CONTENT WARNING:
» No plot; NSFW
» Soft smut (sedikit eksplisit)
» In bahasa (baku)
Selamat membaca!
Too Much Sensitive
"Na-naruto-kun!"
Hinata memekik parau. Pagutan intens yang berlangsung hingga nyaris membuat sepasang kekasih di sana bahkan sampai lupa bernapas kini memaksa keduanya untuk saling mengikis jarak. Dahi yang masih melekat, hidung yang saling bersentuhan, serta ujung bibir yang sesekali tak sengaja saling bergesekan. Jarak yang tercipta pun jadi tak begitu berarti. Setiap deru napas yang menguar seperti tak memiliki celah. Segalanya berakhir dengan saling berbagi hangat, hasrat, dan gairah. Peraduan final dari kencan bersalju setelah tak mampu mengusir udara dingin hanya dengan genggaman tangan.
Foyer, tempat yang menjadi perantara ruang tengah dengan teras rumah nampak begitu lengang. Dua pasang sepatu yang tak sempat Hinata rapikan ke dalam rak kayu dan masih berserakan di belakang pintu menjadi saksi bisu ketika hanya deru napas, desah tertahan, juga decap lidah yang membikin candu menjadi satu-satunya yang memenuhi rungu. Tapi tak apa, tak ada yang perlu dicemaskan. Hanya ada mereka berdua. Jangan lupa, mereka ini 'kan pengantin baru. Mungkin, ingatkan saja pada Naruto soal mengunci pintu. Akan sangat memalukan jika tiba-tiba ada yang bertamu.
Sementara itu, Hinata tampak memandang sayu seiring ketika Naruto berkedip lambat. Sepasang netranya menatap lekat. Iris safirnya yang tampak berkabut juga tak lepas menaruh atensi pada ranum sang dara yang masak. Mendamba untuk bisa mencumbunya lebih banyak. Menggigitnya. Melumatnya. Memporak-porandakan gadis manisnya tersebut dengan lidahnya.
Tapi, Naruto tidak tahu jika wanitanya itu sedang sangat sensitif malam ini.
Too much sensitive.
Hinata melenguh lirih tatkala bibirnya tak bersambut setelah ia memberanikan diri menjadi yang pertama kembali memulai ciuman. Suaminya itu pasti puas sekali melihatnya. Jelas, sebab ia jadi terlihat seperti satu-satunya yang tak sabaran, bukan?
Dan benar saja, ada seringai kecil yang terbit di sudut bibir saat Naruto kemudian berkata pelan, "Sabar, sayang."
Tuh 'kan.
Ah, bagaimana ia akan menjelaskannya pada Naruto. Malam ini ia sungguh tidak bisa diajak bermain lambat. Ditarik ulur sedemikian rupa. Terlalu memusingkan. Seperti ia hendak dibawa terbang mengangkasa, separuhnya lagi entah bagaimana rasanya membuat ia begitu nyaman. Tapi, itu terlalu dini. Naruto bahkan belum melakukan apa-apa, hanya baru menciumnya saja. Terlebih, sampai sekarang pun pemuda itu hanya diam saja. Sengaja sekali. Menyebalkan.
Tapi siapa yang peduli, tak ada yang buruk dengan menjadi tak sabaran, bukan? Maka kemudian mengeratkan jemarinya di antara kerah kemeja hitam yang Naruto kenakan, Hinata kembali mengikis jarak. Tetapi, Naruto lagi-lagi menahannya. Ia menggeleng, ada sedikit lengkungan kecil yang manis sebelum akhirnya berbisik serak, "Tidak, Hinata."
Hinata merintih, "Kenapa?"
"Karena hanya aku yang boleh memulai duluan." Terdengar seperti titah mutlak. Tak bisa dibantah. Karena pada detik itu pula, persis ketika Hinata mempertemukan lagi sepasang netranya yang berkilau dalam hasrat dengan manik biru laut Naruto yang pekat dalam gairah, Hinata akhirnya mendapatkannya. Dalam satu tarikan lembut oleh telapak tangan di belakang tengkuknya, Naruto kembali memagut bibirnya. Pagutan yang membawa lidah keduanya saling menggeliat hangat, saling membelit, beradu untuk saling menegaskan kepemilikan yang valid.
Hinata bisa merasakan sebelah tangan yang semula menekan tengkuk lehernya kini perlahan beralih membenamkan dirinya di antara surai nila yang ia biarkan terurai. Menyelipkan di antara jari-jemari, sebelum menariknya secara berantakan dalam genggaman tangan. Menaikkan surainya ke belakang kepala seperti kuncir kuda guna dapat mengakses jenjang lehernya dengan lebih leluasa.
Ciuman yang berlangsung panas. Tangan lainnya yang diam-diam menyelinap di balik sweater hangat. Tak perlu sake untuk membuatnya mabuk kepayang, serasa ingin terbang, ataupun sampai hilang kesadaran. Hinata, dengan segala keindahannya, sudah lebih dari cukup membuatnya nyaris kehilangan kewarasan. Menemukannya sudah dalam keadaan basah untuknya saja, bukan lagi hanya merasa ingin terbang, tapi ia seperti sudah dibawa melayang bersama euforia candu yang tak terelakkan.
Hinata setengah menengadah. Bibirnya yang sedikit terbuka membawa erangan tertahan manakala Naruto telah benar-benar menginvasi ceruk lehernya. Menghisapnya kuat seolah kulit lehernya mampu menghasilkan nektar bak bunga-bunga yang mekar di pekarangan rumah, yang memikat banyak kupu-kupu untuk meminumnya. Ah, sebab, rasanya benar-benar manis. Terlampau manis sampai ia nyaris tak tahu bagaimana cara melepaskan diri darinya.
Rasa-rasanya sudah tidak ada lagi yang peduli pada syal oranye muda yang dilempar secara menyedihkan oleh Naruto beberapa saat lalu. Syal yang Hinata kenakan tatkala mereka berdua berkencan di tengah salju. Hanya mungkin Naruto akan menyesal setelah mereka bangun esok harinya. Bangun sembari berpelukan tanpa busana. Ah, tetapi, sepertinya Naruto juga tak akan kena marah sih. Ingatkan saja tentang semalam, Hinata sudah pasti tak bisa berkutik. Merona. Memerah. Lalu, gadis itu akan salah tingkah luar biasa. Jadi, mungkin hanya akan ada kekacauan kecil yang membuat pagi mereka beraroma seperti pai apel yang baru keluar dari oven, manis. Manis sekali.
Tetapi, tunggu, tunggu sebentar. Naruto ... ada yang tidak benar dengannya. Selagi tangan pria itu perlahan turun menyelinap di balik celana, bibir serta deretan giginya yang bergerak lambat menggigit daun telinga, menyusuri garis rahang dan pipi hingga berakhir menghanyutkan lidahnya saat mempertemukan kembali bibir keduanya. Kesunyian yang semula kontras oleh lenguhan merdu yang memabukkan, namun tiba-tiba kembali lengang sebab desahan Hinata teredam begitu saja manakala Naruto kembali mengunci mulutnya.
Naruto baru saja menciumnya, bukan? Menciumnya di bibir? Tapi ... kenapa ia juga merasa Naruto masih mengecupi jenjang lehernya?
Tunggu, seperti ada yang salah. Tapi, apa? Apa itu hanya karena euforia angannya saja? Ia hanya tak mampu lagi memusatkan kesadaran sebab ia telah melebur bersama ekstasi yang ditawarkan oleh Naruto manakala pria itu telah membawa jari tengahnya yang telah basah kuyup memasukinya. Itu. Itu dia. Namun, mereka bergerak terlampau lambat. Tidak, Hinata tidak bisa. Oh, ayolah! Ia sudah bilang sedang sangat sensitif, bukan? Maka kemudian membiarkan tubuhnya ikut bergerak, Hinata tersentak, ia melenguh tertahan manakala mencoba mengangkat sedikit pinggulnya agar Naruto tahu dia harus mempercepat dorongannya.
"Naruto-kunh.."
Naruto menyeringai, mendengus tak masalah di antara pagutan bibirnya. Ia malah teralihkan oleh suara Hinata yang mencuri celah. Betapa ia sangat menyukainya. Suara manis yang memanggilnya di antara desah. Selalu menjadi candu, dan selalu berhasil membuatnya mengeras dalam gairah yang membelenggu. Namun ia sadar harus bersabar, sebab ia masih ingin memanjakannya tidak untuk sebentar. Yang lama. Lebih lama. Hinata yang memerah. Hinata yang berkeringat. Hinata yang terengah. Dan, Hinata yang basah. Terlalu sempurna.
Naruto memijat lembut belakang kepalanya saat memperdalam ciuman. Namun dengan cepat Hinata tanpa sadar menarik bibirnya, ia kembali menengadah. Tak mampu menahan erangan begitu pria itu menekan titik sensitifnya. Ia terengah-engah dalam kekacauan manakala Naruto menggoda daging kecil di antara lipatan dengan ibu jarinya. Sebab pria itu tahu, tahu bahwa ia sudah dekat. Tapi, tunggu, tunggu sebentar, tegasnya lagi. Kini Hinata sebisa mungkin untuk tak terlena. Ah, sial. Tapi, terlalu memabukkan. Terlalu banyak stimulan. Sulit sekali rasanya menyatukan kembali kesadarannya yang masih tersisa ke permukaan.
Lalu, ini tangan siapa? Tangan siapa yang diam-diam ikut menyelinap di balik sweater hangatnya? Tangan yang mengusap lembut. Tangan siapa? Tangan siapa yang kini tengah meremas dadanya bahkan tanpa perlu membuka kaitan di belakang punggungnya? Memijat pelan. Menekan lembut.
Tangan siapa yang melingkari perutnya?
Bibir siapa yang masih mencumbui jenjang lehernya?
Hidung siapa yang tak berhenti mengendus tengkuknya?
Selagi memenuhi kepalanya dengan banyak tanda tanya besar, Hinata kembali memekik pelan. Ia sontak menggeliat ketika tangan tersebut mulai berani memainkan puting payudaranya. Giginya menggigit bibir bawah. Sebelah tangannya memeluk kepala Naruto dan meremas surainya. Hinata mendesah makin keras saat Naruto tak berhenti menyentuh klitorisnya, seolah memang mengharapkan ia segara datang. Tapi, ia sungguh tak bisa mendiamkan keanehan ini.
Hingga kemudian merasakan kedua tangan Hinata berusaha menahan tubuhnya, Naruto lekas tersadar. Sepasang netranya turut pula membuka perlahan begitu ia tahu sang gadis ingin ia menyudahi dan menarik diri. Naruto nyaris tak percaya. Jarinya sudah dikepal kuat dan ketat oleh dindingnya, lalu mengapa Hinata malah ingin ia berhenti?
"Ada apa, sayang? Apa aku menyakitimu?" Naruto buru-buru bertanya khawatir. Ia bisa memastikan bahwa Hinata sedikit tidak nyaman.
Tetapi, kemudian Hinata menggeleng.
"Lalu, kenapa?"
Entah bagaimana Hinata sudah tidak lagi bersandar pada dinding rumahnya. Lapisan beton yang dingin itu tergantikan oleh dada bidang milik seseorang yang membuatnya tetap hangat. Berdiri di belakangnya entah sejak kapan. Menopang setengah beban tubuhnya saat ia menengadah. Seolah ia tak mampu menyangga beban tubuhnya sendiri manakala ia dihujani oleh afeksi.
Hinata kemudian mendongak. Menatap ragu manakala sepasang iris mereka bertemu. "Naruto-kun kenapa tiba-tiba menggunakan jurus seribu bayangan?"
Naruto sontak mengerjap. Maniknya bergulir pada sosok bayangannya yang berada di belakang sang istri. Merasa bersalah.
"Tidak boleh?" tanyanya lirih tepat setelah ia mengusir satu bayangannya menghilang.
"Bukan tidak boleh—"
"Membuatmu tidak nyaman, ya?"
Hinata lantas mengangkat wajah, satu tangannya bergerak ke atas guna meraih wajah Naruto dalam usapan lembutnya. "Tidak untuk malam ini. Aku ... sedang terlalu sensitif. Aku takut tak bisa memberikan seperti yang Naruto-kun harapkan."
Naruto mengerjap. Ia mendengus, dan tersenyum lembut. Sebelah tangannya bergerak turut menggenggam jemari Hinata yang ada di wajahnya. Ia membawanya, lalu mengecupnya singkat. Kemudian meletakkannya di atas bahu, Naruto mencondongkan wajahnya mencium bibir Hinata sekilas.
"Kenapa kamu sangat menggemaskan begini," desis Naruto seraya mengacak lembut puncak kepalanyaha. "Baiklah, aku mengerti. Lain kali aku akan meminta izin dulu." Ia tersenyum manis.
"Bukan begit—mmh." Hinata meredam desahannya di dalam mulut saat Naruto tiba-tiba mengangkat tubuhnya dan menyandarkannya ke dinding. Ia bisa merasakan milik Naruto yang masih mengeras menekan miliknya.
"Tapi, aku tidak mau berhenti sekarang." Naruto memasang muka pura-pura cemberut. "Kita belum selesai, bukan?"
Hinata seketika memerah. Rona di pipinya merambat terlalu cepat. Menyambut hangat manakala Naruto kembali mengikis jarak. Mengecup sudut bibirnya. Melumatnya. Menghisapnya. Segalanya kembali terulang. Naruto mencumbu jenjang lehernya, menekan dadanya, meremasnya lembut, meraba perutnya, hingga jarinya sekali lagi bertemu dengan muaranya. Hinata tak ingat sudah datang berapa kali, akan tetapi Naruto kini telah berlutut di bawahnya. Menyentuhnya dengan lidahnya. Menidurinya dengan lidahnya. Dengan jarinya. Dengan miliknya. Lagi, lagi, dan lagi. Sampai ia datang berkali-kali.]
.
.
.
Hehehe, thanks for reading. Ily.
