikan pintu ajaib Doraemon...yah?

Aku tertawa histeris saat teringat kejadian yang lalu saat pria dihadapanku ini mengira diriku berada dalam fandom Doraemon.

Pria itu menatapku seakan aku sudah sinting. Berani-beraninya dia menghakimiku padahal diantara kami berdua, sudah jelas dia lebih sinting.

"Hei, boleh aku tahu nama aslimu?" tanyaku setelah puas tertawa.

"Buat apa?"

"Hanya ingin tahu saja. Namaku benar-benar Eva, yang beda hanya nama keluarga saja."

Betapa anehnya situasi kami saat ini, kami malah jadi mengobrol ditengah derasnya darah yang mengalir dari luka pria itu yang kini menggenangi lantai disekitar tubuh pria itu dan bahkan menyisipi pergelangan kakiku.

Kukira dia tak akan meladeniku tetapi dia lalu memberitahukan nama aslinya kepadaku. Namanya jauh berbeda dengan namanya yang sekarang.

Pria itu terlihat semakin melemah setelahnya. "Apa kau akan menuliskan nama asliku pada kertas itu?"

"Apakah kau ingin aku menuliskannya?"

Untuk sesaat tidak ada jawaban.

"Ya."

Aku mengambil gelang lentur di lantai dan meletakkan kertas di lantai yang bebas darah. Aku pun menuliskan nama asli orang itu pada baris yang masih kosong.

"Dalam 40 detik ya..." tukasnya pelan.

Aku mengangguk pelan sembari memandanginya dengan agak...prihatin? Apa yang salah denganku?

Aku terhenyak saat pria itu mendadak mengerang kesakitan akibat serangan jantung campur rasa sakit akibat lempengan tiang besi. Lalu dia menghembuskan nafas terakhirnya.

Detik saat dia menghembuskan nafas terakhirnya, aku merasakan aura panas menghembus dari dirinya dan merasuki sanubariku.

Aku menarik nafas panjang seakan menikmati tiap detik saat esensi shinigami pria itu meresap dalam diriku.

Rasanya sangat nikmat. Aku hampir merasa gila karenanya. Tidak heran jika para pemilik mata shinigami jadi tergila-gila untuk mengoleksi esensi shinigami ini.

Aku mendesah kecil sebelum menoleh menatap mayat dihadapanku. Sekarang apa yang harus kulakukan?

Aku memungut kertas Death Note itu. Aku tahu aku harus memusnahkan kertas itu. Saat polisi datang, jika mereka menemukan tempat ini, kertas ini tidak boleh sampai jatuh ke tangan polisi. Aku pun segera membakar kertas itu dengan lilin disalah satu ruangan.

Aku menatap kunci besi hitam ditanganku. Tatsuo mengatakan yang memberikan kepadanya adalah orang dewasa, bukan anak kecil. Siapa pula lagi? Aku mendesah dengan gusar.

Aku teringat akan perkataan Tatsuo akan kegunaan kunci tersebut. Aku memutuskan untuk mencobanya pada salah satu lubang kunci pintu disana.

Untuk sesaat aku hanya bisa terpaku saat pintu yang kubuka setelah memasukkan kunci itu membawaku ke sebuah pemandangan kantor berisi rapat darurat polisi. Namun mereka tak menyadari keberadaanku.

Aku tertegun dalam kehampaan. Tiba-tiba ada yang memanggil namaku.

"Eva?"

Aku terhenyak melihat Amuro dan aku buru-buru menutup pintu. Aku melihat Amuro berlari seakan ingin menggapai diriku namun dia kalah cepat. Aku tak ingin menjelaskan kepada polisi soal kunci ini. Aku merasa sedikit bersalah kepada Amuro yang mungkin saat ini mempertanyakan kewarasannya.

Aku menoleh menatap mayat Tatsuo. Seharusnya aku merasa takut berada di satu tempat dengan mayat namun aku merasa seperti tak dapat merasakan apapun saat ini.

Aku mengantongi kunci tersebut dalam saku baju tidurku. Aku berusaha menemukan pintu keluar namun agak sulit menemukan pintu keluar sebenarnya. Aku bisa gila jika tak ada kunci itu karena yang tahu jalan keluarnya hanya pria yang sudah mati itu.

Aku akhirnya bisa keluar dari gedung pembawa horor itu. Aku menyadari bahwa aku tak berada di Beika. Aku mencari telepon umum namun sial aku tak memiliki koin. Untunglah ada mobil yang lewat dan pasangan dalam mobil mengkhawatirkan anak kecil berlumuran darah.

Tak lama polisi pun menyisiri gedung horor itu sementara aku dibawa ke rumah sakit.

Setelah pemeriksaan dari pihak rumah sakit, aku akhirnya dipersilahkan untuk beristirahat. Aku pun jatuh dalam tidur yang sangat lelap.

Catatan Penulis: Lagi-lagi aku kurang yakin dengan hasilnya walau lumayan juga bukan dengan kegalauan hari ini aku berhasil menyelesaikan satu chapter ini meski hasilnya tak sebagus yang kuharapkan setidaknya bisa menangguhkan dorongan tidak baik. Jelasnya ada kejanggalan dalam chapter ini seperti adanya kemungkinan kesalahan dalam penggunaan Death Note dibiarkan saja yah, jangan komplain. Lalu aku sudah bilang aku tidak pintar menuliskan adegan tegang makanya pasti aneh juga jadinya hasilnya. Gara-gara teh jadi tak bisa tidur akhirnya kuposting saja sekarang. Jika ini masih cukup menarik bagimu, jangan lupa komentar pendukungnya yang lebih bervariasi donk buat energy boost. Tapi mengingat saya sendiri meragukan hasil akhirnya, cuma bisa pasrah saja. Update selanjutnya saya tak bisa menjanjikan kecepatannya ataukah apa akan ada. Terima kasih yang sudah membaca dan berkomentar selama ini. Bye.