"The Good Wife"
Naruto (c) Masashi Kishimoto
The Good Wife (c) ReiraKurenai
Translated by Star Azura
Aku ingin sebuah kesempatan untuk kembali memeluk kedua orangtuaku
Andai perjalanan waktu itu memang ada, aku ingin kembali pada saat dimana aku memutuskan untuk pergi.
Tapi aku sadar itu hanya bisa terjadi dalam mimpi
Untuk kita yang telah kehilangan, semoga bisa lebih menghargai orang-orang tercinta yang saat ini masih bersama dengan kita.
I hope you happy to read
just like... I'm happy to translated
Enjoy it...!
Mother and Father
"Jadi, apa yang membawamu ke sini?" Nyonya Yamanaka bertanya. Ino membuka mulutnya untuk menumpahkan segalanya kepada ibunya, untuk menceritakan semua kesulitan yang dia alami sejak dia bangun, tapi entah kenapa Ino merasa tidak boleh dia lakukan. Ino dengan cepat menelan kembali kata-katanya dan hanya tersenyum.
"Aku rindu rumah, itu saja," bisik Ino. Nyonya Yamanaka tersenyum dan memeluk putrinya. Ino sudah merasa puas bisa berada dalam pelukan hangat ibunya. Dia menghela nafas dan menutup matanya, akhirnya dia merasa seperti di rumah. Bukannya dia tidak betah dengan Naruto dan anak-anak, tapi mereka asing baginya. Mereka bukan keluarga dimana dia menghabiskan sepanjang hidupnya... mungkin belum.
"Tidak apa-apa," bujuk Nyonya Yamanaka, "Ibu yakin kau akan melewatinya dengan baik."
Ino terkikik, "Aku sama sekali tidak bertengkar dengan Naruto."
"Benarkah? Kupikir tidak begitu," Nyonya Yamanaka tertawa, "kalian berdua bertengkar terus-menerus untuk hal-hal yang paling konyol. Namun, tidak pernah ada sesuatu yang akan membuatmu keluar dari rumah."
Ino mengerutkan alisnya. Dia terus-menerus bertengkar dengan Naruto? Pikiran itu saja membuatnya ingin menggigil. Dia tidak bisa membayangkan berdebat dengan pria itu. Naruto selalu tampak seperti tipe yang akan menuruti apa pun yang dikatakan dan yang diinginkan gadis itu. Sepertinya Ino telah memperoleh kemerdekaan selama bertahun-tahun di pernikahannya– yang merupakan hal yang sangat bagus. Dari senyuman Naruto, Ino tau dia telah menjadi ratu dihatinya.
Nyonya Yamanaka menarik diri dari putrinya dan menepuk pundaknya, "Bagaimana kalau kita minum teh?"
Ino mengangguk dan keduanya menghilang melalui pintu yang menuju ke rumah keluarga Yamanaka. Nyonya Yamanaka menyiapkan ketel, sementara Ino mengamati sekelilingnya. Bagian dalam rumah berubah drastis. Perabotan sebagian besar telah diganti dan tata letak rumah juga tampak berbeda.
Ino tersenyum ketika dia menemukan foto potret kecil keluarganya, "Minato sangat kecil di sini." Ino mengusap kaca yang melindungi foto itu. Minato hanyalah bayi di foto itu, masih terbungkus selimut, beristirahat di pelukan ibunya. Kaguya juga lebih muda, tapi dia memiliki senyum yang sama yang dia bawa sekarang.
Nyonya Yamanaka melirik Ino dari balik bahunya dan mengangguk, "Itu diambil dua minggu setelah dia lahir, ingat? Lihat saja wajah Naruto - dia adalah ayah yang paling bodoh, namun bangga di dunia."
Ino tertawa. Benar saja, Naruto berseri-seri seperti orang gila di foto itu. Ino mengembalikan foto itu ke tempatnya dan duduk di dekat meja makan. Nyonya Yamanaka menuangkan teh mereka dan menyerahkan secangkir kepada Ino, yang menerimanya dengan rasa terima kasih. Nyonya Yamanaka duduk di sebelah putrinya.
"Kau sudah punya gaun?" Nyonya Yamanaka bertanya. Ino mendongak, bingung.
"Gaun?" tanya Ino.
Nyonya Yamanaka mengerutkan kening, "Untuk Perjamuan Hyuga. Kau memesannya dengan Hyuga-sama, ingat?"
Ino tertawa gugup. Ini adalah pertama kalinya dia mendengarnya, tentu saja. Ino membuat catatan dibenaknya untuk bertanya pada Naruto nanti agar dia tidak terjebak dalam situasi seperti ini lagi.
"Aku belum punya gaun," kata Ino, tapi dia menambahkan dalam hati, 'Kurasa.'
Nyonya Yamanaka tersenyum dan menepuk lengan putrinya, "Kamu akan menemukan gaun yang tepat. Kau selalu begitu."
Ino hanya tersenyum dan segera menyesap teh untuk menghentikan pembicaraan. Keheningan menyelimuti dapur saat kedua wanita itu menyesap teh mereka. Pintu depan terbuka dan sosok tinggi melangkah masuk, mengenakan seragam angkatan laut dan jaket antipeluru. Wajah Ino berseri-seri saat melihat kuncir kuda pirang orang itu.
Inoichi mengerjap ketika matanya tertuju pada putrinya. Ino melambai padanya dengan canggung, membuatnya dia tersenyum dan mencium kening putrinya. Inoichi kemudian melanjutkan untuk menyapa istrinya, lalu menuangkan secangkir teh untuk dirinya sendiri dan bergabung dengan dua gadis yang paling dia cintai di meja makan.
"Apa yang Naruto katakan?" Nyonya Yamanaka akhirnya bertanya.
Inoichi mendengus, "ehm, seperti biasa. Aku bersumpah dia keluar untuk memburuku...atau apalah."
Nyonya Yamanaka mendengus, "Kau hanya paranoid karena dia anak Minato."
Inoichi cemberut, menyebabkan Ino tertawa. Orang tuanya menoleh ke arahnya dan tersenyum. Mereka senang melihat putri mereka bahagia, tetapi meskipun dia tertawa, mereka tahu bahwa dia tidak seratus persen di sana. Matanya agak...berbeda, dan itu membuat mereka khawatir.
"Jadi?" Inoichi menyela tawa Ino, "apakah kau mengganggu pekerjaan ibumu seharian ini?"
Ino menggelengkan kepalanya, "Tidak, kami hanya istirahat. Sebenarnya, aku ingin berbicara denganmu."
Inoichi mengernyitkan alisnya, "Oh?"
Ino menarik napas dalam-dalam. Haruskah dia memberi tahu mereka? Naruto cukup keras ketika itu menyangkut kondisinya. Mereka semua setuju untuk merahasiakannya sampai mereka tahu apa yang terjadi padanya, tapi ini adalah orang tuanya. Ino tidak bisa menyimpan sesuatu yang begitu besar dari mereka. Dia tidak pernah bisa sebelumnya, jadi tentu saja sekarang dia juga tidak bisa.
"Um," Ino terdiam, merasa terintimidasi oleh tatapan orang tuanya, "Ini tentang...kondisiku."
"Apakah kamu sakit?" Nyonya Yamanaka bertanya, khawatir. Ino menggelengkan kepalanya. "Hamil?" Ino menggelengkan kepalanya lagi.
Inoichi tampak berpikir keras, "Apakah ini tentang apa yang Naruto bicarakan?"
Ino mengerutkan kening, "Apa yang dia katakan pada ayah?"
"Bahwa kau melintasi waktu atau sesuatu tentang itu," kata Inoichi, memutar matanya, "Kupikir dia mempermainkanku, seperti yang selalu dilakukan orang tuanya ketika mereka masih hidup."
Nyonya Yamanaka tertawa, "Begitulah mereka menjalani hari-harinya. Naruto adalah Hokage yang cukup energik. Menyegarkan, bukan?"
Inoichi mengangguk setuju.
"Naruto benar," kata Ino, "...sepertinya."
Orang tuanya menatapnya. Ino menelan ludah dan mencoba menyatukan semuanya sehingga dia bisa menjelaskannya dengan benar kepada mereka.
Akhirnya dia berbicara semuanya.
.
/
.
/
.
"Minato!" seru seorang guru. Seorang anak laki-laki dengan rambut pirang dan mata sebiru langit mendongak dari tempat dia bermain di pasir pada wanita yang dia panggil 'guru' di siang hari. Dia adalah seorang wanita mungil yang selalu berpakaian sopan dan mengenakan celemek kuning.
"Pulang..." gumam Minato saat melihat kakaknya berdiri di samping guru, dengan lengan disilangkan dan alisnya menyatu. Minato tau bahwa kakaknya sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Itu berarti tidak ada permen dalam perjalanan pulang. Itachi melirik temannya, mata onyxnya melebar karena penasaran.
"Kakakmu ada di sini!" kata guru tersebut. Minato menghela nafas dan berdiri, rambut pirangnya acak-acakan tertiup angin. Dia menyeka tangannya yang kotor di celana pendeknya dan kemudian melompat ke loker dan mengambil ranselnya dan kemudian mendekati saudara perempuannya. Minato menatapnya dan tersenyum lebar. Kaguya juga balik menatapnya, lalu kerutannya menghilang perlahan dan dia membalas senyumannya. Minato memegang tangan kakaknya dan melambaikan tangan pada Itachi dan gurunya. Kaguya membungkuk pada gurunya sesaat untuk meminta izin membawa adiknya pulang.
Minato menatap kakaknya saat mereka berjalan pulang, "Mama di mana?"
Kaguya mengerutkan alisnya lagi, "Mama sibuk, Minato."
"Tapi dia selalu menjemputku!" Minato keberatan.
Kaguya menghela nafas, ingatan tentang orang tuanya yang tidur di kamar terpisah melintas di benaknya, "Aku tahu, Minato, maafkan aku. Tidak bisakah aku menjadi penggantinya sementara ini?"
Minato cemberut, tapi tidak menolak. Kaguya tersenyum sedih pada adiknya ketika dia melihat wajah MInato yang tidak bahagia. Kaguya benci melihatnya seperti ini, tapi apa yang bisa dia lakukan? Kaguya memainkan jarinya ke rambut pirangnya dan kemudian melihat tanda yang familiar.
Dia tersenyum, "Bagaimana kalau kita membeli Ramen?"
Wajah Minato menjadi cerah seketika, "Benarkah?"
.
/
.
/
.
Shikamaru tidak suka merokok, tapi demi menghilangkan stres dia merokok. Dia memasukkan sebatang rokok ke mulutnya dan menyalakannya lalu duduk kembali, frustrasi. Dia telah mencari jawaban tanpa henti, tetapi tidak menemukan apa pun. Tidak ada satu entri pun yang dimasukkan ke dalam arsip Nara mengenai perjalanan waktu, seperti yang diharapkan, tapi tetap saja...dia kesal. Sekarang dia harus benar-benar memeriksa arsip desa – yang bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Hidup itu sangat merepotkan.
"Shikamaru," Temari berjalan keluar ke taman, rambut pirangnya tergerai di bahunya, basah karena dia baru saja mandi. Shikamaru melihat istrinya dan melambai malas. Temari memutar matanya, mengusap dahi lelakinya yang tampak lelah dan kemudian duduk di sampingnya, "Menemukan sesuatu?"
Shikamaru mengeluarkan kepulan asap dan menghela nafas, "Tidak. Tidak ada. Aku akan meminta akses ke arsip besok. Semoga ada sesuatu di sana."
Temari mengangguk, "Aku sudah menerima surat dari Gaara, tapi dia juga belum menemukan apa-apa. Tidak heran... ini baru beberapa hari."
Shikamaru setuju, "Ya. Dengar, Temari...kau tidak boleh memberitahu siapa pun tentang ini."
"Aku tidak akan melakukannya," kata Temari, "bahkan Kankuro pun tidak tahu."
Shikamaru mengangguk, "Bagus."
Keduanya duduk diam sambil menyaksikan matahari terbenam. Shikamaru melingkarkan lengannya di bahu Temari dan menariknya mendekat. Temari tersenyum dan menyandarkan kepalanya di bahu suaminya, menutup matanya dan menikmati kehangatannya.
"Temari," bisik Shikamaru.
"Hm?"
"Aku memeriksa keuangan kita pagi ini," Shikamaru melanjutkan dengan berbisik, "kita memiliki jumlah tabungan yang stabil."
Temari mengaitkan jarinya dengan jari Shikamaru dan tersenyum, "Benarkah? Dan apa yang akan kita lakukan dengan uang itu?"
"Oh, aku tidak tahu," Shikamaru mendengus, "apa yang ingin kamu lakukan?"
Temari tertawa. Dia tahu persis apa yang ingin dia lakukan.
.
/
.
/
.
Ketika Kaguya dan Minato tiba di rumah, keadaan menjadi sangat sunyi dan menakutkan. Naruto sedang duduk di ruang tamu, matanya terpaku pada sebuah gulungan. Di depannya terdapat secangkir kopi dingin dan beberapa bungkus mint berserakan di lantai. Ruangan itu gelap, dengan hanya sebuah lampu minyak yang memberikan cahaya baginya untuk membaca.
"Mama mana?" Minato bertanya ketika dia menyadari ketidakhadiran ibunya.
"Ayah tidak tahu, Nak," jawab Naruto tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaannya, "apakah kalian sudah makan?"
"Ya," jawab Kaguya. Naruto mengangguk. Dia meraih kopinya dan menyesapnya, menyadari kopinya sudah dingin. Kemudian dia beranjak meninggalkan gulungan yang dibacanya untuk membuat secangkir kopi yang baru. Naruto melirik putrinya, yang menatapnya dengan mata serius, tetapi dia hanya tersenyum dan melewati mereka.
Pintu depan terbuka dan Ino melangkah masuk. Anak-anak berbalik menghadapnya, mata biru mereka penasaran dan menunggu. Ino melepas mantelnya dan meletakkannya di rak mantel, dia kemudian melanjutkan untuk melepas sepatunya. Dia meregangkan tangannya di atas kepalanya.
"Halo, Mama," sapa Minato. Ino tersenyum dan memberi isyarat padanya untuk mendekat. Dia melakukan apa yang diperintahkan dan berteriak ketika ibunya yang menariknya ke pelukan. Minato mengerjap pada emosi yang tiba-tiba dia rasakan terpancar dari ibunya dan melingkarkan lengan kecilnya di leher mamanya. Ino menatap mata Kaguya, memberi isyarat agar dia mendekat. Kaguya waspada, tapi akhirnya menyerah dan ketiganya saling berpelukan.
Ino bersyukur atas anak-anaknya. Meskipun hanya mengenal mereka selama beberapa hari, dia sangat menyukai mereka. Dia tidak bisa lagi membayangkan hidup tanpa mereka.
Naruto menyaksikan pemandangan dari pintu dapur, hatinya sakit dengan cara yang tidak seharusnya. Bagaimanapun – ayah tidak boleh cemburu pada anak-anak mereka. Betapapun besarnya keinginan untuk ikut dalam pelukan hangat itu.
.
/
.
/
.
#*To be continued*#
Tempat ternyaman bagi seorang anak adalah dimana kedua orangtuanya berada
Tempat ternyaman bagi seorang istri adalah dimana suaminya berada
Lalu apa yang akan kau pilih? Menjadi seorang anak atau seorang istri?
Aku sangat suka dengan cara ReiraKurenai menggambarkan kisah ini.
Jika kalian ingin membaca langsung versi aslinya silahkan mampir ya di akun ReiraKuranai
s/6678938/1/The-Good-Wife
Give me your riview
Thanks
by: Star Azura
