Dunia akan jungkir balik kalau dia diterima di SMA Budi Asih, komentar Halilintar beberapa jam sebelum pengumuman penerimaan peserta didik baru. Itu artinya sama seperti melihat seekor sapi bisa terbang dan mencoba menguasai dunia. Aneh, mustahil dan tidak masuk akal.

Halilintar optimis dirinya tidak akan diterima di sana, sebab dia mengerjakan soal tes tulis dengan metode "di mana-mana hatiku senang". Sebuah metode pengerjaan soal yang tidak membutuhkan kepintaran, kecerdasan, ketelitian, apalagi teknik legendaris: mengerjakan soal yang termudah dulu, baru yang tersulit. Yang diperlukan hanyalah kreativitas dalam menghitamkan jawaban di mana pun seenak jidat. Mungkin jika Mamanya tahu, dia akan dicoret dari kartu keluarga.

Meskipun begitu, ada sebuah pepatah populer mengatakan, kenyataan itu suka bercanda walau kadang tidak lucu. Situasi ini seakan berlaku bagi Halilintar. E-mail yang baru saja masuk ternyata mampu membuat otaknya not responding.

Halilintar diterima di SMA Budi Asih.

Iya diterima. Namanya benar-benar tercantum di sana. Dia curiga matanya mendadak siwer saat membaca e-mail, tapi ketika tombol F5 ditekan berkali-kali pun hasilnya masih tetap sama. Halilintar menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, posisi duduknya perlahan merosot ke bawah seiring nyawanya yang terasa hilang separuh. Bukan dunia yang akan jungkir balik, tapi kehidupannya sendiri.


E Class

Story by Sky Liberflux

Disclaimer: Boboiboy sepenuhnya milik Monsta

Bab 1: Dasi Hitam Putih


Masa orientasi dilaksanakan selama tiga hari. Walaupun jauh dari perpeloncoan, nyatanya tetap banyak kegiatan dan lumayan menguras energi. Untungnya Gempa berhasil melewatinya dengan baik tanpa memancing keributan dengan pihak lain. Tapi, lain lagi dengan Halilintar.

Keinginan yang tak sesuai dengan kenyataan membuat Halilintar denial, tapi di sisi lain dirinya tidak tega mengecewakan Mamanya. Karena itu, Halilintar berusaha menguatkan diri bahwa tiga tahun adalah waktu yang singkat, meski nyatanya ada 365 hari yang harus dikali tiga, alias masih lama.

Suasana hatinya yang buruk membuat keinginan Halilintar menjauhi keramaian orang semakin besar. Alhasil, kucing-kucingan dengan pengurus OSIS adalah rutinitas barunya setelah resmi menjadi siswa di SMA Budi Asih. Selama MOS berlangsung, tidak terhitung berapa kali Halilintar izin ke toilet, tapi malah berbelok ke tempat sepi. Setiap hari lokasinya selalu berubah. Seringnya hanya untuk bermain game online, tapi pernah juga kedapatan sedang bertengkar dengan kucing liar. Sampai semua pengurus OSIS sudah hafal, di mana ada tempat sepi, di situ ada Halilintar.

Hari pertama sekolah diisi dengan pengumuman kelas di gedung auditorium. Berhubung ini adalah tradisi penting saat menjadi siswa SMA Budi Asih, maka pengurus OSIS berupaya agar semua dapat mengikutinya dengan baik. Untuk itu, mereka membuat antisipasi agar tidak ada siswa baru yang keluar ruangan saat pembagian kelas berlangsung. Beberapa dari mereka ditempatkan berjaga di pintu utama dan pintu samping. Mereka mungkin terlihat sedang mengobrol santai, tapi matanya aktif ke sana ke sini untuk menandai siswa yang berpotensi kabur-kaburan.

Sebelum memasuki gedung, para siswa baru akan diberi sebuah kotak persegi kecil berwarna hitam, bertuliskan nama mereka di atasnya. Kotak itu hanya boleh dibuka setelah sambutan dari kepala sekolah selesai. Kalian akan tahu sendiri, kata pengurus OSIS setiap kali diberi pertanyaan tentang isi kotak itu.

Sejak melewati pintu utama, beberapa pengurus OSIS aktif melirik padanya. Halilintar sadar akan hal itu. Sekarang masih belum terlalu ramai, tapi ketika semua siswa sudah berkumpul, dia tidak yakin bisa bertahan.

"Mereka ngawasin aku, Gem. Aku harus gimana?" bisik Halilintar pada Gempa.

Gempa melirik ke belakang, beberapa pengurus OSIS tertangkap mata melirik pada kakaknya. Mau tak mau, Gempa jadi ikut berpikir mencari alasan. Kakaknya sudah terlalu sering beralasan ke toilet. Cara itu tentu tidak bisa digunakan lagi, pun ketika menggunakan alasan lain, mereka belum tentu mau percaya. Seketika sebuah ide gila terlintas dalam pikiran Gempa. Dia mengetikkan sesuatu dalam ponselnya, lalu dia tunjukkan pada Halilintar.

Mata Halilintar bergerak ke kiri dan ke kanan, lalu mengerutkan alis. "Kamu yakin?"

"Mereka pasti nggak akan mau terima alasan lain. Cuma ini satu-satunya."

Halilintar menimbang-nimbang apakah dia akan menggunakan ide adiknya atau mencari ide sendiri. Tapi, dalam kepalanya tidak terlintas apapun. Akhirnya Halilintar mengangguk.

"Aku alihkan perhatian mereka di pintu utama. Kakak pergi ke pintu sebelah kiri, kayaknya di sana nggak terlalu ketat."

"Ok."

Halilintar dan Gempa berpisah. Gempa berjalan santai ke pintu masuk utama, sedangkan Halilintar menerobos barisan siswa untuk mendekati pintu sebelah kiri. Ketika Gempa sampai di pintu utama dan mencoba mengobrol dengan pengurus OSIS, Halilintar sudah mencapai ambang pintu. Wajahnya sedikit tertutupi oleh lidah topi hitam kesayangannya.

Setelah mendapat kode gerakan tangan dari Gempa, Halilintar berjalan santai keluar dari pintu masuk sebelah kiri. Tidak perlu menunggu lama, ada tiga pengurus OSIS yang langsung menghadangnya. Ini sesuai rencana Gempa. Ketika tiga pengurus OSIS itu berusaha menghadapi Halilintar, maka akan ada celah di kiri dan kanan. Dia tinggal memilih mau berlari ke kiri atau ke kanan. Menurut Gempa, lebih aman ke arah kanan, karena jika Halilintar berlari ke arah kiri, maka pengurus OSIS lain yang berjaga di pintu utama akan melihatnya berlari dan ikut mengejar. Jadi, Halilintar mengambil opsi ke kanan.

Ketiga pengurus OSIS mulai bertanya segala hal, Halilintar diam tak menjawab. Kemudian badannya berbalik. Dari belakang terlihat akan kembali ke dalam gedung. Tapi, sebenarnya Halilintar mengambil ancang-ancang dan dalam hitungan ketiga—tentunya dihitung dalam hati—dia melesat secepat kilat menjauhi gedung auditorium.

Mereka terkejut bukan main dan mulai berteriak agar Halilintar berhenti. Namun, teriakan itu tak didengar. Halilintar terus memacu kecepatan larinya dan memberi jarak yang cukup jauh dengan para pengurus OSIS.

Mereka berempat berlari mengitari gedung satu. Awalnya berniat bersembunyi di gedung itu, tapi rupanya beberapa siswa tahun kedua dan ketiga berada di sana. Dia mengurungkan niatnya.

Kemudian berbelok ke arah sebuah wilayah yang dia tahu sebagai Extracurricular Centre atau sering disingkat Extre. Di mana dalam wilayah itu hanya terdiri dari ruangan-ruangan yang digunakan oleh berbagai ekstrakurikuler yang terdaftar di SMA Budi Asih. Halilintar pernah melintas wilayah itu saat ramai, jadi dia tidak pernah menargetkannya sebagai tempat persembunyian. Tapi, kali ini tempat itu sepi, hanya ada sebuah ruangan yang pintunya terbuka.

Halilintar langsung masuk ke ruangan itu dan menutup pintunya. Matanya menatap ke segala arah. Tidak banyak tempat yang bisa digunakan untuk bersembunyi, hanya ada sebuah meja kecil, sebuah lemari kaca, dan sebuah lemari kayu. Dinding ruangan itu banyak terpajang medali dan sebuah mural bergambar dua orang yang sedang bertarung. Kemudian mata Halilintar tertuju pada lemari kayu. Dengan lancang dia membuka lemari itu. Di dalamnya tersimpan empat buah body protector berwarna hitam berhias sehelai kain berwarna biru dan merah, dan dua buah peching box yang ditumpuk di bagian bawah. Halilintar mengeluarkan kedua peching box itu, menyimpannya di samping lemari. Lalu dia sendiri masuk ke dalam lemari dan menahan pintunya dari dalam.

Tidak lama kemudian, samar-samar dia mendengar suara kerusuhan dari luar. Halilintar menguatkan pegangannya pada pintu lemari.

"Kamu yakin dia lari ke sini?"

"Nggak tahu. Apa dia atlet lari? Larinya cepat banget. Lihat saja nanti, aku paksa dia masuk ekskul atletik."

"Nanti saja. Sekarang cari dulu. Kayaknya dia lari ke sana."

Suara ketiganya perlahan hilang. Halilintar bisa bernapas lega. Dia melepaskan pegangannya pada pintu lemari, perlahan mengatur nafasnya yang terengah-engah. "Aku nggak bisa keluar sekarang," keluhnya.

Baru saja bisa bernapas lega, suara pintu terbuka membuat jantungnya kembali berdegup kencang.

Halilintar menebak, seorang pria yang baru saja masuk. Pria itu terdengar menggerutu mendapati peching box berada di luar. Halilintar kembali menahan pintu lemari. Benar tebakannya, pria itu mencoba membukanya. Percobaan pertama dan kedua tidak berhasil, pria itu diam sebentar sambil mengutak-atik kunci. Ada jeda cukup lama yang membuat Halilintar gugup bukan main. Tiba-tiba, pria itu menarik pintu kuat-kuat dan lemari berhasil terbuka, membuat Halilintar—sejak tadi menahan pintu—jatuh terjerembab.

~o0o~

'Aku ada di ruang ekskul pencak silat.'

Gempa membaca pesan singkat yang dikirimkan kakaknya. Kini dia bisa bernapas lega. Obrolannya dengan pengurus OSIS berakhir lima belas menit yang lalu ketika mereka sadar Halilintar bolos lagi. Gempa kembali berkumpul bersama siswa lain sebelum dicurigai bekerja sama dengan kakaknya, meski kenyataannya dialah yang merencanakan semuanya.

Acara diisi dengan sambutan-sambutan dari pihak yang berkepentingan. Di atas panggung kecil sudah ada kepala sekolah, perwakilan dari Yayasan Pendidikan Sang Perintis—yayasan yang menaungi SMA Budi Asih dan beberapa orang guru yang duduk di meja panjang yang disediakan panitia.

Usai membuka acara, pembawa acara mempersilahkan kepala sekolah untuk memberikan sambutan. Seorang wanita muda berjalan naik ke podium.

"Hari ini adalah awal untuk membuka lembaran baru dengan suasana yang baru disertai ada sedikit yang berbeda. Tentu kalian sudah paham bahwa hari ini, di hadapan saya terlihat wajah-wajah baru, tunas-tunas muda yang siap merajut masa depan di tempat ini.

"Saya ucapkan selamat bagi 105 siswa-siswi tahun ajaran 2020. Kalian sudah resmi menjadi bagian dari SMA Budi Asih. Semoga kalian memiliki semangat belajar dengan sungguh-sungguh dan bisa mengembangkan potensi kalian secara maksimal. Bagi siswa kelas XI dan XII, saya harap kalian bisa membimbing adik-adik kalian untuk bersama-sama mengharumkan dan menjaga nama baik sekolah.

"Peliharalah semangat agar terus berkobar dan jadikan tahun ajaran baru ini sebagai titik awal untuk mencapai tempat yang lebih tinggi. Semoga apa yang kita inginkan dan cita-citakan akan terwujud dan memberikan manfaat untuk kita semua." Usai memberikan sambutan, kepala sekolah kembali ke tempat duduknya.

Auditorium diliputi keheningan ganjil. Semua siswa saling tatap satu sama lain, ada pula yang saling berbisik. Sudah menjadi rahasia umum, semua sekolah yang dinaungi Yayasan Pendidikan Sang Perintis hanya menerima 100 siswa baru setiap tahunnya, tidak pernah lebih, tidak pula kurang.

Sebenarnya Gempa pernah mendengar desas-desus ini selama MOS berlangsung. Topik ini terkadang bocor dari mulut para pengurus OSIS yang bergosip saat jam istirahat. Namun, Gempa tak menyangka rumor ini memang benar.

Si Pembawa Acara berdehem sebentar, untuk meredakan suasana yang mulai tidak terkendali. Lalu dia menginstruksikan para siswa baru untuk membuka kotak kecil yang sebelumnya dibagikan panitia secara bersama-sama.

~o0o~

Suara tawa lantang menggema di ruangan itu. Halilintar memposisikan jari telunjuknya di depan bibir, menyuruh pria itu menyudahi tawanya, khawatir masih ada pengurus OSIS yang berkeliaran mencari dirinya. Kalau saja situasi memungkinkan, dia sudah lari dari sana setelah ketahuan.

Pria itu berhenti tertawa dan mengusap sudut-sudut matanya yang berair. Dia mengaku bernama Amato, pelatih sekaligus penanggung jawab ekstrakurikuler pencak silat. Sejak pertama memperkenalkan diri, Amato meminta Halilintar berbicara santai. Supaya mudah akrab, katanya.

"Aku nggak suka tempat ramai, memangnya salah?" ucap Halilintar kemudian.

"Sekolah nggak ramai itu mustahil. Kamu harus membiasakan diri."

"Aku tahu. Tapi ... susah."

"Kamu pernah mengalami kejadian buruk saat ramai?" tanya Amato dengan pandangan menyelidik.

Halilintar tak menjawab. Sejujurnya, dia sedikit tidak nyaman berbicara tentang kehidupan pribadinya pada orang asing. Karena itu, dia membiarkan Amato seperti kanvas dengan banyak ruang kosong.

"Kamu tahu logo sekolah ini?"

"Elang dan bunga ..." ucapan Halilintar menggantung. Dia tak tahu banyak nama-nama bunga, kecuali yang ditanam Mamanya di rumah, dan bunga yang menjadi logo SMA Budi Asih sangat asing baginya.

"Hollyhock, bunganya abaikan dulu."

"Lalu?"

"Elang nggak akan jadi mahluk kuat di angkasa kalau ia tetap ada di zona nyaman. Seperti hewan lain, bayi elang juga mendapat makanan yang cukup dari induknya, tinggal di tempat yang nyaman dan aman. Tapi, waktu berusia dua sampai tiga bulan, induk elang akan melempar anak-anaknya keluar sarang. Anak-anak elang yang ketakutan akan berusaha mengepakkan sayap, tapi mereka nggak bisa terbang cuma dengan sekali percobaan, kan? Makanya, waktu mau menyentuh tanah, induknya akan menangkap mereka, lalu dilempar lagi dari atas. Hal itu terus diulang-ulang setiap hari sampai anak-anak elang bisa terbang sendiri.

"Intinya adalah latihan dan membiasakan diri. Kalau kamu nggak suka keramaian, coba biasakan ada di tengah keramaian, pelan-pelan saja. Terus-terusan lari nggak akan bikin kamu terbiasa, malah kamu bisa kesulitan kalau suatu saat nggak bisa lari dari keramaian." Amato menyudahi ceritanya dan menepuk-nepuk pundak Halilintar.

Halilintar tepekur sesaat. Ucapan Amato memang ada benarnya. Setelah mendengar itu, kepalanya mulai menganalogikan Sang Mama dengan induk elang. Keinginan Mamanya agar Halilintar bisa sekolah formal lagi dan memiliki teman sama halnya dengan melemparnya pada apa yang ditakutkan. Menjalani kehidupan normal dan menjalin pertemanan itu menurut sebagian orang semudah kentut di sembarang tempat, tapi baginya itu bukan perkara mudah.

"Ngomong-ngomong, kamu nggak mau buka kotak itu?" tanya Amato lagi. Matanya tertuju ke depan, pada sebuah kotak kecil yang mereka lupakan.

Halilintar meraih kotak hitam miliknya. Dia mengguncang-guncang benda itu, menebak dari suara yang dihasilkan.

"Buka saja. Isinya pasti dasi."

Halilintar mengerutkan alis. "Dasi?"

Amato menjelaskan, dasi adalah tanda pengenal kelas di SMA Budi Asih. Ada empat warna dasi yang digunakan, yaitu merah, hijau, biru dan coklat dengan hiasan garis berwarna putih. Merah berarti kelas A, hijau berarti kelas B, biru berarti kelas C, dan coklat berarti kelas D. Untuk siswa tahun pertama, warna dasi mereka akan berwarna lebih terang. Saat naik kelas, warna dasi siswa akan semakin gelap.

Halilintar membuka kotak itu sesuai saran Amato. Matanya sedikit membulat. Alih-alih menemukan warna merah, hijau, biru, atau coklat, dasi di dalam kotak miliknya berwarna hitam dengan garis berwarna putih.

"Punyaku sedikit ... aneh," ujar Halilintar sambil memperhatikan isi kotak itu pada Amato.

Amato mengeluarkan dasi itu dari kotaknya. Bentuk dasi itu persis seperti yang biasa dipakai siswa SMA Budi Asih, tapi warnanya tak biasa. "Kayaknya ada yang salah." Amato mengembalikan dasi itu ke kotaknya.

Halilintar setuju, pasti ada kesalahan dengan dasinya. Tapi, itu artinya dia akan berurusan dengan pengurus OSIS lagi. Halilintar menggeleng kecil. Dia tidak ingin berurusan dengan mereka. Alih-alih menanyakan pada panitia, tangannya merogoh ponsel dari kantongnya dan mengetik pesan pada Gempa.

'Dasiku hitam. Aneh.'

Tak lama kemudian Gempa membalas.

'Kayaknya kakak masuk kelas E.'

Amato tak sengaja mendengar gumaman Halilintar soal kelas E. Pria itu ikut merasa heran. Tanpa sengaja Amato melirik jam dinding di ruangan itu. Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi.

"Hei, sosialisasi dengan wali kelas pasti sudah dimulai. Cepat masuk ke kelas sana." Amato membantu Halilintar berdiri, kemudian mendesaknya keluar ruangan itu.

"Aku harus kemana?" tanya Halilintar begitu dia sudah berada di luar.

"Ke gedung satu, memangnya kamu pikir kemana?"

Bukannya segera pergi ke gedung satu, Halilintar malah terlihat ingin menerobos masuk ke dalam ruangan itu lagi. Amato segera memblokade jalannya.

"Sudah kubilang pergi ke kelasmu, nanti terlambat."

"Tasku masih di dalam," kata Halilintar sedikit nyolot.

"Oh." Amato memberikan ruang agar Halilintar bisa masuk.

Halilintar merengut, lalu masuk ke ruangan itu lagi untuk mengambil barang miliknya, dan pergi begitu saja.

"Kalau kamu mau masuk ke ekskul pencak silat, datang saja ke sini," teriak Amato, tapi Halilintar tidak menoleh sedikitpun.

~o0o~

Ruangan-ruangan di lantai satu umumnya digunakan untuk ruang guru, bimbingan konseling, selain itu ada juga lab bahasa dan ruang kesenian. Ruang kelas umumnya berada di lantai dua sampai empat, tapi papan nama di lantai dua berhenti di ruang 1-D. Tidak ada tanda-tanda keberadaan kelas 1-E. Pun ketika naik ke lantai tiga dan empat, Halilintar mendapat kondisi tak jauh berbeda dengan apa yang ada di lantai dua, hanya ada sedikit tambahan beberapa unit lab komputer dan toilet, tapi itu tidak penting sekarang.

Halilintar duduk di tangga menuju lantai lima. Dia mulai sedikit putus asa karena tidak menemukan papan nama kelas E di mana pun, sementara itu waktu terus berjalan. Dia yakin, masuk ke kelas pun akan sangat terlambat, ditambah selama berkeliling tidak ada satupun orang yang bisa ditanyai. Hanya tinggal satu lantai lagi, kalau tidak ditemukan juga, dia akan langsung pulang ke rumah saja. Meski berat hati, Halilintar melanjutkan pencariannya ke lantai lima.

Memasuki area lantai lima, Halilintar mulai menemukan keanehan. Tidak seperti ruangan-ruangan di lantai bawah, ruangan di lantai lima tidak memiliki papan nama. Semua polos dengan dinding berupa kaca tebal yang dilapisi stiker buram di sepertiga bagian dan pintu yang memiliki ukiran berbeda. Jika pintu-pintu di lantai sebelumnya berukiran bunga hollyhock, maka pintu-pintu di lantai empat berukiran elang dan awan. Selain itu seluruh lantai lima bernuansa monokrom, tidak banyak ornamen seperti di lantai sebelumnya.

Baru berjalan beberapa langkah, seorang perempuan keluar dari salah satu ruangan yang ada di sana. Perempuan itu terkejut. "Ngapain kamu di sini?" belum sempat dijawab, perempuan itu menarik lengan kemeja Halilintar, menariknya keluar dari sana. "Lantai lima terlarang bagi siswa. Kamu nggak boleh ke sana lagi."

"Memangnya kenapa?"

Perempuan itu tak menjawab, malah balik bertanya, "Kamu kelas apa?"

"Kelas E."

Perempuan itu berhenti sebentar hanya untuk memutar kedua bola matanya. Kemudian berjalan kembali sampai ke lantai satu. Dia membawa Halilintar menuju bagian pojok lantai satu dan berhenti di depan sebuah ruangan.

"Nah, sana masuk."

Halilintar tidak langsung masuk. Matanya masih terpaku menatap pintu kayu berukiran bunga hollyhock di depannya. Papan nama yang tertempel di kusen pintu bertuliskan ruang kesenian, bukan identitas kelasnya.

"Tapi, ini bukan kelas E."

Perempuan itu menghela nafas panjang. Dia mendorong Halilintar sampai tubuhnya menabrak pintu dan membuat pintu itu terbuka paksa.

Lima pasang mata menyambut Halilintar. Bukan karena siswa lain masih berada di luar kelas, melainkan kelas itu memang hanya berisi lima bangku siswa, seolah-olah dirancang hanya untuk ditempati lima orang. Salah satu dari kelima bangku itu kosong. Mungkin itu untuknya, tapi Halilintar masih ragu. Seperti ada sesuatu yang aneh di sini.

Selain lima bangku yang sudah diisi empat siswa lain, ada seorang pria yang menyandarkan pantatnya pada meja guru. Halilintar kenal pria itu. Dia Kaizo, orang yang mewawancarai dirinya setelah tes tulis. Sebelum menyuruhnya duduk, Kaizo memberi sedikit ceramah soal etika mengetuk pintu sebelum masuk.

Bangku kosong yang dimaksud terletak di baris kedua sebelah kanan dan di sana hanya terdiri dari dua baris. Tiga bangku di depan dan dua bangku di belakang dengan posisi zig zag. Kehadiran Halilintar membuat susunan bangku menjadi lengkap.

"Untuk kali ini, saya maafkan. Lain kali, kalau telat selama ini, tidak usah masuk kelas saya." Kaizo menatap Halilintar tatapan tegas dan raut muka serius. "Saya akan sedikit mengulas kembali apa yang saya bicarakan tadi. Sisanya, kamu bisa tanya yang lain," lanjutnya.

Pria itu menjelaskan bahwa dia ditunjuk sebagai wali kelas dari kelas E, dan dia mengajar di kelas olahraga. Syarat untuk mengikuti kelasnya hanya dua. Memakai pakaian olahraga, dan datang tepat waktu. Kaizo memberi batas toleransi waktu hanya lima belas menit. Lebih dari itu, dia tidak akan mengizinkan siswa yang terlambat itu bergabung di kelasnya dengan alasan apapun.

Kaizo juga mengulas tentang pengisian lembar konsentrasi. Sekolah memiliki dua kelas konsentrasi. Pertama, ilmu alam, dan yang kedua adalah ilmu sosial. Kaizo mewanti-wanti agar lembar konsentrasi harus sudah ada di mejanya hari ini juga, dan dia ada di ruangannya kalau mereka mau konsultasi soal jadwal kelas.

"Karena jumlah kalian sedikit, jadwal kelas saya akan digabung dengan kelas lain. Diskusikan harinya, setelah itu beritahu saya. Ada pertanyaan?" tanya Kaizo mengakhiri penjelasannya.

Gadis berkacamata yang duduk di barisan tengah depan mengangkat tangan dan bertanya, "Kenapa kelas ini hanya berisi kami berlima? Bukannya jumlah ideal dalam satu kelas sekitar dua puluh siswa atau lebih."

"Itu PR untuk kalian."

.

.

.

Tbc


KamuSky:

Body protector: alat pelindung berupa rompi yang terbuat dari busa tebal. Umumnya digunakan dalam sebuah pertandingan pencak silat. Kain berwarna merah dan biru mewakili masing-masing sudut.

Peching box: samsak berbentuk persegi.

Hollyhock: salah satu tumbuhan yang termaksud dalam genus dari sekitar 60 jenis spesies tanaman berbunga dari keluarga (Family: Mallow Malvaceae). Kebanyakan dari spesies ini berasal dari kawasan Asia tengah Asia Barat, Eropa Tenggara dan kawasan Mesir.


Haloo ^^

Terima kasih sudah membaca cerita ini. Jika berkenan, boleh kirimkan kritik dan saran di kolom review. Sampai nanti ^^