Sebelumnya: Hari raya telah tiba dan Fang merasa kesepian saat semua teman-temannya pulang ke bumi. Bersamaan dengan itu, Kapten Kaizo kembali dari misinya dengan gemilang namun ia tampak tak mampu istirahat. Mendapat ide, Fang mengatur cara agar Laksamana Tarung mengetahui ketergantungan Kaizo dengan stimulan dan berhasil. Kaizo diskors selama 4 minggu dan tak boleh menginjakkan kakinya di TAPOPS. Fang mengusulkan agar mereka berlibur ke Pulau Rintis dan Kaizo menyetujuinya.

.

.

.

.

Chapter II

Of Macchiato and Sugary Latte

.

.

.

.

Pulau Rintis, Bumi - 14.42

Kaizo dan Fang baru saja tiba di Pulau Rintis. Mereka mendarat di hanger bawah tanah TAPOPS-U, praktis menyembunyikan pesawat mereka. Keduanya keluar dari markas bawah tanah itu dengan cepat dan tahu-tahu sudah disambut oleh Boboiboy, Gopal, Yaya, Ying, Tok Aba dan Ochobot.

"Kapten! Fang!" seru Boboiboy, Yaya, Ying dan Ochobot dengan ceria. Tok Aba hanya tersenyum ramah, ia berdiri paling belakang.

"Hai kalian!" Fang balas tersenyum lebar.

"Perjalanannya nyaman?" basa-basi Yaya.

"Lancar?" sahut Ying dan Ochobot.

"Iya. Hanya sedikit bosan," balas Fang.

"Alhamdulillah," sua Boboiboy. Fang melirik ke arah sang kapten.

Kaizo berdiri di belakang Fang, ia tak ikut beramah-tamah. Veteran itu tampak memandangi sekelilingnya seolah mencermati segala benda asing. Fang tahu itu kebiasaan kakaknya yang refleks menelaah lingkungan baru agar waspada pada hal tak terduga.

"Oooh benar rupanya Kapten ikut ke bumi," kata Gopal. "Tadi aku sempat tak percaya Kapten bisa kena skors. Namanya bukan hukuman, tapi liburan!"

"Gopal!" seru Yaya dan Ying bersamaan.

Semua yang hadir menatap Gopal dengan ekspresi terkejut dan gemas. Sudah diberi tahu sejak awal tak usah ungkit-ungkit lagi soal begitu, Kapten saja sampai menghancurkan satu arena berlatih karena marahnya ia diskors!

Agak khawatir, Fang melirik ke arah Kaizo. Raut wajah kakaknya itu tampak tak berubah. Ia bahkan tidak melirik ke arah Gopal.

"Sudah, sudah," Tok Aba menyela, ia maju mendekat. "Pasti Fang dan kakaknya hendak istirahat bukan? Nanti kita sambung di rumah Atok."

"Ayo!" sorak Yaya, Ying dan Boboiboy.

Tok Aba berjalan dahulu diiringi semua yang hadir, menuju mobil minivan putih telur yang terparkir tak jauh dari TAPOPS-U. Van itu yang pernah membawa enam sekawan dan Tok Aba ke Kota Hilir hari raya tahun-tahun lalu.

Sayangnya hari raya ini Yaya dan Ying tak ikut naik, mereka berkata sudah ada rencana hendak tamasya bersama keluarga besar mereka. Sebelum berpisah, Yaya dan Ying menyerahkan sesuatu ke arah Kaizo.

"Oh! Ini bingkisan dari mama saya dan mama Yaya, Kapten," kata Ying sambil menyerahkan goodie bag ke arah Kaizo. "Semoga suka, ehe."

Kaizo tak menduga ia dihadiahi buah tangan. Ia hanya memandang ke arah tas, wajah Ying dan wajah Yaya berganti-gantian. Beberapa detik pun berlalu dan Kaizo sama sekali tidak menyambut hadiahnya, alis sang kapten hanya berkerinyit seolah menelaah.

Wajah Ying sudah memerah malu akibat diabaikan, tangannya masih terulur memberikan tas merah jambu tersebut. Yaya menoleh ke arah Fang dalam tanya sekaligus tak nyaman. Fang segera melangkah maju.

"Abang …?" panggil Fang bingung.

Kaizo memandang Fang sekilas dan akhirnya sang kapten menerima goodie bag itu. Ia membukanya dan melihat kotak transparan berpita berisi kue kering cantik, manisan jeruk dan cokelat berwarna-warni.

Kaizo hendak mengatakan ia jarang makan gula, namun ia hanya mengangguk kecil tanpa bersua agar cepat selesai interaksi membingungkan ini. Ia tak menyadari raut Yaya dan Ying yang lega bercampur harap.

"I-itu resep dari keluarga kami," ujar Yaya, berusaha memecah suasana kikuk.

"Iya, ha-ah, turun-temurun!" timpal Ying cepat-cepat. "Nanti beri testimoni, oke Fang?"

"Bukan biskuit, kan?" tanya Fang, curiga. Boboiboy dan Ochobot berusaha mengintip ke arah tas itu tapi gagal.

"Bukan, Mama Ying yang membuatnya," kata Yaya agak kecewa. Boboiboy, Ochobot dan Fang tampak lega sekali.

"Terima kasih banyak sudah repot bawa bingkisannya," kata Fang mewakili Kaizo. Yaya dan Ying hanya tersenyum lebar.

"Sama-sama!"

Lima menit kemudian, semua orang kecuali Yaya dan Ying telah memasuki minivan Tok Aba. Sang kakek menyetir, Boboiboy memangku Ochobot di sebelahnya. Gopal duduk di jok tengah bersama koper dan paket baju Dolce & Gabbana, sementara Kaizo dan Fang duduk paling belakang.

Fang tahu alasan sang kakak memilih posisi ini—karena ia tak suka ada orang di belakangnya dan kebiasaannya mengawasi lingkungannya. Memang sulit untuk merubah kebiasaan yang sudah berkarat, apalagi sudah terlalu lama Kaizo dalam kondisi begitu.

Fang teralih dari pikirannya saat melihat Gopal membuka kotak putih familiar di depannya, aroma menggiurkan menguar keras. Fang langsung menyambar kotak putih tersebut dari tangan Gopal.

"Gopal! Ini donat wortelku!' seru Fang kesal.

"Minta satu saja!" tarik Gopal.

"Tidak, tidak dan tidak!"

"Kikir benar! Kau kan punya 11 yang lain!"

"Kau kan bisa merubah benda jadi makanan, ya lakukanlah!" Fang mendorong pipi Gopal. Teman tambunnya itu tampak memelas.

"Fang! Minta satu saja!"

Boboiboy dan Tok Aba menghela napas kecil, Ochobot menepuk dahinya.

"Sudahlah Gopal …"

40 menit kemudian, mobil itu berhenti pada sebuah area masuk vila asri dekat Pantai Rintis. Fang sebenarnya hendak memilih hotel selama durasi skors Kaizo, namun ia rasa karena Pulau Rintis terkenal dengan pantai cantik dan vilanya, ia memilih penginapan model begini saja. Selain menawarkan area lebih leluasa dan tidak ramai, fasilitasnya pun lebih nyaman.

Di samping itu, ini pertama kalinya mereka berkumpul di bawah satu atap lagi. Terakhir kali mereka begini adalah saat mereka masih kecil dan bersama orang tua mereka.

"Dah, Fang! Malam ini jam 8 ya, jangan lupa!" kata Boboiboy saat mereka turun di gerbang vila.

"Iya, iya. Rumah Tok Aba, jam 8," sahut Fang seraya mengangkat kopernya.

"Nanti ada Yaya dan Ying juga," kata Ochobot. "Dan Pak Amato akan hadir, walau esok harus berangkat lagi."

"Oh?" komentar Fang sambil menerima paket Dolce & Gabbana dari Boboiboy. "Baiklah, nanti aku dan abangku akan datang jam 8."

Usai perpisahan yang penuh janji, tinggallah Fang bersama Kaizo yang sejak tadi diam saja. Agak kikuk, Fang mengangkat kopernya dan paket Dolce & Gabbana, lantas memasuki gerbang resepsi vila.

Di area asri namun menjeritkan eksklusif tinggi tersebut, beberapa orang tampak memandangi kedatangan Kaizo dan Fang. Mereka lebih memerhatikan penampilan sang kapten yang sangat mencolok itu, sesekali berbisik sambil menunjuk-nunjuk.

Fang langsung teringat jika Kaizo sama sekali belum ganti baju—ia masih memakai jaket khasnya, sabuk utilitas, sepatu boots dan membawa senjata. Walau kapten tidak memakai topengnya karena jam kuasanya sudah disita oleh Laksamana Tarung, namun tetap saja ia tampak seperti orang cosplay tak tahu waktu dan tempat.

Tipikal Kaizo yang tak peduli, tapi Fang tidak begitu. Sang adik merasakan pipinya memanas akibat perhatian yang tidak diinginkan, ia cepat-cepat berjalan menuju area resepsi untuk memenuhi reservasi mereka.

Menapaki bangunan resepsi yang apik, sorot mata semua petugas dan pengunjung kembali tertuju pada mereka. Fang menunduk saja dan menghampiri resepsionis cantik di belakang meja mahoni—petugas itu tampak berusaha tidak memandangi Kaizo dan segala atribut anehnya.

"Selamat sore, selamat datang di Private Villa Cakraloka Pantai Rintis. Ada yang bisa saya bantu?"

"Hai, saya ada reservasi VIP untuk empat minggu ke depan …"

"Baik, atas nama siapa?"

"Atas nama—"

"Mamaaaa! Lihat ada badut!" teriak seorang anak kecil, jeritannya menginterupsi. Fang menoleh dan melihat semua orang di lobi tampak curi-curi pandang ke arah Kaizo. Seorang anak menunjuk ke arah mereka dengan bersemangat, dua anak yang lain menontoni Kaizo dengan mata membola besar.

"Atas nama Fang," jawab Fang pada resepsionis, urat-urat dahinya bermunculan.

Usai mereka mendapat kunci, seorang valet berompi emas hendak mengantar dengan mobil ke vila mereka. Fang menyambutnya dengan sepenuh hati, daripada Kaizo pawai keliling Pantai Rintis dengan seragamnya.

Fang memasuki jok penumpang di sebelah kiri dan Kaizo di sebelah kanan. Saat mereka duduk bersebelahan, Fang baru menyadari ekspresi berbahaya kakaknya. Ia mengendus suasana hati Kaizo yang kian memburuk, Fang lantas mencondongkan tubuhnya pada sang kapten.

"Ada apa, Abang?"

Kaizo melirik sebentar ke Fang dan melipat tangannya ke dada.

"Mereka pasti tidak becus mengerjakan laporannya," ujar Kaizo.

Fang mengangkat kedua alisnya, barulah ia paham sang kakak jengkel akibat memikirkan pekerjaan, bukan karena perhatian orang-orang tadi.

Fang mulai merasa kesal—ini liburan mereka setelah sekian abad, dan Kaizo hendak menghancurkannya dengan mengungkit-ungkit soal TAPOPS.

"Abang, santailah sejenak. Lepaskan tekanan barang sebentar," ujar Fang setengah memohon. Kaizo melempar sorot mata agak menghakimi.

"Santai sejenak? Empat minggu itu bukan sejenak, Fang. Kau tahu banyak hal bisa terjadi selama empat minggu, rata-rata agen itu pemalas dan kurang teliti!" ledak Kaizo. Ia tampak menahan diri untuk berbicara lebih jauh karena ada sopir valet yang mendengarkan.

Kaizo melempar pandangannya ke kaca jendela, hamparan pasir pantai bermacam gradasi terbentang dengan haru-biru ombak menyapanya. Langit cerah dengan awan tipis bak asap, namun Kaizo tak mampu mengagumi kecantikan natural itu. Jika diingat lagi, Kaizo tak pernah mengapresiasi kecantikan jenis apapun, ia merasa itu tak bermanfaat dalam jangka panjang.

Fang menghela napas lemah. Ia menyandarkan kepalanya pada kaca jendela dan matanya menatapi rimbun bunga-bunga dan pepohonan di tepi jalan. Ia tak bisa berdebat pada kakaknya, diam dan menurut adalah senjata terbaik. Kaizo adalah orang yang paling cinta kontrol, gila kerja dan paling perfeksionis yang ia tahu—Kaizo takkan suka jika dibantah kecuali ada alasan lebih bagus.

Fang mengusap wajahnya. Baru saja tiba di sini suasananya sudah asam.

Tak terasa mobil mereka sudah tiba pada sebuah vila cantik yang tersembunyi di antara pepohonan dan bunga-bunga. Tamannya begitu rapi, kolam renangnya jernih dengan bebatuan dan undakan-undakan kecil serta air mancur. Bangunan itu bergaya minimalis modern campur tradisional dan dari kayu, besar dan leluasa untuk dua orang. Lokasinya memberikan privasi dan takkan ada turis lain yang ke sini.

Valet tersebut membukakan pintu bagi Fang, sementara Kaizo keluar sendiri tanpa menunggu. Fang berdiri memandangi vila itu dengan sedikit ragu, gerutuan Kaizo di mobil membuat Fang sangsi jika Kaizo akan betah di sini.

Fang berusaha menghibur diri. Yang jelas, Kaizo akan suka dengan ketenangannya, bukan? Lagipula, vila ini menawarkan banyak pelayanan olahraga air dan fasilitas lengkap, mungkin kakaknya bisa melupakan sedikit soal kekonyolan skors ini dan istirahat sejenak. Fang sudah berusaha keras, ia ingin usahanya berbuah manis dan hubungan dengan kakaknya berjalan hangat lagi. Kalau liburan ini gagal juga, Fang akan—

"Fang, ayo!"

Fang terbangun dari lamunannya dan melihat mobil serta valet sudah tiada, hanya ada Kaizo yang tengah mengangkat barang-barang mereka menuju bangunan vila. Fang cepat-cepat menyusul sang kakak dan mendahuluinya, tangannya merogoh saku mencari kunci. Dengan cepat ia membukakan pintu dan membiarkan Kaizo masuk terlebih dahulu.

Ruang tamunya tampak luas dan bergaya cottage ramah, sesuatu yang biasa Fang lihat pada laman influencer instagram saja. Perabotnya ditata apik dengan warna lembut dan membumi, membuat Fang merasa diterima dan betah. Tak jauh dari sana, tersaji cemilan segar beraneka ragam pada meja panjang disertai sebuah kartu ucapan selamat datang, menandakan para valet yang lebih dahulu tiba dan menyiapkan segalanya.

Fang cukup terkesan, memang karena VIP bukan?

Sayang Kaizo tak terkesan sama sekali, ia hanya terus berjalan menuju kamar tidur. Fang cepat-cepat merampas paket baju Dolce & Gabbana lalu menyusul sang kakak ke dalam kamar.

"Abang!" panggil Fang sambil masuk. Ia melihat Kaizo berdiri di tengah ruangan, memindai sekelilingnya dengan perangkat seukuran pena. Cahaya biru menyisir tiap sudut kamar dan berhenti pada bunyi pelan, pertanda areanya aman.

"Huh?" Fang heran. "Kenapa, Abang?"

"Kau sadar bumi mulai kedatangan pengunjung galaksi lain dan boleh jadi ada mata-mata di sini," gumam Kaizo. Ia kemudian melipat piranti itu dan keluarlah enam robot sebesar laron yang terbang ke segala penjuru vila. Mereka adalah robot khusus scouting, Kaizo yang pertama kali mengusulkannya ke divisi intelejen di bawah naungannya.

Fang membiarkan Kaizo melakukan apa yang ia rasa nyaman saja. Ia kemudian meletakkan paket bajunya ke atas ranjang.

"Abang, aku membeli baju bumi. Aku tak yakin ukuran Abang, nanti kita bisa belanja lagi kalau mau," tawar Fang.

Kaizo mengambil paket itu dan dengan mudah merobek lapisannya. Tampak kotak besar berlogo khas Dolce & Gabbana, ia membukanya dan mencermati isinya dengan skeptis. Ada kemeja abu-abu, kaus putih, jaket biru tua dan celana jins hitam. Di samping itu, ada juga baju salin polos, sepatu dan beberapa sandang lain.

Kaizo mengambil selembar kemeja, matanya tampak mengkritisi serat kain. Tiba-tiba terdengar suara robekan keras sekali, membuat Fang terperanjat.

"Abang!"

Di tangan Kaizo, kemeja mahal Dolce & Gabbana sobek parah. Fang menatap sang kakak dengan heran, ia melihat wajah Kaizo juga menampilkan raut yang sama.

"Aku tak mengira serapuh ini," komentar sang kapten sambil membuang kemejanya ke lantai. "Mereka menjahit dengan apa, kertas?"

Fang menampar dahinya.

"Jelaslah rapuh Abang, kan material bumi …"

Kaizo tak berkata apapun lagi, Fang melihatnya menaruh kembali kotak itu di atas ranjang dengan raut malas-malasan. Habislah sudah, mereka harus belanja esok. Semoga vila ini menawarkan layanan butik dan binatu, memesan online akan terlalu lama sampainya.

Mengabaikan insiden tak sengaja merobek kemeja, Kaizo kembali fokus pada perangkat pemindainya lagi. Ia melipatnya beberapa kali, lalu muncul hologram kecil laporan hasil pemindaian. Tak lama setelah itu, enam robot serangga berterbangan masuk dari berbagai penjuru, mereka memasuki rongga kecil dalam pemindai. Kaizo tampak puas, menandakan area ini sudah steril dari teknologi musuh.

Fang berdehem agar menarik perhatian sang kakak.

"Aku hendak membersihkan badan, Abang mau keluar setelah ini?"

Kaizo mengeluarkan suara kecil mengiyakan seraya menyimpan lagi alat itu dalam sabuk utilitas. Fang segera beranjak dan menuju kamarnya sendiri, lebih masuk ke dalam bangunan vila daripada milik Kaizo.

Ketika Fang membuka pintu, ia disambut oleh aroma segar pinus, daun mint dan sedikit bau manis. Tata ruangnya tampak estetis, ramah dan nyaman, membuat siapa pun merasa betah berlama-lama. Dekorasinya bercita rasa baik, mungkin dirancang oleh desainer berpengalaman.

Fang menaruh kopernya di sisi sofa dan langsung menuju kamar mandi.

Lima belas menit kemudian, Fang keluar dari kamarnya dengan baju baru dan rambut agak lembab. Ia melihat Kaizo yang sudah bersalin ke pakaian sipil tengah duduk membaca buku dari rak.

Kakaknya terlihat sangat … manusia? Normal? Aneh sekali melihat Kaizo memakai baju selain seragamnya, seperti orang asing. Fang hampir tak mengenalinya, tapi untungnya fisik mereka mirip manusia. Kendati pun demikian, mereka tetap akan menarik perhatian sebab mayoritas manusia cenderung menghendaki homogenitas dan lumayan rasis. Ciri fisik berbeda dari kebanyakan orang akan diingat dan dikomentari, entah diejek atau dipuji.

Seraya terus memerhatikan penampilan Kaizo, Fang menghampirinya. Ia berusaha mengintip isi buku yang dibaca Kaizo namun sudah ditutup saat sang kapten menyadari kehadiran Fang.

"Apa rencanamu hari ini?" tanya Kaizo.

"Mau ke kafe, aku lapar. Abang ikut, ya?" pinta Fang.

Kaizo menaruh bukunya ke rak dan menempelkan sesuatu di belakang lemari. Fang tahu itu alarm penyusup—bahkan di bumi yang tak ada musuh bagi Kaizo, ia masih saja melakukan itu.

Abang terlalu obsesif, batin Fang sembari mengamati Kaizo menekan sesuatu pada jamnya.

"Ayo," gumam Kaizo.

Mereka keluar dari vila dan berjalan santai, Fang sambil memegang ponselnya yang menampilkan peta area tersebut.

"Ada kafe milik vila ini, sekitar 300 meter. Masih beroperasi saat hari raya. Abang belum pernah mencoba masakan bumi, bukan?" tanya Fang berbasa-basi.

"Sekali," jawab Kaizo. "Takkan ada bedanya."

Fang menahan senyum kecil, seiring langkah mereka menapaki jalan rindang tersebut.

"Beda sekali, aku sering makan masakan bumi. Kantin TAPOPS dan restoran di luar sana tak seenak di sini."

"Ah," Kaizo menggumam kecil, matanya menyapu area sekeliling. Ia mengamati segalanya, begitu atentif dengan lingkungan baru walau tak ada bahaya apapun kecuali gigitan serangga.

Fang mengerti tabiatnya, tetapi bukan bermakna ia tak terganggu. Kalau begini terus, Kaizo takkan menikmati waktu liburannya.

Mengalihkan pikiran, Fang menengok ponselnya dan membaca menu apa saja yang ditawarkan di kafe tersebut. Beberapa ia kenal, banyak pula yang ia tak tahu. Kuliner bumi terlalu beragam dan terkadang aneh-aneh, Fang yakin dari ribuan masakan pasti ada yang Kaizo suka.

Beberapa tahun lalu, Fang sempat membawa sekotak sup wortel buatan Tok Aba dan diberikan ke Kaizo. Kakaknya tak memuji apa-apa, namun Fang melihat alisnya terangkat seakan terkejut dan ia menghabiskannya dengan cepat. Fang rasa itu pertanda baik.

Semoga ada olahan wortel di kafenya, harap Fang.

Mereka melewati sebuah taman rekreasi, beberapa bangku kayu berada di bawah naungan pohon rindang. Di tengahnya ada beberapa gazebo putih dengan lampu-lampu hias yang belum dinyalakan, namun sudah ada pengunjung duduk-duduk di sana. Mereka tampak tertawa kecil sambil berswafoto bersama, mungkin umur mereka sekitar awal 20-an.

Fang dan Kaizo terus saja melalui tempat itu pada lajur sendiri, hingga suara riuh mereka berhenti tiba-tiba. Fang menoleh sementara Kaizo terus berjalan—ia melihat kawanan gadis muda itu tersenyum seraya mencuri-curi pandang ke arah Kaizo, sesekali pada Fang pula. Para gadis itu mengarahkan ponsel ke arah mereka, asyik berbisik seolah bertukar skandal.

Fang mulai jengah. Penduduk bumi dan hobi merekamnya! Apa mereka tak tahu jika merekam dan memotret orang lain tanpa izin itu dilarang?

Fang pun suka berfoto dan berbagi foto dengan teman-temannya, namun Fang merasa tak nyaman jika ada yang mengambil gambarnya tanpa izin, apalagi dibubuhkan narasi lain. Selain itu, Fang juga tak senang jika Kaizo menjadi bahan gunjingan orang. Ia bahkan lebih benci mendengar rumor soal Kaizo daripada dirinya, entah mengapa terasa lebih mengesalkan.

Kaizo mungkin tak peduli tentang gosip, tapi Fang tidak bisa begitu.

Menahan jengkel, Fang berusaha fokus pada waktu berharga bersama kakaknya daripada memusingkan perbuatan para gadis itu. Ia sadar jika takkan ada yang mampu lolos dari ucapan dan gunjingan orang lain, bahkan yang mati pun masih menjadi omongan. Ia harus menerimanya, suka atau tidak belajar manajemen reaksinya.

Ia paham jika ia tak bisa merubah dan mengontrol perilaku buruk orang lain. Walau sudah menyadari ini, tak lantas membuat Fang mudah menerapkannya. Ia masih sering terpancing dengan ucapan sumbang.

Kaizo melirik ke belakang, ia melihat Fang menunduk dengan ekspresi cemberut dan benak penuh kecamuk.

Merajuk kenapa lagi dia, pikir Kaizo yang heran suasana hati adiknya tiba-tiba berubah tanpa sebab. Semenjak tadi ia memainkan ponsel, mungkin ia kesal dengan percakapan temannya di aplikasi obrolan?

"Fang, arahnya?"

Adiknya tersentak, ia cepat-cepat menggulir jarinya pada layar ponsel.

"Um, ke kiri dan terus saja hingga terlihat papan Kafe Cakraloka."

"Hm."

Kaizo terus berjalan, Fang menyeret langkahnya di belakang. Kentara sekali suasana hatinya masih labil, ia memang lumayan sensitif. Fang jauh lebih emosional dan berorientasi sosial daripada dirinya.

Mudah marah, mudah pula gembiranya. Mudah tersulut, mudah pula memaafkan.

Setelah beberapa menit mereka berjalan dalam kesunyian, terlihat sebuah papan tulis hitam yang berdiri di tepi jalan. Papan itu memuat menu spesial dengan tulisan kapur berwarna-warni. Kaizo tak tahu nama-nama apa itu, mungkin Fang kenal karena ia penduduk bumi secara de facto sekarang.

"Oooh!" seru Fang dari belakang, sudah kembali ceria. Ia tanpa sadar menggelayut di lengan Kaizo, matanya berbinar. "Latte karamel dan pai wortel! Enaknya!"

Fang berjalan lebih dahulu, ia tampak seperti anak kecil yang kerap Kaizo asuh sebelum Borara membunuh kedua orang tua mereka. Namun hanya sedetik saja ilusi tersebut, fatamorgana itu pupus bak kabut di bawah matahari seiring dengan langkah ringan Fang memasuki kafe bernuansa minimalis modern tersebut.

Kaizo menahan diri untuk tidak menarik lengan adiknya.

Satu hal yang Kaizo tak mampu hilangkan dari dirinya, yaitu sifat curiga terutama pada situasi baru dengan banyak variabel. Fang bisa saja dengan santai masuk ke tempat asing tanpa mengecek perimeter dan area, tapi Kaizo tak bisa begitu. Sang kapten merasa Fang masih sangat naif dan terbuai rasa nyaman kedamaian di bumi.

Tapi, bumi itu primitif. Tentunya tak ada pendatang selain mereka dan seorang alien bernama Adu Du, mereka cukup aman di sini, bukan?

Kaizo melihat Fang mengambil tempat duduk di tepi jendela, ada lampu hias dan ornamen sederhana di dekatnya. Ia melambaikan tangan pada Kaizo dengan pipi memerah akibat antusias.

"Abang!"

Kaizo melangkah masuk kafe dengan waspada, seketika itu hidungnya langsung diserang oleh bermacam aroma yang tak ia kenal. Asing, namun bukannya tidak disukai. Ia rasa agak manis, kental dan cukup menusuk saraf hidungnya. Gula? Tanaman? Biji-bijian?

Sang kapten mendudukkan dirinya di seberang Fang, ada meja kecil di antara mereka. Fang mengambil sebuah buku tipis dan membukanya.

"Wah, semuanya terdengar enak," kata Fang. "Latte, aku mau karamel latte dan pai wortel. Mungkin aku juga akan mencoba kue stroberi dan makaroni … oh ya, Abang mau apa?"

Bagaimana bisa aku memilih tanpa tahu objeknya, batin Kaizo. Ia hanya menjentikkan jarinya pada dahi Fang.

"Jangan terlalu banyak makan manis, Fang. Tak bagus untuk kesehatan."

"Tapi, tapi, kalau sesekali tak apa kan? Besok aku lari pagi," tawar Fang sambil tersipu. Kaizo hanya menyunggingkan senyum tipis.

"Ya sudah."

"Ehe, terima kasih …" sahut Fang. Ia kemudian menyorokkan menunya pada Kaizo. "Abang mau yang mana?"

"Apa rekomendasimu?" tanya balik Kaizo. Fang tampak berpikir sejenak.

"Hmm, Abang kurang suka manis, bukan? Teh hijau Abang sudah mencoba … hmm, macchiato mungkin?"

"Ya."

Fang melambaikan tangannya ke arah seorang pelayan. Usai menuliskan pesanan mereka, pelayan itu segera pergi meninggalkan kedua bersaudara tersebut.

Fang melipat tangannya di meja, ia melihat Kaizo melempar pandangannya ke luar jendela. Di sana, separuh wajah Pantai Rintis terlihat jelas dengan riuh ombak berdebur ramai menghantam pasir. Mata sang kapten tampak menerawang jauh, seolah mengenang sesuatu yang sudah berdebu terkubur dalam pustakanya.

"Kau ingat dahulu kita pernah pergi ke tempat seperti ini?" tanya Kaizo, memecah sunyi.

Fang mengerutkan alisnya. Kapan ia pernah tamasya ke pantai bersama Kaizo?

"Ini pertama kalinya kita liburan bersama, bukan?" jawab Fang, ragu.

Kaizo mengerling pada Fang, kilau merahnya mengirimkan banyak kata tersirat namun tak ada yang menghakimi Fang karena lupa. Ia hanya menegakkan postur tubuhnya di kursi.

Fang bimbang dengan maksud Kaizo, namun ia memutuskan untuk tidak mendiskusikannya lebih jauh. Ia tak ingin salah bicara karena mengorek lebih jauh, tapi ada satu hal yang ingin sekali ia tanyakan.

"Abang, mengapa Abang berikan jam kuasa ke Laksamana Tarung? Bukankah itu milik keluarga kita, milik pribadi?"

Raut Kaizo yang tadinya agak melankolis, langsung berubah total menjadi mendung. Matanya menajam dan alisnya menukik.

Fang rasa, ia sudah salah bicara sekarang.

"TAPOPS adalah tempat pengamanan semua sfera dan jam kuasa, otomatis semua jam dan sfera kuasa milik pribadi agen juga menjadi milik TAPOPS," hela Kaizo. "Jika suatu saat aku mati atau tak mampu mengoperasikannya, kuasaku akan diambil alih oleh TAPOPS dan diwariskan pada agen lain yang layak. Ini lebih aman."

Fang mencebikkan bibirnya, ia tampak tak setuju.

"Tapi takkan ada agen yang bisa mengendalikan kuasa Enerbot sebaik Abang. Itu terlalu berbahaya, sulit stabil dan sangat berat."

Kaizo melipat tangannya di dada, ia tampak menahan senyum dengan ucapan Fang barusan.

"Generasi baru akan melampaui generasi lama, Fang. Suatu hari nanti, aku akan tiada dan agen yang lebih berbakat menggantikanku. Ini hanya perputaran normal. Tak ada kompetisi siapa yang terkuat di sini, hanya satu kesatuan yang bekerja sama melawan hal buruk."

Fang mengerutkan alisnya, matanya memandangi tepi jendela. Ia tak suka masa depan di mana Kaizo tidak ada, dan jam kuasanya dipakai oleh agen lain—akan tetapi, itu hanya menunggu waktu saja. Semua orang memiliki tanggal ekspirasi, tanggal kedaluwarsa … termasuk Kaizo. Ia takkan hidup dan sehat selamanya.

Fang terlonjak saat ia merasakan rambutnya disentuh. Ia menatap ke arah Kaizo dan melihat sang kakak dengan raut yang sulit ia artikan tengah menyisir rambutnya. Tangan Kaizo terasa lebar melingkupi ubun-ubunnya dan hangat, teksturnya agak kasar akibat kerja keras.

Kaizo menarik tangannya, ia kemudian menatap ke luar dan mereka tak bersuara lagi.

.

.

.

Bersambung

.

.

A/N

Terima kasih kepada reviewer sebelumnya, yaitu Ashley Chen16 dan adhadeva. kirana. Sekali lagi, terima kasih!

Ah dan untuk catatan, gak ada shipping di fanfic ini ya kawan-kawan (:

Daaannnn gambar di cover itu saya yang gambar. Agak gak akurat, but I tried my best uwu

Silakan kritik, saran dan komentarnya!