Enam tahun?
Apakah aku sudah selama itu membuang hal yang kusuka dan menjadi tumbuh dewasa? Namun, enam tahun itu... apakah sepadan dengan apa yang kudapat?
Entahlah.
Aku melalui tahun-tahun itu dengan berat. Melalui hari-hariku dengan rasa trauma yang menumpuk dan terus berusaha untuk tetap normal seperti yang lain. Di antara semua itu, ada satu hal yang penting.
Selama proses aku menjadi 'dewasa' itu, aku benar-benar melenyapkan bayangannya dari pikiranku.
Kagamine Len.
Astaga, benar juga. Aku bahkan nyaris melupakan bagaimana sosoknya yang tertidur di kelas selama pelajaran berlangsung dengan headphone ditelinganya, atau sosoknya yang berjingkrakan di depan kelas saat jam kosong, memainkan sapu kelas layaknya sebuah gitar sambil bernyanyi asal-asalan dengan kelompok band kecilnya di kelas.
Perasaan berbunga yang melilit perutku ketika pemuda itu tersenyum hampir sudah tidak pernah aku rasakan lagi.
Bagaimana keadaannya sekarang? Setelah kita melalui enam tahun kita masing-masing, apakah ia baik-baik saja? Apakah sosoknya masih bersinar seperti saat kita masih satu kelas dulu?
Apakah ia masih mengejar mimpinya?
Atau justru menyerah, seperti yang kulakukan?
Masih samar dalam ingatanku ketika Len menggenggam secarik kertas pendaftaran kuliah, sosoknya terlihat enggan dan tersenyum terpaksa. Kau masuk universitas apa? Jurusan apa? Apakah semuanya baik-baik saja?
Sementara aku juga memegang kertas yang sama dengannya. Namun bedanya, kertasku sudah lusuh oleh air mata. Aku gagal dalam jalur undangan, karena salah satu anak di angkatanku menikungku di saat-saat terakhir. Universitas yang kuimpikan kandas.
Itu kejadian yang lalu. Kini aku sudah mendapatkan almamaterku. Aku berkuliah di universitas negeri yang tidak terlalu bergengsi. Membayangkan akan menghabiskan masa kuliahku di sini saja sudah membuatku bergidik. Namun, aku tidak bisa mengelak. Entah kenapa selama enam tahun terakhir ini aku semakin terpuruk. Semua pikiranku kacau dan menghabiskan waktuku dengan menangis di kamar mandi dengan keran yang menyala. Hal itu membuatku sulit saat belajar untuk memasuki kampus yang bergengsi.
Ah, jarak kita semakin jauh.
Masihkah kita bisa bertemu?
Sosoknya yang suka bersenandung di lorong kelas, menertawakan bando pita besar yang kukenakan (kau menyebutnya norak karena saat itu kita sudah SMA), lalu terlambat masuk kelas karena persiapan kompetisi band.
Astaga-Tuhan, aku merindukannya.
Kesadaranku mengabur, aku seolah sedang tertidur di tengah jalan. Aku menyeret kakiku agar terus berjalan. Mata kuliah hari ini begitu sulit dan aku hanya terbengong di dalam kelas. Apa yang akan kulakukan hari ini?
Keramaian di seberang jalan menarik perhatianku. Tanpa kusadari, kakiku telah membawaku mendekat ke keramaian, sebuah festival musik. Melihat suasana yang riuh rendah ini kembali mengingatkanku pada sosoknya. Sosok Len pastinya suka dengan tempat ini, di mana ia bebas membawa gitar berwarna cokelat keemasannya dan bernyanyi di depan kerumunan. Tempat di mana ia tidak terbelenggu oleh beban yang selama ini ditaruh dipundaknya, tempat di mana ia tidak ditekan untuk menjadi seorang dokter.
"...Rin?"
Aku tersentak, menoleh ke balik bahu. Aku tidak memercayai mataku. Tepat dibelakanku, Len tengah menyandang tas gitarnya, menatapku secara intens. "kau... Rin, bukan? Yang dulu suka memakai bando pita putih super besar. Astaga, bando itu benar-benar norak tahu." pemuda itu jelas berusaha menahan tawanya di akhir kalimat.
Aku tidak bisa menahan senyumanku. "Ah, ya. Halo. Kau sepertinya tidak tahu selera fashion, ya? Yah, aku tidak kaget, sih." balasku sambil tertawa pelan.
Pemuda itu memutar pergelangan tangannya, memeriksa jam tangan. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat peluh yang membasahi wajahnya dan nafasnya yang memburu. Sepertinya ia berlari untuk ke tempat ini. Sekilas, pandanganku juga sempat menangkap kantung mata di bawah manik mata biru lautnya. Sosoknya masih sama, penuh dengan energi positif, tetapi kali ini wajahnya terlihat lelah.
"Aku terkesan kau masih bermusik." komentarku lirih tanpa kusadari.
Len mengangkat wajahnya, menyengir, "Benar juga. Kau juga kaget, kan? Aku sendiri juga masih tidak percaya aku masih bisa bermusik. Oh, iya. Apa kau ada waktu? Sehabis ini aku harus latihan dengan tim ku. Kalau kau tidak keberatan, ayo setelah acara ini selesai kita ke tempat makan dan mengobrol. Aku sudah lama tidak bertemu dengan teman SMA."
"Boleh. Aku kosong, kok."
Dan begitulah, setelah beberapa saat kemudian, Len pamit untuk latihan bersama anggota tim nya. aku menatap punggungnya yang menjauh. Pemuda itu tampak buru-buru, sementara aku berharap kita kembali ke masa-masa enam tahun yang lalu.
.
.
.
Ketika kau memainkan gitarmu tanpa beban dan aku yang mengiringimu dengan suara sumbangku.
Fin
