Chapter 2: The Sky is Blue but Bluer

"Sir, aku kemari untuk mengembalikan buku ini!" Rivaille meletakkan sebuah buku tebal di atas meja bertag-name Irvine Smith. "Terima kasih sudah berkenan meminjamkannya!"

"Ya!" Sahutan terdengar dan kedua bibir menyunggingkan senyuman. Sir Irvine meletakan buku tersebut di dalam laci meja. "Aku terkejut kau menyelesaikannya secepat ini. Kurang dari satu bulan?!"

"Sejujurnya… aku selalu penasaran kelanjutan ceritanya…" Rivaille mengangguk. "Yang terpenting Sir sudah meminjamkannya. Terima kasih!"

"No worries" Senyuman lain terukir. Irvine mempersilahkan duduk. "Jadi bagian mana bagian favoritmu? Mau berbagi cerita?"

Rivaille tersenyum simpul dan menarik kursi. Pembicaraan selanjutnya pasti akan panjang. "Bagian favoritku saat—"

Ackerman muda belum pernah merasa sehidup ini. Berbanding terbalik dengan kehidupan selalu datar sehari-harinya.

Empat bulan semenjak keakraban mereka, Rivaille jadi semakin terpikat. Irvine Smith the multitalented, wajah dan pembawaan yang menarik banyak secret admirer. Berbalutkan outfit kerja yang sama setiap haripun, kemeja lengan panjang slim-fit berlapis jas, selalu terlihat menawan.

Rivaille tidak lagi fokus saat Irvine mulai bicara. Fokus pada wajah sang guru. Menyelami keindahan tiap bagian.

Mulai dari helaian pirang yang jatuh terurai. 'Pasti lembut sekali saat disentuh!'

Turun ke dahi. 'Kalau diperhatikan ada kerutan halus.'

Turun lagi ke alis yang terbilang cukup tebal. 'Aku bertaruh dia bercukur tiap dua hari!'

Turun ke kedua bola mata. 'Dilihat dari dekat ternyata lebih biru! Dulu sempat kukira efek lensa!'

Turun ke hidung. 'Bagian ujung hidungnya runcing tapi bagian tengah sedikit melengkung. Apa ya sebutannya? Mungkin bentuk hidung arched?'

Turun lagi ke bibir yang sedang bergerak. 'Warna bibirnya juga ternyata bukan warna pemerahbibir!'

Semakin turun ke dagu, leher jenjang dan bahu. 'Sungguh Mr. Perfect, eh! Rasanya tidak adil!'Rivaille Ackerman merasa iri dengan kesempurnaan wajah Irvine Smith.

'Bahkan jari tangannya juga lentik!' Mata yang sempat melirik jari-jari naik kembali ke pipi.'Dibanding semua itu, aku ingin menyentuh pipinya! Aku belum pernah melihat tulang pipi setegas miliknya! Aku ragu apa dia—'

"—vaille... Rivaille! RIVAILLE!"

Rivaille kini tersadar setelah namanya, entah yang ke berapa kalinya, dipanggil.

"Kau mendengarku? Apa kau masih di sini?"

"Maaf!" Rivaille mengedip-ngedipkan mata. Sudah berapa lama dia menatap gurunya? Matanya terasa kering. "Rambut anda berantakan!" Timpalnya sekenanya.

"Oh?" Irvine menyisir helaian pirangnya. "Sebelah sinikah?"

Tangan Rivaille yang terjulur ditarik kembali. Tidak sopan menyentuh kepala orang yang lebih tua, apalagi gurumu. Berganti menunjuk bagian kepala yang menurutnya tidak rapi, sifat clean freak-nya jadi muncul.

"Sudah?" Irvine memastikan.

Rivaille menggeleng. Memberanikan diri dan meminta izin. "Maaf, Sir, bolehkah?"

"Tentu!"

"Permisi!" Perlahan, Rivaille beranjak bangun. Menyisir helaian pirang di hadapannya.

'Lembut memang!'Terbawa suasana, kini mengacak-acak lembut. 'Akuingin tahu seperti apa wajahnya saat rambutnya acak-acakan Juga saat poninya turun…'

Irvine, entah mengapa, membiarkan dirinya diperlakukan seperti anak kecil. Menutup mata dan bersandar manja pada tangan yang sementara menyentuh kepalanya.

Alih-alih berhenti, Rivaille dalam sekejap memeluk Sir Irvine. Dagu disandarkan di atas kepala, sementara hidung menghirup aroma yang menguar. Matanya terpejam. 'Sir, kau seperti minta dipeluk! Aku tidak ingin berpikir egois tapi...Apa kau juga berwajah begini saat bersama orang lain?'

Ada sesuatu dari diri Irvine Smith yang menjeratnya. Rivaille tidak tahu apa itu, yang dia tahu dia sudah terperangkap. Rasa yang lebih dalam dari sekadar terpukau.

Baru ingin mempererat pelukan, bel tanda pelajaran selanjutnya telah terngiang.

Menoleh ke samping, Rivaille melirik jam dinding. Dalam hati masih ingin menghabiskan waktu bersama. Tetap di sini dan dianggap bolos atau kembali ke kelas, akhirnya mendecih. "Aku… harus masuk kelas… Sampai nanti, Sir…"

Saat melangkah menjauh, lengannya digenggam. Kaget, Ackerman muda menoleh.

Sang guru melepaskan kacamata dan menatapnya. Rivaille Ackerman tidak sanggup mengartikan. Satu hal yang dia yakini; langit cerah berawan tiada seindah kilauan bola mata itu.

"Will you go out with me, Rivaille?"


Seminggu berlalu setelah confession Sir Smith. Rivaille tidak memberi jawaban, tidak menghindar juga. Masih saling menyapa saat berpapasan, tanpa kejujuran, selayak-layaknya guru-murid biasa. Hanya saling menyapa dan membalas senyuman. Tiada lebih.

Di perpustakaan, Rivaille terus menatap gurunya.

'...Orang itu... Apa dia serius?!'

Namun saat ditatap balik, lirikan cepat dialihkan. Diikuti dengan umpatan andalan, "Cih!"

Ujian tengah semester kurang dari seminggu dan pengakuan guru stoic ini membuatnya gagal fokus.

'Atau mungkin hanya untuk mengetesku? Kenapa tidak menemuiku dan menjelaskan? Idiot teacher!'

Irvine sepintas melirik lagi. Bibirnya naik membentuk senyuman. Tetap mengetik, berpura-pura fokus pada laporan hariannya.

Rivaille berpindah tempat. Tempat favorit lain yang belum diisi, dekat sudut ruangan di bawah deretan jendela.

Dari sana, pantulan figur Irvine Smith tergambar jelas. Tak perlu takut dipergoki curi pandang, remaja itu kini berkecil hati. 'Sebenarnya apa yang dia pikirkan tentangku? Kami sama-sama laki-laki dan aku masih bocah. Apa dia tidak keberatan?'


October 15 2022, Reuploaded