Chapter VIII: Pertemuan Kembali Guren dengan Mahiru
Owari no Seraph bukan saya yang buat. Saya cuma pinjam judul dan nama para karakternya saja. Kecuali OC yang saya buat :)
Chapter VIII: Pertemuan Kembali Guren dengan Mahiru
Shinku POV
Aku tak bisa menutupi wajahku yang kian memucat saat melihat Kakak kembarku kini tak sadarkan diri karena serangan Shinya. Dari mulutnya keluar darah yang tidak bisa dibilang sedikit. Serangan Shinya tadi pasti sudah membuat beberapa kerusakan pada organ dalam.
Dengan murid yang terkapar bersimbah darah, tak ada satu gurupun yang nampak peduli. Justru yang terdengar adalah bisikan dengan suara rendah yang memuji muji Shinya.
Aku menyingkirkan para murid yang masih terpaku melihat hasil pertarungan singkat yang bahkan tak bisa disebut pertarungan itu dan menghampiri Kakakku untuk memeriksa secara singkat keadaannya. Beberapa tulang rusuknya patah dan itu mungkin menembus paru-parunya. ini amat sangat tidak baik baik saja.
Diantara para murid, rupanya masih ada dua orang waras yang terlihat mengkahatirkan Kak Guren dan menyarankan untuk membawa kakakku ke ruang kesehatan. Salah satunya adalah Norito Goshi yang tadi menang melawan kakakku dan satunya lagi Junji Mito. Raut wajah dan suara mereka lebih manusiawi dibandingkan hampir semua siswa dan guru di sekolah ini.
Aku berusaha menenangkan diriku lalu berkata dengan lantang "BERHENTI MENGOBROL DAN BAWA TANDU KEMARI SEBELUM AKU SENDIRI YANG MENGHABISI KALIAN!" walaupun aku berusaha tenang, tapi itu tak terlalu berhasil. Niatku hanya ingin berkata dengan suara keras, tapi rasa khawatirku membuatku mengeluarkan amarahku.
Akhirnya beberapa siswa pergi ke ruang kesehatan untuk membaha tandu dan membawa kakakku ke ruang kesehatan, aku pun mengikuti. Saat menuju ruang kesehatan, aku berpapasan dengan Shinya. Mata kami saling berpapasan, tapi tak ada satupun kata yang terucap. Aku ingin marah padanya, tapi itu juga sebagian kesalahan Kak Guren karena dia menahan dirinya habis-habisan.
.
.
.
Kakakku kini masih tak sadarkan diri di ruang kesehatan. Lukanya sudah diobati dan diberi perban. Aku duduk di samping kasurnya menunggu Kakakku yang satu ini bangun.
Tiba-tiba seorang murid laki-laki datang dan berdiri di depan pintu ruang kesehatan itu. Aku menghela nafas. sebelum dia mengatakan apapun, aku sudah tahu kalau dia pasti dikirim oleh Kureto.
"Kureto ya?" Kataku pada murid itu yang dibalas dengan anggukan olehnya.
Aku beranjak dari posisiku dan berjalan keluar ruang kesehatan menuju ruangan Kureto sebagai ketua Osis. Murid laki-laki yang tadi ikut mengawalku hingga pintu ruang Osis.
Aku punya firasat kalau aku tak akan suka dengan percakapan yang akan datang ini.
Guren POV
Saat aku membuka mataku, yang terlihat adalah warna putih. Langit-langit berwarna putih, tirai berwarna putih, tak lupa kasur dengan sprei berwarna putih. Tak salah lagi ini pasti ruang kesehatan.
Aku masih ingat, setelah serangan dari si rambut putih itu yang membuatku muntah darah pasti aku langsung pingsan. Sial. aku sedikit salah perhitungan dengan serangan itu. tapi memang kuat sih serangannnya...
Aku menciba bangun dan lukaku terasa sakit. Aku bisa melihat memar biru kemerahan yang ada di balik perban yang menutupi dada hingga perutku itu. Luka itu seharusnya tak akan membuatku sampai kehilangan kesadaran.
Aku membuka sedikit perban itu dan terlihat beberapa bekas operasi kecil. Sepertinya ada pembuluh darah yang terputus hingga membuatku kehilangan cukup banyak darah. Jadi karena itu ya aku bisa sampai pingsan.
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku setelah memahami semuanya.
"Sekarang bukan saatnya mengangguk-angguk seperti orang bodoh kan?!"
Tiba-tiba terdengar suara yang tak asing dari arah pintu masuk ruang kesehatan. Dari arah pandang yang kulihat, ada seorang gadis dengan rambut panjang berwarna keabu-abuan dan bola mata kecoklatan. Wajahnya yang tak pernah bisa kulupakan namun tak akan pernah bisa tergapai.
Hiiragi Mahiru.
Jujur saja, aku tak tahu apa yang harus kukatakan saat berhadapan dengan teman masa kecilku yang sudah lama tak kuajak bicara. Ini rasanya jauh lebih sulit daripada waktu bertemu dengan Shinku...
"Perban itu kan harusnya tak boleh kau buka sendiri..."
Mahiru berkata. Sepertinya dia melihatku ingin melepas perban yang membalut tubuhku ini. Aku merasa seperti menjadi mumi dengan perban disana sini.
Aku memberanikan diriku dan berbicara formal pada anggota Hiiragi itu.
"Rupanya anda... Hiiragi-Sama. Lama tidak berjumpa dengan Anda"
Ucapanku membuat raut wajahnya berubah. Sepertinya dia tak menyangka aku akan menggunakan kalimat formal yang belum pernah kugunakan padanya.
"Ah... Sekarang jadi seperti ini ya... Cara bicaramu padaku... sudah tak seperti dulu lagi..." Mahiru berkata dengan nada yang terdengar sedih... namun juga bercampur marah.
"Sekarang ini situasi sudah berubah. Saya sangat menyadari posisi Saya yang rendah ini" Aku kembali berkata. Wajah Mahiru masih terus murung.
"Lalu Shinku juga? Apa kau juga berkata seperti itu pada Shinku? Kau juga menganggap dirimu sangat rendah dibanding adik kembarmu?"
Mahiru bertanya bertubi-tubi. Pertanyaannya itu cukup menusuk.
"Kuharap kau tak melakukan itu padanya. Shinku dia... sejak dari awak dibawa ke keluarga Hiiragi, dia selalu ingin pulang ke rumahnya". Mahiru berkata sambil memasuki ruang kesehatan, mendekati tempat tidur yang kutempati.
"Sebaiknya Anda tidak mendekati orang seperti Saya. Nanti Ayah Anda akan marah"
Mahiru menanggapi ucapanku dengan senyuman. berbeda dengan senyuman tulusnya yang dulu sering kulihat. Senyuman yang kulihat saat ini, adalah sebuah senyuman dingin yang penuh dengan rasa hampa dan kesedihan.
"AKu berbeda dengan diriku yang dulu. Apapun yang berkaitan denganku, aku yang memutuskannya sendiri. Peduli pada pelayan sepertimu juga adalah tugas dari keluarga utama" Mahiru berkata. Saat ini posisinya ada di sebelah tempat tidurku. Persis di tempat Shinku tadi duduk.
Keluarga Ichinose sudah memisahkan diri, jadi seharusnya tidak dianggap sebagai pelayan. Tapi pasti Mahiru sengaja memilih kata-kata itu.
Aku sebetulnya ingin mengatakan sesuatu. Tapi entah kenapa aku tak bisa mengatakan apapun. Semua kata dan kalimat yang ingin kuucapkan rasanya tidak mempunyai keberanian untuk keluar dari bibirku. Rasanya aku bahkan sama sekali tak pantas untuk menatapnya barang sedetikpun.
Posisi kami sama sekali tidak berubah. Seorang Dewi yang agung dan tikus yang merangkak di atas tanah.
Tiba-tiba aku teringat dengan ucapan dari utusan Hyakuya yang menawarkan untuk emnghancurkan Hiiragi. Aku memang benci dengan keluarga Hiiragi, tapi di dalam keluarga yang kubenci itu, ada adikku yang sangat kusayangi.
Aku tak bisa membicarakan tentang itu dengan Mahiru.
Sepertinya raut wajahku yang sedang berpikir terbaca oleh Mahiru dan dia pun kembali membuka pembicaraan.
"Kita sudah lama tak bertemu dan kau tak memiliki apapun untuk dikatakan?"
Mahiru berkata dengan nada yang menyembunyikan sebuah harapan. Namun, harapannya itu sepertinya tak bisa kukabulkan.
"Saya... tidak memiliki apapun untuk dibicarakan dengan Anda"
Mahiru menghela nafas. tapi dari raut wajahnya, sepertinya Mahiru tak menyerah untuk terus berbincang denganku, daan rupanya itu benar.
Bersambung...
