"Untuk sampai di titik ini, takkan cukup hanya dengan menimang harapan, takkan sampai jika sekadar mengandalkan bantuan, takkan berjalan dari titik awal jika beroleh perpanjangan tangan dari mereka yang tak tahu urusan."

Awali kisah dengan fragmen kejadian yang terbingkai oleh diksi dalam tulisan yang berada dalam kombinasi diksi dengan antara realitas yang berbatas.


Buku sejarah itu terbuka, menampilkan peta cerita lama yang usang dikaburkan masa. Sampul depannya tak lagi utuh, lapisan kulitnya terkelupas dan sebagian hilang entah ke mana. Ketika dibuka, mata melihat fakta, disambut oleh pembuka para kata. Lembarannya telah menguning, sungguhan usang dengan tinta dan noda yang di atasnya telah lama sekali mengering.

(Debu-debu tipis ketika membuka buku tadi masih saja beterbangan, aduh, membuat napas sesak. Bahkan hampir membuat mata gatal jika saja jumlah mereka lebih banyak dari yang ada saat ini.)

Tak banyak tenaga diperlukan untuk membalik tiap-tiap halamannya, cukup hati-hati. Berjaga-jaga kalau-kalau mereka sobek jika tenaga terlalu seru ketika menyentuhnya.

(Pelan, cukup pelan, pelan saja.)

Mata menekuri tiap kata, memahami siratan fakta, menikmati perjalanan yang di dalamnya tersirat banyak makna. Mendapati banyak hal baru yang tidak semua orang tahu, dari kisah-kisah lama yang telah mengalir jauh dan berlalu.

Jemari beranjak untuk menunjuk kata-kata lain, berkonsentrasi pada detail-detail kecil yang kerap luput dari pembacaan, sebelum berhenti pada suatu hal sederhana yang mengetuk hati ketika mata tuntas membacanya …

Sebuah nama tercetak di sana, nama yang tidak asing, nama yang dikenali.

Cetakan dalam pada nama itu mulai bersinar laksana gemintang emas yang menunjukkan arah ke mana langkah-langkah semesta akan pergi …

Pergilah ke arah timur,

Temukan zamrud dunia yang berkilauan tanpa sudah.

Jelajahi alam raya dan menyatulah dengan masyarakatnya,

dan akan kautemu setitik nirwana di atas buwana.

~oOo~…

"Selami jauh ke titik terdalam samudera, kau temukan rahasia."

"Sama seperti itu, kali ini lakukanlah pada hati manusia."

.

Hetalia: World Stars © Himaruya Hidekazu.

I gain no material profit by writing and publishing this fanfiction.

.

ANJANGSANA INDONESIA

BAB I – "Komposisi: Memoar Sedia"

Entri untuk kembali berkarya dari INDONESIAN KARA

.

Hetalia: Personifikasi Indonesia

Persembahan entri khusus untuk catatan pribadi berjudul "カラRepliCan't".

Rated: K+ (R-10). Genre(s): General, Indonesian Nationalism, Poetry. Language: Indonesian.

.

- Indonesia, 15 Oktober 2022 -

~…OwO…~

"Akan ada suatu ketika di mana kita merasa takkan cukup hanya dengan berpijak di atas tanah milik Bumi yang keras dan pasti.

Esok lusa, kita akan tertantang untuk beralih pada samudera raya yang menyimpan banyak pertanyaan untuk dijawab dan misteri jagad raya dunia bawah air yang menunggu untuk kita selami."

.

Mari lihat sekeliling dan amati semuanya.

Panorama kejadian terbentang lebar di depan netra. Satu demi satu, semua yang bisa kasat mata atau bahkan yang luput dari perhatian bisa jadi menyimpan berjuta makna. Angin sepoi dari tempat yang jadi tujuanmu nanti telah berembus demi menyampaituturkan undangan, mengajakmu untuk bergegas dan siap jalan mengarungi perjalanan penuh keseruan dan harapan. Menuju petualangan tanpa batas dimensi—di antara bisa dan tidaknya manusia bayangkan.


Lantas, siapkah kamu untuk itu?

"Sudah siap?"


Pertanyaan barusan terjawab oleh angguk-angguk antusias dari beberapa orang lainnya. Sejumlah kecil mengacungkan ibu jari mereka tinggi-tinggi, ekspresi lelah bercampur bangga tampak pada masing-masing dari mereka. "Semua aman, damai, sentosa, siap jalan, Bos!"

Si penanya menyeringai lebar. Semua telah bersedia, tepat nan sempurna sesuai rencana bersama.

Ia mengangkat pusaka yang akan ia kenakan untuk puncak acara pada hari ini, menatapnya sebentar dengan bangga, sebelum beralih pada rekan-rekan satu acaranya yang telah berjasa besar, mengabaikan sebagian kecil lainnya yang hanya menumpang nama dan meninggalkan tugas dari bagian mereka.

Sebelum menaklukkan dunia, mari lebih dulu kenali semesta.

Seisi jagad raya, lebih luas dari seluruh angkasa.

Semuda cahaya tertua, setua gigi susu manusia.

Tiket terakhir telah terjual pagi ini. Berita bagus untuk hari ini. Berita barusan disambut dengan senyum gembira Si Personifikasi. Lantas, si personifikasi tanah air ini bergegas, mengontak beberapa pihak yang terkait untuk mempersiapkan banyak hal, terhitung, untuk lebih dari sekadar hitungan hari. Ah, akhirnya yang aku tunggu-tunggu selama ini! Ia berseru di dalam hati, menuai gembira yang hampir tidak terkira.

"Halo, Kapitalia Indonesia? Ah, baguslah kalian sudah berkumpul," sapanya singkat di awal panggilan, "aku mau memberitahukan sesuatu, boleh tolong sampaikan ke rekan-rekan yang tidak hadir? Jangan lupakan notulensinya juga, ini penting, soalnya."

Panggilan itu berlanjut hingga beberapa saat ke depan, membahas hal krusial yang disampaikan dengan sedemikian rupa. Gelak tawa sesekali menengahi mereka, dengan candaan bertopik persiapan awal sore itu yang mengalir tenang. Perlahan namun pasti, konsep-konsep awal mulai tervisualisasi sepanjang waktu diskusi.

"Apa yang sederhana, tapi bermakna?" Pertanyaan klise itu teralamatkan kepada mereka semua, begitu saja terucap di tengah pembicaraan mereka. Pertanyaan yang menjadi dasar pencarian tema dan materi. Memacu pikiran, menguji imajinasi terbanding realita pasti. Pendapat pertama datang dari seorang Kapitalia Provinsi Pulau Seribu Pura yang mengajukan pengadaan Tea Time setelah rest hours dan briefing, dengan pertimbangan sebagai penumbuh ketertarikan tepat sesampainya para personifikasi ke sini.

Kapitalia lain menanggapi, menuturkan opini, sebagian dari mereka setuju, sebagian lagi menambahi. Kapitalia Provinsi Jambi mencatati saran-saran mereka dengan teliti, agar tidak terlewat barang satu saja. Ia sendiri singkat menanggapi, cenderung menyimak pembicaraan, walau sesekali Si Personifikasi Tanah Air memanggilnya untuk ikut memberi masukan atau tanda persetujuan.

"Ya, jadi begini, mulai minggu depan, mungkin kita akan jadi sangat sibuk. Kalau aku sendiri tidak salah ingat, tanggal sebelas bulan ini kita sudah harus mendata personifikasi dari negara mana saja yang akan bertandang dan beranjangsana. Oleh karena itu, aku ingin membicarakan lebih lanjut tentang rangkaian acara yang kita namai …" Diskusi terus berlanjut dengan kedatangan beberapa Kapitalia Provinsi lainnya yang menyusul setelah rampungnya urusan, menyambung percakapan—meski ada beberapa yang terpental keluar dari panggilan akibat ketidakstabilan jaringan.

Sekian jam dan sekian menit, panggilan itu kemudian menemui akhirnya. Si personifikasi mengucap salam penutup, mengakhiri diskusi mereka. Semua anggota panggilan yang ada bergiliran keluar dari ruang panggilan, pamit untuk memberi tahu dan mencicil daftar pekerjaan baru mereka.

Ketika peserta terakhir telah pergi, si personifikasi negeri mematikan perangkatnya, beranjak dari tempat pertama, melangkah ringan menuju peta tanah airnya yang terbentang memenuhi salah satu muka dinding dari ruang kerja itu. Peta yang solid dari bahan keras seperti pualam atau batu alam lainnya, sedang peta wilayah Indonesia dicetak dengan tinta berwarna emas yang berkilau ketika cahaya sengaja diarahkan kepadanya.

Ia terpaku, bergeming dengan netra terkunci sejenak pada ukiran yang takkan jelas terlihat jika tidak diperhatikan dengan saksama dari jarak dekat. Ukiran sederhana yang membentuk gambaran lain, selain dari cetakan emas peta tanah airnya, namun jelas dia kenal apa—atau tepatnya, "siapa"—yang ada pada bidang lebar dan padat di hadapannya.

Hm …

Satu jemari mengusap ukiran nama negara di sana sebelum disusul ibu jarinya, mengusapnya pelan. Menghapus debu tipis yang barangkali menempati ruang-ruang cekung di sana, sembari memperhatikan detail semi transparan yang ada, nyaris tak ternetra oleh orang-orang biasa. Tulisan bertinta setengah jernih di antara patrian emas yang membentuk kepulauan dari negara yang julukannya diketahui dan terpatri dalam pikiran banyak orang …

"… Nusantara." Bibir tipisnya tersenyum, menyuratkan rasa bangga usai mengucap salah satu julukan khas tanah air kelahirannya yang sama persis dengan salah satu kata di dalam deretan kata penyusun nama lengkap manusianya.

Semenit, si Personifikasi Tanah Air pun beranjak ketika sekelebat memori pedih datang menghampiri. Menolak sendu atas memoar perih dalam diri tempo dulu ketika mempersiapkan sesuatu yang seharusnya ceria dengan goresan warna baru …

"Cukup, Indonesia. Mari fokus pada saat ini dan nanti. Pikirkan masa lalu itu nanti-nanti," katanya yang tidak tertuju pada siapapun, hanya pada dirinya sendiri.


Masih terlalu cepat untuk mengucap "selamat datang" pada siapapun yang datang bertamu …

- 001 dari (?) –


Glosarium:

1. Kapitalia – personifikasi kota, untuk spesifikasinya silakan dilihat pada kata yang menyertai sebagai kategori penanda kontinen; Provinsi, Kodya/Kotamadya/Pulau.

2. Memoar – (1) nomina: kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa lampau yang menyerupai autobiografi yang ditulis dengan menekankan pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa atau pengalaman yang terjadi dan tentang tokoh terkait; (2) nomina: catatan atau rekaman pengalaman hidup seseorang. Sumber dari KBBI.

3. Personifikasi – pengumpamaan benda mati sebagai manusia. Dalam karya ini, para negara dipersonifikasikan menjadi seorang dengan keunikannya.

.

.

.

Salam Indonesia,

INDONESIAN KARA