The Good Wife (versi Indonesia)
Naruto (c) Masashi Kishimoto
The Good Wife (c) ReiraKurenai
Translated by Star Azura
Setelah sekian tahun lamanya tidak pernah mengudara, ntah kenapa jadi terasa sangat canggung membuka akun sendiri. Dan sejujurnya kembali belajar bagaimana caranya mempublish sebuah fic ^_^
Ada rasa rindu yang membuncah untuk kembali bertegur sapa dengan para pecinta kisah Fanfiction Naruto.
Saat membuka PM aku melihat balasan dari pesan yang kukirim beberapa tahun lalu kepada ReiraKurenai
Pesan itu berisi izin untukku menterjemahkan Fic favorite karyanya yang berjudul The Good Wife yang ternyata saat ini sudah terbubuhi tanda complite!
hmm... jadilah Fic terjemahan ini!
Yang aku upload sambil berpikir apa aku bisa menyelesaikan 2 fic karyaku yang aku telantarkan selama bertahun-tahun?
Ntah lah...
Yang pasti aku ingin menyapa kembali orang-orang yang masih setia membuka fandom Naruto dengan fic terjemahan ini.
I hope you happy to read
Just like ... I'm Happy to Translated
Enjoy it...!
Btw, aku lupa caranya membuat garis pemisah antar segmen #$%&
The Jump
Ino terduduk lemas diatas kursi kayu dan meletakkan kepalanya keatas meja didepannya. Aroma kaldu yang lezat memenuhi hidungnya, membuat perutnya keroncongan. Ino mengerang dan melihat pemilik warung Ramen dengan tatapan memelas.
"Bawakan aku semangkuk Ramen terbesar yang pernah kau buat, Paman," pintanya.
Teuchi tertawa, "Satu-satunya orang yang memesan itu adalah Naruto!"
Ino tersenyum lalu merosot sekali lagi. Hari ini terasa sangat berat dan melelahkan. Jadi yang dia butuhkan sekarang adalah makanan yang menenangkan dan mengenyangkan. Dia tahu bahwa makan berlebihan itu tidak sehat dan dia memilih untuk tetap langsing, tetapi ketika Kau membutuhkan kenyamanan dan tidak ada tempat lain untuk mendapatkannya, maka makanan adalah pilihan yang terbaik. Mata birunya terbuka ketika dia merasakan gerakan di sampingnya. Dia menoleh dan berkedip ketika dia melihat wajah yang sangat akrab menatapnya dengan seringai konyol.
"Iblis Ramen yang dibicarakan datang," ujar Ino sambil menguap dan menegakkan tubuhnya, "Hay, Naruto!"
Naruto menyeringai, "Apa kau sedang membicarakan aku?"
"Dia memesan semangkuk besar Ramen," kata Teuchi sambil meletakkan mangkuk di depan Ino. Naruto tampak terkesan dan tak percaya Ino berani menelan Ramen begitu banyak. Ino menatap mangkuk itu dan menelan ludah. Setelah makan malam dia mungkin perlu istirahat panjang di toilet. Dan berlama-lama di toilet pasti sangat-sangat tidak nyaman.
"Paman, bawakan aku menu yang sama!" Naruto berseru. Teuchi mengangguk. Ino mengambil sepasang sumpit, menariknya terpisah, lalu mulai mengaduk makanannya. Keheningan menyelimuti duo pirang itu. Pesanan Naruto tiba dan segera keduanya menyeruput mie bersama-sama. Ino merasa tidak nyaman duduk disebelah Naruto saat dia harus menghadapkan wajahnya pada semangkuk besar Ramen. Biasanya dia hanya akan melakukannya jika sendirian. Tapi baiklah, Naruto itu bodoh – Dia tidak akan memperhatikan tanda-tanda kalau kau sedang tidak sehat.
Ino lantas mengangkat mangkuk itu dan meminum semua kuah kaldu didalamnya. Setelah selesai, dia meletakkan mangkuk itu di meja dan menghela nafas dengan puas. Dia merasa jauh lebih baik sekarang. Bahkan, dia merasa luar biasa meskipun dia telah makan dua kali lipat dari jumlah yang biasanya dia makan.
"Kau tau apa?" Ino tiba-tiba berbicara dengan keras, "Maaf Teuchi-san, aku butuh waktu sebentar!"
Teuchi tersenyum dan mengangguk. Naruto menatap Ino dengan mata terbelalak.
"Apa?" Ino bertanya dengan perasaan tak enak. Apakah ada sesuatu di wajahnya?
Naruto menggelengkan kepalanya, "Tidak ada ... hanya mengejutkan, itu saja. Gadis-gadis biasanya berdiet dan atau semacamnya."
Ino mengalihkan pandangannya. Dia benar-benar tidak ingin berbicara tentang diet dengan Naruto sekarang. Sebagai gantinya, dia punya rencana besar, "Naruto, pesan semangkuk lagi dan kita akan berlomba!"
Mata Naruto berbinar, "Kau serius!"
Naruto memesan lagi dua mangkuk besar ramen. Dan mereka menunggu pesanan dalam diam. Naruto melirik Ino. Ino tampak mengerikan. Rambutnya berantakan, ada lingkaran hitam di matanya. Itu mengejutkan. Ino selalu terlihat hidup dan mempesona. Setahu Naruto Ino lebih memilih mati dari pada membiarkan seseorang melihatnya dalam kondisinya seperti saat ini.
Ino tau Naruto sedang memperhatikannya. Tapi dia berusaha untuk tidak balas melihatnya. Pria itu mungkin bertanya-tanya apa yang telah terjadi padanya. Saat ini dia memang terlihat seolah baru tersapu angin tornado. Ino menyeka keringat dari alisnya dan menahan kuapan. Dia mengalihkan pandangannya ke uap yang mengepul dari kaldu mendidih. Aroma Ramen yang sedap pun tercium. Ino diam-diam tersenyum ketika dia menatap kepulan uap itu.
Merasa seolah dia bisa melayang diatasnya.
.
/
.
.
/
Ino membuka matanya dan mencoba untuk duduk. Selimut menutupi tubuhnya. Ino mengerutkan kening dan menatap sofa yang sedang dia duduki. Bingung, dia memindai sekelilingnya. Dia berada di ruang tamu asing yang didekorasi dengan perabotan dan lukisan yang bagus. Dengan gugup Ino berdiri dan menggoyang-goyangkan jari kakinya di lantai kayu.
Dimana dia? Bukankah seharusnya dia ada di kedai Ramen beberapa detik lalu bersama Naruto? Bingung, Ino mencoba berjalan menyusuri sudut rumah. Di sebelah kanannya ada pintu masuk. Setidaknya, dia pikir begitu. Di sisi kirinya ada lorong panjang yang mengarah ke seluruh rumah dan tangga yang menuju ke lantai dua. Di seberang ruang tamu adalah ruang makan. Ino berjalan gontai memasuki ruang makan. Tidak ada seorang pun di sana.
Ino mengerang ketika dia merasakan sakit berdenyut di kepalanya. Dia memiijat pelipisnya sambil mencoba mencari tahu di mana tepatnya dia berada. Jelas ini bukan rumah Naruto - dia tinggal di sebuah apartemen. Itu juga bukan rumahnya, orangtuanya tidak pernah mampu membeli rumah mewah seperti ini. Dia sangat meragukan itu milik Teuchi dan Ayame ... ini terasa aneh.
Ruang makan terhubung ke dapur. Di dapur, yang dilihat Ino hanyalah secangkir teh dingin dan wastafel yang penuh dengan air sabun. Dengan gugup, Ino membuka beberapa lemari. Dalamnya tampak biasa saja, dipenuhi makanan dan kebutuhan sehari-hari untuk hidup. Tidak ada yang luar biasa. Dia juga mengenali beberapa logo produk lokal - yang berarti dia mungkin masih di Konoha.
Itu bagus ... setidaknya.
Penasaran, Ino meninggalkan dapur dan menuju tangga. Dia perlahan naik satu langkah pada satu waktu, jantungnya berdetak kencang di dalam dadanya. Ino menghela nafas. Kenapa dia begitu gugup?
'Kau di rumah orang asing, Ino!' dia memarahi dirinya sendiri dalam hati. Tentu saja dia akan merasa gugup. Ino mengingatkan dirinya untuk mencari beberapa aspirin saat dia di atas. Mungkin mereka menyimpan obat di kamar mandi? Dia berharap begitu.
Ino setengah jalan menaiki tangga ketika dia mendengar pintu depan di belakangnya terbuka. Dia membeku. Dia bisa merasakan jantungnya melompat di tulang rusuknya. Ini buruk. Bagaimana jika seorang mata-mata menyelinap ke Konoha dan berpura-pura tinggal di sini selama ini? Bagaimana jika dia ditangkap untuk dijadikan sandera? Ino mencoba menduga-duga dalam pikirannya. Akhirnya dia memutuskan untuk berbalik dan menghadapi orang yang datang. Menghirup napas dalam-dalam, dia berbalik. Tangannya mencengkeram pegangan kayu untuk menguatkan dirinya.
'Hentikan, Ino! Kau seorang ninja! ' Ino mengingatkan dirinya sendiri. Dia merasa bertingkah seperti bayi. Ino akhirnya mengalihkan pandangannya ke orang yang membuka pintu. Dia merasa darahnya membeku. Disana ada sesosok orang bertubuh tinggi, mengenakan jubah merah dan putih serta topi yang serasi dengan pakaiannya.
'Hokage? Tsunade-sama? ' Ino bertanya pada dirinya sendiri ketika dia menganga melihat sosok itu. Orang itu membelakanginya dan ketika menutup pintu depan. Ino mengerutkan kening ketika orang asing itu berbalik. Dada orang itu rata. Ino jelas mengingat seperti apa dada Tsunade yang sangat seksi itu. Tidak mungkin Tsunade. Selain itu, mata Ino dilatih untuk menemukan perbedaan antara pria dan wanita dan dia dapat dengan jelas mengatakan dari bahu lebar orang ini bahwa itu adalah pria. Ino mengerutkan alisnya. Siapa pria ini? Dan mengapa dia mengenakan jubah Hokage?
Pria itu mengangkat tangannya dan menarik topinya dari kepalanya, memperlihatkan rambut pirang runcing dan dua poni panjang yang membingkai di sekitar wajahnya. Orang asing itu kemudian menarik jubahnya ke atas kepalanya, memperlihatkan celana panjang biru tua dengan kemeja yang serasi dan jaket antipeluru. Ino ternganga ketika dia mengenali tiga tanda kumis di satu pipinya. Pria itu berbalik menghadapnya dan darah Ino berdesir dingin. Menatap dua permata biru yang indah. Warna biru yang begitu akrab, Ino tidak bisa percaya apa yang dilihatnya. Dia berusaha membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi tenggorokannya terasa kering.
Wajah Naruto Uzumaki berbinar ketika dia melihatnya, "Hei, kau di rumah! Kupikir ibu akan membuatmu sibuk sepanjang hari? Baiklah, aku tidak akan mengeluh!"
Ino terperangah melihat wajah Naruto. Dia tidak terlihat seperti bocah enam belas tahun lagi. Dia lebih tinggi, lebih dewasa dan terlihat lebih bijaksana. Ino tidak bisa membohongi penglihatannya tetapi semakin diperhatikan ia menjadi semakin tampan juga. Naruto... terlihat seperti pria. Dan bukan sembarang orang. Dia tampak seperti Hokage Keempat. Ino mengerutkan kening. Apakah ini mimpi? Apakah dia memimpikan Naruto yang lebih dewasa? Iya! Ini pasti mimpi.
Naruto melepas sandalnya dan merentangkan tangannya di atas kepalanya. Ino hanya memperhatikan pria itu menggantung topinya dan jubahnya di gantungan mantel dekat pintu. Naruto menguap lalu melangkah masuk ke lantai kayu, sepatunya tergeletak di area ubin kecil di depan pintu masuk. Perlahan, Naruto menaiki tangga sampai ia mencapai anak tangga tepat di bawah Ino berdiri saat ini. Tinggi mereka persis sama jika seperti ini. Ino menelan ludah ketika dia melihat tatapan aneh yang diberikan Naruto padanya.
"Kau baik-baik saja?" Naruto bertanya, "Kau terlihat pucat ... apa Ibu membuatmu bekerja terlalu keras lagi?" lanjutnya. Dan Ino tidak tau harus merespon seperti apa.
'Ini hanya mimpi, Ino. Hanya mimpi!' Ino berkata pada dirinya sendiri, tetapi dia benar-benar mulai meragukannya. Apa orang bisa mengalami sakit kepala dalam mimpi? Dia sangat meragukannya. Sakit kepalanya terasa nyata. Apalagi, napas Naruto yang menyapu wajahnya terasa nyata. Dia beraroma seperti mint dan kopi. Itu kombinasi yang aneh, tapi itu aroma yang terasa akrab. Seolah Ino menghirupnya setiap hari.
'Tapi itu tidak mungkin!' Ino berkata pada dirinya sendiri, lagi. Ibunya membenci kopi dan ayahnya bahkan nyaris tidak makan permen. Dia tidak pernah menjumpainya di rumah ... jadi kenapa aroma itu terasa akrab di hidungnya?
"Ino?" Suara Naruto membangunkannya dari lamunannya. Ino berkedip, tetapi masih tidak bisa menemukan suaranya. Ekspresi Naruto tiba-tiba menjadi sangat khawatir. Ino terkejut. Ino belum pernah melihat Naruto begitu perhatian padanya sebelum ini. Matanya melebar ketika Naruto mengangkat lengannya dan mengulurkan tangan padanya. Pipinya terasa geli ketika tangan Naruto mengusap pipinya. Ino terdiam membeku. Dia bahkan tidak memiliki kekuatan untuk menepis tangan Naruto. Kenapa Naruto melakukan ini?
"Whoa," Naruto menghela nafas , "kau benar-benar panas ... apa kau demam?"
Ino sekali lagi tetap diam. Jantungnya berdegup kencang di dadanya ketika merasakan jari-jari Naruto yang hangat menggelitik kulitnya. Tangan Naruto bergerak menyentuh rambutnya yang menutupi wajah dan menyelipkannya di belakang telinganya.
"N-Naruto," Ino akhirnya mampu bersuara. Suaranya serak. Dia terdengar seperti wanita tua. Mata biru Naruto beralih menatapnya.
"Hm?" hanya gumaman lembut itu yang dikeluarkan si pirang. Ino menarik napas dalam-dalam untuk mencoba menenangkan dirinya.
"Dimana aku?" Tanya Ino. Akhirnya dia mampu mengumpulkan keberanian untuk bertanya apa yang mengganggu pikirannya sejak dia bangun di ruang tamu tadi. Dia menyadari keterkejutan Naruto. Tangannya yang dengan sayang membelai rambutnya yang pirang membeku diikuti oleh alisnya yang berkerut.
"Apa maksudmu?" Tanya Naruto, "Kau di Konoha ... di mana lagi?"
Ino mengerutkan bibirnya menjadi garis tipis. Jadi dia ada di Konoha. Tapi pertanyaannya adalah Konoha yang mana? Atau lebih tepatnya ... Knoha bagian mana?
"Naruto," gumam Ino, "berapa umurmu?"
Naruto nampak semakin bingung pada dengan pertanyaan Ino, "Tiga puluh tujuh ... Ino, kita baru merayakan ulang tahunku dua minggu yang lalu!"
Ino membeku. Tigapuluh tujuh? Apakah dia baru saja mengatakan tiga puluh tujuh? Tidak, itu tidak mungkin. Tidak mungkin Naruto bisa setua itu ... karena itu berarti dia juga setua itu. Ino yakin dia baru enam belas tahun! Dia makan Ramen dengan Naruto sebelum ini! Dan mereka masih berusia enam belas tahun! Ini adalah mimpi. Mimpi yang benar-benar buruk.
"Aku ... kurasa aku merasa tidak enak badan," keluh Ino sambil memegangi tangan Naruto. Dia merasa pusing dan kakinya goyah. Dia mulai kehilangan keseimbangan. Pintu depan terbuka dan angin sepoi-sepoi memasuki rumah.
"Waahh," teriak sebuah suara, "Ayah! Kau pulang lebih awal!"
Ino melebarkan mata menatapa gadis berambut pirang yang berdiri di ambang pintu. Mata biru yang familier itu balas menatapnya, warna rambut pirang yang terang menghiasi kepala gadis itu. Dia seolah melihat dirinya ketika masih berusia 12 tahun. Ino ternganga.
"Siapa itu Naruto?" Ino bertanya, "Apa dia baru saja memanggilmu 'ayah'?"
Ino merasakan Naruto menegang, dia juga memperhatikan ekspresi bingung gadis itu.
"Ino," lirih Naruto ketika dia meraih lengan Ino dan mengencangkan cengkeramannya, "Kau tidak ingat pernah melahirkannya?"
Ketika kata-kata itu keluar dari bibir Naruto, Ino melakukan hal yang tak terbayangkan. Dia pingsan.
.
.
.
*#To Be Continued...#*
Oke, itu Chapter 1 The Jump
Gimana menurut kalian?
Bahasa terjemahanku masih kaku dan terus terang aku sekarang payah dalam bahasa Inggris dan butuh bantuan GTranslate untuk menterjemahkan fic ini.
so...please give your review
Kalau mau baca versi aslinya silahkan klik link dibawah ini
s/6678938/1/The-Good-Wife
Thanks..
by : Star Azura
