One Piece - Eichiiro Oda
Shanks X Buggy AU! Omegaverse
.
.
.
Buggy tidak pernah sediam ini, seumur hidupnya. Dia selalu dalam masalah tapi ia tidak pernah diam. Mulutnya adalah cara bagaimana ia berekspresi. Bahkan saat sakit, Reyleigh tahu itu tidak akan menghentikan ocehannya. Kadang dia membual, kadang ia menuduh orang lain, saat kesal, saat senang, saat sedih, semuanya disampaikan. Meski tidak dengan cara yang baik, Buggy selalu apa adanya. Hanya satu kemungkinan kenapa ia bisa menjadi begitu diam.
"Aku bisa berpura-pura kau tidak di sini Buggy-boy. Tapi melihatmu tidak seperti biasanya membuatku khawatir." Shakky membuka mulut setelah membiarkan kesunyian merajai bar miliknya selama hampir satu jam.
Bar seharunya ramai, orang-orang datang dan minum lalu mengoceh apapun setelah agak mabuk. Yang bahagia hatinya akan bernyanyi dan tertawa. Tapi Shakky menutup bar, membiarkan Buggy seorang di meja bartender yang diam.
"Aku sudah kepala tiga, hentikan panggilan 'boy'mu itu."
Shakky terkejut, ia tidak menyangkan akan disahut. Itu artinya pria dengan surai biru itu siap untuk bicara. Nadanya yang lesu seperti bukan anak panti asuhan yang ia kenal dulu. Kenyataannya sudah lebih dari dua puluh tahun sejak ia menerimanya.
"Cara ngambekmu tidak beda dengan anak-anak."
Shakky menuangkan minuman dari botol untuk Buggy. Gelasnya sudah kosong, sejak tadi. Jika obrolan ini berlanjut ia butuh sesuatu untuk diminum. Ia percaya semakin mabuk seseorang semakin jujur ia berkata. Jadi, ini adalah trik untuk membuat Buggy kembali menjadi dirinya sendiri.
"Orang dewasa tidak ngambek, begitu kan?"
Buggy dengan senang hati menerima isian gelas. Ia langsung meneguknya sampai habis, mengernyit setelahnya. Mungkin bukan karena rasanya, atau karena banyaknya yang harus ia telan, mungkin karena perasaannya. Ada air mata menggantung di sudut matanya.
"Ada apa Buggy-boy? Kau membuatku khawatir." Shakky mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya. Ini waktunya berbincang. "Sudah sepuluh tahun, kau tidak bisa memaafkannya?"
Buggy mencengkeram gelas, ia marah. Tapi sikap menahan diri seperti itu bukan yang Shakky inginkan.
"Bagaimana?" tanya Buggy dengan suara tertahan.
Shakky menghembuskan asap rokok, dadanya tiba-tiba menjadi sesak. Paru-parunya tidak cukup untuk menampung asap sementara di sana sudah penuh dengan air mata. Shakky turut menangisi apa yang anak asuhnya alami.
"Shanks-boy akan bertanggung jawab. Kau mengenalnya sudah sejak kecil."
"Aku sudah tidak mengenalnya lagi sejak sepuluh tahun yang lalu. Sahabatku tidak akan melakukan itu padaku."
Shakky kehabisan akal, ia jadi ikut meneguk alkohol lewat botol secara langsung. Buggy masih menjadi pria yang pendiam, ia ingin bicara tapi juga tidak ingin bicara. Mengingat masa mudanya sendiri, Shakky tidak akan mempermasalahkan hal seperti ini. Ia bahkan tidak tahu kalau hal itu membebani Buggy selama sepuluh tahun. Yang sebenarnya pria itu pikirkan, Shakky tidak bisa memahami.
Shakky dan Reyleigh membuka panti asuhan untuk anak-anak yang selamat dari perbudakan, juga mereka yang yatim piatu karena perang. Diantara anak-anak itu adalah Shanks dan Buggy.
Orang lain melihat Buggy sebagai sosok yang penuh ekspresi. Dia lucu dalam semua emosi yang ia tampilkan sama seperti hidung merahnya. Tapi Shanks agaknya melihat sisi lain dari Buggy dan merenggut semua kepercayaan dirinya.
Mereka adalah remaja yang produktif saat hal itu terjadi. Bekas luka di tengkuk Buggy dan Shank yang menghilang di waktu yang bersamaan.
Shakky tidak salah, Shanks akan bertanggung-jawab. Hanya Buggy yang tidak ia mengerti.
"Bukankah kau menunggunya?" tanya Shakky.
Buggy tidak menjawab, ia turun dari barstool dan meninggalkan meja bar menuju pintu.
"Aku dihantui. Sepuluh tahun, bekas dan aroma itu sama sekali tidak memudar. Itu kutukan! Aku bahkan tidak bisa mencari pasangan!"
Shakky terkesiap dengan nada tinggi Buggy. Ia sudah menunggu momen pria itu akan marah-marah dengan nada tinggi tapi bukan yang seperti ini. Terlalu emosional, dan lagi-lagi Shakky mengerti apa yang sebenarnya Shanks lakukan. Ia hanya tidak mengerti bagaimana Buggy tidak menyadarinya.
Buggy melupakan topinya di meja bar saat meninggalkan tempat minum itu dan menghilang dari pandangan Shakky lewat pintu depat.
"Kau dengar itu Shanks-boy? Apa yang akan kau lakukan sekarang?" Shakky melemparkan topi milik Buggy pada sosok yang muncul dari pintu belakang bar.
Shanks menangkap benda yang sudah Buggy kenakan selama ini. Topi rajut berwarna oranye tua dengan bola bulu di bagian atasnya. Topi ini yang melindungi kilauan rambut biru milik Buggy.
"Dimana dia tinggal?" tanya Shanks.
"Kau tahu apa yang aneh dari Buggy-boy? Dia bilang dihantui, tapi dia tidak pernah pergi kemanapun."
Shanks terdiam, matanya tidak bisa lepas dari topi itu. Benda itu dirawat dengan baik tapi usianya tidak bisa ditutupi.
"Shanks-boy. Kemana saja kau selama ini?"
Shanks akhirnya mengangkat kepala. Ia menyimpan topi itu di dalam tas pinggang yang dikenakannya. "Melarikan diri. Tapi ini saatnya untuk menghadapi itu semua. Terimakasih Shakky. Sampaikan salamku pada Reyleigh."
Pintu depan sekali lagi dilewati. Kedua anak asuhnya yang sudah dewasa keluar dari bar ini. Shakky sudah berhenti mengelola panti asuhan. Perbudakan anak sudah dihentikan, perang juga sudah berakhir. Anak-anak korban semacam itu tidak ada lagi. Ia dan suaminya sudah terlalu tua untuk anak-anak kecil lagi.
"Apa mereka kemari?"
Sekali lagi pintu depan dilewati. Reyleigh baru kembali dari tempat judi.
"Baru saja pergi. Kemana saja kau? Orang tua tidak berguna?"
Reyleigh tertawa, ia duduk di samping Shakky setelah wanita itu memilih tempat di salah satu barstool.
"Mereka sudah dewasa, orang tua hanya bisa melihat."
"Lihat dirimu Reyleigh. Begitu kesepian."
Reyleigh dan Shakky menutup panti asuhan setelah anak-anak asuh mereka sampai pada usia untuk menjalani kehidupan masing-masing. Rumah yang semula panti asuhan menjadi apartemen sederhana dimana Buggy memilih untuk tetap tinggal. Ia ingin tetap tinggal di kamar yang sama.
Bangunan panti asuhan itu tidak banyak berubah. Bentuknya masih sama seperti dia tinggal dulu. Bangunan bertingkat dengan banyak kamar, tidak heran kalau sekarang menjadi apartment yang disewakan.
Shanks naik ke lantai dua, kamar Buggy seharusnya ada di ujung jika benar seperti kata Shakky. Masih ada setidaknya tiga pintu lagi sebelum ia bisa mencapai pintu kamar Buggy. Entah karena ia terlalu canggung, antusias atau perasaan campur aduk yang ia rasakan, Shanks bisa mencium aroma yang sangat familiar. Ini mengingatkan masa awal remajanya dimana ia sangat senang berada di dekat Buggy. Dia punya aroma yang Shanks sukai. Seperti candu, semakin sering menciumnya ia seperti terbawa mantra dan melihat sosok Buggy lebih cantik dari orang di sekitarnya.
Ini bukan lagi perasaan Shanks semata, tapi memang aroma itu semakin kuat seiring dengan langkahnya mendekati pintu kamar Buggy. Berdiri di depan pintu saja tidak membuatnya puas. Ditambah ia kemudian mendengar erangan, barang-barang berjatuhan dan umpatan. Buggy sepertinya sedang memgamuk.
Shanks berpikir untuk kembali, ia akan memilih waktu esok hari. Saat matahari sudah terbit, bukan menjelang gelap seperti ini.
"Sial! Sial! Sial!"
Shanks tidak bisa pergi, ia mendengar umpatan Buggy yang seperti mengutuk dirinya. Juga aroma itu, candu itu, Shanks mengalah pada nafsu. Ia tidak mengetuk, ia memutar kenop, membuka langsung pintu yang tidak dikunci oleh pemiliknya.
Kamar itu masih tampak seperti dulu. Bisa di bilang tempat tinggal minimalis. Ia dan Buggy serta dua orang lainnya tinggal di sini. Sampai remaja, dua lainnya memilih untuk keluar dari panti asuhan menjadi mandiri. Tinggal Shanks dan Buggy berdua. Mereka anak-anak terakhir, Shakky mengijinkan mereka berdua pergi kapanpun.
Shanks tersenyum ingat kembali kehidupannya dengan Buggy. Juga hari dimana ia melarikan diri dari tempat ini.
Lamunan Shanks tersadarkan pada suara benda-benda jatuh. Sengaja dijatuhkan karena pemiliknya sedang mencari sesuatu. Shanks masuk lebih dalam, mencari dan menemukan Buggy mengobrak-abrik laci-laci pada meja di samping tempat tidur.
Shanks meneguk ludah dengan kasar. Ia lupa aroma ini yang membuatnya menjadi ptia kasar yang merenggut kepercayaan diri sahabatnya. Ia lupa dan ia akan mengulangi kesalahannya lagi.
"Kau??!" Buggy terkejut, tangannya dicekal dan serta merta tubuhnya didekap. Ia meronta tapi terlalu lemah saat ini.
Shank memeluk Buggy dari belakang, menelusupkan wajahnya ke bahu pria itu di antara rambut birunya yang panjang terutai. Ia mengendus aroma yang memabukkan dari pri itu. Sudah lama, Shanks seperti bisa sakau dibuatnya.
"Lepaskan! Kau gila Shanks!"
Buggy meronta, tapi tubuhnya terlalu lemah bahkan untuk bergerak saat ini. Ia menemukan kenyamanan setelah beberapa saat lalu disibukkan dengan nafsu yang tidak bisa ia kontrol.
Shanks gelap mata, seperti tidak puas dengan hanya mengendus ia menjilat sisi leher Buggy dengan rakus. Seperti serigala kelaparan yang tidak bisa menahan diri dengan mangsa di depannya.
"Shanks... " Suara Buggy melemah, wajahnya memerah dan tubuhnya tidak lagi dalam kontrol pikirannya.
"Buggy ... kau punya aroma yang paling menyenangkan." Shanks mulai meracau dengan suara parau tepat di telinga Buggy. "Sabun apa yang kau pakai? Parfum apa yang kau gunakan?" Shanks menjilati lagi sisi leher Buggy, turun ke bahu. Di sana sudah terdapat jejak salivanya.
Buggy mengerang, pikirannya masih sadar. Tapi waktu yang tidak tepat, ia kehabisan obat dan Shanks sudah terlalu jatuh pada pesona feromonnya.
"Suara yang indah. Bagaimana kalau dengan 'Shanks' diantara lenguhan itu?"
Shanks mendorong Buggy di atas ranjang, ia menahan kedua pergelangan tangan pria itu di atas kepala. Apa yang ada di antara kedua pahanya sudah sangat mengeras. Shanks tidak sabar untuk menghimpit pinggang Buggy dengannya. Tubuh sang submissive merespon dengan baik. Buggy benci mengakui kalau ia kini tidak ada bedanya dengan kucing yang sedang birahi. Mengangkat pinggul untuk disetubuhi.
Didorong oleh nafsu, tangan Shanks begitu cekatan melucuti apa yang terpasang di bagian bawah tubuh Buggy. Mengisi lubang yang basah dengan jari-jarinya dan membuat suara becek yang memalukan.
"Nah Buggy, mana lenguhanmu." Shanks berbisik, menggigit cuping telinga pria di bawahnya.
"Sha- ah!" Buggy segera menggigit bibir saat desahannya keluar spontan ketika jari-jari Shanks menyentuh titik nikmat tubuhnya.
Shanks menyeringai, ia mengecup sisi kepala Buggy dan berganti mengisi tubuh bawah pria itu dengan seuatu yang lebih layak. Kejantanannya.
Shanks mulai meracau, ia perlahan melepaskan cengkeraman pada kedua tangan Buggy. Pria di bawahnya tidak akan lari kemanapun, ia tampak menikmati setiap dorongan pinggul Shanks atas dirinya. Sesuatu yang lebih baik dari pada jari-jari itu dan juga beberapa pil surpresan yang selama ini ia konsumsi dengan sia-sia.
Rambut panjang Buggy terurai dengan berantakan. Beberapa helainya terjebak di sekitar mulut karena keringat dan juga saliva. Buggy tidak bisa terus menahan bibir bawahnya di antara gigi. Ia membuka mulut, melepaskan desahan yang lebih dari sekedar lenguhan.
"Shanks ... "
Shanks puas, ia bisa mendengar namanya di antara desahan Buggy. Miliknya yang menyatu dengan tubuh Buggy semakin menegang. Basah dan juga terasa begitu panas. Ia menurunkan tempo, membiarkan Buggy menggeliat tidak sabar menjelang klimaks.
Shanks menyibak helaian rambut di leher Buggy, mengecup dan sekali lagi menjilat tengkuk sampai ke perpotongan lehernya. Liurnya menetes saat ia membuka mulut, menunjukkan giginya dan mendaratkan deretan gigit tersebut di permukan tengkuk Buggy.
"A-ah! Shanks ... hentikan ... " Suara Buggy lemah. Tubuhnya melemas saat ia mencapai klimaksnya bersamaan dengan gigitan sayang dari Shanks.
Mereka berdua terengah-engah, Shanks menegakka tubuhnya melihat Buggy menggeliat. Ia melepaskan tautan tubuh mereka meski Shanks sendiri belum mencapai apa-apa. Sesuatu di antara pahanya masih menegang dan basah penuh cairan dari tubuh Buggy.
Buggy lantas muntah. Ia mengeluarkan isi perutnya di bawah ranjang. Itu adalah alkohol yang ia minum di bar Shakky. Shanks segera membalik tubuh itu, membuatnya terlentang dan meraup bibir merahnya dengan ciuman. Shanks berusaha menghalangi apapun yang mungkin akan keluar nanti dari mulut Buggy.
"Tahan!" Shanks memberi jeda ciumannya. Ia tidak menunggu balasan ucapan dan kembali melumat bibir Buggy.
Buggy meremas baju Shanks, ia menarik dan mendorong pria itu. Meronta dengan lemah untuk dilepaskan. Tapi saat lidah Shanks mendominasi isi mulutnya, menahan muntahan yang mungkin akan keluar, Buggy memyerah. Ia terdiam, dan air matanya mulai mengisi ciumn di antara mereka.
Shanks memagut lebih lembut dan perlahan melepaskan tautan bibir mereka. Diakhiri kecupan lembut di hidung merah Buggy.
"Kau sebaiknya mulai menerimaku Buggy. Aku akan bertanggungjawab, jadi tetaplah bersamaku."
Shanks tidak yakin Buggy mendengarkan dengan benar. Satu hal yang pasti adalah tubuh Buggy masih panas, dan ia masih harus menuntaskan nafsunya. Sembari memberikan kecupan sayang di wajah si surai biru, ia melucu pakaian mereka. Shanks mendominasi tubuh Buggy dengan nafsu dan kesadaran penuh.
.
Buggy mulai sadar dari tidur dengan sedikit cahaya matahari yang terasa silau di matanya. Tapi ia belum ingin bangun, ia hanya berguling ke samping sambil merapatkan selimutnya. Tidurnya terlampau nyenyak, tubuhnya lelah dan enggan bangun.
Buggy masih memejamkan mata, ia sudah bangun apalagi saat ia mengendus aroma yang sepuluh tahun ini menghantuinya. Ia membuka mata dan yang pertama kali ia lihat adalah senyum dan rambut merah gelap yang mencolok.
"Hantu!!" Buggy tersentak dan bangun. Terduduk sambil berteriak spontan karena Shanks adalah pemandangan pertamanya saat bangun tidur.
"Bukan bukan. Aku sungguhan, dan aku belum mati." Shanks bergurau. Ia mendekati Buggy, memojokkan pria itu di dinding lalu meraih kepalanya. Shanks memberikan kecupan pada dahi Buggy dan ucapan 'selamat pagi'.
Buggy terkesiap, ia segera menepis tangan Shanks dan membuang muka. Saat ia menyadari tubuhnya telnjang hanya berbalut selimut Buggy meraba leher dan tengkuknya. Perih saat ia menyentuhnya, ada luka bekas gigitan di sana. Beberapa.
Buggy membuka mulut hendak berteriak, Shanks lebih dulu membungkamnya dengan menarik pria itu ke pelukan. Buggy ternganga tanpa suara.
"Maaf! Untuk yang semalam dan juga yang terjadi sepuluh tahun lalu."
Buggy benci feromon pria ini. Itu mengingatkannya pada setiap gigitan sayang Shanks di lehernya. Mengingatkanya pada tubuh Shanks yang membuatnya merasakan nikmat.
"Ah lihat betapa sialnya aku. Heat pertamaku aku diperkosa oleh orang yang kuanggap sebagai sahabatku dan setelah sepuluh tahun aku bisa mendapatkan heatku kembali aku kembali diperkosa oleh orang yang sama." Buggy mengoceh dengan malas. Ia bahkan meletakkan berat tubuhnya pada pelukan Shanks.
"Kau tidak menyadarinya?"
Buggy mengerutkan dahi. "Apa?? Aku ingin mencekikmu sampai mati sekarang. Mati kau Shanks! Manusia sialan! Kenapa selama sepuluh tahun ini kau tidak mati saja!"
Shanks tertawa mendengar keluhan Buggy. Nada tinggi yang menggemaskan sama seperti dulu. Dari sudut pandangnya saat ini, ia bisa melihat rambut biru yang berantakan. Diusap dan disibakkan helaiannya dan membuka jalam untuk kecupannya mendarat di bahu Buggy.
"Hii~" Tubuh Buggy merinding, ia spontan mendorong dada Shanks. "Apa yang kau lakukan??! Bajingan mesum!"
Shanks menghela napas, ia masih menahan pinggang Buggy agar tidak lepas dari pelukannya.
"Dengar Buggy, kali pertamamu adalah untukku. Artinya kau adalah milikku. Heatmu datang karena ada aku. Harusnya kau tahu kalau itu artinya kita adalah jodoh." Shanks menyentil hidung merah Buggy dengan ujung telunjuk dengan gemas.
"Kalau begitu, kemana saja kau selama sepuluh tahun? Melarikan diri dan tidak bertanggung jawab sama sekali?" Buggy tidak menahan diri saat meletakkan kedua telapak tangannya di leher Shanks. Ia mencekik pria itu dengan kuat.
"M-maaf. Ayo menikah."
"HAAA??! KAU PIKIR AKU MAU?"
Shanks menunduk, ia membiarkan Buggy mencekiknya tapi ia tidak menyerah untuk memberikan kecupan di bibir pria itu. Entah karena terkejut atau karena lelah dengan sikap Shanks, Buggy melepaskan tangannya.
"Kau mau. Aku yakin, kau tidak akan bisa punya pasangan yang lain. Dan aku ... " Shanks mengeratkan pelukan, tubuh Buggy kembali masuk dalam dekapan. "akan terus memperkosamu sampai kau mau menikah denganmku." Shanks melanjutkan ucapannya dengan bisikan parau tepat di telinga Buggy.
"Dasar iblis," keluh Buggy.
Shanks tertawa, ia memeluk erat tubuh Buggy dan membawanya berbaring. Ia menindih tubuh pria itu diiringi dengan ciuman. Kali ini perlahan dan dengan lembut, ia meminta akses mulut Buggy agar terbuka lewat sentuhan ibu jari.
Bukannya Buggy tidak sadar saat Shanks dengan tangan yang lain mengangkat pahanya, memberi akses pada entitas yang hangat dan keras untuk menerobos masuk kembali ke tubuhnya. Kali ini lebih lembut dan tidak terburu-buru. Shanks menciumnya dengan lembut, perlahan mulai menggerakkan pinggulnya beradaptasi dengan sisa cairan semalam.
Kenyataannya Buggy tidak bisa menolak kehadiran Shanks. Ia hanya marah bukannya tidak memaafkan pria itu. Ia berharap Shanks pulang, memeluknya dan bukan hanya ada dalam pikirannya.
"Bahkan jika yang ini adalah hantu, aku senang karena terasa lebih dari sekedar nyata," gumam Buggy di antara lenguhan hentakan Shanks setelah melepaskan ciuman mereka.
"Hey! Aku bukan hantu, aku bahkan belum mati."
Shanks memprotes dengan hentakan pinggulnya yang membuat penisnya masuk lebih dalam. Buggy menggigit bibir dengan sensasi sentuhan pada prostatnya. Itu terlalu nikmat dan ia tidak mau mengakui apalagi memohon agar Shanks melakukannya lagi. Tapi wajahnya yang menunjukkan reaksi itu, Shanks tersenyum melihatnya.
"Apa hantu bisa membuatmu merasa senikmat itu eh?" goda Shanks, ia menghentakkan pinggulnya lebih cepat.
"Aah- aah! Sialan kau Shanks."
"Hahaha."
.
Buggy terlihat tidak senang meski ia sudah berhasil menonjok Shanks tepat di wajah tampan pria itu setelah mandi.
"Kita akan menikah kan? Aku sudah berharap kalau kau segera punya anak." Shanks membela diri dari libidonya yang berhasil menyetubuhi Buggy sejak menjelang malam kemarin hingga tengah hari. Ia bahkan tampak belum puas.
Buggy menghela napas, ia lelah. Jika dulu ia bisa berdebat dengan Shanks sampai berjam-jam, sekarang jika ia membuka mulut Shanks akan membalas dengan tindakan tidak senonohnya. Buggy hanya menggeram, sebagai kompensasi ia meminta ditraktir makan siang yang juga sekaligus sarapan.
"Kau bohong pada Shakky tentang bekas luka itu kan? Yang menghantuimu sebenarnya adalah perasaan rindumu padaku."
Buggy sebal, ia menyuapkan sepotong daging ke mulut Shanks agar pria itu diam.
"Bukan."
"Mmm- lalu?"
"Selesaikan makan, ikut denganku. Aku sudah terlambat setengah hari karena ulahmu."
Shanks menurut. Ia membungkam mulutnya sendiri dan mengekor Buggy dengan patuh seperti anak bebek pada induknya. Mereka pergi ke sebuah sekolah asrama, menunggu di lobi tamu setelah Buggy meminta petugas untuk memanggilkan seseorang.
"Ah! Buggy! Kau terlambat! Sangat sangat terlambat!!"
Suara anak perempuan berikut sosoknya menghampiri Buggy. Gadis berambut merah gelap dengan pipi dikembungkan bersidekap di depan Buggy.
"Aku akan membayar dengan es krim, Hantu Kecil."
Mata anak itu sudah berpindah pada Shanks. Ia mengerutkan dahi saat kembali menatap Buggy. "Siapa? Pacarmu? Apa kau punya kecenderungan Daughter Complex sampai berkencan dengan seseorang yang mirip dengan putrimu?"
"Pfft- hahaha! Ini putrimu, Buggy?" Shanks terbahak.
"Bukan. Ini Hantu Kecil yang menempel padaku sepuluh tahun terakhir."
Shanks terdiam. Ia tidak berpikir kalau hal itu lucu. Sekarang ia sadar. Buggy pasti sangat membencinya.
"Siapa namamu gadis manis." Shanks berlutut, mengulurkan tangan mengajak kenalan dan bersalaman. "Aku Shanks."
"Akako. Buggy tidak bisa memberi nama yang bagus. Begitu ia tahu rambutku merah, ia beri nama begitu. Tapi dia selalu memanggilku Hantu Kecil." Gadis itu menyambut uluran tangan Shanks.
"Akako-chan, apa kau ingin adik? Aku dan Buggy berencana untuk menikah."
Akako terkesiap, dengan berlebihan. Ia menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua telapak tangan. "Hah??!"
"HEY! JAGA BICARAMU PAK TUA!"
Shanks tersenyum, ia berdiri dan merangkul bahu Buggy. "Aku mau bilang kalau aku juga punya anak. Usianya tujuh tahun, Akako pasti akan jadi kakak kalau kita menikah."
"Hahaha." Akako tertawa. Ia menarik perhatian dua pria dewasa di depannya dengan ekspresi penuh tanya. "Shanks. Kau lucu sekali. Ceritakan padaku tentang kalian nanti. Bukannya hari ini aku pulang, Buggy?"
"Hn, baiklah. Mana barangmu Hantu Kecil?"
.
Mereka mampir ke kedai eskrim. Akako pergi ke meja pemesanan untuk memilih sendiri eskrim yang ia mau. Ia bersikeras untuk memilihkan apa yang akan Shanks dan Buggy makan. Kedua pria dewasa itu memilih meja di balkon lantai dua menunggu Akako dan pesanannya.
"Jadi, dia anakku?" Shanks memberanikan diri mengkonfirmasi.
"Usianya sepuluh tahun bulan depan." Buggy menjawab.
"Aku merasa begitu bodoh sekarang."
"Kau lihat! Dia sangat mirip denganmu! Apa dia terlihat seperti anakku? Kau memang bodoh Shanks. Matilah dengan perasaan malu."
Shanks mengambil ponsel, ia membuka galery mencari-cari foto. "Lihat ini." Shanks menunjukkan foto seorang anak perempuan yang tampak lebih muda dari Akako.
Buggy melihat dan membuka mulut tapi Shanks lebih dulu berkata," anak angkat. Aku menemukannya tiga tahun lalu. Kau tahu, aku merasa kita akan baik-baik saja. Jadi Buggy, biar kukatakan sekali lagi. Menikahlah denganku."
Buggy terdiam. Ia sempat ingin mengejutkan Shanks dengan Akako sebagai olok-olok. Setelah semua yang terjadi sejak kemarin malam, Buggy tidak punya ketetapan.
"Katakan ya, Buggy."
Akako memecah lamunan Buggy. Gadis itu meletakkan nampan dengan tiga gelas eskrim ukuran besar.
"Kau menyukainya kan? Aku tidak mengenalnya, tapi aku tahu kau menyukai Shanks. Katakan saja ya, kalian menikah. Aku akan punya adik."
Buggy mendecakkan lidah, ia menyahut segelas eskrim dan membuang muka dari sosok Shanks dan Akako.
"Lihat!! Lihat itu Shanks. Dia sama persis denganmu. Menyebalkan. Kau pikir aku bisa menolak??!"
Akako mendekat pada Shanks dan berbisik," jangan khawatir Shanks, dia itu tsundere."
Shanks tertawa. "Ya ya, kau benar Akako-chan."
END
