2 hari tanpa Dyo. Aku baru akan memulai hari, tapi rasa lelah sudah menghampiriku lebih dahulu. Sial.
Dangerous Offer
Created By. Windzhy Kazuma
Main Pair: KaiSoo (Kim JongIn - Do Kyungsoo)
Warning: Typo(s), kata-kata kasar, Plot dan Ide masih dipikir sambil ngetik, obrolan dewasa, OOC, Kata-kata ga jelas dan gak pas bertebaran dimana-mana, DLL. Penulis baru, berantakan, harap maklum.
Disc: EXO Belong to EXO-L
Don't Like, Don't Read
Happy Reading
Chapter 19
Rapat saham akan diadakan 3 hari lagi. Semua persiapan telah dilakukan, tim tidak berhenti mengadakan meeting dari beberapa hari yang lalu. Baekhyun lebih sering berada di ruangan meeting Dyo. Seperti saat ini, Dia hanya meninggalkan beberapa berkas laporan mingguan untuk kukerjakan.
Aku tidak pernah bertemu dengan Jennie, baik itu didalam maupun luar kantor. Mungkin dia juga sangat sibuk saat ini. Baguslah. Aku tidak tahu lagi cara yang lebih halus untuk menolak setiap permintaannya.
"Um... Kau sudah menemui Dyo hari ini?" Tanyaku pada Baekhyun saat dia memasuki ruangan. Baekhyun langsung menuju meja kerjanya dan membuka laci meja untuk mengambil beberapa dokumen. Ia melirikku sejenak sambil memilah dokumen-dokumen yang sepertinya akan dia bawa entah kemana.
"Yeah, aku dengannya semenjak pagi―"
"Dyo ada di kantor sekarang?" Tanyaku tidak sabar.
Baekhyun menaikkan alisnya sebelah saat melirikku dari balik dokumen yang sedang dibacanya. Hari ini Baekhyun tiba dikantor saat hampir jam istirahat makan siang.
"Dia tidak ada disini, begitu juga dengan besok. Kami mengadakan meeting di tempat lain. Menjauh dari kantor akan membantunya lebih cepat fokus." Baekhyun kembali merogoh laci meja kerjanya, menyudahi percakapan.
"Oh... Okay." Jawabku pasrah. "Apa dia baik-baik saja? Maksudku dia kehujanan kemarin. Aku hanya ingin tahu apa dia tidak kena demam... atau semacamnya..."
Baekhyun berhenti membolak balikkan kertas yang ada di tangannya. "Ya, dia baik-baik saja. Dia sangat sehat." Jawab Baekhyun setelah terdiam beberapa saat. Baekhyun tidak akan mau menanggapi pertanyaanku yang lain, jadi percuma saja. Yang penting aku sudah tahu bahwa Dyo baik-baik saja.
Sepanjang hari itu aku hanya mengerjakan setumpuk laporan yang diberikan Baekhyun. Dia bahkan sudah memberikanku tugas untuk kukerjakan besok.
"Karena lusa adalah rapat saham, aku akan fokus untuk mempersiapkan kebutuhan rapat. Jadi, besok aku tidak datang ke kantor. Nah! Ini." Baekhyun mendorong meja kecil berroda dengan setumpuk folder diatasnya. "Rapikan semua dokumen ini besok. Um― Kau bisa mulai menyusun dokumen-dokumen ini berdasarkan kategori yang sudah ku cantumkan nanti jika laporan yang kau kerjakan hari ini selesai lebih cepat―"
"Okay."
"Baik. Aku akan kembali ke tempat meeting-ku. Ada pertanyaan sebelum aku pergi? Atau ada instruksiku yang kurang jelas?"
"Mengenai Dyo, apa dia―"
"Kecuali pertanyaan tentang Dyo." Baekhyun memotong pertanyaanku dengan cepat. "Kai, aku harap kau tidak menghubunginya dulu, paling tidak untuk dua hari ini. Rapat saham benar-benar penting untuk kelanjutan karir dan perusahaannya." Lanjut Baekhyun dengan menatapku tajam. Aku hanya mengangguk, apa lagi yang bisa ku katakan?
Setelah yakin bahwa tidak ada lagi yang akan kutanyakan, Baekhyun merapikan dokumen di mejanya dan bersiap untuk meninggalkan ruang kerja. "Kau tidak perlu cemas. Dyo baik-baik saja. Dia hanya... Well― aku tidak menyangka pengaruhmu begitu besar. Akan lebih bijak jika kau tidak menghubunginya dulu. Apapun masalah yang ingin kalian selesaikan, itu bisa menunggu. Rapat saham harus menjadi prioritas utamanya sekarang, itu menentukan masa depannya."
"Aku mengerti." Jawabku.
* Windzhy Kazuma *
Dua hari berlangsung dengan begitu lambat. Bagus juga Baekhyun memberiku banyak tugas, pikiranku bisa sedikit teralihkan dari keinginanku untuk menghubungi Dyo. Semua laporan dan penyusunan dokumen bisa kuselesaikan dengan tepat waktu. Aku juga mengikuti kelas sore kemarin di kampus. Semua berjalan dengan baik.
Dan tibalah hari ini. Rapat saham. Aku datang lebih pagi dan duduk di ruang tunggu dekat meeting room perusahaan. Baekhyun menelfonku tadi pagi dan memintaku menunggu disini. Sepertinya Irene juga diberitahu hal yang sama, karena dia juga duduk disebelahku dengan wajah yang sangat tegang untuk ukuran pagi hari.
"Um… Kai-sshi…"Kata Irene tiba-tiba.
"Y-Ya?"Jawabku cepat dengan kaget. Irene jarang sekali berbicara dengan orang lain, jadi wajar saja aku sangat kaget.
"Bisakah kau membantuku mencocokkan dokumen ini? Um… Dyo Sajangnim tidak menyuruhku untuk membawanya, tapi aku khawatir dia membutuhkan dokumen-dokumen ini nanti. Jadi aku bawa saja."
"Ya, tentu."Jawabku lagi. Irene menyerahkan dua map berisi beberapa lembar kertas. Aku membukanya dan membacanya dengan teliti.
"Itu adalah dokumen yang sama, tapi dicetak di tanggal yang berbeda. Aku ingin mengecek sekali lagi apa isinya sudah sama atau ada perubahan yang belum ku tambahkan di dokumen lainnya…"
"Oke, aku akan memeriksanya."kataku sambil tersenyum. Irene mengangguk membalas senyumku, dan kemudian kami berdua mengalihkan pandangan kedalam dokumen-dokumen yang ada ditangan kami masing-masing.
Beberapa menit kemudian, sudah ada orang lain yang ikut duduk di ruang tunggu, aku sama sekali tidak mengenal mereka. Jadi bisa disimpulkan, mereka adalah tim lawan. Orang-orang terus berdatangan dan berlalu-lalang, entah itu mereka yang mulai duduk di ruang tunggu ataupun orang-orang yang masuk kedalam meeting room. Dyo dan Baekhyun belum juga datang.
Bisik-bisik diskusi juga sudah mulai terdengar, dan sebagian besar orang yang duduk di ruang tunggu sibuk membuka dokumen. Aku kembali fokus pada kedua dokumen yang ada di depanku. Aku kembali memeriksanya dengan teliti untuk ketiga kalinya. Irene tetap tenang sambil membuka lembaran dokumen yang ada di tangannya.
"Irene-sshi…"
"Ya?"Jawab Irene memandangku dengan ekspresi bertanya.
"Ah― aku hanya ingin tahu, apa nanti kau juga akan masuk kedalam meeting room?"
"Ya, Kai-sshi. Aku menemani Baekhyun dan Dyo Sajangnim."
"Berarti, saat rapat-rapat tim yang lalu, kau selalu ikut? Maksudku, rapat tim yang diadakan diluar kantor bersama Dyo Sajangnim…"
"Ya, benar. Ada sekitar 12 orang yang menjadi tim inti untuk rapat saham ini, termasuk Baekhyun-sshi dan aku."
"Oh… Begitu ya… Jadi, kau selalu bertemu dengan, um― Dyo Sajangnim?"
"Ya… Dia pemimpin rapat tim, jadi kami tidak bisa meeting tanpa kehadirannya. Ada apa Kai-sshi, ada yang ingin kau sampaikan?"
"Ah― tidak. Aku hanya ingin bertanya, apa Dyo Sajangnim terlihat baik-baik saja atau…"
"Ya. Aku pikir, dia baik-baik saja. Selain lingkaran hitam di sekitar matanya, tidak ada yang perlu dicemaskan."
"Syukurlah, itu membuatku sedikit lega." Aku tersenyum dan kembali menatap dokumen ditanganku. Sigh! Apa-apaan ini, aku bahkan bertanya pada Irene-sshi tentang Dyo.
"Kau… tidak pernah melihat Sajangnim selama kami melaksanakan rapat di luar kantor, ya?"Irene melirikku dengan penasaran.
"Y-yeah. Aku hanya sedikit khawatir dengan kesehatannya…"
Irene tersenyum dan menutup dokumennya. "Kai-sshi tidak perlu khawatir, dia baik-baik saja. Dia hanya perlu istirahat yang banyak setelah rapat saham ini, karena lingkaran hitam di sekitar matanya mulai terlihat."
"Ah― ya…"
"Mohon dukungannya ya, Kai-sshi. Semoga tim kita memenangkan rapat saham ini!"Kata Irene dengan tenang, tapi aku bisa melihat kobaran semangat dari matanya.
"Ya! Fighting!"Jawabku segera, sambil mengepalkan tanganku didepannya. Irene tertawa kecil dan membalas perkataanku dengan "fighting!" sambil melakukan gerakan yang sama denganku.
Setelah beberapa saat menunggu, peserta rapat saham sudah berdatangan. Dari kejauhan, aku melihat Jennie memakai coat berwarna merah gelap dan rambutnya diikat dengan sangat rapi. Ia sedang mengobrol dengan seseorang di sampingnya yang aku duga asistennya. Saat matanya menatapku, aku segera mengangguk dan mengalihkan pandanganku keluar jendela. Aku sudah tidak bisa melihatnya lagi sebagai Jennie yang lugu dan manis. Entahlah, kepercayaanku padanya benar-benar habis. Aku bahkan sama sekali tidak ingin berkomunikasi lagi dengannya.
Diluar sedang turun salju. Yang benar saja, masih pagi begini, cuaca sudah tidak bersahabat. Setelah yakin Jennie dan timnya sudah memasuki ruangan, aku kembali memperhatikan koridor tempat kemunculan para peserta rapat.
Beberapa menit berlalu, dan para petinggi perusahaan mulai berdatangan. Ayah Dyo baru saja masuk kedalam ruangan, dan tak lama kemudian, Baekhyun muncul dengan beberapa orang dari balik koridor. Begitu melihatku, ia segera melambaikan tangan. Aku langsung bangkit dari sofa.
Dan seperti biasa, Dyo berjalan disebelahnya dengan pandangan menunduk ke arah ipad yang ada dalam genggamannya. Ia mengenakan kaos turtleneck berwarna putih, celana beige dan juga coat berwarna senada. Bibirnya sibuk bergerak, menjelaskan sesuatu kepada Baekhyun sambil menyodorkan ipad-nya, dan dibalas oleh Baekhyun dengan anggukan. Ia masih sibuk menjelaskan, disertai gerakan tangan yang bermaksud untuk memperjelas entah apa yang mereka sedang bicarakan. Dan saat Dyo kembali memfokuskan pandangannya kedepan, dia melihatku.
Tampan. Semuanya sempurna, kecuali bayangan gelap yang ada disekitar matanya. Kulitnya sedikit pucat, tapi bibirnya masih berwarna merah muda yang sama saat terakhir kali aku menciumnya. Dyo berhenti berbicara dan terus melangkah tanpa mengalihkan pandangannya dariku. Aku berusaha untuk tersenyum, dan hanya dibalas anggukan olehnya. Dia menyapa Irene dan mempersilahkannya untuk berjalan lebih dulu menuju meeting room. Irene kemudian pamit kepadaku, dan membawa beberapa dokumen masuk kedalam ruang rapat.
"Dyo…"Aku mengucapkan namanya dengan nada kerinduan yang begitu jelas.
"Later. After the meeting is over."Potongnya.
"Oke― um… FIGHTING!"Aku dengan penuh semangat mengepalkan tanganku di depannya. Dyo yang aku kenal biasanya segera tertawa saat aku mengatakannya, but… Well… Setidaknya saat ini Dyo berhasil kubuat tersenyum. Dyo kemudian melangkah kembali menuju meeting room. Baekhyun mengedipkan matanya dan menepuk bahuku, kemudian mengikuti Dyo masuk kedalam meeting room.
* Windzhy Kazuma *
Pukul 12:40 PM, satu per satu peserta rapat keluar dari meeting room untuk makan siang. Mereka berjalan secara berkelompok, ada beberapa orang yang masih terlihat sibuk bercakap dengan seru. Topik mereka sepertinya tak jauh dari rapat saham yang belum selesai. Jennie dan timnya juga keluar secara berkelompok dibarengi dengan argumen yang dilontarkan satu sama lain. Wajah mereka sebagian besar tegang dan kesal. Jennie hanya menggelengkan kepala beberapa kali dengan wajah jengkel. Apapun rencana atau presentasi mereka dalam rapat saham sepertinya tidak berjalan dengan baik.
Aku berjalan mendekati jendela, menghindari pertemuan dengan Jennie. Salju masih saja turun dengan gumpalan-gumpalan kecil yang kini menyelimuti seluruh permukaan kota menjadi putih. Orang-orang kepercayaan Dyo masih menunggu bersamaku di ruang tunggu. Tak lama kemudian, Baekhyun keluar dengan wajah ceria, diikuti oleh Irene dan Dyo.
"WOHOO, kemenangan di depan mata!"Dengan percaya diri, Baekhyun mengatakannya keras-keras. Anggota tim yang ikut menunggu bersamaku langsung menyambutnya dengan sorakan tepuk tangan dan tinju ke udara. Irene ikut bertepuk tangan, dan Dyo tersenyum sambil memegang bahu beberapa karyawan yang mengucapkan selamat.
"Ayo ke kaferia! Aku yang traktir!"Kata Baekhyun lagi. Sorakan semakin menggema, sehingga beberapa orang yang baru keluar dari meeting room melihat kearah kami dengan penuh tanya.
"Baekhyun-ah, masih terlalu dini untuk merayakan kemenangan. Kemungkinan gagal masih tetap ada." Bisik Dyo saat semua bergegas lebih dulu ke kaferia. Aku berjalan di belakang Dyo dan Baekhyun.
"Well, kau bisa mengganti uangku jika nanti kita gagal―" Baekhyun segera menyingkir saat Dyo hampir saja memukulnya dengan kertas yang ada di tangannya. "YAK! Aku bercanda! Kau ini benar-benar tidak sopan dengan hyung-mu. Ckck." Baekhyun berdecak sewot. Aku tanpa sadar tertawa lumayan keras melihat interaksi mereka, dan dengan segera mereka berdua menoleh ke belakang.
"Yak, Kai-ah! Kau jangan tertawa saja, dasar!"Baekhyun mencibir. Dan tiba-tiba kertas yang telah digulung-gulung oleh Dyo mendarat tepat di atas kepalanya.
"Yak! Kau jangan memarahi orang lain."Dyo pura-pura kesal. Aku mau tak mau tersenyun mendengar pembelaan Dyo yang setengah hati.
Setelah sampai di Kaferia, Dyo duduk bersama beberapa petinggi perusahaan yang mendukung perusahaan, yang kebetulan sedang makan siang juga. Aku menarik bagian belakang coat Baekhyun saat dia akan duduk.
"Apa?" Tanya Baekhyun heran.
"Aku ada ujian siang ini."
"Ah― ya. Oke!"
"Jam berapa rapat saham berakhir?"
"Entahlah, biasanya sampai larut malam."
"Baiklah. Aku akan kembali setelah mata kuliahku selesai."
"Oke. Good luck bro!"
"Thanks! You too bro!"
Dyo masih asyik mengobrol tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Aku menghela nafas panjang. Sudahlah, aku tidak perlu pamit.
* Windzhy Kazuma *
"Jadi, kau tidak mau ikut?" Sehun bertanya sambil merapikan bukunya kedalam ransel. Malam ini, seorang senior kaya raya sedang mengadakan pesta di rumahnya. Kelasku juga diundang.
"Aku bekerja, Sehun-ah." Aku menarik resleting ranselku dan bersiap untuk kembali ke kantor.
"Pestanya kan malam hari, tidak perlu on-time. Kau bisa datang setelah bekerja."
"Aku benar-benar sibuk hari ini. Ada rapat saham dikantorku, dan aku tidak tahu apakah atasanku tetap menjadi CEO atau tidak." Kataku sambil mengangkat bahu.
"Ah― baiklah. Aku mengajakmu karena Kau sebentar lagi selesai kuliah, tapi kau sama sekali tidak punya kenangan dengan angkatanmu. Kau juga harus bersenang-senang sedikit, mate."Sehun menggelengkan kepalanya. Kami berdua berjalan keluar ruangan.
"Oke, akan ku usahakan untuk datang setelah urusan di tempat kerjaku selesai."Kataku lagi.
"Alright! Telfon saja aku jika kau benar-benar ingin datang."
"Oke."
Kami berjalan sampai didekat pintu gerbang kampus, dan tiba-tiba terdengar bunyi klakson dari arah belakang. Aku dan Sehun segera berbalik. Mobil berwarna kuning yang disetir oleh seorang gadis muda.
"Aish! Yang benar saja…" Gumam Sehun kesal.
"Hei!" Kata gadis itu menjulurkan kepalanya dari dalam mobil sambil melambaikan tangan. Dia… melambaikan tangan ke arah kami, kan?
"Kau kenal dia?" Bisikku pada Sehun.
"Y-yeah…"jawab Sehun enggan. Ia segera mendekati mobil.
"Kau tidak masuk?" Tanya gadis itu. Belum sempat Sehun menjawab, dia bertanya lagi, "Siapa dia? Temanmu?"
"Dia Kai, teman angkatanku." Jawab Sehun singkat.
"Ah― Hai Kai hyung! Salam kenal!"Gadis itu setengah berteriak menyapaku dari mobil.
H-hyung??? Bukannya dia… wanita? Atau…
Aku melambaikan tangan dengan ragu, menoleh pada Sehun. Sehun hanya tertawa sambil menepuk jidatnya.
"Sorry mate, Dia Sejeong, pacarku. Yeah, dia agak 'gila'. Semua teman dekatku dipanggil 'hyung'."Jelas Sehun saat dia kembali berdiri didepanku. Walau Sehun memanggil pacarnya 'gila', tapi tidak ada raut malu sedikitpun di wajahnya. Dia bahkan terdengar sedikit bangga dan gembira. Aku membalasnya dengan tertawa sambil mengangguk. "Kau naik mobil saja bersama kami, nanti kami antar sekalian saja ke tempat kerjamu―"
"Ah― tidak, tidak perlu. Thank's bro, kebetulan aku membawa kendaraan hari ini."
"Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu, take care bro!"
"Thank's, kau juga!"
Sehun segera masuk dalam mobil, dan Sejeong tersenyum melambaikan tangannya kembali. Dengan perlahan, mobil berwarna kuning cerah keluar dari area kampus, bersatu dengan kendaraan lainnya di jalan raya.
Aku juga segera bergegas untuk kembali ke kantor.
* Windzhy Kazuma *
Hampir lima jam semenjak kedatanganku ke kantor, rapat saham sudah mulai memberikan tanda-tanda akan selesai. Ayah Dyo sudah keluar dari ruang meeting, dan menuju ruangan konferensi pers dimana para awak media sudah berkumpul dari satu jam yang lalu. Setelah para petinggi perusahaan juga meninggalkan ruang meeting, satu per satu peserta rapat saham keluar. Dyo didampingi Irene langsung menuju ruang konferensi pers tanpa menyapa kami.
Baekhyun keluar dengan raut wajah lesu. Oh, ini pertanda buruk. Aku langsung melangkahkan kakiku dengan cepat untuk menemui Baekhyun.
"Bagaimana?"tanyaku tidak sabar. Tim rapat yang lain ikut terdiam, menunggu respon dari Baekhyun.
"Dyo… keluar."Jawab Baekhyun menunduk.
"What?"
Ini benar-benar diluar dugaan. Riuh rendah terdengar dari belakangku, seakan yang lainpun tidak percaya.
"Hyung, apa maksudmu?"
"Well… DYO KELUAR RUANGAN UNTUK KONFERENSI PERS TENTANG JABATANNYA SEBAGAI CEO! PERUSAHAAN MASIH MILIKNYA! Hahaha―" Baekhyun merangkulku dengan erat sambil tertawa. Aish, hyung ini benar-benar membuat khawatir saja! Aku ikut tertawa. Kerja keras tim benar-benar terbayar tuntas. Wajah-wajah lelah mereka berganti dengan tawa ceria, mereka saling merangkul dan mengucapkan selamat satu sama lain.
"Kau tahu, Dyo benar-benar keren tadi! Aku sampai heran! Final statement-nya benar-benar gila, aku sampai bangga!"Baekhyun bercerita dengan semangat. Syukurlah, Dyo melakukannya dengan baik.
Monitor kantor disetiap ruangan menampilkan siaran langsung konferensi pers CEO ExoPlanet Co. Dyo sedang menyampaikan pidato kemenangannya sebagai CEO kembali. Irene berdiri disebelahnya dengan wajah penuh senyum. Dyo, walaupun wajahnya terlihat lelah, dia menyampaikan pidatonya dengan lantang. Wah, dia benar-benar CEO. Jika aku melihatnya seperti ini, aku bahkan tidak percaya bahwa dia menginginkan―maksudku, pernah menginginkan seseorang sepertiku.
Sekarang? Entahlah.
* Windzhy Kazuma *
01:00 AM. Kami masih berada di restoran untuk late dinner dan beberapa teguk minuman beralkohol, sebagai perayaan kecil atas keberhasilan Dyo kembali menjadi CEO ExoPlanet Co. Ya, sebagian besar karyawan sudah pulang. Tinggal beberapa orang saja yang masih duduk dengan santai, enggan meninggalkan minumannya. Aku berada di meja yang berbeda dengan Dyo. Saat Dyo mulai berdiri memakai coat-nya dan berjalan kearah pintu keluar restoran, aku melirik Baekhyun hyung yang duduk tidak jauh dari tempat Dyo. Baekhyun menunjuk dengan dagunya, menyuruhku untuk mengikuti Dyo. Aku juga bergegas berdiri dan menyusul Dyo keluar dari restoran.
Udara sangat dingin, gumpalan kecil salju yang tak hentinya turun dari langit semakin mendinginkan udara kota. Dyo berjalan sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku coat. Aku berlari kecil hingga berada tepat di belakangnya. Satu blok… Dua blok… Tiga blok gedung perkantoran sudah kami lewati, dan Dyo belum juga mengatakan apapun.
"Sebenarnya kau mau kemana, sajangnim?"Kataku memecah keheningan. Dyo tiba-tiba berhenti, dan aku hampir saja menabrak punggungnya. Sudah lewat tengah malam, hanya beberapa kendaraan pribadi saja yang melintas. Dyo berbalik menatapku dengan wajah bosan. Hidungnya sedikit merah karena pengaruh udara. "Jika kau ingin ke suatu tempat, aku bisa mengantarmu. Lebih baik kau tunggu disini, aku akan mengambil mobil. Kau bahkan tidak memakai topi, kau bisa demam nanti…"lanjutku. Aku mengusap sisa salju yang masih berwarna putih diatas kepalanya.
"Kim JongIn…"Untuk pertama kalinya aku mendengar nama lengkapku diucapkan olehnya. "Mengapa kau mengikutiku?"
Aku menghela napas.
"Aku ingin bicara denganmu. Tentang hubungan kita dan apa yang sebenarnya terjadi saat kau melihatku dengan Jennie―"
"Kim Jennie."Dyo tersenyum sinis. "Mengapa kau tidak pergi bersama Jennie? Kau meninggalkan dia begitu tahu dia kalah dalam rapat saham?"
"Dyo…"
"―dan sekarang kau bersamaku lagi."Kata Dyo menyela perkataanku. Dia tertawa. Dan entah mengapa, aku tidak begitu suka tawa Dyo kali ini. "Kai-ah, ini sangat menyilaukan bukan? Posisi CEO."
"Apa maksudmu?"
"Do Kyungsoo dan Kim Jennie. Wah, kau memiliki keduanya! Kalah ataupun menang, pada akhirnya sama saja untukmu, kan? Kau memiliki keduanya―"
"Aku dan Jennie tidak ada hubungan apapun selain pertemanan biasa! Dan itu juga sudah berakhir beberapa hari yang lalu! Jabatanmu tidak ada hubungannya dengan perasaanku. Bagaimana caranya agar kau mengerti, Dyo-ah? Kau satu-satunya orang yang―"
"STOP. Please, stop. Berhentilah berpura-pura, Kai. Berhenti berpura-pura, seakan kau benar-benar mencintaiku. Kau sudah lihat akibatnya, kan? Ini menghancurkanku, dan aku masih ingin melindungi diriku!"
Bahu Dyo bergerak naik dan turun, seakan ia mengeluarkan dengan paksa kata-kata yang mengendap jauh di dalam kepalanya. Aku masih berusaha memproses setiap perkataan Dyo. Apa maksud perkataannya? 'Ini menghancurkanku' berarti bahwa aku memiliki pengaruh yang buruk untuknya? Aku berpura-pura?…
"Dyo-ah…"Aku hampir kehabisan kata. "…tapi aku mencintaimu… This is real…" Kataku terbata. Dia menatapku tajam dengan lama.
"Prove it."Balas Dyo.
Aku tidak mengerti. Bagaimana membuktikan sebuah perasaan?
"Kau bersamaku hampir sepanjang waktu, Dyo. Kau melihat semuanya. Tidak ada yang kusembunyikan."
"Lalu bagian mana yang mewakili perasaanmu? Bagian mana yang kau sebut 'mencintaiku'?"
Hidung Dyo semakin memerah dan rambutnya mulai basah karena salju. Aish, jika seperti ini, bukan hanya Dyo yang akan demam.
"Pembuktian seperti apa yang kau inginkan?"Kataku akhirnya. Dyo terdiam lagi sambil menatapku lekat. Tanganku benar-benar ingin menyentuh wajahnya. Hanya ingin tahu, sudah sedingin apa wajahnya. Dia bahkan tidak memakai topi. Sajangnim ini benar-benar…
"Kau ingat saat pertama kali mengunjungi kantor?"
"Ya."
"Saat kau masuk dan meminta bantuan kepadaku?"
"Ya."
"Saat aku memberimu cek kosong, dan kau menuliskan sejumlah besar uang didalam cek itu?"
"Ya, Dyo-ah. Aku mengingatnya. Aku mengingat setiap detail kejadian itu. Itu tidak akan pernah ku lupa."
"Kau ingat berapa nominal uang yang kau tuliskan?"
"Tentu."
"Berikan kepadaku uang dengan nominal yang sama."
Aku hampir tidak mempercayai pendengaranku.
"Kau ingin aku memberikanmu uang dengan nominal yang sama saat kau 'membantuku' keluar dari lingkaran monster itu?"
"Ya."
"Dan itu adalah cara yang kau inginkan untuk membuktikan bahwa aku mencintaimu?"
"Ya."
Aku rasa aku tidak tahu lagi akan berekspresi seperti apa. Ini begitu lucu sekaligus miris diwaktu yang sama. Apa perasaanku pada Dyo dinilai dari nominal uang dalam secarik kertas cek?
"Dyo-ah―"Aku terdiam sambil menunduk. Tidak tahu apa ingin tertawa ataupun kesal. Aku mengamati sepatu yang saat ini kupakai, hadiah kesekian kalinya dari Dyo. "Bahkan sepatu yang sedang ku pakai sekarang adalah pemberian darimu, Dyo-ah. Aku bekerja sepanjang hidupku untuk melunasi hutang yang diwariskan padaku, tapi kau tahu sendiri, itu tidak akan pernah cukup sebelum kau memberiku bantuan."
"So… you gave up?"
"I just― it's not about giving up or not. But what you're asking for is absolutely impossible…"Kataku setengah tertawa. "Kau ingin putus dengan ku? Kau ingin aku menjauh?"
Ayo! Katakan saja jika kau ingin menendangku dari kehidupanmu, Do Kyungsoo. Ini bukan pertama kalinya aku ditinggalkan. Lakukan saja semaumu.
"Kau memang tidak pernah serius denganku. Kau bahkan belum berusaha, tetapi kau sudah menyerah lebih dulu. Everything you say about how you feel, it's all a lie."balas Dyo sambil tersenyum sinis.
"Orang yang menganggap semua ini pura-pura adalah kau, Do Kyungsoo. Aku mencintaimu dengan tulus. Tapi kau memilih tidak melihatnya. Bagaimanapun aku berusaha, matamu tetap buta untuk melihat perasaanku."Sial. Aku menggeleng sembari tertawa. "Ayo kita berhenti. Apapun yang aku katakan, didalam hatimu kau sudah memilih untuk tidak percaya. Jadi, ini semua percuma. Perbincangan ini hanya akan menyakiti kita berdua."kataku. Aku menatapnya seperti tidak akan ada hari esok, seakan aku tidak akan bertemu dengannya lagi. "Kau ingin aku pergi?"tanyaku sekali lagi.
"Kau tidak ingin melakukan pembuktian seperti yang aku inginkan?"Balasnya bertanya.
Aku tersenyum setengah hati. "Itu adalah hal yang mustahil, Do Kyungsoo."jawabku pelan.
Dyo juga menghela napas panjang, kemudian mengambil airpods-nya dan memasangnya pada kedua telinganya.
"Jangan mengikutiku."Katanya. Dyo berbalik dan mulai berjalan menjauh dariku.
* Windzhy Kazuma *
Sudah kurang lebih setengah jam aku mengikuti Dyo berjalan menembus udara malam yang dingin. Salju telah berhenti, namun seluruh permukaan jalan masih memutih. Aku memang berjalan mengikutinya, tapi jarak antara kami berdua hampir 30 meter.
Aku mendengar decitan ban mobil, bersama dengan raungan suara mesin mobil yang keras. Dari kejauhan, aku melihat mobil berwarna hitam melaju dengan cepat. Tidak tahu mengapa, langkahku semakin cepat. Mobil itu terlalu condong ke bahu jalan. Aku kembali memperhatikan Dyo, tapi sepertinya dia sama sekali tidak terganggu. Dia masih menunduk sambil berjalan, mungkin sedang memeriksa ponselnya.
"Dyo! Dyo-ah!"Aku memanggilnya dengan keras sambil mulai berlari. Dyo bahkan tidak menggerakkan kepalanya sedikitpun, dan mobil hitam itu semakin mendekat.
OH MY GOD! Ini terlihat tidak baik.
"DYO! YAKK! DO KYUNGSOO!"Aku berlari sekuat tenaga sambil meneriakkan nama Dyo. Sial! Dyo sama sekali tidak menoleh, sementara mobil hitam itu melaju semakin cepat kearah bahu jalan, tepatnya kearah Dyo. Napasku tercekat, aku tepat di belakang Dyo, dan mobil sudah didepan mata. Aku menarik bagian belakang coat Dyo dan sekuat tenaga mengayunkan tanganku kesamping. Aku masih sempat melihat Dyo jatuh terseret jauh dari trotoar dan…
Terdengar suara benturan yang begitu keras, pecahan kaca disertai bunyi decitan ban yang memekakkan telinga. Kejadiannya begitu cepat, aku bahkan tidak ingat kearah mana tubuhku terlempar. Seketika, aku merasakan sakit yang luar biasa di sebagian besar badanku. Telingaku berdengung. Kepalaku sangat pusing, ada sensasi dingin bercampur nyeri dibagian belakang kepalaku. Aku ingin memegang kepalaku, tapi tanganku tidak bisa digerakkan sama sekali. Oh God, apa yang terjadi denganku?
Aku berusaha menggeser kepalaku dan menoleh kesamping.
Merah. Pekat.
Merah pekat bercampur dengan putihnya salju yang menutupi jalan. Apa ini darahku? Oh― great. Kau mengeluarkan darah yang cukup banyak, Kim Jongin.
Seseorang menarik badanku dari dinginnya jalan, merengkuhku kedalam pelukan. Nyeri yang kurasakan bertambah berkali-kali lipat. Aku ingin sekali memaki orang ini agar meletakkanku kembali ditumpukan salju yang dingin. Itu akan membantu meredakan nyeri di kepalaku. Namun saat aku berniat untuk berbicara, aku tersedak dan cairan merah pekat keluar dari mulutku. Dadaku sakit, dan perutku serasa tertarik saat aku batuk.
Aku merasakan sentuhan tangan di bagian pipiku. Dengan sekuat tenaga, aku menggerakkan kepalaku kearah depan, dan akhirnya aku tahu siapa yang mendekapku erat hingga terasa sangat menyakitkan.
Do Kyungsoo.
Dyo, dengan memar di dagu kirinya dan wajah penuh air mata. Bibirnya bergerak-gerak, mengatakan sesuatu yang tidak bisa ku dengar. Dia kemudian meletakkan ponsel di telinga kanannya. Bibirnya kembali bergerak-gerak, aku hanya mendengar sayup-sayup suara Dyo yang serak.
Akhirnya aku melihat semua ekspresi wajahnya. Aku kadang penasaran, ekspresi seperti apa lagi yang Dyo sembunyikan dibalik topeng kaku yang sering ia kenakan. Tapi setelah melihat semuanya, aku rasa… Aku tidak akan pernah mau lagi melihat versi Dyo yang seperti ini.
Dyo kembali menyentuh wajahku dengan tangannya yang bergetar.
"…baik saja. Kau akan baik-baik saja―"Aku mendengarnya disela isak tangis yang tertahan. "Kau bisa mendengarku?"tanyanya lagi.
"S-sepertinya…" jawabku terbata. Dia tersenyum dan mengecup keningku.
"Bertahanlah sebentar lagi, Kai-ah. Ambulans sedang dalam perjalanan."Dyo mengusap lembut pipiku.
Usapan jari Dyo di pipiku sama sekali tidak meredakan rasa nyeri yang kurasa hampir diseluruh tubuhku.
"K-kepalaku… sangat sakit,"dengan napas tersenggal aku mengeluh.
"Ya, aku tahu."Dyo menanggapi dengan beberapa kali anggukan, mencoba menyakinkanku bahwa dia mengerti. "Sebentar lagi ambulans datang. Kita akan ke rumah sakit."jawabnya lagi.
Aku mencoba menghitung dalam hati agar waktu berlalu lebih cepat. Dyo masih menatapku lekat, tersenyum sambil mengusap-usap jarinya di pipiku. Walau tidak ada lagi isak tangis seperti tadi, air matanya masih saja mengalir membasahi kerah turtleneck-nya.
Entah karena menghitung begitu lama, keinginan kuat untuk menutup mata menghampiriku. Aku seperti diserang kantuk yang tidak nyaman. Saat aku baru saja menutup mataku, tangan Dyo menepuk pelan pipiku.
"Kai-ah! Buka matamu! Tunggu sampai ambulans datang. Please! Sebentar lagi, aku janji―"Dyo berbicara dengan nada panik. Aku berusaha keras untuk membuka mataku. Dyo, dengan wajah khawatirnya langsung menyambut penglihatanku.
"Mengantuk…"kataku.
Dyo mengangguk dengan cepat. "Aku tahu. Aku tahu. Wait a little longer, everything will be fine,"Dyo kembali mengusap wajahku. Entahlah, kali ini dia sedang meyakinkanku atau sedang meyakinkan dirinya sendiri.
"Kiss me…"Aku mengatakannya dengan segala kekuatanku yang masih tersisa. Dyo menggeleng perlahan sambil menahan tangis. "P-please…"kataku putus asa.
Dengan perlahan, Dyo menundukkan wajahnya, menempelkan bibirnya yang hangat dengan keputus-asaan yang sama. Kali ini aku tidak bisa lagi melawan rasa kantuk yang menyerang.
"Kai-ah! KAI! BUKA MATAMU! KAU BISA MENDENGARKU KAN? PLEASE, KAI!―"nada panik Dyo kembali terdengar dengan begitu keras. Aku ingin menjawab 'yeah, aku mendengarmu', tapi bibirku tidak bergerak sedikitpun. Dyo menepuk-nepuk wajahku dan mengguncangkan tubuhku perlahan. Aish, rasa nyeri semakin kuat sampai aku pikir tidak bisa menahannya lebih lama lagi.
"PLEASE! Please, Kai-ah… Jangan seperti ini…"Dyo kembali terisak. Dia tidak berhenti menepuk pipiku. "Aku mencintaimu, aku mencintaimu. Bagaimana mungkin kau meninggalkanku seperti ini?! KAI!"
Bukankah ini adalah waktu yang sempurna untuk mati?
Aku menyelamatkan orang yang aku cintai, dan aku mendapatkan pengakuan dari orang yang aku cintai. Berbaring dipelukan orang yang aku cintai.
Ini lebih dari cukup.
Aku mendengar suara ambulans dari kejauhan, terlalu jauh.
.
.
.
To Be Continued.
* Windzhy Kazuma *
Hello :) Udah tahun berapa inih? Hehe. Maaf yah, real life sangat melelahkan. Draftnya tersimpan sampe dua tahun dan baru dilanjutin huhuhu.
Jangan lupa semangatin author dengan read and review ya! Gomawongg~
