SPYxFAMILY © Tatsuya Endo
[#LOVEDIVEカラ] "to I'VE" © INDONESIAN KARA
Saya tidak mengambil keuntungan material apapun atas penulisan dan pemublikasian karya ini. Murni untuk urusan me—*sebagian kata hilang karena saya mager sebar spoiler*.
Rating: T (R-15). Genre: (Light but Dark) Romance, "Love Dive". Language: Indonesian.
Notes: AU. Aged Up DamiAnya. Damian OOC karena seseorang akan memberikan perlakuan berbeda pada cintanya. Ditulis berdasarkan pengalaman dari sebuah kapal bernama Sep—eh, kok malah spoiler sumber— (emot tangan terkatup).
Notes #2: Amburadul karena ditulis ketika UTS berlangsung—dengan kejaran dedlen yang brak-bruk-brak-bruk tapi saya mah setrong saja. (emot yes)
…
Flash-fiction Draft #2: "Secretless"
[Diterjemahkan dan dikembangkan dari tugas mata kuliah Creative Writing saya yang berbahasa Inggris dengan tujuan sebagai asupan pribadi berkedok menulis kontribusi fanfiksi untuk kapal.
Cheers! —KARA.]
...
…~o0o~…
Let's play!
Let me count and you hide, ok?
.
You-u-u …
La la la la la la.
Let's count: 1-2-3-4-5-6-7—eh?
Why … why do you make me feel like an eleven?
.
—from "ELEVEN no COUNTDOWN" by INDONESIAN KARA.
… … …
Tak ada siapapun di dalam ruang kelas untuk mata kuliah pagi itu, sungguhan tidak ada, kecuali dia … dan kamu.
Kamu membuka pintu kelas dengan satu dorongan ringan tanpa menimbulkan kebisingan penyita perhatian. Menyusuri barusan bangku, kau putuskan memilih tempat duduk yang berbeda dari biasanya, bangku di urutan nomor dua dari belakang, jauh dari "dia" yang tampaknya tidak—atau belum—menyadari kehadiranmu sebagai orang lain di ruang yang sama. Namun, huh, kamu biarkan saja seperti itu. Aku memang bukan objek perhatian utamanya, pikirmu dengan perasaan setengah kesal sendiri, dan aku tidak peduli.
Situasi dan kondisi saat itu memang tenang sekali, bahkan hening. Tidak banyak suara yang tercipta, baik darimu atau orang di sana—orang yang sibuk dengan urusannya pagi itu. Termasuk kamu, dengan perasaan campur-aduk dan kantuk yang menggantung di mata setelah begadang semalaman, menjadi lebih cuek dari biasanya. Perasaanmu sedang tidak dalam kondisi prima dan ceria.
Kamu memilih untuk duduk bertopang dagu dengan tenang di bangku, menatap sekeliling; objek-objek furnitur kelas yang dirawat dengan baik, sepotong pemandangan di luar sana melalui kaca jendela, barisan meja dan kursi yang teratur dan membosankan, kemudian … berakhir padanya.
Pemuda itu, Damian Desmond. Nama asing yang belakangan ini menggelitik lidah dan pikiran karena kehadirannya yang nyaris ada di setiap tempat kamu melangkah. Tak terkecuali pada langkahmu untuk membantu mempermulus jalan Ayah untuk menjalankan misi.
Yup, nama itu: Damian Desmond.
Damian Desmond; putra kedua dari Keluarga Desmond, yang mana kepala keluarganya adalah oknum kecurigaan misi ayahnya, sedang Damian sendiri adalah target sampingan sebagai sosok yang menjembatani keberhasilan misi ayahnya sejak dulu.
Damian Desmond, orang paling menyebalkan yang kautahu. Di mana ada dia dan dirimu, selalu ada keributan dan ketidakjelasan terpicu. Oknum yang turut ambil bagian dalam koleksi Tonitrus Bolt milikku. Kau bersungut-sungut dalam hati, tetapi lagi-lagi tak seperti biasanya, kaupilih untuk duduk dengan tenang menikmati kesunyian, tanpa memicu kehebohan yang bisa saja menyulut emosimu dan Damian.
…
Ketika seseorang yang kerap kau temui mulai terasa misterius,
… ditemani rasa baru yang perlahan menjadi serius.
Namanya yang biasa kaudengar mulai terngiang terus-menerus.
…
Kamu mendengus dengan menyentak napasmu, yang sayangnya tidak cukup keras untuk sampai ke telinganya yang tersumpal earphone demi mendengarkan musik, audio, instrumen, tugas listening, atau entah apalah itu dari ponselnya sembari melakukan hal-hal klise sebelum ujian tengah semester datang. Meski begitu, atensimu beralih padanya untuk beberapa saat ke depan, memperhatikan apapun yang dia lakukan. Mengisi kebosanan pagi itu dengan mengamati si putra kedua dari Keluarga Desmond dan tingkah polah semi-kekanakan yang hampir tak pernah ia tunjukkan.
Sorot mata jemu dan wajah yang biasa tak berekspresi …
Termangu di atas meja, dengan netra hijau itu kamu menatap pada sosok di sana dengan saksama, memperhatikannya yang serius menekuri buku bacaan dan fokus mengerjakan sesuatu pada buku digital di dalam laptop-nya, sesekali kembali pada laman belajar demi mengecek tenggat waktu dari tugas kreatif lainnya yang saling kejar-mengejar. Lebih dalam dengan tatapan tajam, sepasang keping hitam semi cokelat muda terfokus pada bacaan, terkonsentrasi pada beberapa pekerjaan yang dituntaskan bersamaan.
…
Di balik tatapan matamu yang dulu selalu tampak jemu itu, tersembunyi suatu rahasia.
Kau tak pernah memberi tahuku apa itu sebenarnya, tetapi hal itulah yang sendirinya mengundang aku untuk mencari tahu dan mengetahuinya.
…
Diam-diam, kamu membayangkan dirimu tengah bertatapan dengannya. Menukar tanya dan pikiran singkat melalui temuan mata. Menyingkap makna dari sorot dari sepasang keping hitam semi cokelat muda—atau justru keemasan—milik Damian yang jelas sekali menyimpan rahasia. Keping netra yang dulu kerap bergeming terarah padaku. Anya—kamu terpikirkan hal itu di tengah lamunan.
"Aneh." Kata itu keluar dari mulutnya setelah sekian menit berlalu, saat kamu masih jatuh dalam imajinasi ketika matanya menatap penuh arti padamu. Ah, mungkinkah dia menyadari keberadaanku? tanyamu dalam hati, hendak bersorak kecil jika saja memang …
"Bagaimana mungkin hasil dari eksperimennya masih meninggalkan banyak pertanyaan setelah serangkaian eksperimen lanjutan telah dilakukan? Apa para tokoh ini sungguhan kompeten?"
… tidak jadi. Rupanya tidak sesuai dugaan, pemuda di sana justru bersungut-sungut akan hal lain. Masih tidak menyadari kehadirannya sebagai orang lain di ruang kelas yang sama. Mulut kembali terkatup, mengerucut. Anak kedua meresahkan! serumu di dalam hati. Kamu tidak memberikan sahutan atau respons berarti, memilih untuk kembali memperhatikannya, Damian Denial Desmond, yang menggaruk bagian belakang kepalanya sendiri dengan ekspresi separuh bingung dan kesal pada buku materi berisi rumus bercampur kumpulan teori rumit.
Tunggu, rumit?
Serumit pikiranku memahaminya. Lagi-lagi kamu berkata dalam hati seorang diri, sembali mengetuk-ngetukkan jemari lentikmu di atas meja demi menghitung waktu, berhenti membaca pikiran amburadul si pemuda di sana. Ah, tidak. Percuma, isinya hanya rumus-rumus mbelibet dan teori hafalan yang panjangnya tidak terkira, entah dari mata kuliah yang mana.
Ketukan jemarimu seirama dengan detikan jam, kala kau mengira-ngira berapa hitungan lagi untukmu bisa memotong jarak antara kamu dengan dia. Mulai merasa kalau hitungan maju dari satu hingga sebelas dan mundur sebaliknya ini ternyata terasa menjenuhkan.
Namun berhenti di situ, kepalamu justru memikirkan hal lain. Menyentuh ingatan dari kejadian bertahun lalu. Nyaris sempurna melamun ketika mengingat kenangan lama antara kamu dengannya; awal pertemuan kalian berdua disertai debut bogeman mentahmu, ketidakjelasan status pertemanan kalian setelahnya, juga pengejaran status selesai dari misi ayahmu yang melibatkannya. Itu semua, terputar kembali seperti tayangan layar visual …
"Akhirnya, ha! Selesai juga esai panjang dengan definisi saintifik ini!"
Lamunanmu kembali buyar ketika Damian bersorak senang seusai menuntaskan satu dari sekian banyak tugasnya, kegirangan sendiri penuh bangga. Pamer seakan ia telah meraih penghargaan paling membanggakan yang telah ada. Damian beranjak dari bangku, bahkan mengangkat kertas berisi curahan idenya tinggi-tinggi, bagai mengangkat trofi bergengsi.
Senyum tipis ada di bibirmu, untuk sejenak merasa bernostalgia mengingat masa lalu. Mengingat orang di sana yang sejak dulu telah menjadi objek atensimu. Kamu membenahi posisi, kembali bertopang dagu di atas meja. Keping hijau cerah milikmu menatap lugu pada seseorang di sana seakan semuanya adalah hal yang biasa, sesuatu yang wajar saja …,
… walau kausadar akan kehadiran rasa yang tidak biasa, tetapi terasa istimewa. Mekar bersama waktu, hingga perlahan berbunga. Mekar membentuk rasa, rasa, dan rasa. Satu kata yang penuh makna yag bahkan kamu tahu dirimu takkan pernah sempurna mendefinisikannya jika kamu kaitkan dengan Damian …,
… karena kamu telah terbuai dalam pesonanya.
Kamu menepuk pipi, menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menghapus sekelebat pemikiran tadi.
Tidak, tidak, tidak mungkin jadi seperti ini, sergahmu dalam hati untuk pemikiranmu sendiri, menyanggah kehadiran rasa yang sejatinya kaurasa. Mengusir pemikiran "aneh" itu dari benak. Mana mungkin aku menyukai orang menyebalkan dan meresahkan seperti Anak Kedua, bercanda, ah!
"…"
"… eh?"
"Kau …"
Ah …
…
Look at it closely,
as you reveal the untold secret story.
…
"...?"
Akhirnya ia melihat ke arahmu dengan tatapannya yang tampak sedikit ingin tahu. Tindakanmu menyangkal diri sendiri barusan rupanya menarik perhatian Damian dari konsentrasinya atas materi yang menyuntukkan. Aku terlalu mencolok perhatiannya kali ini, pikirmu, sembari menutupi wajah dengan rambut merah muda panjangmu dan menelungkup di atas meja. Sembunyi. Menghindari tatapan dari sepasang netra yang baru saja kaupuja.
Senandung kecil keluar dari mulutmu dengan rasa canggung yang pekat di dalam nadanya, berusaha menghapus canggung—yah, meski tanpa guna. Orang di seberang sana pastilah sadar dengan keanehannya. Ia hanya beruntung dengan fakta bahwa Damian tidak akan pernah bisa membaca pikirannya. Pemuda itu takkan pernah tahu dengan isi pikirannya …,
… karena pikiranku telah penuh olehnya seorang.
Kamu, Anya Forger yang masih menyembunyikan muka di balik lengan dan helaian rambut merah mudamu, sekali ini menyerah sejenak dari pergulatan pikiranmu. Kamu menyadari bahwa menyangkal perasaan yang memang ada ini takkan berbuah apapun yang positif, bahkan tidak akan membuat kacang-kacang gurih berloncatan ke depanmu.
Pemikiran tadi lantas keluar sebagai gumaman, suara-suara kecil yang tanpa sadar lolos dari mulutmu untuk meracaukan bagian-bagian dari pikiran ruwetmu tanpa kejelasan kata. Tak yakin untuk bertindak atau tidak, kamu bimbang, sementara warna baru di hatimu terus bermekaran tanpa henti.
Ah, cukup, Anya!
Namun, jika bukan fakta, maka yang tadi pun sebenarnya bukan dusta …
Puk!
Lamunanmu kembali buyar ketika tangan seseorang menepuk puncak kepalamu pelan, berlanjut dengan mengusap kepalamu dengan lembut. Kamu tidak sempat mengangkat kepala ketika satu kalimat terucap, menyapakan pertanyaan yang kaubingung jawabannya, "Hei, kautampak lemas … apa yang terjadi, sayang?"
Kamu tersentak, refleks mengangkat kepalamu. Tiga, ah, bahkan kurang dari itu, keping hijaumu bersitatap dengan miliknya. Terpaku di sana dengan awal dari suara yang kamu kenali dengan baik yang seharusnya tidak selembut ini …
"Aku tidak melihatmu datang, mungkin karena kau terlalu kecil hingga aku tidak menyadari keberadaanmu," ucap si pemuda kepadamu dengan niat setengah mengajak ribut, namun batal ketika ia tiba-tiba duduk di sampingmu sembari menopang salah satu sisi kepalanya pada telapak tangan dan bertumpu pada meja untuk memandangimu dengan lebih leluasa.
"Tapi tetap saja, bukankah itu salah jika aku tidak mengakuinya?" Kamu tak mampu berkata-kata ketika Damian memutar tubuh untuk sempurna menghadap kepadamu, seakan bersiap untuk melakukan sesuatu yang takkan bisa kauduga—dan memang demikian adanya.
"… maaf, Anya. Aku tidak bermaksud mengabaikanmu. Sama sekali, tidak," sambungnya dengan ekspresi khawatir ketika menatapmu tepat di mata. Karena bagaimana bisa aku mengabaikan orang yang telah mengisi hari-hariku selama ini.
Suara hati barusan terbaca dengan jelas olehmu, terdengar begitu saja seperti kalimat yang langsung dikatakan. Sederhana, namun membuatmu salah tingkah tanpa tahu harus berbuat apa.
Kamu tergagap setelahnya, kata-kata sekadar tertahan, tak mampu keluar sebagai "kata-kata" …
.
.
.
… karena akhirnya kau ingat, siapa sejatinya orang ini untukmu ... .
The end.
Selesai.
Tuntas.
Rampung.
Owari.
Ue-ue-ue-ue-ue akhirnya.
…
